Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 23 Juli 2018

Judul: PENGANTAR SOSIOLOGI MASYARAKAT PESISIR |Penulis :Arif Satria |Penerbit :Yayasan Pustaka Obor    Indonesia, Jakarta | Cetakan :Cetakan pertama, juni 2015 | ISBN: 978-979-461-935-3 | Tebal: 149 halaman


Indonesia adalah negara kepulauan yang sebagian besar masyarakatnya menetap di pesisir. Badan Pusat Statistik Republik Indonesia merilis data desa yang berada di daerah pesisir mencapai 8.090 desa dengan jumlah penduduk 16,4 juta orang.

Sedangkan untuk aktivitas ekonomi, Ditjen Perikanan Tangkap kementrian Perikanan dan Kelautan merilis data bahwa ada 2.641.967 juta nelayan dan 921.271 nelayan buruh yang bergantung pada sumberdaya perikanan. Dari total jumlah nelayan tersebut, Maluku Utara memiliki 6.498 nelayan dan 1.924 yang bekerja sebagai nelayan buruh.

Data di atas menjadi pintu masuk saya untuk memahami – mendalami buku Arif Satria. Namun yang perlu dipahami, masyarakat pesisir yang dimaksudkan di sini ialah masyarakat yang hidup di pinggiran pantai. Bahkan dalam istilah masyarakat pesisir juga sering dipahami dengan penyebutan masyarakat nelayan. Hal ini berdasarkan mayoritas dari pekerjaannya yang dominan adalah nelayan. Padahal secara sosiologis karakteristik dan tipologi di tiap-tiap daerah masyarakat pesisir sangatlah berbeda. Perbedaan inilah menjadi dasar bahwa tidak semua masyarakat pesisir bekerja sebagai nelayan dengan karateristik, cara hidup yang berbeda, dan juga sebagian bahkan bekerja di bidang pertanian. Beragam perbedaan kemudian membentuk satu pola struktur sosial, membentuk sistem pengetahuan dan terciptanya sistem sosial  yang bercirikan relasi sosial-ekonomi patron-klien (hal, 7).

Sebagaimana yang dijelaskan oleh Arif Satria bahwa karakteristik sosial masyarakat pesisir tentu berbeda dengan karakteristik masyarakat petani. Masyarakat pesisir memiliki akses sumber dayanya yang bersifat terbuka, akan tetapi sangat rentan terhadap tingginya resiko pada hasil tangkapan, berpindah-pindah, dan pendapatan mereka sangat tergantung pada cuaca. Hal ini kemudian membentuk karakteristik sikap masyarakat nelayan yang keras, tegas dan terbuka. Berbeda dengan masyarakat petani  yang akses sumber dayanya lebih terkontrol, pengelolaan lahan hasil produksi bisa diprediksi, mempunyai lokasi yang tetap, mobilitas usaha rendah serta tingkat resiko pun sangat rendah.

Secara geografis Indonesia merupakan negara kepulaun yang luas lautan mencapai 70% wilayahnya, tetapi kenapa masyarakatnya masih jauh dari kesejahteraan. Kondisi laut yang demikian luas, mempunyai sumber daya alam yang melimpah dan adanya kesadaran pemerintah dalam menjalankan programnya memberi cukup banyak bantuan berupa alat tangkap, mesin, dan kapal yang besar tetapi kenapa bangsa ini masih jauh dari kemajuan? Kondisi di atas, menjadi salah satu alasan mendasar penulisan buku Pengantar Sosiologi Masyarakat pesisir yang ditulis oleh Arif Satria ini hadir untuk memberikan pemahaman tersebut.

Berbagai bantuan program pemerintah yang dicanangkan demi kebutuhan nelayan, meskipun niatnya baik tetapi kebanyakan tidak berdasarkan kajian yang matang secara empiris. Sehingga kebanyak program kurang berdampak positif terhadap tingkat perkembangan ekonomi masyarakat. Contoh, bantuan berupa alat tangkap modern dan tanpa muatan pengetahuan teknis untuk mengoperasikan secara baik. Modal yang besar pula karena selama ini nelayan hanya menggunakan alat tangkap tradisonal dan perahu kecil, yang lebih mengacu pada budaya menangkap ikan one day fishing (sehari melaut) tidak semudah diubah menjadi one week fishing (seminggu melaut) menggunakan tehknologi modern.

Tentu secara sosiologi akan terjadi keretakan relasi sosial patron klien. Sebab, pada masyarakat tradisional lebih menekan solidaritas mekanik. Hubungan patron-klien tidak semata dilihat sebagai relasi ekonomi, melainkan harus dilihat sebagai relasi sosial, budaya dan politik itu sendiri. Karena selama ini banyak program yang banyak memutus mata rantai ikatan patron-klien tersebut. Misalkan bantuan sering kali diterima oleh orang-orang yang justru tidak seharusnya menerima bantuan berakibatnya memunculkan kecemburuan sosial. Untuk bertahan hidup, para nelayan yang ekonomi rendah dan tidak mendapat bantuan mereka melakukan berbagai siasat agar tidak terjerat dalam kepungan kemiskinan. Salah satunya adalah isteri para nelayan diberi peran aktif dalam membantu suami agar dapat menambah ekonomi kerumahtanggaan.

Menarik dalam buku ini adalah bagaimana penulis mengelaborasi struktur peran rumah tangga di dalam masyarakat nelayan. Terutama perempuan yang berstatus sebagai istri nelayan juga berperan aktif dalam peningkatan pendapatan ekonomi keluarga. Semangat nelayan dalam mendorong istrinya demi menyelamatkan keterpurukan ekonomi rumah tangga agar tidak terjerat oleh masalah kemiskinan. Keterlibatan perempuan dalam rumah tangga adalah upaya yang harus terus dilakukan untuk mengelola potensi sumber daya ekonomi lokal yang tersedia. Sehingga tercipta peluang-peluang dalam mengatasi kesulitan ekonomi rumah tangga. Perempuan pesisir juga dituntut harus memiliki pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan agar mereka tidak mudah terjerat oleh kemiskinan dan juga tidak lagi dipandang rendah status sosialnya.

Lebih lanjut Arif Satria, menjelaskan bagaimana perubahan sosial masyarakat pesisir terjadi akibat dari dinamika penemuan tekhnologi baru. Secara antropologi perkembangan teknologi alat tangkap maupun budidaya mempunyai andil mempengaruhi perubahan kebudayaan itu sendiri. Artinya, dalam proses perubahan tidak memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak memperhitungkan resiko serta tidak mempertimbangkan pengetahuan masyarakat untuk menggunakan alat tangkap tersebut. Sisi lain muncul gejala sosial akibat dari kelompok masyarakat yang mempunyai alat tangkap modern dan masyarakat yang mengandalkan alat tangkap tradisional. Persaingan alat tangkap inilah seringkali menjadi pemicu konflik antara masyarakat nelayan (hal 62).

Pergeseran alat tangkap ini dilihat kebanyakan orang, termasuk buku ini hanya pada sisi positifnya. Artinya yang dilihat hanyalah nilai ekonomisnya, yakni tingkat pendapatan masyarakat. Tetapi tidak melihat sisi negatif yang berdampak buruk pada lingkungan sosial dan budaya masyarakat itu sendiri akibat kemajuan teknologi modern.









Foto: nelayan desa Kolorai yang sedang memancing

Secara umum, buku ini menggunakan perpektif sosiologis untuk melihat kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat nelayan. Buku ini juga bisa menjadi referensi bagi dosen, mahasiswa dan pemangku kebijakan untuk memahami masyarakat pesisir di Indonesi.

Peresensi
Suryadi Sahabu
Peneliti di Institut Agraria Kapulauan-Maluku Utara