Pukul 09:00 wit, KM. Bandeng tujuan
Morotai dari pelabuhan Ferry di desa Gorua Tengah kecamatan Tobelo Utara akan diberangkatkan.
Penumpang yang sudah membeli tiket dan juga bekal makan selama perjalanan sudah
mulai naik ke kapal. Penumpang yang tinggal jauh, seperti Galela pesisir dan
Kao sudah sedari subuh datang. Ada yang menginap di sanak saudara, ada yang
menggelar tikar di dek dua kapal. Kendaraan roda dua menggunakan separuh dek satu, dan hanya dua kijang dan dua truck.
Pelabuhan penyebrangan kapal ferry di desa Gorua
adalah satu-satunya pelabuhan penyebrangan kapal ferry dari Halmahera Utara,Tobelo
ke Morotai dan ke Bitung. karena aman dan murah, warga memilih menggunakan
kapal ferry dibandingkan dengan speedboat. Setiap penumpang dewasa dikenai Rp.
35.000/orang. Selain penumpang, bahan pokok juga diangkut ke Morotai dari
pelabuhan ini. Begitu juga hasil pertanian, kopra dari petani atau penadah
dibawa ke Tobelo untuk dijual.
foto; jembatan penyebrangan kapal ferry di Gorua, Tobelo.
Kapal
lepas pandara. Penumpang akan menghabiskan waktu kurang lebih 3-4 jam perjalanan.
Selama perjalanan akan dihibur oleh lagu-lagu daerah pilihan dari
Halmahera. Lagu yang dipilih menyertai suasana sehingga tidak membosankan.
Begini lirik lagunya;
Balayar jauh, balayar jauh
Kase tinggal kampong jauh di sana. Sio mama
Adede pe lama, adede pe lama
Apa tempo kita bale ulang kasana
Tobelo selalu tabayang.
Ta barindu-rindu Tobelo so jauh di mata. Sio mama
Ado do kasing, Ta rindu pa ngoni samua.
Sesekali kepala dan bahu saya bergoyang mengikuti irama lagu. Ternyata benar, lagu bukan hanya soal selera tetapi juga tergantung suasana.
Sesekali kepala dan bahu saya bergoyang mengikuti irama lagu. Ternyata benar, lagu bukan hanya soal selera tetapi juga tergantung suasana.
Sejam perjalanan. KM. Bandeng sudah membelakangi Tobelo jauh di belakang. Semakin jauh semakin hati
ini dikekang rindu, serasa sesak. Tidak mempan walau dihibur oleh pulau-pulau kecil
dengan hamparan laut biru dan pasir putih memanjakan mata. Di sebelah kiri, di mana jika Sore Hari akan
terbentang senja, dan berdiri kokoh gunung Mamuya yang hijau dari
kejauhan. Lebih kedalam lagi, Dokuno tidak pernah lelah bergemuruh lalu
disertai debu dan pasir.
Banyak sekali penumpang, saya kesulitan menemukan tempat yang nyaman untuk duduk. Karena waktu tempuh lama
maka ada penumpang yang memanfaatkan kursi untuk tidur, ada juga yang menyewa
tikar dari penjaga kantin kapal seharga Rp.10.000 untuk digelar di lantai. Sedikit
usaha saya menemukan sedikit ruang di bangku panjang dekat kantin di dek 2.
Saya dan keponakan saya, Azam, duduk di situ. Seraya mendengarkan lagu-lagu
saya diajak untuk bermain game bergantian.
Mungkin karena sudah tua, KM.
Bandeng seperti merayap di laut. Tidak hanya mesin, ombak dan arus juga harus
diandalkan. Suasana di dek 2 begitu familiar, saya dipaksa suasana untuk
menelusuri memori masa lalu, masa kanak-kanak. Dari cerita Firjal barulah saya
ingat bahwa KM. Bandeng adalah yang pertama kali dan sebagai kapal penghubung
Ternate dan Halmahera di Jailolo.
KM. Bandeng adalah kenangan saya
semasa kecil. Ketika diajak oleh bapak dan ibu ke Ternate dari Malifut, kami
akan menyebrang mengunakan kapal Ferry ini dari Jailolo ke Ternate. Seingat
saya, jika bus kami dari Malifut tiba jam 9 pagi di pelabuhan, maka KM. Bandeng
akan tiba dua jam setelahnya. Sembari menunggu ferry saya akan bermain di
jembatan, memberi makan ikan dari sisa bekal. Tetapi jika sudah bosan dan kesal
saya akan melempar ikan-ikan itu dengan kerikil. Dan jika tiba waktu penagihan
tiket saya sudah lebih dulu lolos tanpa tiket – selanjutnya di dalam ferry saya
akan bermain petak umpet dengan penagih tiket. Jika penagih tiket mengecek ke
belakang maka saya akan pergi kedepan dari sisi sebaliknya.
Tahun 1999 konflik agama pecah di
Halmahera. Kami harus mengungsi ke
Ternate. Kami tiba di Sidangoli sore hari. Semua orang sedih. Senja yang
terbentang di timur ikut meratapi kesedihan dan penyesalan. Lautan manusia
memenuhi lokasi pelabuhan Ferry di Jailolo menunggu KM. Bandeng berlabuh dan
membawa kami ke Ternate dengan selamat. Kenangan itu masih jelas. Kala itu Bandeng
adalah salah satu kapal ferry yang terlihat begitu gagah.
foto: km. Bandeng yang siap diberangkatkan dari Morotai ke Tobelo.
***
Tiga jam lebih sudah berlayar, KM.
Bandeng sandar di pelabuhan ferry Morotai jam 13:30 wit. Lapar menyergap.Terbayang ikan bakar.
Sebelum dimekarkan pada tahun 2008,
Morotai adalah wilayah administrasi kabupaten Halmahera Utara. Dan Sejak dimekarkan,
Morotai mulai membenah diri untuk terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan
sumber daya manusia. Selain mengembangkan sector pertanian, katanya pemerintah
juga menggarap sector pariwisata pantai dan pulau di Morotai. Tahun 2012 pemerintah
menggelar Sail Morotai untuk mengkampanyekan potensi wisata di Morotai.
Kegiatan akbar itu menghabiskan dana cukup besar. Banyak infrastruktur pendukung
dibangun, namun entah kenapa gedung-gedung itu kini hanya tegak membisu.
foto; Salah
satu lokasi pelaksanaan Sail Morotai yang kini diabaikan oleh Pemerintah Provinsi
dan pemda Morotai. Lokasi ini jika dirawat, bisa digunakan oleh masyarakat
sebagai ruang publik untuk olahraga maupun pegelaran seni budaya.
Morotai selain wisata sejarah kita juga bisa
menikmati keindahan pantai dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa tempat yang
direkomendasikan oleh kawan-kawan di Ternate dan Tobelo, pantai Nunuhu, Tanjung
Gorango, Tanjung Dehegila, Pulau Dodola, dan Pulau Galo-Galo Kecil. Ada juga
air terjun Raja dan air terjun Mira. Karena Pantai Gorango dan Nunuhu sudah
pernah saya kunjungi maka kami berniat ke Kolorai, Dodola dan Galo-galo. Tetapi
apa mau dikata, “ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”. Tidak ada transportasi regular dari pelabuhan
Daruba ke pulau Dodola dan Kolorai. Hanya ada speedboat yang bisa dirental
tetapi lumayan mahal, sejuta untuk pergi dan balik. Bagaimana mengambangkan sector pariwisata
jika aksesnya sudah sulit mahal pula.
keputusannya, kami pergi ke
Daloha Resort di tanjung Dehegila. Kurang dari 20 menit perjalanan menggunakan
sepeda motor. Daloha Resort dibangun untuk tempat menginap dengan nuasa alam. Pohon-pohon
kelapa di sana tumbuh tinggi menggenggam langit. Garis pasir putih membentang sepanjang pantai.
Sabar menunggu sebentar kami disuguhkan sunset yang luar biasa indah.
Foto:
Senja di Morotai. Diambil dari lokasi Daloha Resort.
Senja di Morotai menutup perjalanan
kami hari itu. Walaupun tidak semua tempat dapat kami sapa namun akan selalu
ada kisah yang tertinggal manis seperti pamitnya matahari yang menyisahkan
senja. Sesaat, akan tetapi membentang kenangan yang luas bagi siapa saja.
Semoga kedepannya pemerintah
Kabupaten Morotai sudah bisa berpikir lebih jernih, lebih baik lagi untuk
mengembangkan pariwisata. Nih aku kasih tahu, sektor pariwisata akan berkembang jika
aksesnya mudah dan murah dan harus melibatkan masyarakat untuk mengelola agar ada rasa tanggungjawab bersama. Sekian[].
Oleh: JF. Upik
0 komentar:
Posting Komentar