Random Posts

banner image

Minggu, 23 Juli 2017

Berlayar ke Morotai

















Pukul 09:00 wit, KM. Bandeng tujuan Morotai dari pelabuhan Ferry di desa Gorua Tengah kecamatan Tobelo Utara akan diberangkatkan. Penumpang yang sudah membeli tiket dan juga bekal makan selama perjalanan sudah mulai naik ke kapal. Penumpang yang tinggal jauh, seperti Galela pesisir dan Kao sudah sedari subuh datang. Ada yang menginap di sanak saudara, ada yang menggelar tikar di dek dua kapal. Kendaraan roda dua menggunakan separuh dek satu, dan hanya dua kijang dan dua truck.

Pelabuhan penyebrangan kapal ferry di desa Gorua adalah satu-satunya pelabuhan penyebrangan kapal ferry dari Halmahera Utara,Tobelo ke Morotai dan ke Bitung. karena aman dan murah, warga memilih menggunakan kapal ferry dibandingkan dengan speedboat. Setiap penumpang dewasa dikenai Rp. 35.000/orang. Selain penumpang, bahan pokok juga diangkut ke Morotai dari pelabuhan ini. Begitu juga hasil pertanian, kopra dari petani atau penadah dibawa ke Tobelo untuk dijual.















foto; jembatan penyebrangan kapal ferry di Gorua, Tobelo.

Kapal lepas pandara. Penumpang akan menghabiskan waktu kurang lebih 3-4 jam perjalanan. Selama perjalanan akan dihibur oleh lagu-lagu daerah pilihan dari Halmahera. Lagu yang dipilih menyertai suasana sehingga tidak membosankan. Begini lirik lagunya;

Balayar jauh, balayar jauh
Kase tinggal kampong jauh di sana. Sio mama
Adede pe lama, adede pe lama
Apa tempo kita bale ulang kasana
Tobelo selalu tabayang.
Ta barindu-rindu Tobelo so jauh di mata. Sio mama
Ado do kasing, Ta rindu pa ngoni samua.

Sesekali kepala dan bahu saya bergoyang mengikuti irama lagu. Ternyata benar, lagu bukan hanya soal selera tetapi juga tergantung suasana. 

Sejam perjalanan. KM. Bandeng sudah membelakangi Tobelo jauh di belakang. Semakin jauh semakin hati ini dikekang rindu, serasa sesak. Tidak mempan walau dihibur oleh pulau-pulau kecil dengan hamparan laut biru dan pasir putih memanjakan mata.  Di sebelah kiri, di mana jika Sore Hari akan terbentang senja, dan berdiri kokoh gunung Mamuya yang hijau dari kejauhan. Lebih kedalam lagi, Dokuno tidak pernah lelah bergemuruh lalu disertai debu dan pasir.

Banyak sekali penumpang, saya kesulitan menemukan tempat yang nyaman untuk duduk. Karena waktu tempuh lama maka ada penumpang yang memanfaatkan kursi untuk tidur, ada juga yang menyewa tikar dari penjaga kantin kapal seharga Rp.10.000 untuk digelar di lantai. Sedikit usaha saya menemukan sedikit ruang di bangku panjang dekat kantin di dek 2. Saya dan keponakan saya, Azam, duduk di situ. Seraya mendengarkan lagu-lagu saya diajak untuk bermain game bergantian. 

Mungkin karena sudah tua, KM. Bandeng seperti merayap di laut. Tidak hanya mesin, ombak dan arus juga harus diandalkan. Suasana di dek 2 begitu familiar, saya dipaksa suasana untuk menelusuri memori masa lalu, masa kanak-kanak. Dari cerita Firjal barulah saya ingat bahwa KM. Bandeng adalah yang pertama kali dan sebagai kapal penghubung Ternate dan Halmahera di Jailolo. 

KM. Bandeng adalah kenangan saya semasa kecil. Ketika diajak oleh bapak dan ibu ke Ternate dari Malifut, kami akan menyebrang mengunakan kapal Ferry ini dari Jailolo ke Ternate. Seingat saya, jika bus kami dari Malifut tiba jam 9 pagi di pelabuhan, maka KM. Bandeng akan tiba dua jam setelahnya. Sembari menunggu ferry saya akan bermain di jembatan, memberi makan ikan dari sisa bekal. Tetapi jika sudah bosan dan kesal saya akan melempar ikan-ikan itu dengan kerikil. Dan jika tiba waktu penagihan tiket saya sudah lebih dulu lolos tanpa tiket – selanjutnya di dalam ferry saya akan bermain petak umpet dengan penagih tiket. Jika penagih tiket mengecek ke belakang maka saya akan pergi kedepan dari sisi sebaliknya. 

Tahun 1999 konflik agama pecah di Halmahera. Kami harus mengungsi  ke Ternate. Kami tiba di Sidangoli sore hari. Semua orang sedih. Senja yang terbentang di timur ikut meratapi kesedihan dan penyesalan. Lautan manusia memenuhi lokasi pelabuhan Ferry di Jailolo menunggu KM. Bandeng berlabuh dan membawa kami ke Ternate dengan selamat. Kenangan itu masih jelas. Kala itu Bandeng adalah salah satu kapal ferry yang terlihat begitu gagah. 
foto: km. Bandeng yang siap diberangkatkan dari Morotai ke Tobelo. 

***
Tiga jam lebih sudah berlayar, KM. Bandeng sandar di pelabuhan ferry Morotai jam 13:30 wit. Lapar menyergap.Terbayang ikan bakar.

Sebelum dimekarkan pada tahun 2008, Morotai adalah wilayah administrasi kabupaten Halmahera Utara. Dan Sejak dimekarkan, Morotai mulai membenah diri untuk terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan sumber daya manusia. Selain mengembangkan sector pertanian, katanya pemerintah juga menggarap sector pariwisata pantai dan pulau di Morotai. Tahun 2012 pemerintah menggelar Sail Morotai untuk mengkampanyekan potensi wisata di Morotai. Kegiatan akbar itu menghabiskan dana cukup besar. Banyak infrastruktur pendukung dibangun, namun entah kenapa gedung-gedung itu kini hanya tegak membisu. 














foto; Salah satu lokasi pelaksanaan Sail Morotai yang kini diabaikan oleh Pemerintah Provinsi dan pemda Morotai. Lokasi ini jika dirawat, bisa digunakan oleh masyarakat sebagai ruang publik untuk olahraga maupun pegelaran seni budaya.

Morotai selain wisata sejarah kita juga bisa menikmati keindahan pantai dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa tempat yang direkomendasikan oleh kawan-kawan di Ternate dan Tobelo, pantai Nunuhu, Tanjung Gorango, Tanjung Dehegila, Pulau Dodola, dan Pulau Galo-Galo Kecil. Ada juga air terjun Raja dan air terjun Mira. Karena Pantai Gorango dan Nunuhu sudah pernah saya kunjungi maka kami berniat ke Kolorai, Dodola dan Galo-galo. Tetapi apa mau dikata, “ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”.  Tidak ada transportasi regular dari pelabuhan Daruba ke pulau Dodola dan Kolorai. Hanya ada speedboat yang bisa dirental tetapi lumayan mahal, sejuta untuk pergi dan balik.  Bagaimana mengambangkan sector pariwisata jika aksesnya sudah sulit mahal pula. 

keputusannya, kami pergi ke Daloha Resort di tanjung Dehegila. Kurang dari 20 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Daloha Resort dibangun untuk tempat menginap dengan nuasa alam. Pohon-pohon kelapa di sana tumbuh tinggi menggenggam langit. Garis  pasir putih membentang sepanjang pantai. Sabar menunggu sebentar kami disuguhkan sunset yang luar biasa indah. 















Foto: Senja di Morotai. Diambil dari lokasi Daloha Resort. 

Senja di Morotai menutup perjalanan kami hari itu. Walaupun tidak semua tempat dapat kami sapa namun akan selalu ada kisah yang tertinggal manis seperti pamitnya matahari yang menyisahkan senja. Sesaat, akan tetapi membentang kenangan yang luas bagi siapa saja.

Semoga kedepannya pemerintah Kabupaten Morotai sudah bisa berpikir lebih jernih, lebih baik lagi untuk mengembangkan pariwisata. Nih aku kasih tahu, sektor pariwisata akan berkembang jika aksesnya mudah dan murah dan harus melibatkan masyarakat untuk mengelola agar ada rasa tanggungjawab bersama.  Sekian[]. 

Oleh: JF. Upik









0 komentar:

Posting Komentar