Tradisi mungkin bisa berakhir dengan kejenuhan dan mungkin
bertahan dengan kebaruan. Tradisi bisa saja ambruk
karena ditabrak angin modernisasi dan mungkin saja mampu menangkis angin modernisasi. Kesemuanya itu dimungkinkan
dengan tindakan dan alur
langkah kita, mau dihilangkan, dilanjutkan, atau dimoderenkan tradisi ini.
Bertepatan dengan bulan suci Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri yang terlewatkan
beberapa minggu yang lalu (juni 2017), saya menyempatkan waktu untuk menuliskan dinamika tradisi masyarakat suku
Gamkonora ketika menyambut bulan yang penuh hikmah dan kebahagiaan itu. Di momen bahagia itu, ada dua tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Gamkonora pada bulan
Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri, yang menurut cerita telah lama ada sebelum “pecahnya” masyarakat
suku Gamkonora dari desa Gamkonora sebagai desa induk dan membentuk desa
baru yaitu desa Tahafo, Talaga,
dan Gamsungi kurang lebih pada tahun 1916.
Dua tradisi suku Gamkonora di Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat itu kian bertahan walaupun diperhadapkan dengan teriknya modernisasi. Dua tradisi itu dikenal
dengan nama “Handuri dan Dodengo”
yang dapat
kita temui di bulan Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri. Tradisi handuri sendiri dikhususkan pada malam lailatul qadar
dan
sebagai bentuk lepas - pisah bulan Ramadhan, sementara dodengo biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu atau pada hari
Raya Idul Fitri. Dalam catatan ini saya hanya menuliskan handuri.
Untuk mengetahui maksud dari tradisi ini, saya kemudian
melibatkan diri secara langsung dan turut mengambil bahan-bahan perlengkapan handuri, dimulai dari persiapan hingga perayaannya. Persiapan
handuri sendiri membutuhkan waktu selama satu
hari (dimulai dari 08.00-17.30 wit). Dalam rentang waktu terbilang singkat saya mengamati kesibukan warga setempat
(masyarakat desa Tahafo) dan sempat berkunjung ke beberapa rumah warga untuk melihat aktivitas
mereka, setelah beberapa jam kemudian saya bergegas kembali ke rumah dan mempersiapkan
keperluan untuk tradisi handuri, kurang lebih pukul 03.00 wit.
Persiapan perlengkapan handuri itu dilakukan oleh masing-masing kepala rumah tangga atau
orang yang tertua di dalamnya. Di
sini
pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki terlihat begitu rapi, yang sudah terbentuk sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Para lelaki bertugas mengambil bahan perlengkapan handuri
dan
menyiapkannya, salah satu yang harus dipersiapkan adalah tiang handuri. Adapun bahan yang harus
disiapkan, berupa janur, batang pohon dari
anak pisang dan anak pohon kayu, bambu yang berukuran kurang lebih 12 cm. Sementara perempuan membeli kebutuhan tambahan lain seperti beras,
telur,
dan kacang tanah, di pasar atau kios-kios terdekat.
Sembari menikmati angin sepoi, disiapkan janur kelapa muda untuk dianyam menjadi berbagai jenis ketupat dan diberi isian beras. Batang pisang dan pohon kayu dijadikan tiang handuri, dan bambu yang berukuran 12 cm
itu dibuat menjadi lidi yang berukuran kecil, yang ditancapkan dibawah pelepah batang pisang yang berfungsi sebagai tempat gantungan ketupat. Sedangkan telur yang telah digoreng akan dipotong berbentuk segi tiga, sementara kacang
tanah dibuat mejadi halua (terbuat dari kacang/kenari yang dicampur dengan gula aren atau gula
pasir).
Setiap sajian memiliki arti filosofi, dan hal itu sulit untuk dipahami oleh orang lain
(diluar dari suku Gamkonora). Seperti ketupat bebek (ketupat yang berbentuk
bebek) misalnya adalah salah
satu menu yang terdapat dalam sajian handuri. Mereka mengumpamakan ketupat bebek ini seperti perahu yang akan berlayar dan membawa bulan
Ramadhan untuk kembali ke-tempat
asalnya. Analogi ini memiliki makna
filosofi yang
dalam dan dipercaya hingga ini. Tradisi ini bisa bertahan karena diakui sebagai pengetahuan lokal mereka.
Kembali lagi ke
soal persiapan handuri. Sajian yang telah disiapkan kemudian diletakan di satu
wadah (tempat seperti piring atau sejenisnya yang bisa memuat semua sajian),
setelah semua sajian sudah tersedia orang akan memasang tiang handuri, untuk merekatkan ketupat yang telah dipasang lidi-lidi berukuran 12 cm
yang tertanam di pelepah batang
pisang (kurang lebih tiga buah lidi bahkan lebih). Tiang handuri ini terbuat
dari anak pohon kayu dan anak pisang dengan tingginya kurang lebih satu meter dan di setiap depan rumah warga pasti
memilikinya.
Setelah perlengkapan disiapkan, mereka menunggu waktu buka puasa untuk menghidangkan menu yang telah disediakan di atas meja.
Tifa (beduk) di masjid ditabuh
sebagai tanda waktu buka puasa. Tabuhan beduk itu disertai himbauan, “cako buka godi se
ronda-ronda” yang artinya “sudah
waktunya buka puasa sudah bisa makan di jalan-jalan”. Dengan begitu acara
“naik handuri” pun dilakukan dengan mengeluarkan sajian yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Perayaan handuri diikuti
dengan bacaan surat Al-Qadar, setelah bacaan itu selesai sajian kemudian
diambil oleh warga setempat, dimulai dari anak yang berusia dari 6-15 tahun,
dewasa, bahkan yang telah berumahtangga. Terkadang dari mereka sudah menandai
rumah tempat berkunjung untuk
menerima sajian itu, dan ada pula sajian yang disajikan tuan rumah
direbut beramai-ramai oleh para tetangga, namun
ini bukan berarti akan terjadi perkelahian diantara mereka tetapi ini dibuat
untuk membangun suasana menjadi ramai, ceria, dan
terasa bahagia di malam lailatul qadar.
Penyajian handuri
bukan dilakukan dengan mendatangi satu persatu rumah tetangga, melainkan dengan
menggantungkannya pada tiang handuri yang
telah didirikan di halaman rumah masing-masing warga, dan setiap orang bebas mengambil
sajian selama persediaan pada tiang handuri masih ada.
Jika dibandingkan dengan masyarakat Maluku Utara
lainnya seperti Ternate, yang menyambut malam Lailatul Qadar dengan memasang lilin, obor atau alat penerang tradisional lainnya di depan rumah dan diikuti dengan lomba yang digelar pemerintah setempat. Masyarakat suku Gamkonora menyambut malam lailatul qadar dengan membagi-bagi makanan kepada tetangga rumah atau masyarakat yang
sedang berkunjung di desa mereka. Dan pada malamnya terlihat nyala api lilin di
teras-teras rumah warga menjadikan suasana desa menjadi seperti “surga dunia”, yang
ingin saya katakan adalah bahwa kita benar-benar telah berada di dunia yang penuh
dengan ketenangan dan kedamaian.
Bagi warga malam lailatul qadar
adalah malam kebaikan, patut untuk disambut dengan hal yang baik pula. Rochmat
Wahab, dalam artikel yang berjudul “Lailatul
Qadar”. Beliau mengatakan makna Lailatul
Qadar adalah suatu malam yang ibadah di dalamnya memiliki keutamaan lebih
daripada ibadah 1000 bulan. Malam “kebaikan” itu tidak disia-siakan masyarakat
suku Gamkonora dengan melakukan kebaikan melalui bagi-bagi makanan melalui tradisi handuri. Tradisi ini selain dibangun
sebagai penyambutan malam lailatul qadar dan
pelepasan bulan Ramadhan, juga terdapat hal yang penting didalamnya yaitu rasa
kepedulian terhadap sesama manusia.
Tradisi ini tidak melihat agama,
suku, atau pun kaya dan miskin, semuanya dianggap sama dan tidak
dipetak-petakan.
Dari
tradisi ini kita bisa memetik dan belajar
bahwa
betapa pentingnya membagi dan memberi
antara
sesama, sesuai yang dianjurkan dalam agama kita. Agama mengajarkan dan mengarahkan
kepada kita untuk bagaimana belajar berperilaku baik, adil, peduli
antara sesama, dan lebih utamanya adalah masalah kebersamaan. Konteks
kebersamaan tidak saja dibangun pada agama yang sama, suku yang sama, maupun
berbudaya yang sama, melainkan kebersamaan dalam konteks yang
umum mencakup semua perbedaan. Secara sosiologis tradisi suku Gamkonora telah
menunjukan arti dari [ke]setiakawan[an] dan makanan kebersamaan. Tradisi suku Gamkonora telah memperlihatkan kepada kita bahwa betapa pentingnya membagi
dan arti peduli antar sesama, kehidupan ini penting untuk diciptakan dan diadakan[].
0 komentar:
Posting Komentar