Random Posts

banner image

Jumat, 04 Agustus 2017

HANDURI

Tradisi mungkin bisa berakhir dengan kejenuhan dan mungkin bertahan dengan kebaruan. Tradisi bisa saja ambruk karena ditabrak angin modernisasi dan mungkin saja mampu menangkis angin modernisasi. Kesemuanya itu dimungkinkan dengan tindakan dan alur langkah kita, mau dihilangkan, dilanjutkan, atau dimoderenkan tradisi ini.

Bertepatan dengan bulan suci Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri yang terlewatkan beberapa minggu yang lalu (juni 2017), saya menyempatkan waktu untuk menuliskan dinamika tradisi masyarakat suku Gamkonora ketika menyambut bulan yang penuh hikmah dan kebahagiaan itu. Di momen bahagia itu, ada dua tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku Gamkonora pada  bulan Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri, yang menurut cerita telah lama ada sebelum “pecahnya” masyarakat suku Gamkonora dari desa Gamkonora  sebagai desa induk  dan membentuk desa baru yaitu desa Tahafo, Talaga, dan Gamsungi kurang lebih pada tahun 1916.

Dua tradisi suku Gamkonora di Kecamatan Ibu, Kabupaten Halmahera Barat itu kian bertahan walaupun diperhadapkan dengan teriknya modernisasi. Dua tradisi itu dikenal dengan nama “Handuri dan Dodengo yang dapat kita temui di bulan Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri. Tradisi handuri sendiri dikhususkan pada malam lailatul qadar dan sebagai bentuk lepas - pisah bulan Ramadhan, sementara dodengo biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu atau pada hari Raya Idul Fitri. Dalam catatan ini saya hanya menuliskan handuri

Untuk mengetahui maksud dari tradisi ini, saya kemudian melibatkan diri secara langsung dan turut mengambil bahan-bahan perlengkapan handuri, dimulai dari persiapan hingga perayaannya. Persiapan handuri sendiri membutuhkan waktu selama satu hari (dimulai dari 08.00-17.30 wit). Dalam rentang waktu terbilang singkat saya mengamati kesibukan warga setempat (masyarakat desa Tahafo) dan sempat berkunjung ke beberapa rumah warga untuk melihat aktivitas mereka, setelah beberapa jam kemudian saya bergegas kembali ke rumah dan mempersiapkan keperluan untuk tradisi handuri, kurang lebih pukul 03.00 wit.

Persiapan perlengkapan handuri itu dilakukan oleh masing-masing kepala rumah tangga atau orang yang tertua di dalamnya. Di sini pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki terlihat begitu rapi, yang sudah terbentuk sesuai dengan peran dan tugas masing-masing. Para lelaki bertugas mengambil bahan perlengkapan handuri dan menyiapkannya, salah satu yang harus dipersiapkan adalah tiang handuri. Adapun bahan yang harus disiapkan, berupa janur, batang pohon dari anak pisang dan anak pohon kayu, bambu yang berukuran kurang lebih 12 cm. Sementara perempuan membeli kebutuhan tambahan lain seperti beras, telur, dan kacang tanah, di pasar atau kios-kios terdekat.

Sembari menikmati angin sepoi, disiapkan janur kelapa muda untuk dianyam menjadi berbagai jenis ketupat dan diberi isian beras. Batang pisang dan pohon kayu dijadikan tiang handuri, dan bambu yang berukuran 12 cm itu dibuat menjadi lidi yang berukuran kecil, yang ditancapkan dibawah pelepah batang pisang yang berfungsi sebagai tempat gantungan ketupat. Sedangkan telur yang telah digoreng akan dipotong berbentuk segi tiga, sementara kacang tanah dibuat mejadi halua (terbuat dari kacang/kenari yang dicampur dengan gula aren atau gula pasir).

Setiap sajian memiliki arti filosofi, dan hal itu sulit untuk dipahami oleh orang lain (diluar dari suku Gamkonora). Seperti ketupat bebek (ketupat yang berbentuk bebek) misalnya adalah salah satu menu yang terdapat dalam sajian handuri. Mereka mengumpamakan ketupat bebek ini seperti perahu yang akan berlayar dan membawa bulan Ramadhan untuk kembali ke-tempat asalnya. Analogi ini memiliki makna filosofi yang dalam dan dipercaya hingga ini. Tradisi ini bisa bertahan karena diakui sebagai pengetahuan lokal mereka.

Kembali lagi ke soal persiapan handuri. Sajian yang telah disiapkan kemudian diletakan di satu wadah (tempat seperti piring atau sejenisnya yang bisa memuat semua sajian), setelah semua sajian sudah tersedia orang akan memasang tiang handuri, untuk merekatkan ketupat yang telah dipasang lidi-lidi berukuran 12 cm yang tertanam di pelepah batang pisang (kurang lebih tiga buah lidi bahkan lebih). Tiang handuri ini terbuat dari anak pohon kayu dan anak pisang dengan tingginya kurang lebih satu meter dan di setiap depan rumah warga pasti memilikinya. Setelah perlengkapan disiapkan, mereka menunggu waktu buka puasa untuk menghidangkan menu yang telah disediakan di atas meja.

Tifa  (beduk) di masjid ditabuh sebagai tanda waktu buka puasa. Tabuhan beduk itu disertai himbauan, “cako buka godi se ronda-ronda” yang artinya “sudah waktunya buka puasa sudah bisa makan di jalan-jalan”. Dengan begitu acara “naik handuri” pun dilakukan dengan mengeluarkan sajian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Perayaan handuri diikuti dengan bacaan surat Al-Qadar, setelah bacaan itu selesai sajian kemudian diambil oleh warga setempat, dimulai dari anak yang berusia dari 6-15 tahun, dewasa, bahkan yang telah berumahtangga. Terkadang dari mereka sudah menandai rumah tempat berkunjung untuk menerima sajian itu, dan ada pula sajian yang disajikan tuan rumah direbut beramai-ramai oleh para tetangga, namun ini bukan berarti akan terjadi perkelahian diantara mereka tetapi ini dibuat untuk membangun suasana menjadi ramai, ceria, dan terasa bahagia di malam lailatul qadar.

Penyajian handuri bukan dilakukan dengan mendatangi satu persatu rumah tetangga, melainkan dengan menggantungkannya pada tiang handuri yang telah didirikan di halaman rumah masing-masing warga, dan setiap orang bebas mengambil sajian selama persediaan pada tiang handuri  masih ada.

Jika dibandingkan dengan masyarakat Maluku Utara lainnya seperti Ternate, yang menyambut malam Lailatul Qadar dengan memasang lilin, obor atau alat penerang tradisional lainnya di depan rumah dan diikuti dengan lomba yang digelar pemerintah setempat. Masyarakat suku Gamkonora menyambut malam lailatul qadar dengan membagi-bagi makanan kepada tetangga rumah atau masyarakat yang sedang berkunjung di desa mereka. Dan pada malamnya terlihat nyala api lilin di teras-teras rumah warga menjadikan suasana desa menjadi seperti “surga dunia”, yang ingin saya katakan adalah bahwa kita benar-benar telah berada di dunia yang penuh dengan ketenangan dan kedamaian. 

Bagi warga malam lailatul qadar adalah malam kebaikan, patut untuk disambut dengan hal yang baik pula. Rochmat Wahab, dalam artikel yang berjudul “Lailatul Qadar”. Beliau mengatakan makna Lailatul Qadar adalah suatu malam yang ibadah di dalamnya memiliki keutamaan lebih daripada ibadah 1000 bulan. Malam “kebaikan” itu tidak disia-siakan masyarakat suku Gamkonora dengan melakukan kebaikan melalui bagi-bagi makanan melalui tradisi handuri. Tradisi ini selain dibangun sebagai penyambutan malam lailatul qadar dan pelepasan bulan Ramadhan, juga terdapat hal yang penting didalamnya yaitu rasa kepedulian terhadap sesama manusia. Tradisi ini tidak melihat agama, suku, atau pun kaya dan miskin, semuanya dianggap sama dan tidak dipetak-petakan.

Dari tradisi ini kita bisa memetik dan belajar bahwa betapa pentingnya membagi dan memberi antara sesama, sesuai yang dianjurkan dalam agama kita. Agama mengajarkan dan mengarahkan kepada kita untuk bagaimana belajar berperilaku baik, adil, peduli antara sesama, dan lebih utamanya adalah masalah kebersamaan. Konteks kebersamaan tidak saja dibangun pada agama yang sama, suku yang sama, maupun berbudaya yang sama, melainkan kebersamaan dalam konteks yang umum mencakup semua perbedaan. Secara sosiologis tradisi suku Gamkonora telah menunjukan arti dari [ke]setiakawan[an] dan makanan kebersamaan. Tradisi suku Gamkonora telah memperlihatkan kepada kita bahwa betapa pentingnya membagi dan arti peduli antar sesama, kehidupan ini penting untuk diciptakan dan diadakan[]. 

Oleh : Budi sahabu
Pegiat PILAS Institute



0 komentar:

Posting Komentar