Random Posts

banner image

Selasa, 13 Juni 2017

Edu

Cerpen Oleh: Rahmat R. Souwakil


Edu, baru saja pulang ke rumah, setelah matahari semakin mendekati tempat tidurnya di ufuk timur. Ia sudah terbiasa dengan matahari, itulah satu-satunya jam dimilikinya,   Edu hanya bisa menentukan waktu dengan melihat posisi matahari.   Ia, tak punya jam tangan bermerek seperti yang dikenakan anak-anak pejabat seusianya.

Hari ini   Edu baru saja mencetak goal indah lewat kepalanya dan sangat gembira, walaupun goalnya tak menyelamatkan mereka dari kekalahan. Tapi kekalahan tak merebut kebahagiannya.

Matahari sumpurna tenggelam di ufuk timur.  Edu masih saja senyum bahagia mengenan goal indahnya, dan membatin, andai saja menang aku ke depan untuk mencium piala itu walaupun tak sebagus piala dunia.

Tija, melangkah pelan-pelan jangan sampai abangnya  tahu dia  di belakangnya dan Tija memulai aksinya. Ada suanggiiiii, adaaaaa suanggiiiii. Abangnya kaget dari lamunannya bak seorang asisten membawa uang miliaran rupiah milik bosnya dalam koper dan ketika membuka kopernya uangnya telah raib diambil tuyul.

Kurang ajar, Tija kau nii....

Bukan bang,  lagian abang senyum kaya gitu sendirian..... jangan-jangan....?
Jangan-jangan apa? Abang sudah ehem.. ehemem. Ehemem-ehehem apa? Abang gila.
Sudah pintar rupanya adik abang; pintar menjelekin orang-mengagetkan orang. Tadi jantung abang seakan mau meloncat keluar.

Abang  ngelamun apa? Tanya Tija.

Tapi bang tak usah jawab, Tija sudah punya jawabannya.

Jawaban pertama, abang memikirkan Mirka. Mirka siapa?  adiknya King. Kedua; abang senyum sendirian, sore tadi abang cipta goal indah. Walaupun goal itu tak membuat hidup abang indah. Abang tak bisa naik podium bak Ozil pemain andalan Tija waktu mencium piala. Dan tahu ngga tadi aku lihat abang persis pemain andalan abang Leo yang nangis bak anak kecil melihat Tim favorit Tija mencium piala dunia waktu itu.

Tebakan Tija benarkan? Iya, benar tapi  cuma seeeeedikiiiit.

Ah. Gak asik ngobrol denganmu, Tija? Kenapa? Kamu suka menjelekkan Leo, Tija, diam sejenak.

 Adik abang yang cantiiiikkk, maaaaniisss, sekarang keluar  iya abang mau belajar agar pintar –lulus untuk mencapai cita-cita abang?

Memang abang punya cita-cita? Ada. Walau kita hidup di desa terpencil, kita harus punya cita-cita. Walaupun kita terlalu kecil untuk cita-cita itu. Tapi kita harus memeluk cita-cita itu erat-erat, agar kita bisa mendaratkannya dalam kenyataan.

Memang adik cantik tak punya cita-cita?, Tija kan masih SMP  bang? Tak masalah, cita-cita tak mengenal di mana kita berada. Dimana pun kita duduk, berada kita harus punya cita-cita.

Tija, ingin jadi Bill Kovach. Waooo   Luar biasa.   Edu kaget mendengar cita-cita adiknya.

Darimana kau tahu Bill Kovach? The Elements of Journalism.
Tapi Kovach,  laki-laki?
Tija, tahu. Terus, tanya abangnya.
Terus apa bang?
Tija, mau ehem.. ehemem?
Astaaaaga abang. Abang tega berpikir seperti itu.
Menurut abang kalau Kovach  lelaki, Tija juga harus jadi lelaki?
Iyakan, jawab abangnya spontan?
Tija, bangga jadi perempuan.

Kalau Tija, dilahirkan kembali, Tija tetap ingin jadi perempuan.  Perempuan itu pahlawan.
Abang tahukan perempuan dalam bahasa sansekerta artinya sumber kehidupan.   
Tija, ingin jadi Kovach itu, Tija mau jadi wartawan. Dan  bersemangat ala Kovach.
Itu bang.  bukan ehem.. ehem.

Tija mau memberi arti pada dunia lewat apa yang Tija, liput-tulis, suatu kelak jika sudah jadi Kovach.

Kan Tija, masih ingat kata teman abang? Cano. Yang wartawan itu. Oo iya, abang ingat. Cano sempat bilang bahwa tugas wartawan itu seperti guru. Bila guru mendidik muridnya  dengan pengetahuan baru, maka tugas wartawan mendidik pembaca lewat liputan-tulisan yang yang bagus dan benar.
Terus abang cita-citanya apa?
Iiii, Tija,   kepo.
Kepo itu baik bang.
Kok baik, alasannya?

Simpel saja bang,  salah satu cara berpikir ilmiah adalah ingin cari tahu.
Setidaknya, Tija, nanya cita-cita abang, Tija sudah menerapkan salah satu teknik berpikir ilmiah.

Abang cita-citanya  apa? Bermanfaat untuk banyak orang.
Sekarang sudah tahu cita-cita abang. Sekarang Kovach muda yang kepo sudah boleh keluar? Tunggu dulu, ada satu lagi pertanyaan  tambahan. Apa? Untuk apa abang jadi orang bermanfat? Mengapa cita-cita abang terlalu abstrak?
Aku tahu kamu mau jadi Kovach, tapi sekarang belum saatnya Kovach muda mewawancari abang. Simpan pertanyaanmu? Setelah kau lampaui Kovach, kau tanya kembali pertanyaan yang sama pada abang.

Tapiiii? Apalagi Tija? Tija boleh pinjam bukunya The Elements of Journalism.Tapi dibaca iya. Siiaaaaap.
......
Tak seperti hari-hari berlalu.  Hari ini matahari tak bersemangat menerangi bumi, mendung hari ini. Mungkin semalam matahari tak tidur pulas, lantaran ayam sering berkokok. Kokonya ayam   seakan menjadi alarmnya matahari. Mendung tak merebut kepintaran dua saudara itu untuk membaca waktu, mereka tahu sekarang waktunya sekolah.  Kedua saudara itu berpamitan, abang abstrak ayo kita berangkat sekolah, siap Kovach.  Mama Ima, menyaksikan kedua anaknya  keheranan.
Abstrak dan   Bill Kovach itu siapa nak?  Tanya mama Ima pada foto kedua anaknya.
......
Edu itu ibu Muslima cepat kita masuk kelas, jangan sampai kita dihukum, Ajak King. Tunggu King. Tunggu apa lagi   Edu, tunggu kita dihukum., siapa juga mau dihukum ibu Muslima. Terus mengapa harus tunggu   Du? Begini  Ki, bukankah ibu Muslima itu baik dan tak jahat, dia jugakan yang menjadi motivator untuk murid-muridnya mengikuti karnaval –cerdas cermatkan? Edu, sadar, sadarlah, ibu Muslima yang kau maksud itu hanya ada dalam film “Laskar Pelangi”. Ibu Muslima di kampung Boni ini tugasnya  marah-marah, jahat dan tak pandai. Dia bahkan menurut ku tak pantas jadi guru dan.........????? sebelum King melunasi kalimat berikutnya, terdengar suara ibu Muslima memanggil King. King Wakwakae, kesini cepat? Kau juga   Edu Ebbalei? Mati kita King? di kelas sembilan jam pelajaran apa? Tanya Ibu Muslima? Fisika bu?

Oh... hari ini pak Intora tak masuk. Dia izin ke  kabupaten untuk urus keperluan ujian. Beritahu teman-temanmu   selapas dari kelas tujuh ibu masuk di kelas sembilan.
.....
Ibu Muslima sudah di depan black board , dan kelasnya diam karena ketakutan, serangga yang ada di pekarangan sekolah pun ikut terdiam. Kelas itu diam sediam-diamnya dan aku tak bisa menggambarkan bagaimana kelas ini diam.

Ibu muslima memecah suasana. Anak-anak hari ini ibu akan mengisi jamnya pak Intora. Saking takutnya anak-anak tak bisa membalas ibu Muslima. Tapi sebelumnya ibu ingin tahu apa cita-cita kalian setelah lulus nanti.

Sebagian anak-anak telah menyebut cita-cita mereka, ada  menjadi guru, dokter, polisi dan seterusnya.  Apa cita-citamu   Edu?aku ingi menjadi orang bermanfat,  bu. Seisi kelas diam memandangi   Edu, termasuk ibu Muslima. Keringat dingin keluar dari pori-porinya, Edu.
Itu jurusan apa   Edu? Dan mau kuliah di mana? Semua kampus tak ada jurusan itu? Kamu ini bodoh bahkan cita-citamu saja tak tahu.  Dan kamu ingin menjadi apa King?  Aaaaakku iinngin jaaadiiii peeeg........,  saking takunya King tak bisa melunasi kata berikutnya.
Edu dan King kalian berdua boleh keluar dari ruangan ini, dan membersihkan seisi ruangan setelah pulang sekolah. Itu hukuman yang pas untuk kalian.

Edu benarkan tadi aku bilang. Ibu Muslima tak pantas jadi guru. Bagaimana bisa jadi guru, menanyakan cita-cita  saja bak kita sedang diintrogasi. Kau lihatkan tatapan matanya penuh intimidasi. Saking takutnya aku bicara saja seperti orang gagap., tadi kalau ibu Muslima tak menampilkan wajahnya seperti itu aku bisa menyebutkan cita-citaku. Aku ingin jadi Pengusaha.

Du, aku kira ibu Muslima harus lebih banyak membaca lagi agar lebih dewasa untuk mendidik. Setidaknya dia harus baca buku “ Sekolah itu Candu”. Agar dia bisa tahu apa arti sekolah. Sekolah itukan meluangkan waktu luang. Kau dan akukan meluangkan waktu kita untuk berubah dari rasa takut  di sekolah tapi realitasnya aku lebih takut,   Du. Dan jangan lupa ibu Muslima juga membaca“Sakola Rimba” untuk bisa tahu bagaimana cara mengajar yang baik.

Bagaimana pendapatmu   Du. Aku setuju denganmu King. Ibu Muslima terlalu otoriter dalam mendidik. Dia krisis kehormatan. Yang dia tuntut adalah kehormatan-kepatuhan dari siswa-siswa, kalau tak hormat, kau tahu kan resikonya kan,  King.

Aku yakin King, ibu Muslimah sudah membaca buku-buku yang kau sebutkan, tapi bacaan ibu Muslima tak menyatu dengan dirinya. Kita harus belajar menyatukan hasil bacaan dengan diri,  agar tak ada perceraian antara bacaan dan tindakan.
Membaca itu bukan untuk mengisi otak agar penuh, tidak King, otak tak bisa penuh. Kau bisa bayangkan bagaimana kalau otak penuh, maka kepala para profesor itu begitu super besar.

Membaca itu untuk mengosongkan pikiran,  Kok bisa? Tanya King?
Iya King.  Mengkosongkan pikiran dari hal-hal yang tak pantas.
Seharusnya ibu Muslima mendengar cita-citamu King. Agar membantumu mendaratkan cita-citamu jadi nyata. Itukan tugas pendidikan.
Kau tahukan apa itu pendidikan, King ? Tak tahu

Menurut Erich Fromm akar kata pendidikan (education) adalah Educere, yang arti harfiahnya adalah membimbing ke depan, atau mengeluarkan sesuatu yang menjadi potensi.

Sudah seharusnya ibu Muslima memahami ini dan membantu kita meraih cita-cita.
Bukan sebaliknya membuat kita kaku-ketakutan.
Kalau sekolah hanya membuat kita takut-kaku. Untuk kita sekolah, King?

Samargalila (Bacan) 07 November 2016


4 komentar:

  1. Alur yang mengalir dan menarik. Kalau teknik penulisan dialognya diperbaiki lagi, pasti makin keren tulisannya. Semangat dan sukses selalu, Rahmat. 😊💪

    BalasHapus
    Balasan
    1. terimakasih. kalau ada kiriman berikut saya kirim ke situ biar diliat e. hehe

      Hapus
    2. Gampang kalau cuma lihat saja. 😄

      Hapus