Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 08 Desember 2017

Humor Nan Seksis














Sumber foto: fb/elFox



Alasan sense of humor atau sensifitas humor bukan landasan untuk berkata – kata serampangan, apalagi menghina, berkata kasar, atau melecehkan orang lain.  Sense Of humor yang baik selalu melihat situasi, Sense oF humor yang tinggi selalu memiliki makna dan paham makna dibaliknya.  Semua orang tentu punya hak untuk tertawa, lebih pada menertawai. Tapi belum tentu jika ditertawai. Catat penggunaan kata kerjanya. 


Orang-orang dengan selera humor tinggi selalu memilih menertawakan diri sendiri ketimbang terbahak menghadapi keadaan orang lain. Orang dengan selera humor yang baik akan bersabar pada keadaan sebelum bisa tertawa lepas. Orang dengan selera humor rendah, bukannya sulit tertawa, melainkan gampang sekali dibuat tertawa bahkan oleh hal-hal yang tidak layak ditertawakan. Tapi yang pasti, tidak satupun orang akan  senang dihina.

Mari saya ceritakan satu pengalaman. Anda tidak perlu berusaha berpikir keras, jenis sensifitas humor apa yang dipunyai, reaksi setelah membaca setidaknya dapat memberikan sinyal, sampai dimana selera humor anda.

Begini ; di selasar gedung sebuah universitas, tidak begitu jauh dari sekumpulan mahasiswa,  dua orang dosen sedang bercakap, datang seorang mahasiswa mendekat.  Si mahasiswa berpakaian hitam putih, sepertinya akan ujian. Pada si mahasiswa, salah satu  dosen menyambut ; ‘kamu sudah beli makanan apa? ’Si mahasiswa menjawab sesuatu.  Terdengar lagi suara salah seorang dosen itu :’ya sudah kamu beli buah saja. Buah semangka atau buah apa. Atau buah dada’. Lalu suara tertawa keduanya pecah dan terbahak. Si mahasiswa balik badan. 

Ketika itu, saya berdiri juga tak jauh dari dua orang dosen ini.  Melihat mereka tertawa dengan bahagia dan melanjutkan percakapan, saya yakin mereka tidak merasa ada yang keliru dengan bahan gurauan tadi. Nah, ada yang bisa menunjukkan pada saya di mana letak kandungan humor di dalam percakapan itu hingga mereka tertawa begitu rupa  ?

Saya khawatir saya terlambat memahami apa kelucuannya. Jadi, barangkali saja saya  pun harus curiga dengan selera humor saya, atau saya  mungkin tidak memiliki sensifitas humor. Tapi,  dengan status akademik yang dipanggul, ruang yang ada (katakan saja di kampus), saya rasa seorang akademisi mesti mempertimbangkan kelucuan yang ingin mereka buat dan tertawai.  

Akan ada yang bilang dengan membangun keluguan berpikir, ah, itu kan hanya bercanda. Jangan tegang.     Bagi saya, ‘kelucuan’ di atas  tidak layak.  Apakah mereka berpikir buah dada yang mereka jadikan bahan lucu-lucuan itu tidak layak dihargai ?    

Saya belajar dari pengalaman ini bahwa sensifitas  humor mungkin berkaitan dengan tinggi rendahnya penghargaan terhadap diri.  Orang yang jarang melucu atau tertawa bukan berarti dia kaku. Bisa jadi dia tipe orang yang jarang menemukan sesuatu yang lucu dan anti-arus-utama terhadap humor – humor jalanan yang lebih banyak menjadikan cacian atau hinaan atas satu subjek sebagai lelucon.  

Kelucuan dan humor-humor dalam hidup kan punya banyak referensi. Misalnya saja, silahkan melucu dengan keadaan hidup anda yang tidak laku-laku karena sok keren tapi jauh dari update berita. Jangan seperti cerita di atas:  Laki-laki melucu menggunakan bagian tubuh Perempuan. Itu kan basi,  kuno, sangat tidak menarik, dan adalah sumber pelecehan. Mengapa demikian ? karena saya tidak menerima keadaan itu sebagai lelucon. Bagi saya, mereka tertawa dan melecehkan buah dada. 
Mereka menjadikan bagian tubuh wanita sebagai bahan tawa. Ah, ya. Ke dua  pelawak kita ini – maaf- sekali- adalah laki-laki dan dosen. Jadi saya katakan dalam tawa ke dua manusia tadi, ada unsur pornoaksi, dan seksis. Tapi, jangan menyimpulkan kalau bukan dosen berarti boleh melucu dan tertawa seperti  mereka, atau bahwa perempuan bisa melontarkan candaan sejenis itu. Ini bukan perbandingan mana yang bisa melakukan atau tidak bisa melakukan. 

Anda tipe orang  humoris, atau senang melucu, atau pandai membuat suasana riang  bukan berarti bebas bicara apa saja. Masih banyak buah yang bisa disebut.  Jika saya, sebagai manusia dan perempuan, bilang begini : lebih baik kritis terhadap  mulut dan melucukan buah zakar  saudara yang tidak bisa didisiplinkan oleh otak dan tingkat pendidikan. Apa bicara anda terhadap saya ? 

Jadi sampai dimana  reaksi dan sensifitas humor anda? ingat-ingat lagi. Saya pikir humor mestilah dapat dinikmati bersama dengan masing-masing  kadar kelucuannya. Jika ada yang tidak merasa lucu, itu bukan humor, dan jika ada yang  merasa terhina atau tersinggung, pikirkan lagi, selera humor anda  bisa berubah jadi bullying. Sebisa mungkin hindari  melucu tentang bagian tubuh manusia, terkecuali anda ingin menjadikan diri sendiri sebagai bahan kelucuan. Meski demikian, anda tentu tidak ingin menghinakan diri sendiri dengan menjadikan  bagian tubuh anda sebagai bahan dalam tawa cabul bersama kan? Meluculah dengan cerdas.  Humor memiliki batasan dan seninya sendiri.  


Ternate, 07 Desember 2017



Oleh: Aishsyarah





Rabu, 06 Desember 2017

Sepasang Mata Kuning & Buku Cinta Pak Tua




Sumber foto : Pictaram.org


  
 










Judul                      : Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis                  : Luis SepĪlveda
Penerjemah          : Ronny Agustinus
Penerbit     
          : Marjin Kiri
Tahun Terbit        : Edisi Kegua, Agustus 2017
ISBN          
          : 978-979-1260-71-8



“Novel luar biasa ini suatau keharusan, dan barang siapa menyempatkan diri membacanya bisa dijamin takkan kecewa karenanya.” – Analisis.

Berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dengan desain cover sepasang mata kuning di tengah rerimbunan daun, cover novel ini memantik rasa ingin tahu saya. Berulang kali saya hanya buka instagram lalu scroll down baca sinopsis, lantas cari review singkat buku ini, bertanya-tanya sendiri tentang apa hubungannya sepasang mata kuning dengan si Pak Tua yang doyan membaca kisah cinta ini, sebelum memutuskan untuk membelinya.

Takkan kecewa memang, malah ketagihan. Sebab, di buku ini tersirat banyak sekali pesan baik bagi pembaca yang jeli. Ya, pembaca yang jeli, maksud saya bukan karena ada beberapa pembaca yang tak jeli melainkan karena sastra bisa ditafsirkan sesuai kebebasan anda berpikir dan beberapa pesan bisa saja tak nampak karena ditafsir dalam berbagai sudut pandang.

Mengenal Luis Sepulveda
Buku ini adalah buku Luis Sepulveda pertama yang saya baca –dari deretan karyanya tentu saja- dan sebagaimana dijelaskan pada halaman pertama buku ini, Luis Sepulveda adalah salah satu penulis Cile paling ternama. Karya-karya fiksi, non-fiksi, dan buku anak-anaknya telah diterjemahkan ke lebih dari empat puluh bahasa. Aktif berpolitik sejak muda, ia dipenjara oleh rezim militer penguasa akibat aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa lalu diasingkan keluar dari Cile pada usia 26 tahun. 

Pada 1979, ia bergabung dengan Brigade Internasional Simon Bolivar untuk memerangi rezim militer di Nikaragua, dan sesudah revolusi dimenangkan, ia bertolak ke Eropa untuk bekerja sebagai jurnalis.

Saat novel ini dibaca di Oviedo, Spanyol, oleh anggota dewan juri yang sekian hari kemudian menganugerahinya Hadiah Sastra Tigre Juan, ribuan kilometer dari sana, sekelompok pembunuh bersenjata diupah oleh penjahat-penjahat lain yang lebih besar –orang-orang berjas rapi dengan kuku dimanikur yang mengklaim bertindak atas nama “kemajuan”- menyudahi hidup seorang paling gigih Amazonia dan salah satu tokoh utama paling menakjubkan dalam Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia, Chico Mendes (dalam pengantar penulis).

Pak Tua dan Rimba Raya Ekuador
Oleh penulis, tokoh Pak Tua ini diberi nama panjang, Antonio Jose Bolivar Proano, yang selanjutnya juga dituliskan secara lengkap hingga lembar terakhir novel ini –dan saya, setiap menemukan nama ini hanya membaca Antonio, lalu loncat ke kata setelah nama panjangnya hehe-adalah seorang duda tua yang menjadi pusat cerita.

Dilukiskan sebagai seorang lelaki gunung yang mengembara bersama istrinya ke pedalaman Ekuador karena beberapa sebab, diantaranya karena para tetangga desa yang terus berbisik mesra –untuk tidak mengatakan bergunjing- tentang tidak adanya keturunan dari pernikahan keduanya, serta iming-iming tanah baru dari negara (semacam program transmigrasi di Indonesia).    
  
Pemerintah melepas mereka begitu saja untuk memilih tanah tempat hunian mereka, di tanah baru itu gedung wakil pemerintahan dibangun hanya setelah sepuluh tahun kemudian. Orang-orang datang dan merombak hutan untuk hunian mereka lalu mati perlahan-lahan kemudian karena malaria, ketidaksediaan sumber daya makanan dan hunian tak layak tinggal, hingga suku Indian Shuar yang datang menyelamatkan mereka.

Rimba raya Ekuador memang masuk dalam wilayah hutan hujan Amazon, yang akan memaksa para penghuninya berdiam dalam rumah selama musim hujan berbulan-bulan, olehnya pengetahuan lokal suku Indian Shuar benar-benar jadi mata tombak kehidupan para penghuni baru. Membaca buku ini benar-benar seperti membaca kehidupan sehari-hari suku indian, yang digambarkan menjadi sangat dekat dengan Pak Tua karena beberapa alasan.

Sepasang mata kuning dalam rimba
Kehidupan damai di rimba tiba-tiba saja diusik oleh “peradaban” yang dibawa para kulit putih melalui peluru dan senjata, melalui peralatan modern pemburu dan penggali emas, serta berbagai macam kamera untuk “memburu” para Indian Shuar, yang justru jadi bumerang.

Didukung penuh oleh satu-satunya wakil negara di kota itu, walikota dengan sangat ramahnya mempersilahkan setiap kulit putih untuk “meng-eksplore” lebih jauh isi rimba. 

Sungguh satire memang, Luis Sepulveda menggambarkan analoginya dengan sangat baik dalam buku ini. Anda mungkin familiar dengan kisah dalam sejarah semacam ini, Pak Tua dan para Suku Indian Shuar yang menggambarkan warga lokal yang menentang ekspansi kulit putih di tanahnya, sedang Walikota yang digambarkan berperawakan gemuk dan pendek benar-benar sebagai kaki tangan negara yang melakukan segala cara demi penguasaan sumber daya alam. 

Meski pada akhirnya suku Indian, yang lantas diikuti para hewan liar penghuni rimba, menyingkir lebih jauh kedalam rimba raya, tetap saja dikisahkan sebuah kisah perburuan hewan dan manusia yang berakhir pada pembunuhan. Lantas apakah ada hubungan semua itu dengan kisah cinta yang dibaca Pak Tua dalam buku-bukunya? He he..

Sepasang mata kuning di rimba raya dalam cover adalah gambaran tentang si Pak Tua yang disebut sangat akrab dengan Suku Indian Shuar, lantas mengambil filosofi kehidupan mereka sebagai pelajaran hidup di masa tua nya. Tentang kisah cinta itu, ya si pak tua kita ini memang si tua yang sangat gemar membaca kisah cinta yang berakhir tragis, dan yang disepanjang alurnya penuh dengan penderitaan memperjuangkan cinta oleh sepasang muda-mudi di negeri antah berantah. (Ini adegan yang boleh ditiru, maksudnya adegan baca bukunya, sangat tidak direkomendasikan mengikuti kisah galau menggalau haru mengharu biru-kan cinta-cintaan ini. hehe)

Bagaimanakah cara si Pak Tua mendapakan buku-buku cinta itu? Ya, kalau mau tahu sudah baca sendiri sana. Hehee

                                                                                      Tidore, 19 November 2017

 Ovy