Sumber foto : Pictaram.org
Judul : Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis : Luis Sepύlveda
Penerjemah : Ronny Agustinus
Penerbit : Marjin Kiri
Tahun Terbit : Edisi Kegua, Agustus 2017
ISBN : 978-979-1260-71-8
“Novel luar biasa ini suatau keharusan, dan barang siapa menyempatkan diri membacanya bisa dijamin takkan kecewa karenanya.” – Analisis.
Berjudul
Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dengan desain cover sepasang mata kuning di tengah
rerimbunan daun, cover novel ini memantik rasa ingin tahu saya. Berulang kali
saya hanya buka instagram lalu scroll
down baca sinopsis, lantas cari review singkat buku ini, bertanya-tanya
sendiri tentang apa hubungannya sepasang mata kuning dengan si Pak Tua yang
doyan membaca kisah cinta ini, sebelum memutuskan untuk membelinya.
Takkan
kecewa memang, malah ketagihan. Sebab, di
buku ini
tersirat banyak sekali pesan baik bagi pembaca yang jeli. Ya, pembaca yang
jeli, maksud saya bukan karena ada beberapa pembaca yang tak jeli melainkan
karena sastra bisa ditafsirkan sesuai kebebasan anda berpikir dan beberapa
pesan bisa saja tak nampak karena ditafsir dalam berbagai sudut pandang.
Mengenal Luis Sepulveda
Buku
ini adalah buku Luis Sepulveda pertama yang saya baca –dari deretan karyanya
tentu saja- dan sebagaimana dijelaskan pada halaman pertama buku ini, Luis
Sepulveda adalah salah satu penulis Cile paling ternama. Karya-karya fiksi,
non-fiksi, dan buku anak-anaknya telah diterjemahkan ke lebih dari empat puluh bahasa. Aktif berpolitik sejak muda, ia dipenjara oleh
rezim militer penguasa akibat aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa lalu
diasingkan keluar dari Cile pada usia 26 tahun.
Pada
1979, ia bergabung dengan Brigade Internasional Simon Bolivar
untuk memerangi rezim militer di Nikaragua, dan sesudah revolusi dimenangkan, ia
bertolak ke Eropa untuk bekerja sebagai jurnalis.
Saat
novel ini dibaca di Oviedo, Spanyol, oleh anggota dewan juri yang sekian hari
kemudian menganugerahinya Hadiah Sastra Tigre Juan, ribuan kilometer dari sana,
sekelompok pembunuh bersenjata diupah oleh penjahat-penjahat lain yang lebih
besar –orang-orang berjas rapi dengan kuku dimanikur yang mengklaim bertindak
atas nama “kemajuan”- menyudahi hidup seorang paling gigih Amazonia dan salah
satu tokoh utama paling menakjubkan dalam Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia,
Chico Mendes (dalam pengantar penulis).
Pak Tua dan Rimba Raya Ekuador
Oleh
penulis, tokoh Pak Tua ini diberi nama panjang,
Antonio Jose Bolivar Proano, yang selanjutnya juga dituliskan secara lengkap
hingga lembar terakhir novel ini –dan saya, setiap menemukan nama ini hanya
membaca Antonio, lalu loncat ke kata setelah nama panjangnya hehe-adalah
seorang duda tua yang menjadi pusat cerita.
Dilukiskan
sebagai seorang lelaki gunung yang mengembara bersama istrinya ke pedalaman Ekuador
karena beberapa sebab, diantaranya karena para tetangga desa yang terus
berbisik mesra –untuk tidak mengatakan bergunjing- tentang tidak adanya
keturunan dari pernikahan keduanya, serta iming-iming tanah baru dari negara
(semacam program transmigrasi di Indonesia).
Pemerintah
melepas mereka begitu saja untuk memilih tanah tempat hunian mereka, di tanah
baru itu gedung wakil pemerintahan dibangun hanya setelah sepuluh tahun
kemudian. Orang-orang datang dan merombak hutan untuk hunian mereka lalu mati
perlahan-lahan kemudian karena malaria, ketidaksediaan sumber daya makanan dan
hunian tak layak tinggal, hingga suku Indian Shuar yang datang menyelamatkan
mereka.
Rimba
raya Ekuador memang masuk dalam wilayah hutan hujan Amazon, yang akan memaksa
para penghuninya berdiam dalam rumah selama musim hujan berbulan-bulan, olehnya
pengetahuan lokal suku Indian Shuar benar-benar jadi mata tombak kehidupan para
penghuni baru. Membaca buku ini benar-benar seperti membaca kehidupan
sehari-hari suku indian, yang digambarkan menjadi sangat dekat dengan Pak Tua karena
beberapa alasan.
Sepasang mata kuning dalam rimba
Kehidupan
damai di rimba tiba-tiba saja diusik oleh “peradaban” yang dibawa para kulit
putih melalui peluru dan senjata, melalui peralatan modern pemburu dan penggali
emas, serta berbagai macam kamera untuk “memburu” para Indian Shuar, yang justru
jadi bumerang.
Didukung
penuh oleh satu-satunya wakil negara di kota itu, walikota dengan sangat
ramahnya mempersilahkan setiap kulit putih untuk “meng-eksplore” lebih jauh isi
rimba.
Sungguh
satire memang, Luis Sepulveda menggambarkan analoginya dengan sangat baik dalam
buku ini. Anda mungkin familiar dengan kisah dalam sejarah semacam ini, Pak Tua
dan para Suku Indian Shuar yang menggambarkan warga lokal yang menentang
ekspansi kulit putih di tanahnya, sedang Walikota yang digambarkan berperawakan
gemuk dan pendek benar-benar sebagai kaki tangan negara yang melakukan segala
cara demi penguasaan sumber daya alam.
Meski
pada akhirnya suku Indian, yang lantas diikuti para hewan liar penghuni rimba,
menyingkir lebih jauh kedalam rimba raya, tetap saja dikisahkan sebuah kisah
perburuan hewan dan manusia yang berakhir pada pembunuhan. Lantas apakah ada
hubungan semua itu dengan kisah cinta yang dibaca Pak Tua dalam buku-bukunya?
He he..
Sepasang
mata kuning di rimba raya dalam cover adalah gambaran tentang si Pak Tua yang disebut
sangat akrab dengan Suku Indian Shuar, lantas mengambil filosofi kehidupan
mereka sebagai pelajaran hidup di masa tua nya. Tentang kisah cinta itu, ya si
pak tua kita ini memang si tua yang sangat gemar membaca kisah cinta yang
berakhir tragis, dan yang disepanjang alurnya penuh dengan penderitaan memperjuangkan
cinta oleh sepasang muda-mudi di negeri antah berantah. (Ini adegan yang boleh
ditiru, maksudnya adegan baca bukunya, sangat tidak direkomendasikan mengikuti
kisah galau menggalau haru mengharu biru-kan cinta-cintaan ini. hehe)
Bagaimanakah cara si Pak Tua mendapakan
buku-buku cinta itu? Ya, kalau mau tahu sudah baca sendiri sana. Hehee
Tidore,
19 November 2017
0 komentar:
Posting Komentar