Random Posts

banner image

Rabu, 06 Desember 2017

Sepasang Mata Kuning & Buku Cinta Pak Tua




Sumber foto : Pictaram.org


  
 










Judul                      : Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta
Penulis                  : Luis Sepύlveda
Penerjemah          : Ronny Agustinus
Penerbit     
          : Marjin Kiri
Tahun Terbit        : Edisi Kegua, Agustus 2017
ISBN          
          : 978-979-1260-71-8



“Novel luar biasa ini suatau keharusan, dan barang siapa menyempatkan diri membacanya bisa dijamin takkan kecewa karenanya.” – Analisis.

Berjudul Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta dengan desain cover sepasang mata kuning di tengah rerimbunan daun, cover novel ini memantik rasa ingin tahu saya. Berulang kali saya hanya buka instagram lalu scroll down baca sinopsis, lantas cari review singkat buku ini, bertanya-tanya sendiri tentang apa hubungannya sepasang mata kuning dengan si Pak Tua yang doyan membaca kisah cinta ini, sebelum memutuskan untuk membelinya.

Takkan kecewa memang, malah ketagihan. Sebab, di buku ini tersirat banyak sekali pesan baik bagi pembaca yang jeli. Ya, pembaca yang jeli, maksud saya bukan karena ada beberapa pembaca yang tak jeli melainkan karena sastra bisa ditafsirkan sesuai kebebasan anda berpikir dan beberapa pesan bisa saja tak nampak karena ditafsir dalam berbagai sudut pandang.

Mengenal Luis Sepulveda
Buku ini adalah buku Luis Sepulveda pertama yang saya baca –dari deretan karyanya tentu saja- dan sebagaimana dijelaskan pada halaman pertama buku ini, Luis Sepulveda adalah salah satu penulis Cile paling ternama. Karya-karya fiksi, non-fiksi, dan buku anak-anaknya telah diterjemahkan ke lebih dari empat puluh bahasa. Aktif berpolitik sejak muda, ia dipenjara oleh rezim militer penguasa akibat aktivitasnya dalam gerakan mahasiswa lalu diasingkan keluar dari Cile pada usia 26 tahun. 

Pada 1979, ia bergabung dengan Brigade Internasional Simon Bolivar untuk memerangi rezim militer di Nikaragua, dan sesudah revolusi dimenangkan, ia bertolak ke Eropa untuk bekerja sebagai jurnalis.

Saat novel ini dibaca di Oviedo, Spanyol, oleh anggota dewan juri yang sekian hari kemudian menganugerahinya Hadiah Sastra Tigre Juan, ribuan kilometer dari sana, sekelompok pembunuh bersenjata diupah oleh penjahat-penjahat lain yang lebih besar –orang-orang berjas rapi dengan kuku dimanikur yang mengklaim bertindak atas nama “kemajuan”- menyudahi hidup seorang paling gigih Amazonia dan salah satu tokoh utama paling menakjubkan dalam Gerakan Lingkungan Hidup Sedunia, Chico Mendes (dalam pengantar penulis).

Pak Tua dan Rimba Raya Ekuador
Oleh penulis, tokoh Pak Tua ini diberi nama panjang, Antonio Jose Bolivar Proano, yang selanjutnya juga dituliskan secara lengkap hingga lembar terakhir novel ini –dan saya, setiap menemukan nama ini hanya membaca Antonio, lalu loncat ke kata setelah nama panjangnya hehe-adalah seorang duda tua yang menjadi pusat cerita.

Dilukiskan sebagai seorang lelaki gunung yang mengembara bersama istrinya ke pedalaman Ekuador karena beberapa sebab, diantaranya karena para tetangga desa yang terus berbisik mesra –untuk tidak mengatakan bergunjing- tentang tidak adanya keturunan dari pernikahan keduanya, serta iming-iming tanah baru dari negara (semacam program transmigrasi di Indonesia).    
  
Pemerintah melepas mereka begitu saja untuk memilih tanah tempat hunian mereka, di tanah baru itu gedung wakil pemerintahan dibangun hanya setelah sepuluh tahun kemudian. Orang-orang datang dan merombak hutan untuk hunian mereka lalu mati perlahan-lahan kemudian karena malaria, ketidaksediaan sumber daya makanan dan hunian tak layak tinggal, hingga suku Indian Shuar yang datang menyelamatkan mereka.

Rimba raya Ekuador memang masuk dalam wilayah hutan hujan Amazon, yang akan memaksa para penghuninya berdiam dalam rumah selama musim hujan berbulan-bulan, olehnya pengetahuan lokal suku Indian Shuar benar-benar jadi mata tombak kehidupan para penghuni baru. Membaca buku ini benar-benar seperti membaca kehidupan sehari-hari suku indian, yang digambarkan menjadi sangat dekat dengan Pak Tua karena beberapa alasan.

Sepasang mata kuning dalam rimba
Kehidupan damai di rimba tiba-tiba saja diusik oleh “peradaban” yang dibawa para kulit putih melalui peluru dan senjata, melalui peralatan modern pemburu dan penggali emas, serta berbagai macam kamera untuk “memburu” para Indian Shuar, yang justru jadi bumerang.

Didukung penuh oleh satu-satunya wakil negara di kota itu, walikota dengan sangat ramahnya mempersilahkan setiap kulit putih untuk “meng-eksplore” lebih jauh isi rimba. 

Sungguh satire memang, Luis Sepulveda menggambarkan analoginya dengan sangat baik dalam buku ini. Anda mungkin familiar dengan kisah dalam sejarah semacam ini, Pak Tua dan para Suku Indian Shuar yang menggambarkan warga lokal yang menentang ekspansi kulit putih di tanahnya, sedang Walikota yang digambarkan berperawakan gemuk dan pendek benar-benar sebagai kaki tangan negara yang melakukan segala cara demi penguasaan sumber daya alam. 

Meski pada akhirnya suku Indian, yang lantas diikuti para hewan liar penghuni rimba, menyingkir lebih jauh kedalam rimba raya, tetap saja dikisahkan sebuah kisah perburuan hewan dan manusia yang berakhir pada pembunuhan. Lantas apakah ada hubungan semua itu dengan kisah cinta yang dibaca Pak Tua dalam buku-bukunya? He he..

Sepasang mata kuning di rimba raya dalam cover adalah gambaran tentang si Pak Tua yang disebut sangat akrab dengan Suku Indian Shuar, lantas mengambil filosofi kehidupan mereka sebagai pelajaran hidup di masa tua nya. Tentang kisah cinta itu, ya si pak tua kita ini memang si tua yang sangat gemar membaca kisah cinta yang berakhir tragis, dan yang disepanjang alurnya penuh dengan penderitaan memperjuangkan cinta oleh sepasang muda-mudi di negeri antah berantah. (Ini adegan yang boleh ditiru, maksudnya adegan baca bukunya, sangat tidak direkomendasikan mengikuti kisah galau menggalau haru mengharu biru-kan cinta-cintaan ini. hehe)

Bagaimanakah cara si Pak Tua mendapakan buku-buku cinta itu? Ya, kalau mau tahu sudah baca sendiri sana. Hehee

                                                                                      Tidore, 19 November 2017

 Ovy




0 komentar:

Posting Komentar