Random Posts

banner image

Selasa, 28 November 2017

Pelacurku yang Perawan





Tiba di Yogyakarta tak ada hal lain dilakukan selain mematung diri di kamar sembari seruput kopi. Karena selain keterbatasan kendaraan, sebenarnya cuaca yang akhir-akhir ini terasa lebih dingin menjadi alasan untuk keluar rumah, dan tujuan saya sebenarnya adalah Salatiga, Jawa Tengah tetapi karena ada satu lain hal saya harus numpang nginap di kontrakan teman di Jogja. Mungkin dua minggu atau bisa lebih. 

Kontrakan tempat saya tinggal beralamat di blok O, perumahan Baturetno, kecamatan Banguntapan, no 13. Ada tiga kamar, dua di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Saya tidur di kamarya Isra. Di kamar atas kamarnya Isnain, adiknya Isra dan satu kamar lagi di bawah ditempati Muhlis. 

Di ruang utama, ada satu buah televise 21 inc yang sering gangguan dan hanya ada tujuh siaran. Sangat susah jika saya harus menonton Real Madrid bertanding. Di dapur, tersedia dua buah kompor. Satunya sudah rusak dan satunya lagi selalu siap saat saya gunakan mendidihkan air untuk menyeduh kopi. Sembari menunggu air matang, saya menyapu ruang utama hingga teras depan. Halaman selalu saya abaikan. 

Di kamarnya Isra, ada beberapa rak dipenuhi buku-buku. Sebahagian besar buku filsafat dan budaya, terutama Nietzsche. Mungkin dia begitu mengaguminya. Katanya, Nietzsche itu pemikir hebat dan bagi saya, dari namanya saja sudah sulit dibaca. 

Di antara tumpukan buku yang bisa buat kepala pening, ada satu novel yang menggoda saya untuk dibaca, judulnya, Para Pelacurku yang Sendu, penulisnya Gabriel Garcia Marquez. 

Novel Para Pelacurku yang Sendu, mengisahkan keinginan seorang wartawan senior yang pada masa mudanya dipenuhi dengan kehidupan seks dengan para pelacur, tetapi untuk kali pertama, ia ingin menghadiahi ulang tahunnya, yang ke Sembilan puluh dengan sebuah malam bersama seorang pelacur  perawan. 

Pada usiaku yang kesembilan puluh, ingin kuhadiahi diriku dengan satu malam yang berluapan cinta liar dengan seorang perawan dewasa. Aku ingat Rosa Cabarcas, pemilik pemilik rumah terlarang yang akan memberi tahu pelanggan-pelanggan setianya setiap kali ia punya gadis baru . tulis Marquez. 

Hidup sebatang kara di rumah warisan orang tua, dia selalu menghabisakan waktunya dengan menuliskan kolom di salah satu Koran. Catatan-catatan yang ditulis adalah pengalamamnya, dan kadang inspirasinya muncul saat sedang bercinta dengan pelacur. Ketika dia mendapatkan bayaran dari tulisannya, dia akan menghabiskan uang itu di rumah pelacuran. Selama hidupnya hingga mendekati ulang tahunnya, yang ke 90, dia telah tidur dengan 514 wanita bayaran. 

Dia jatuh cinta pada usianya ke Sembilan puluh pada pelacurnya yang dia beri nama Degladina. Degladina, jantung hatiku, aku memohon, dipenuhi hasrat (hal. 29). 

Novel ini disajikan oleh Gabo begitu apik dan mengalir. Tiap kalimat yang dipilih merangkai kenikmatan kata-kata, dan akan membawa kita kedalam suasana penuh cinta yang romatik, dan keheningan. 

Gabriel Garcia Marquez adalah salah satu penulis hebat yang dimiliki oleh Kolombia. Selain sebagai penulis fiksi yang dikategorikan sebagai realism Magis, dia juga seorang jurnalis, dan memiliki hubungan baik dengan Fidel Castro. Novelnya yang terkenal, Seratus Tahun Kesunyian. Gabo (nama akrab Gabriel Garcia Marquez) pernah mendapatkan penghargaan novel pada tahun 1982. Dalam novel ini dia menceritakan sebuah desa di Amerika Latin yang terasing. 

Sedangkan novel, Para Palacurku yang Sendu diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol, Memoria de mis putains tristes di tahun 2004, dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Memories of Melancholy Whores  tahun 2005. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dari versi Inggris, dan diterbitkan tahun 2016 oleh penerbit Circa Yogyakarta (lihat laman preliminaries).

Gabo lahir di Meksiko tanggal 6 maret 1927. Ia diagnosis mengidap penyakit kanker kelenjar getah bening. Pada tanggal 17 april 2014 di umur 84 tahun, Gabo menghembuskan nafas terakhir. 

Novel ini menemani saya menikmati kopi setiap pagi di serambi rumah. Ketika matahari terbit di timur saya akan keluar memandikan cahaya pagi. Ini adalah satu cara mengenang “hangat” yang datang dari “timur”. 

Novel itu aku tutup dengan segala puji pada Gabo atas kelihaian merangkai kata. Bagaimana dia melakukannya ? ahh entahlah.
   



JF. Upik 

0 komentar:

Posting Komentar