Random Posts

banner image

Rabu, 21 Februari 2018

Indonesia: Semangat Nasionalisme dan Lahirnya Revolusi



Indonesia:
Semangat Nasionalisme dan Lahirnya Revolusi

Oleh: Phomat Wali

Ketertarikan Kahin pada Indonesia pertama kali pada masa Perang Dunia II. Ketika itu Kahin tergabung dalam kelompok militer beranggotakan 60 tentara Amerika, dengan mengikuti program pelatihan bahasa dan kajian wilayah Indonesia selama sembilan bulan. Program ini dimaksudkan sebagai bekal sebelum para prajurit muda ini diterjunkan ke Pulau Sumatera di bawah pendudukan Jepang untuk mempersiapkan jalan bagi invasi Sekutu. Namun sekutu mengubah strategi sehingga rencana ini tidak pernah terlaksana. Kahin kemudian ditugaskan ke Eropa, bukan di Hindia Belanda. Meski begitu, Kahin sudah cukup terkesan dengan segala sesuatu yang telah dipelajarinya tentang negeri dan masyarakat kepulauan Indonesia. Sehingga, setelah perang usai, Kahin memutuskan untuk memfokuskan penelitian pascasarjananya pada perkembangan politik Indonesia. Pada awal tahun 1948 Kahin memutuskan untuk berangkat ke Indonesia untuk melakukan riset langsung seputar revolusi dan konstalasi politik yang terjadi di sana.(Pengantar Audrey Kahin, 2013: vi-vii)
Kendati Republik Indonesia ketika itu tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat, Kahin berusaha menemui Soetan Sjahrir di New York, saat mantan Perdana Menteri Republik Indonesia tersebut melakukan kunjungan singkat untuk membawa kasus Indonesia ke PBB. Setelah perundingan yang juga dihadiri asisten Sjahrir, Soedjatmoko Mangoendiningrat, Sjahrir memberi Kahin sepucuk surat yang mengenalkannya pada Menteri Luar Negeri, Haji Agus Salim, yang akan memberinya akses menembus teritori di bawah kekuasaan RI. Tetapi terjadi sebuah pertemuan kemudian menjadi sahabat antara Kahin dengan anak pemangku jabatan Gubernur Jenderal Hindia Timur Belanda, Hubertus van Mook. Kemudian Kahin bisa memperoleh visa ke wilayah Indonesia yang dikuasai oleh Belanda, dengan di bantu oleh sahabatnya tersebut. Pada 14 juli 1984, Kahin mendarat di Jakarta, setelah penandatanganan Perjanjian Renville 17 Januari 1948. (Audrey Kahin, vii)
Buku Nasionalisme dan Revolusi didasarkan pada data yang dikumpulkan langsung oleh Kahin sepanjang tahun berikutnya. Ketika itu, ia menyaksikan krisis politik internal di dalam RI, pecahnya Pemberontakan Madiun serta serangan dan pendudukan Belanda atas ibu kota Negara selama Aksi Polisional Kedua (Agresi Militer Belanda II) pada Desember 1948 (ketika Kahin ditangkap bersama sebagian besar tokoh Republik). Kahin kemudian dapat dengan leluasa mengamati kondisi daerah yang diduduki Belanda karena melakukan perjalanan ke berbagai wilayah yang saat itu tergabung dalam status Negera Federal, yaitu Negara boneka bentukan Belanda. (lihat catatan pengalaman Kahin, Southeast Asia: A Testament, 2003)
Selama di Indonesia, Kahin banyak melakukan wawancara dengan para tokoh politik terkemuka di Indonesia, diantaranya Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim, Menteri Penerangan Mohammad Natsir, dan Menteri Pendidikan Ali Sostroamidjojo. Wawancara yang dilakukan Kahin pada sejumlah tokoh tersebut yaitu ketika mereka melaksanakan tugas kenegaraan di Yogyakarta, maupun ketika mereka menjadi tawanan Belanda di Pulau Bangka, Sumatera.
Setelah Kahin menerbitkan pertama kali Nationalism and Revolution in Indonesia, pada tahun 1952, dan kurang lebih dua puluh tahun kemudian, 1970 edisi kedua buku ini dalam prakata, Kahin mengakui tulisannya sangat dipengaruhi oleh orang-orang yang ia temui (di atas) pada masa itu. Pengakuan Kahin dalam prakatanya sebagai berikut: “…sebagai seorang penulis kronik tentang revolusi Indonesia, saya kurang bersikap netral dan objektif, serta sering agak seperti pengamat yang ikut ambil bagian. Saya kira, hal ini memang membantu saya memperoleh wawasan-wawasan dan informasi yang tidak mungkin saya dapat tanpa berbuat begitu, tetapi laporan saya jelas diwarnai oleh rasa simpati yang kuat terhadap pergerakan kemerdekaan Indonesia.” (Prakata, 1970)
Kahin juga menjelaskan, bahwa sudah ada kritik yang datang dari orang-orang Indonesia, terhadap sikapnya menyangkut dengan pandangan kelompok-kelompok Indonesia tertentu, seperti Partai Sosialis Indonesia yang dipimpin Sjahrir, Kelompok Mohammad Natsir dalam Masjumi, dan kurang objektif dalam menilai lawan-lawan mereka, seperti Tan Malaka dan pengikutnya. Namun Kahin mengatakan, sudut pandangnya tentang kelompok-kelompok tersebut karena dipengaruhi adanya hubungan yang dibina (persahabatan) dengan para pemimpin tersebut, “beberapa sudut pandang saya jelas dipengaruhi baik oleh hubungan pribadi yang saya bina dengan para pemimpin Partai Sosial dan Masjumi.”
Namun, alasan yang lain yang disampaikan Kahin, selama di Indonesia tidak pernah ketemu dengan Tan Malaka dan para pengikutnya, sebab di masa itu Tan Malaka sudah di penjara, dan tidak dapat ditemui. Sedangkan tokoh-tokoh lain, seperti Amir Sjarifuddin, Musso dan para pemimpin Partai Front Demokrasi Rakyat yang berhaluan Komunis sudah ditembak mati atau sedang di penjara. Sehingga persepsi tentang revolusi yang disajikan dalam buku ini, hampir seluruhnya cenderung mencerminkan pandangan dari para pemimpin yang sering di temui Kahin, yaitu Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, Sjahrir, dan M. Natsir. Namun, dalam tulisan ini akan disajikan beberapa bacaan literatur lain yang berhubungan untuk dapat dibahas secara seksama kondisi politik lahirnya rovolusi Indonesia masa itu.
Yang menjadi penting di sini, dikatakan Kahin: “karena ditulis 20 tahun yang lalu; buku ini membantu saya (Kahin) dengan suatu dasar yang lebih baik untuk memahami suatu aspek historiografi—karena sejak 1948-1949, ketika saya melakukan penelitian untuk dipakai sebagai dasar penulisan buku ini, saya sudah memperoleh kesempatan membicarakannya lagi untuk berbagai jangka waktu—lima, sepuluh, limabelas, dalam beberapa hal, duapuluh tahun—dengan banyak dari mereka yang memainkan peranan penting dalam revolusi Indonesia. Bagi saya, pengalaman ini begitu kuat menunjukan apa yang saya yakini sebagai titik-titik historiografi yang menonjol, “bahwa persepsi seorang pemimpin tentang peranannya sendiri dan bahkan interpretasinya tentang peristiwa-peristiwa pada saat ia terlibat di dalamnya sering secara mencolok berubah setelah beberapa tahun.”(Kahin, 2013: xvii)
Buku ini dikerjakan Kahin atas beasiswa dari  Social Science Research, yang didukung oleh  Institute for Pasific Relation and Cornell University Southeast Asia Programme. Yang merupakan sebuah penelitian tentang perkembangan politik Indonesia pada tahun 1948-1949. Terdapat 15 bagian buku ini, yakni: 1.) Lingkungan Sosial yang Melatarbelakangi Nasionalisme Indonesia; 2.) Awal Mula Pergerakan Kebangsaan Indonesia; 3.) Sejarah Pergerakan Kebangsaan Indonesia Hingga 1942; 4.) Masa  Pendudukan Jepang; 5.) Pecahnya Revolusi; 6.) Politik dalam Negeri Indonesia dari Masa Revolusi Hingga Agresi Militer Belanda I; 7.) Perang dan Campur tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa; 8.) Kelanjutan Perjanjian Renville; 9.) Perebutan Kekuasaan Dalam Negeri Sejak Perjanjian Renville Hingga Pemberontakan Komunis; 10.) Orientasi Ideologi dan Perkembangan Politik Dalam Negeri (Oktober-19 Desember 1948); 11.) Agresi Militer Belanda II dan Reaksi Perserikatan Bangsa-Bangsa; 12.) Strategi dan Taktik Pemerintahan Tidak Langsung; 13.) Perjuangan Terakhir dan Kemenangan Republik; 14.) Gerakan Kesatuan; 15.) Prestasi dan Harapan.
Karena luasnya pembahasan yang dilakukan Kahin dalam buku ini, maka dari ke 15 bagian tersebut penulis akan membagi lima bagian yang akan dibahas dalama makalah ini, yakni: A.) Pendahuluan; B.) Biografi Singkat Kahin; C.) Faktor-Faktor Terbentuknya Nasionalisme; D.) Lahirnya revolusi Indonesia; E.) Kesimpulan. Dalam tulisan ini juga akan dipakai beberapa sumber sejauh memadai dan bersinergi.

Biografi Singkat
George McTurnan Kahin, dilahirkan di Baltimore, Maryland, kemudian dibesarkan di Seatlle, dan meninggal di Rochester, New York, USA. (25 Januari 1918 - 29 Januari 2000) dengan usia genap 82 tahun. Kahin adalah seorang sejarawan dan ilmuwan politik berkebangsaan Amerika. Salah satu ahli terkemuka dalam kajian Asia Tenggara dan kritikus terkemuka atas keterlibatan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam. Kahin, Mendapatkan gelar sarjananya di Harvard University pada 1940. Magisternya dari Stanford University  pada 1946, dan gelar doktornya dari John Hopkins University pada 1951.  Kahin, mengajar di  Cornell University, dan juga seorang profesor tamu pada Monash University, pada 1971.
Adapun sejumlah karya yang telah dihasilkan Kahin, baik karya sendiri, karya bersama dengan beberapa penulis lain, dalam bentuk bahasa Inggris dan sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia,  yakni: 1.) Southeast Asia: a Testament, NY: Routledge, 2003; 2.) Nationalism and Revolution in Indonesia; 3.) Governments and Politics of Southeast Asia; 4.) Intervention: How America Became Involved in Vietnam; 5.) Some Aspects of Indonesian Politics and Nationalism; 6.) The Political Position of the Chinese in Indonesia; 7.) Consequences of the Invasion of Cambodia; 8.) The American Involvement in Vietnam: an Address. 9.) Government in Indonesia; 10.) Recent Development of Lacotian Problem and Chinese Attitude; 11.) Aneta Press Releases: Selections on Indonesia; 12.) George McTurnan Kahin, Lukman Hakiem, PRRI: Pergolakan Daerah atau Pemberontakan?; 13.) George McTurnan Kahin, Daniel S. Lev, Making Indonesia; 14.) George McTurnan Kahin, Audrey R. Kahin, Subversion as Foreign Policy: The Secret Eisenhower and Dulles debacle in Indonesia; 15.) George McTurnan Kahin, John Wilson Lewis, The United States in Vietnam; 16.) George McTurnan Kahin, Harold C. Hinton, Major Governments of Asia; 17.) George McTurnan Kahin, Nin Bakdi Soemanto, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik; 18.) George McTurnan Kahin, Ruth T. MacVey, The Rise of Indonesian Communism.

Faktor-Faktor Terbentuknya Nasionalisme
Awal mula nasionalisme Indonesia merupakan fase yang baru mulai disuarakan dan diorganisasikan pada dasawarsa kedua abad ke-20. Akan tetapi, unsur-unsur pokok dari awal nasionalisme Indonesia sudah dapat ditemukan pada periode sebelumnya, mungkin pada masa ketika dampak dari pemerintahan kolonial Belanda mulai dirasakan. Dapat dikatakan bahwa embrio nasionalisme laten sudah ada dalam kelompok masyarakat terpenting di Indonesia saat itu. Namun, pengejawantahan nasionalisme secara aktif dibiarkan terkatung-katung terlalu lama karena tidak adanya  unsur kepemimpinan. Selain itu, bangsawan tradisional menolak dikaitkan dengan bangsawan nasionalis karena kepentingan pribadi mereka dapat terpenuhi dengan cara mendukung pemerintah kolonial. (2013:55)
Seperti yang dikatakan Kahin (2013:1) pada awal bukunya ini, “latarbelakang sejarah yang kemudian membentuk ciri-ciri paling menonjol dari alam penjajahan tersebut. Walaupun nasionalisme Indonesia mutakhir terutama berakar dari kondisi abad ke-20, sebagian akar terpenting justru menjalar hingga ke dalam lapisan sejarah yang jauh  lebih tua.” Bahwa penjajahan kolonial Belanda terhadap Indonesia tidak dapat memengaruhi secara mendasar karakteristik masyarakat secara sosio-budaya. Tetapi yang terjadi hanyalah kulit luarnya saja yang berubah yakni pada aspek sosio-ekonomi dan politik. Kahin mengatakan, “orang sering menganggap bahwa selama lebih dari tiga abad masa penjajahan di Hindia Belanda, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mempertahankan struktur masyarakat pribumi yang sudah ada, dan bahwa selama masa penjajahan, karakter dasar masyarakat pribumi sebenarnya tidak berubah, kecuali kulit luarnya yang menerima pengaruh dari aktivitas ekonomi orang Eropa maupun Tiongkok.”(2013:1-2)
Lahirnya nasionalisme Indonesia terbentuk dari sejumlah faktor-faktor masa lalu dan secara tidak langsung dari proses penjajahan kolonial Belanda, pada akhirnya melahirkan revolusi kemerdekaan Indonesia. Cikal bakal lahirnya nasionalisme Indonesia akan dikategorikan menjadi tujuh faktor, sebagai berikut: Pertama, masa lalu. Kedua, batas teritori (wilayah administrasi Belanda). Ketiga, Agama. Keempat, Bahasa. Kelima, Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan Belanda. Keenam, perkembangan radio dan surat kabar dan mobilitas geografis. Munculnya teknologi informasi inilah yang disebut Anderson sebagai print capitalisme (kapitalisme cetak). Ketujuh, pendidikan sebagai gerakan kultural. Ketujuh faktor tersebut sebagai cikal bakal lahirnya nasionalisme Indonesia, akan diuraikan satu persatu sebagai berikut:
  • Pertama. Masa Lalu. Tradisi kejayaan pada masa lalu juga penting dalam perkembangan kebanggaan komunitas yang menjadi dasar dari perkembangan nasionalisme. Kesadaran akan kekuatan politis yang pernah ada sebagaimana diperlihatkan melalui wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan Indonesia pada masa lalu; peristiwa kekalahan tentara Kubilai Khan oleh orang Jawa; serta kenangan akan keagungan kebudayaan masa silam—misalnya Sriwijaya yang pernah menjadi pusat kajian internasional agama Buddha—turut menjelma faktor perkembangan nasionalisme Indonesia. (2013:52)
  • Kedua. Batas Teritori. Batas-batas geografis nasionalisme Indonesia tidak semata-mata ditentukan oleh perbatasan wilayah kekuasaan politis Belanda. Bahkan sebelum Belanda datang, Indonesia bukan sekadar pernyataan geografis. Batas-batas geografis di bawah kekuasaan Belanda hampir-hampir sama dengan batas-batas wilayah dua kerajaan besar di Indonesia pada abad ke-9 dan ke-14, yakni Sriwijaya dan Majapahit. (2013:51-52)
  • Ketiga. Agama. Faktor terpenting lain yang mendukung tumbuhnya nasionalisme Indonesia yang lebih terpadu adalah tingginya derajat homogenitas keagamaan di Indonesia. Sekitar lebih dari 90 persen penduduk Indonesia beragama Islam. Seiring dengan penyebaran gerakan nasionalisme dari tempat asal sekaligus pangkalannya di Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia yang juga berada di bawah kekuasaan Belanda, muncul kecenderungan bahwa solidaritas-solidaritas sempit di daerah yang seharusnya menguat justru menjadi netral karena terdesak oleh solidaritas berdasarkan agama yang sama. (2013:52)
  • Keempat. Bahasa. Faktor integrasi penting lainnya adalah perkembangan bahasa persatuan (lingua franca) Hindia Kuno, yaitu bahasa Melayu Pasar, menjadi suatu bahasa nasional. Bahasa Melayu Pasar berhasil melampaui area pemakaiannya di pasar-pasar dan bersama dengan agama Islam berhasil menghancurkan solidaritas-solidaritas sempit dalam nasionalisme Indonesia. Penting untuk diketahui bahwa perkembangan bahasa Melayu Pasar menjadi bahasa nasional karena orang Belanda sendiri sering menggunakan Bahasa Melayu di kalangan pemerintahan. Orang Belanda bersikeras bahwa gengsi orang Belanda dan rasa rendah diri orang Indonesia dapat dipertahankan sebaik-baiknya dengan cara melarang orang Indonesia menggunakan bahasa Belanda ketika berbicara dengan orang Belanda. Pada tahun 1938, G.H. Bousquet menyebutkan. “kenyataan yang sebenarnya adalah, orang Belanda berhasrat dan masih berhasrat untuk membangun superioritas mereka di atas kebodohan orang pribumi. Pemakaian bahasa Belanda akan melenyapkan kesenjangan antara yang superior dan inferior, dan hal itu harus dihindari, apa pun yang terjadi.” (2013:53)
  • Kelima. Volksraad (Dewan Rakyat). Volksraad adalah sebuah Dewan Rakyat atau majelis perwakilan tertinggi bagi orang Indonesia yang dibentuk oleh Belanda. Pembentukan ini adalah upaya menyatukan semua orang Indonesia dari berbagai wilayah di nusantara, dan untuk lebih menyadarkan mereka atas kesamaan masalah yang mereka hadapi serta kesamaan hubungan yang mereka miliki dengan Belanda, majelis tersebut mengembangkan kesadaran yang mengombinasikan nasionalisme orang Indonesia secara lebih erat. Didirikan pada 1917 dan hanya memiliki wewenang dalam memberikan nasihat, pada 1927, Volksraad diberi kekuasaan untuk membuat undang-undang bersama Gubernur Jenderal yang ditunjuk oleh Belanda. Walaupun demikian, terutama karena Gubernur Jenderal mempunyai hak veto, maka kekuasaan Volksraad sebenarnya tidak terlalu bermanfaat. Kahin lanjut mengatakan, sesungguhnya Volksraad merupakan majelis yang kuat dan berguna bagi pemerintah kolonial untuk mengetahui pandangan dari komunitas Hindia Belanda. Tetapi, dewan tersebut menyediakan sedikit sarana kepada kaum nasionalis Indonesia yang menjadi anggotanya untuk mendidik khalayak yang melek huruf perihal tujuan-tujuan yang lebih moderat dari pergerakan nasionalis, serta untuk menjaga agar keluhan-keluhan kaum nasionalis tetap terlihat di depan mata. Akan tetapi, hampir selama Volksraad ada, mayoritas pemimpin terpenting gerakan nasionalis menolak bekerja melalui dewan tersebut. Pada umumnya, keanggotaan Volksraad mencerminkan pandangan minoritas dari gerakan nasionalis. (2013:54)
  • Keenam. Print Capitalism. Kahin mengatakan pertumbuhan dan penyebaran nasionalisme dirangsang oleh cara-cara penyebaran gagasan berkat perkembangan radio dan suratkabar yang menggunakan bahasa sehari-hari. Selain itu, pertumbuhan dan penyebaran nasionalisme juga dirangsang oleh mobilitas geografis gagasan maupun penduduk yang meningkat secara drastis sebagai akibat dari pola organisasi ekonomi maupun fasilitas transportasi abad ke-20 di Indonesia. (Kahin, 2013:55) Sedangkan menurut Anderson (2008) dengan pendekatan materialism historis, berpendapat bahwa sebab-sebab utama munculnya nasionalisme dan terbentuknya suatu komunitas-komunitas terbayang, adalah berkurangnya akses istimewa terhadap bahasa-bahasa tulis tertentu (mis. Bahasa Latin), gerakan untuk menghapuskan gagasan pemerintahan ilahi dan monarki, serta munculnya mesin cetak di bawah suatu sistem kapitalisme atau uang yang di sebut Anderson, print capitalism (kapitalisme cetak).
  • Ketujuh. Pendidikan sebagai Gerakan Kultural. Lewat pendidikan gerakan nasionalisme lebih menampakan perlawanan kepada kolonialime Belanda. “Sebelum tahun 1942, nasionalisme Indonesia lebih menekankan pada nasionalisme kebudayaan dari pada politik, sekalipun nuansa-nuansa politis kerap muncul. Pendidikan merupakan wahana pokok dalam tahapan gerakan nasionalis tersebut. Usaha dini yang paling penting dalam gerakan nasionalis di bidang pendidikan dicetuskan oleh Raden Adjeng Kartini, putri dari seorang Bupati di Jawa. Kartini merasa bahwa kondisi bangsanya dapat diangkat melalui pendidikan yang berisi tentang Barat maupun Indonesia. Dengan mendirikan sekolah pada 1902 bagi anak-anak perempuan dari para pejabat Indonesia. Kartini memberikan dorongan pertama akan pendidikan modern untuk perempuan serta berperan penting dalam merangsang gerakan nasionalis-kultural secara keseluruhan.”(2013:91) Pengaruh pendidikan barat yang tersebar luas di Indonesia ini juga merupakan salah satu penggerak nasionalisme.
Sejumlah faktor yang dirangkum menjadi tujuh faktor di atas adalah cikal bakal atau dasar dari permulaan terbentuknya nasionalisme di Indonesia. Sejak saat itu pergerakan nasionalis di Indonesia mulai terjadi secara massal dan saling berhubungan hingga pada puncaknya melahirkan revolusi Indonesia yang dicita-citakan. Anderson (2008:11) kemudian mengatakan, “bangsa dibayangkan sebagai sebuah komunitas, sebab tak peduli akan ketidakadilan yang ada dan penghisapan yang mungkin tak terhapuskan dalam setiap bangsa, bangsa itu sendiri selalu dipahami sebagai kesetiakawanan yang masuk mendalam dan melebar-mendatar. Pada akhirnya, selama dua abad terakhir, rasa persaudaraan inilah yang memungkinkan begitu banyak orang, jutaan jumlahnya, bersedia jangankan melenyapkan nyawa orang lain, merenggut nyawa sendiri pun rela demi pembayangan tentang yang terbatas itu. Kematian-kematian itu menyeret kita ke hadapan problema pokok yang dibawa nasionalisme: apa yang menjadikan pembayangan-pembayangan yang kian mencuat dalam kerangka sejarah terkini (tidak lebih dari dua abad saja) bisa mengubah pengorbanan kolosal seperti itu? Saya percaya bahwa jawabannya terletak di akar-akar budaya nasionalisme.

Lahirnya Revolusi Indonesia
Lahirnya revolusi Indonesia tentu didasari oleh rasa nasionalisme yang telah terbentuk dari sejumlah faktor seperti diuraikan menjadi tujuh faktor di atas adalah sebuah fondasi atau dasar. Akan tetapi, revolusi dapat tercapai ketika bangunan perlawanan telah terbentuk secara baik. Bangunan-bangunan ini di bangun oleh sejumlah tokoh penggerak dalam membentuk organisasi hingga menjadi partai politik sebagai alat perlawanan melawan kolonialisme Belanda. Organisasi-organisasi dan para tokoh-tokohnya sebagai berikut.  
Organisasi nasionalis pertama di Indonesia didirikan antara tahun 1906-1908, yaitu Boedi Oetomo. Diprakarsai oleh Wahidin Soediro Houesodo, Raden Soetomo dan Raden Goenawan Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berorientasi pada gerakan nasionalis-kultural yang dicetuskan antara 1906-1908 melalui upaya seorang pensiunan dokter Jawa, Mas Wahidin Soediro Hoesodo. Ia berusaha mengangkat orang Jawa melalui pembelajaran ilmu pengetahuan dari Barat serta warisan kebudayaan Jawa sendiri. Adapun Raden Soetomo dan Raden Goenawan Mangoenkusumo tampil sebagai pemimpin gerakan nasionalis terkemuka dengan membentuk organisasi pada oktober 1908 yang diberi nama Boedi Oetomo. Organisasi ini bercita-cita mengembangkan pendidikan tradisional maupun Barat, memajukan pertanian, industri, serta perdagangan di kalangan orang Jawa dan Madura, dan terakhir memajukan, “segala hal yang dapat memberikan jaminan kepada mereka sebuah hidup sebagai orang terhormat”. (Sitorus, 1974:10; Kahin, 2013:92) Tahun 1912 Muhammadiyah didirikan oleh Kiyai Haji Ahmad Dahlan di Jogjakarta.
Kemudian pada tahun 1912 itu juga lahirnya Sarekat Islam yang dipimpin oleh  Oemar Said Tjokroamonito. Sarekat Islam adalah organisasi nasionalis Indonesia pertama yang berorientasi politik. “Organisasi tersebut memiliki program politik yang bertujuan untuk menggapai pemerintahan mandiri. Menjelang 1919, anggotanya mencapai hampir dua setengah juta orang. Program nasionalis militan dari Sarekat Islam sungguh-sungguh didedikasikan untuk meraih kemerdekaan.”(Kahin, 2003:93)
Desember 1912 juga berdiri partai politik Nationale Indische Partij (Partai Hindia Nasional), yang diprakarsai oleh Douwes Dekker (lihat, Tempo, 2012:20-26), Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat. Moto partai tersebut adalah: “Hindia Belanda adalah untuk mereka yang berkehendak terus tinggal di sana”. Mempunyai anggota 1.300 orang Indoensia sekitar 6000 orang Indo-Eropa, terutama orang-orang Indo-Eropa yang menolak secara sengit akan semakin ketatnya persaingan mengingat semakin banyak orang Belanda totok yang menolak pulang ke Negeri Belanda setelah kariernya di Hindia berakhir sebagaimana yang sering terjadi. Selama setahun partai tersebut ditekan, sementara pemimpinnya Douwes Dekker (seorang Indo-Eropa) dan   Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soeryaningrat yang kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantoro dipenjarakan tetapi diizinkan pergi ke Belanda. Dengan demikian, ancaman pertama sekaligus terakhir dari kombinasi orang Indonesia dan Indo-Eropa dalam melawan pemerintah Belanda berakhir. (Kahin, 2013:100)
Mayoritas orang Indo-Eropa yang menjadi pengikut Douwes Dekker kemudian bergabung dalam Insulinde, suatu partai yang hanya beranggotakan orang-orang Indo-Eropa dengan program kerja yang tergolong moderat. Akan tetapi, minoritas anggota NIP yang sudah tertarik dengan gagasan Marxis, tertarik kepada seorang pemimpin baru dan berpengaruh, Hendrik Sneevliet. Dulu Sneevliet adalah anggota Sociaal Democratische Arbeiders Partij (Partai Buruh Sosial Demokratik) di Negeri Belanda. Tidak lama setelah tiba di Indonesia, ia mendirikan Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV, Asosiasi Sosial-Demokratik Hindia) pada tahun 1914 dengan bantuan para sosialis Belanda, yaitu H. W. Dekker, Bergsma, dan Brandsteder. (Kahin, 2013:100)
Pada perkembangannya, Sneevliet menyadari bahwa tanpa dukungan massa, revolusi yang bertujuan meraih kemerdekaan politik dan organisasi ekonomi sosialis tidak akan pernah berhasil. Dukungan dari massa harus ia dapatkan untuk mendapatkan fondasi prinsip ajaran Marxisme yang revolusioner. Sneevliet kemudian membangun hubungan dengan para pemimpin Indonesia yang cenderung Sosialis dari Sarekat Islam cabang Semarang. Selain tetap aktif di dalam Sarekat Islam, para pemimpin sosialis tersebut bergabung dengan ISDV dan menjadi semacam pendakwah gagasan Marxisme yang penuh semangat kepada rekan-rekannya di Sarekat Islam. Menjelang 1917, terlihat arus revolusioner dalam Sarekat Islam dengan juru bicaranya yakni Semaoen (lihat, Ruth T. McVey, 2010:33) dan Darsono. Keduanya merupakan pemimpin Sarekat Islam cabang Semarang yang sekaligus pendakwah gagasan Marxisme paling kompeten di antara yang lainnya. (Kahin, 2013:101)
Volksraad yang baru dibentuk pada Mei 1918, dalam rapat awal wakil Sarekat Islam mengeritik pemerintah secara pedas. Dalam rapat kedua yang diadakan pada Desember 1918, Cramer, seorang sosialis asal Belanda, mengorganisasi “Radicale Concentratie” (Pemusatan Radikal) yang mencakup organisasinya sendiri yang beraliran sosialis moderat, Sarekat Islam, ISDV, Insulinde, bahkan Boedi Oetomo. Koalisi tersebut memperlihatkan sikap kritis yang begitu kuat terhadap pemerintah, yang mencapai titik klimaks dalam pidato revolusioner oleh seorang Indo-Eropa dari Partai Insulinde. (Kahin, 2013:103-104)
Sneevliet ditahan oleh pemerintah dan dipaksa meninggalkan Indonesia pada Desember 1918. Pada tahun 1919 kongres keempat Sarekat Islam diselenggarakan  dan karena para anggota ISDV yang juga anggota Sarekat Islam tidak mampu menguasai kongres tersebut, sebab di saat itu anggota Sarekat Islam sudah mencapai dua setengah juta orang, sehingga pimpinan pusat Sarekat Islam menolak untuk menerima usul-usul ekstrem dari faksi Semaoen. Penolakan usul dari Semaoen itu, membuat Semaoen dan para pemimpin ISDV lainnya mengubah organisasi mereka menjadi Perserikatan Komunis di India (Partai Komunis Hindia) atau umum dikenal sebagai PKI. Partai baru tersebut dibentuk di kantor Sarekat Islam Semarang pada 23 Mei 1920. Semaoen terpilih sebagai ketua, Darsono sebagai wakil ketua, Bergsma sebagai sekertaris, dan H.W. Dekker sebagai bendahara.(Kahin, 2013:104) Kemudian pada tahun 1921 Taman Siswa didirikan di Yogyakarta oleh Ki. Hadjar Dewantoro, bertujuan untuk mengembangkan sistem pendidikan yang berdasar pada realitas kebudayaan lokal maupun barat, supaya berdikari, dan tahun 1922 Perhimpunan Indonesia didirikan oleh para pelajar Indonesia yang belajar di Belanda. Perhimpunan ini didirikan dengan tujuan menghimpun bantuan dan bekerja sama dengan semua organisasi  yang anti penjajahan.
Menyangkut dengan PKI di atas, McVey (2010: xxiii) mengatakan, “periode sejarah ketika komunisme Indonesia pertama kali berkembang merupakan masa dengan konflik pahit (di kalangan kaum kolonial) antara pihak yang meyakini bahwa pendekatan dengan rasa simpati terhadap gerakan-gerakan politik Indonesia akan menjamin perkembangan koloni yang sehat, melawan pihak yang takut kebebasan politik akan menjadi sebuah Kotak Pandora, apabila dibuka akan terjadi revolusi—pemberontakan komunis pada 1926-1927 mengakhiri usaha-usaha pihak Belanda untuk melakukan kompromi dengan pihak pergerakan perlawanan dan meninggalkan kelompok politik Indonesia tanpa ada jalan tengah nyata antara revolusi dan dilepaskannya masalah pencapaian kemerdekaan.”
Pada 1927 itu juga lahirnya partai Republik Indonesia di Bangkok yang didirikan oleh Tan Malaka, Tamin dan Subakat. Pada 4 juni 1927 Partai National Indonesia didirikan dan diketuai oleh Soekarno, bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia secara penuh. PNI kemudian terpecah kedalam beberapa  kelompok: Partai Rakjat Indonesia didirikan oleh Mohammad Tabrani September 1930 (strategi kerjasama dengan Belanda) dan Partai Indonesia (Partindo) April 1931 yang didirikan Sartono (strategi kemerdekaan tanpa kerjasama Belanda).
Sedangkan Partai Indonesia Raja didirikan pada tahun 1935, hasil peleburan dari kelompok persatuan Bangsa Indonesia, Budi Utomo dan lain-lain di bawah kepemimpinan Raden Soetomo, Moehammad Hoesni Thamrin, Susanto Tirtoprodjo, Soekarjo Wirjopranoto, dan Woerjaningrat. Programnya membuat  koperasi, membuat bank yang pro rakyat, memerangi buta aksara dan lainnya. Untuk Gerakan Rakjat Indonesia didirikan pada akhir april 1937 dipimpin oleh Sartono, Amir Sjarifuddin, A.K Gani, Sanusi Pane, Wikana dan Moehammad Yamin.  Partai sosialis yang  berorientasi internasional. Kemudian pada Kongres Rakjat Indonesia, Desember 1939, menetapkan bahwa Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, Merah Putih sebagai bendera nasional, dan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.
Pembentukan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) yang dicetuskan oleh PM. Tojo tahun 1943, yang  berperan serta dalam pemerintahan negara. Dibawah organisasi ini dibentuklah Hei Ho (romusha), dan September 1943, dibentuklah PETA. Kemudian Putera diganti  menjadi  Djawa Hokokai (Perhimpunan Kebaktian Rakyat). Begitu juga beberapa usaha yang dilakukan yaitu usaha menarik simpati  dengan merangkul para pemuka agama, namun tidak berhasil. Sehingga dilakukan gerakan bawah tanah yang berkembang oleh Amir Syarifudin yang merangkul kelompok anti fasis (kebanyakan dari PKI), Soetan Sjahrir membuat jaringan kerja dengan petani yang revolusioner, Persatuan mahasiswa yang  mengorganisir pemogokan mahasiswa yang dilakukan oleh Sukarni yang dibantu Adam Malik dan lain-lain dan dilakukannya kelompok kelompok belajar lain yang diketuai  Natsir, Syafrudin Prawiranegara dan beberapa orang lainnya. Hingga pada 1 juni 1945, Sukarno berpidata tentang Pancasila. Akhirnya pada 17 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta membacakan teks proklamasi kemerdekaan RI. Esok harinya pada 18 Agustus 1945 Soekarno diangkat menjadi presiden dan Hatta diangkat menjadi wakil presiden. (Kahin, 2013: 197 dan 201)

Penutup
Lahirnya nasionalisme Indonesia terbentuk dari sejumlah faktor-faktor yang telah diuraikan di atas, dan secara tidak langsung disebabkan proses penjajahan kolonial Belanda itu sendiri dan pada akhirnya melahirkan revolusi kemerdekaan Indonesia. Namun selain pembentukan organisasi pendidikan, organisasi kultural hingga organisasi politik. Sejumlah tokoh-tokoh yang lahir pada awal abad ke-20 tersebut menjadi penting dalam revolusi Indonesia.
Perlu dicatat juga bahwa sumbangsih beberapa orang Eropa atau juga orang Indo-Eropa menjadi penting dalam kemerdekaan. Douwes Dekker (Tempo, 2012: 30-33), misalnya, “orang pertama yang mendirikan partai politik di Indonesia. Sebagai penggerak revolusi, gagasan Dekker melampaui zamannya. Tur propagandanya menginspirasi Tjokroaminoto dalam menghimpun massa. Konsep nasionalismenya mempunyai andil saat Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia. Tapi ia hidup di pembuangan ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan.”


Daftar Pustaka
Sumber Utama:
Kahin, George McTurnan. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (terjemahan dari: Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca. New York: Cornell University Press. 1952). Cet. Pertama. Depok: Komunitas Bambu. 2013

Sumber Pendukung:
Anderson, Benedict. Imagined Communities (terjemahan). Cet. Ketiga. Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar. 2008
Kahin, George McTurnan. Southeast Asia: a Testament, NY: Routledge. 2003
McVey, Ruth T. Kemunculan Komunisme Indonesia (terjemahan dari: The Rise of Indonesian Communism). Depok: Komunitas Bambu. 2010
Majalah Tempo Edisi Khusus Hari Kemerdekaan, Ernest Douwes Dekker Inspirasi Bagi Revolusi Indonesia. Edisi 20-26 Agustus 2012
­­­­­______________________________
*Tulisan ini mulanya paper matakuliah Historiografi Pascakolonial yang diampu Dr. Baskara T. Wardaya. SJ pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. 2015

0 komentar:

Posting Komentar