Random Posts

banner image

Senin, 19 Februari 2018

Relasi Kuasa dan Stereotipe Dalam Perjalanan Edwin...


Relasi Kuasa dan Stereotipe
Dalam Perjalanan Edwin... 

oleh: Phomat Wali


Setiap orang dan setiap tempat mempunyai versi sejarahnya sendiri, dan versi-versi itu bisa saja menyimpang dari versi resmi, dan sudah pasti bercampur dengan segala macam peristiwa kehidupan pribadi orang-orang tersebut.Katrin Bandel (2009:62)


Novel ini (Jakarta, sebuah novel karya Cristophe Dorigné-Thomson. Gramedia: Jakarta, 2012) membincangkan pengalaman hidup seorang pemuda Eropa yang berkeliling ke berbagai negara terutama negara-negara pascakolonial. Pengalaman seorang pemuda yang bernama Edwin (tokoh utama), lahir dan besar di Paris kemudian berkesempatan kuliah di salah satu kampus ternama di Prancis. Setelah kuliah ia kemudian bekerja di salah satu firma sebagai analis perusahaan, dan sering diberi tugas ke berbagai negera-negara di luar Eropa, untuk bertemu dengan klien di negara yang dituju. Namun perjalanan yang dilakukan Edwin di negara-negara yang ia kunjungi telah membentuk dirinya. Edwin melihat ada harapan yang lahir dari generasi muda yang berkembang kearah kemajuan.   

*****
Selanjutnya dalam tulisan ini akan membahas dua hal yang menurut hemat saya perlu diulas: Pertama, relasi kuasa global yang dipakai penulis dalam melukiskan Edwin sebagai orang Eropa (Prancis). Kedua, stereotipe: Barat (superior) memandang Timur (inferior), Jakarta sebagai masa depan. 
Relasi Kuasa
Dalam pengantar novel oleh Thomson semacam memberikan harapan sekaligus bentuk kekecewaan terhadap Eropa. “Akan jadi apa orang kulit putih, bangsa Eropa penakluk, terutama jika kekuatan-kekuatan baru telah dimiliki oleh warga Negara berkulit kuning dan hitam, yang tidak seperti mereka? Setelah dominasi selama berabad-abad, pembalasan itu akan terasa manis.” (xv) Kalimat tersebut seolah melawan dominasi Eropa selama ini, Eropa yang dikenal dengan negara-negara kolonial yang penuh dengan dominasinya, hal itu sangat berhubungan dengan masa lalu yang tak bisa dilepaskan, dan tentu saja dalam relasi kuasa global hingga saat ini bahwa Eropa terkenal dengan superioritasnya. Sampai saat ini kulit putih masih diuntungkan dari berbagai aspek kehidupan. 
“Negara-negara Barat mungkin mewakili satu meliar orang. Namun ada enam meliar orang di dunia ini dan sebentar lagi hampir sepuluh meliar. Suara lima meliar orang itu masih belum benar-benar terdengar atau setidaknya tidak kedengaran melalui media global, yang lebih bersifat Barat dari pada global. Itu muslihat yang abadi: berbuat sesuatu untuk melayani kepentingan diri sendiri namun diperlihatkan seperti melayani kepentingan semua orang. Walaupun demikian, pertama kalinya dalam sejarah modern, semua kondisi itu bersatu untuk mengubah situasi itu. Negara-negara raksasa seperti China, India, Brasil, atau Indonesia mengalami pertumbuhan kekayaan yang cepat, sangat cepat, di atas lima sampai sepuluh persen tiap tahun.” (xiv)
Thomson mencoba menguraikan superioritas bangsa Eropa selama ini, bahwa apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa adalah untuk kepentingan negaranya masing-masing, namun seolah-oleh mewakili seluruh dunia. Ketika munculnya negara dunia ketiga dengan pertumbuhan ekonomi negara, menghentak dan semacam ada ketakutan bagi negara-negara Eropa. “…menakutkan. Sangat menakutkan. Golongan Elite Eropa tua tersingkir. Sementara anak muda mereka hanya bepergian secara global atau menderita secara lokal di dalam kondisi kurang perhatian total.”(xiv)
Kebencian ini tergambar pada kalimat berikut ini, bahwa kemudaan adalah hal yang penting, “….semua ini tentang masa muda. Anak muda Eropa, berasal dari benua tua, sedang menjadi orang dewasa di dunia baru. Namun benua mereka tidak mencintai dan menghargai hal berharga yang mereka miliki: tepatnya kemudaan mereka.”(xx)
Dominasi kaum tua telah membuat sejumlah anak muda bergerak ke negara-negara pascakolonial. Dalam perjalanan itu mereka berusaha memahami dan perlahan mengenali dan menemukan diri mereka disetiap tempat dan negara yang berbeda. Hal itu sebenarnya tidak dapat diabaikan, karena secara relasi kuasa anak-anak muda Eropa ketika ke negara-negara pascakolonial masih diuntungkan dari berbagai aspek, ini berhubungan dengan masa lalu yang sulit dihilangkan. Secara psikoanalisis, Tulis Ashin Nandy (The Intimate Enemy, 1983: xi) dalam Leela Gandhi; “Kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia melepas kuasa-kekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat ini ada di mana-mana, di Barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan dalam seluruh pikiran.” (Gandhi, 2007: 21)
Sebagaimana digambarkan Nandy dalam Leela Gandhi tersebut, kolonialisme tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga pikiran, sehingga ingatan-ingatan masa lalu masih tertanam dalam diri masyarakat pascakolonial. Masa lalu membentuk tuan-budak, dan di masa sekarang tercermin bahwa Barat yang superior sedangkan Timur sebagai masyarakat inferior.
Di posisi ini kaum muda Barat selalu diuntungkan di negara-negara pascakolonial di mana mereka berada. Seperti tokoh Edwin dalam novel ini misalnya ketika bertugas di  Jepang. “Di kantor, Edwin sebenarnya tidak melakukan apa-apa kecuali bertemu orang-orang. Ia diundang dan belajar tentang perusahaan itu, terutama tentang keberadaan perusahaan itu di luar negeri lewat ratusan anak cabangnya di ratusan sektor berbeda. Ia tidak perlu berbuat apa-apa, tidak ada laporan yang harus dibuat atau tujuan yang harus dipenuhi. Ia benar-benar seorang tamu. Ia memang ada di dalam perusahaan tetapi tidak pernah menjadi bagian perusahaan itu. Hari kerja yang biasa ia jalani adalah datang sekitar pukul Sembilan pada pagi hari, diajak sarapan, kembali ke meja kerja untuk berselancar di internet, diajak makan siang, kembali ke meja selama beberapa menit sebelum bertemu beberapa karyawan yang datang dan mengajak dia menemui departemennya dan memperkenalkan diri.” (73)
Dari kalimat ini benar-benar menunjukan relasi kuasa yang diwakilkan oleh sosok Edwin, yang datang ke Asia dalam hal ini Jepang namun seolah dia tidak melakukan tugas apa pun. Dalam kalimat itu juga yang coba ditunjukkan penulis terasa ambivalen. Karena penulis menunjukkan posisi superior Barat, disisi lain kemunculan kekuatan baru, yaitu non-Barat yang inferior menuju superioritas.
Di Jepang, orang-orang sibuk dengan aktivitas yang padat. Orang Jepang menurut Edwin sangat mencintai pekerjaannya sehingga mereka bekerja dari pagi dan pulang larut malam. Di sisi lain orang Jepang juga sangat superior. “Masyarakat Jepang katanya punya bawaan semacam xenophobia. Orang Korea atau orang China misalnya, disebut-sebut mendapat perlakuan buruk di Jepang. Ada masalah pascakolonial yang sulit dipahami Jepang, tidak mau menganggapnya sebagai kesalahan dan kekeliruan selama masa kolonisasi. Itu bukan jenis xenophobia yang akan kita jumpai di Eropa. Ini hanyalah pemisahan antara apa yang berbau Jepang dan yang bukan. Edwin tidak dapat merasakan adanya suatu elemen perasaan superior dalam pendekatan Jepang.” (77) 
Jepang yang pernah menjajah negara-negara Asia lainnya, menurut Edwin ia tidak merasakan superioritas Jepang. Karena Edwin sebagai orang Prancis telah mengalir superioritas dalam darahnya dimana negara ia dilahirkan dan dibesarkan oleh budayanya. Di posisi ini, harusnya Thomson sebagai penulis Eropa, mampu memosisikan dirinya karena ini berhubungan dengan relasi kekuasaan global.

Stereotipe: Barat memandang Timur, Jakarta sebagai Masa Depan
Stereotipe adalah bentuk pelabelan yang dipakai Barat dalam memandang Timur. Seperti kata Katrin (2013:1-2) dengan menafsir Bhabha, “…pribumi digambarkan sebagai makhluk inferior yang primitif, bodoh, irasional, serupa anak-anak. Stereotipe semacam itu sangat penting sebagai legitimasi kolonialisme. Kalau pribumi marupakan manusia inferior, maka dengan demikian mereka seakan-akan layak dan perlu ditempatkan di bawah dan pengawasan orang Eropa, sebab tanpa “bantuan” orang kulit putih mereka tidak mampu mengurus diri.”
Stereotipe yang dikatakan Katrin tersebut juga kita temukan dalam novel ini.  “Universalisme mereka adalah mengenai dominasi terhadap komunikasi, gaya hidup, dan lautan. Inilah gagasan Barat yang dipromosikan melalui cara orang Barat di dunia non-Barat. Bagian utama dunia yang punya kekuatan terbesar  tidak memikirkannya dalam ranah pascakolonial.”(40)
Barat dengan masa lalunya yang menaklukan negara-negara yang saat ini disebut negara pascakonial, di masa kini menganggap negara-negara Timur, termasuk Indonesia masih perlu dibina. Proses pembinaan tersebut berhubungan dengan teknologi komunikasi hingga pada gaya hidup. Asumsinya mereka menganggap orang Timur belum dan tidak bisa mandiri dalam membangun dirinya sehingga membutuhkan barat agar dapat menata hidup orang Timur.  
Namun perjalanan Edwin ke Bangkok misalnya kemudian ke Kamboja telah membawanya dalam melihat sisi lain dari Timur yang tidak manusiawi. “Edwin memilih ke Bangkok dulu hanya untuk bersenang-senang. Setelah kegilaan itu, ia pindah ke Phnom Penh. Di balik senyuman dan keramahan Kamboja, ia merasakan sakit dan kesedihan. Seperti yang terjadi terhadap orang Yahudi, mungkin butuh waktu beberapa puluh tahun untuk bisa melihat peristiwa pemusnahan secara objektif. Membandingkan kejahatan semacam itu tidaklah masuk akal. Edwin tidak bisa mencegah untuk berpikir bahwa genosida kamboja bahkan lebih tidak dapat dijelaskan. Orang-orang Khmer telah memusnahkan orang-orang Khmer sendiri.” (312)
Edwin dengan relasi kukuasaannya ingin bertemu dengan Raja Kamboja, hal ini mau dilakukannya karena salah satu ponakan Raja adalah temannya. Tujuan Edwin adalah bagaimana menyelesaikan konfik tersebut. Di posisi ini Edwin digambarkan sebagai barat yang superior, beradab dan timur sebaliknya inferior masih dianggap belum manusiawi, karena masih saling membunuh. Kondisi yang dilihat dan dialami Edwin di Kamboja adalah kebiadaban yang harus dihentikan sehingga dianggap penting untuk diperadabkan.
Kita juga menemukan bagaimana Edwin sebagai anak muda Eropa yang berkeliling di negara-negara pascakolonial dan merasa nyaman karena ia sangat dihargai oleh berbagai kalangan walau ia adalah seorang anak muda dan tidak ingin kembali ke Prancis walau ia masih mencintai Paris. “Ia  sudah bosan dengan Eropa. Ia sudah muak dengan Prancis. Ia masih akan tetap sayang dengan Paris. Keindahannya akan tetap unik selama Paris berdiri. Edwin tak bisa tinggal di sana lagi. Ia tidak bergairah lagi. Setiap orang sudah melihat semuanya. Sinisme adalah tren yang permanen. Ia membutuhkan tempat yang menghargai kemudaannya. Suatu masyarakat tidak hanya dibangun  di sekitar hal-hal yang dipelihara oleh kaum tua. Prancis dibuat untuk orang-orang tua—Ia bisa kembali ke Asia. Ia bisa dengan mudah menetap di India atau China. Ia bisa kembali ke Jepang juga. Ia belum memutuskan.” (344)
Mungkin sangat berbeda jikalau novel ini ditulis oleh orang-orang yang berasal dari negara pascakolonial seperti Indonesia. Betapa Prancis adalah salah satu negara yang diimpikan. Ini bisa kita lihat seperti Feba (2013) yang menulis novel Holland, setiap kalimat pembuka pada novelnya menaruh bahasa Belanda dan sangat menikmati Belanda seolah ingin "menjadi" Belanda. Kita bisa menemukan bahwa Feba Sukmana sebagai orang Indonesia sangat bangga kalau menjadi orang Belanda. Sebuah imajinasi kolonial yang tak disadari.
Pada akhir novel ini kita menemukan bagaimana Edwin berada di Indonesia, ia pernah tinggal di Sumatera dan di Jakarta. Pengalaman Edwin di Jakarta merasa nyaman dengan kondisi yang ia alami, dengan beberapa kali misalnya berada di club malam, orang-orang yang baru dikenalnya mengamankan dirinya agar tidak kecopetan dan ia diperlakukan dengan ramah. Namun, sekali lagi pengalaman ini adalah pengalaman seorang anak muda dari negara Barat. “Edwin juga merasakan bahwa Indonesia memiliki satu fitur khusus yang membuat negera-negara besar. Kreativitas. Masyarakat kreatif. Indonesia punya ide, bisa berpikir di luar kotak, dan memiliki visi sendiri. Ini adalah kekuasaan. Indonesia bisa menjadi Amerika baru di Asia.” (367)
Bagi penulis sebagai seorang Prancis, melihat Jakarta mempunyai masa depan yang baik, bisa bersaing dengan negara-negara besar. Masa depan disini mungkin berhubungan dengan kemajuan dalam arti pembangunan, dan baginya anak muda Jakarta masih inferior sehingga dibutuhkan keyakinan akan diri sendiri untuk bangkit bersaing dengan yang lain.[]


Daftar Rujukan 

Cristophe Dorigné-Thomson. Jakarta.!. sebuah novel, cet. Kedua, Jakarta: Gramedia. 2012.
Feba Sukmana. Holland. One Fine Day in Laiden. Jakarta: Bukuné. 2013.
Katrin Bandel. Sastra, Perempuan, Seks, cet. Kedua, Yogyakarta: Jalasutera. 2009.
Katrin Bandel. Homi K. Bhabha, Bahan Kuliah Kajian Pascakolonial. 2013.
Leela Gandhi. Teori Pascakolonial. Upaya Meruntuhkan Hegomoni Barat, diterjemahkan dari Postcolonial Theory A Critical Introduction, by Allen & Unwin, 1998; oleh Qalam: Yogyakarta. 2007.

0 komentar:

Posting Komentar