Relasi Kuasa dan Stereotipe
Dalam Perjalanan Edwin...
oleh: Phomat Wali
“Setiap orang dan setiap tempat mempunyai versi sejarahnya sendiri, dan versi-versi itu bisa saja menyimpang dari versi resmi, dan sudah pasti bercampur dengan segala macam peristiwa kehidupan pribadi orang-orang tersebut.” Katrin Bandel (2009:62)
Novel ini (Jakarta, sebuah novel karya Cristophe Dorigné-Thomson. Gramedia: Jakarta, 2012) membincangkan pengalaman hidup seorang pemuda Eropa yang berkeliling ke berbagai negara terutama negara-negara pascakolonial. Pengalaman seorang pemuda yang bernama Edwin (tokoh utama), lahir dan besar di Paris kemudian berkesempatan kuliah di salah satu kampus ternama di Prancis. Setelah kuliah ia kemudian bekerja di salah satu firma sebagai analis perusahaan, dan sering diberi tugas ke berbagai negera-negara di luar Eropa, untuk bertemu dengan klien di negara yang dituju. Namun perjalanan yang dilakukan Edwin di negara-negara yang ia kunjungi telah membentuk dirinya. Edwin melihat ada harapan yang lahir dari generasi muda yang berkembang kearah kemajuan.
*****
Selanjutnya dalam tulisan ini akan membahas dua
hal yang menurut hemat saya perlu diulas: Pertama, relasi kuasa global
yang dipakai penulis dalam melukiskan Edwin sebagai orang Eropa (Prancis). Kedua, stereotipe: Barat (superior) memandang Timur (inferior), Jakarta sebagai masa
depan.
Relasi
Kuasa
Dalam pengantar novel oleh Thomson
semacam memberikan harapan sekaligus bentuk kekecewaan terhadap Eropa. “Akan
jadi apa orang kulit putih, bangsa Eropa penakluk, terutama jika
kekuatan-kekuatan baru telah dimiliki oleh warga Negara berkulit kuning dan
hitam, yang tidak seperti mereka? Setelah dominasi selama berabad-abad,
pembalasan itu akan terasa manis.” (xv) Kalimat tersebut seolah melawan dominasi Eropa selama
ini, Eropa yang dikenal dengan negara-negara kolonial yang penuh dengan dominasinya,
hal itu sangat berhubungan dengan masa lalu yang tak bisa dilepaskan, dan tentu
saja dalam relasi kuasa global hingga saat ini bahwa Eropa terkenal dengan superioritasnya. Sampai saat ini kulit putih masih diuntungkan dari berbagai aspek kehidupan.
“Negara-negara Barat mungkin mewakili satu meliar orang. Namun ada enam meliar
orang di dunia ini dan sebentar lagi hampir sepuluh meliar. Suara lima meliar
orang itu masih belum benar-benar terdengar atau setidaknya tidak kedengaran
melalui media global, yang lebih bersifat Barat dari pada global. Itu muslihat
yang abadi: berbuat sesuatu untuk melayani kepentingan diri sendiri namun
diperlihatkan seperti melayani kepentingan semua orang. Walaupun demikian,
pertama kalinya dalam sejarah modern, semua kondisi itu bersatu untuk mengubah
situasi itu. Negara-negara raksasa seperti China, India, Brasil, atau Indonesia
mengalami pertumbuhan kekayaan yang cepat, sangat cepat, di atas lima sampai
sepuluh persen tiap tahun.” (xiv)
Thomson mencoba menguraikan superioritas bangsa Eropa
selama ini, bahwa apa yang dilakukan oleh negara-negara Eropa adalah untuk kepentingan
negaranya masing-masing, namun seolah-oleh mewakili seluruh dunia.
Ketika munculnya negara dunia ketiga dengan pertumbuhan ekonomi negara, menghentak dan semacam ada ketakutan bagi negara-negara Eropa. “…menakutkan. Sangat
menakutkan. Golongan Elite Eropa tua tersingkir. Sementara anak muda mereka
hanya bepergian secara global atau menderita secara lokal di dalam kondisi
kurang perhatian total.”(xiv)
Kebencian ini tergambar pada kalimat berikut ini, bahwa kemudaan adalah hal yang penting, “….semua
ini tentang masa muda. Anak muda Eropa, berasal dari benua tua, sedang menjadi
orang dewasa di dunia baru. Namun benua mereka tidak mencintai dan menghargai
hal berharga yang mereka miliki: tepatnya kemudaan mereka.”(xx)
Dominasi kaum tua telah membuat sejumlah anak muda bergerak
ke negara-negara pascakolonial. Dalam perjalanan itu mereka berusaha memahami dan perlahan mengenali dan menemukan diri mereka disetiap tempat dan negara yang berbeda. Hal itu sebenarnya
tidak dapat diabaikan, karena secara relasi kuasa anak-anak muda Eropa ketika ke
negara-negara pascakolonial masih diuntungkan dari berbagai aspek, ini
berhubungan dengan masa lalu yang sulit dihilangkan. Secara psikoanalisis,
Tulis Ashin Nandy (The Intimate Enemy,
1983: xi) dalam Leela Gandhi; “Kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap
penjajahan tubuh dan ia melepas kuasa-kekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk
mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam
proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang Barat modern dari
sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat
ini ada di mana-mana, di Barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan
dalam seluruh pikiran.” (Gandhi, 2007: 21)
Sebagaimana digambarkan Nandy dalam Leela Gandhi
tersebut, kolonialisme tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga pikiran,
sehingga ingatan-ingatan masa lalu masih tertanam dalam diri masyarakat
pascakolonial. Masa lalu membentuk tuan-budak, dan di masa sekarang tercermin bahwa
Barat yang superior sedangkan Timur sebagai masyarakat inferior.
Di posisi ini kaum muda Barat selalu diuntungkan di
negara-negara pascakolonial di mana mereka berada. Seperti tokoh Edwin dalam
novel ini misalnya ketika bertugas di Jepang. “Di
kantor, Edwin sebenarnya tidak melakukan apa-apa kecuali bertemu orang-orang.
Ia diundang dan belajar tentang perusahaan itu, terutama tentang keberadaan
perusahaan itu di luar negeri lewat ratusan anak cabangnya di ratusan sektor
berbeda. Ia tidak perlu berbuat apa-apa, tidak ada laporan yang harus dibuat
atau tujuan yang harus dipenuhi. Ia benar-benar seorang tamu. Ia memang ada di
dalam perusahaan tetapi tidak pernah menjadi bagian perusahaan itu. Hari kerja
yang biasa ia jalani adalah datang sekitar pukul Sembilan pada pagi hari,
diajak sarapan, kembali ke meja kerja untuk berselancar di internet, diajak
makan siang, kembali ke meja selama beberapa menit sebelum bertemu beberapa
karyawan yang datang dan mengajak dia menemui departemennya dan memperkenalkan
diri.” (73)
Dari kalimat ini benar-benar menunjukan relasi kuasa yang
diwakilkan oleh sosok Edwin, yang datang ke Asia dalam hal ini Jepang namun
seolah dia tidak melakukan tugas apa pun. Dalam kalimat itu juga yang coba ditunjukkan
penulis terasa ambivalen. Karena penulis menunjukkan
posisi superior Barat, disisi lain kemunculan kekuatan baru, yaitu non-Barat yang inferior menuju superioritas.
Di Jepang, orang-orang sibuk dengan aktivitas yang padat.
Orang Jepang menurut Edwin sangat mencintai pekerjaannya sehingga mereka bekerja dari pagi dan pulang larut malam. Di sisi lain orang Jepang juga sangat superior. “Masyarakat
Jepang katanya punya bawaan semacam xenophobia.
Orang Korea atau orang China misalnya, disebut-sebut mendapat perlakuan buruk
di Jepang. Ada masalah pascakolonial yang sulit dipahami Jepang, tidak mau
menganggapnya sebagai kesalahan dan kekeliruan selama masa kolonisasi. Itu
bukan jenis xenophobia yang akan kita
jumpai di Eropa. Ini hanyalah pemisahan antara apa yang berbau Jepang dan yang
bukan. Edwin tidak dapat merasakan adanya suatu elemen perasaan superior dalam
pendekatan Jepang.” (77)
Jepang yang pernah menjajah negara-negara Asia lainnya,
menurut Edwin ia tidak merasakan superioritas Jepang. Karena Edwin sebagai
orang Prancis telah mengalir superioritas dalam darahnya dimana negara ia
dilahirkan dan dibesarkan oleh budayanya. Di posisi ini, harusnya Thomson sebagai
penulis Eropa, mampu memosisikan dirinya karena ini berhubungan dengan relasi
kekuasaan global.
Stereotipe:
Barat memandang Timur, Jakarta sebagai Masa Depan
Stereotipe adalah bentuk pelabelan yang dipakai Barat dalam
memandang Timur. Seperti kata Katrin (2013:1-2) dengan menafsir Bhabha, “…pribumi digambarkan
sebagai makhluk inferior yang primitif, bodoh, irasional, serupa anak-anak.
Stereotipe semacam itu sangat penting sebagai legitimasi kolonialisme. Kalau
pribumi marupakan manusia inferior, maka dengan demikian mereka seakan-akan
layak dan perlu ditempatkan di bawah dan pengawasan orang Eropa, sebab tanpa
“bantuan” orang kulit putih mereka tidak mampu mengurus diri.”
Stereotipe yang dikatakan Katrin tersebut juga kita
temukan dalam novel ini. “Universalisme
mereka adalah mengenai dominasi terhadap komunikasi, gaya hidup, dan lautan.
Inilah gagasan Barat yang dipromosikan melalui cara orang Barat di dunia
non-Barat. Bagian utama dunia yang punya kekuatan terbesar tidak memikirkannya dalam ranah
pascakolonial.”(40)
Barat dengan masa lalunya yang menaklukan negara-negara yang saat ini disebut negara pascakonial, di masa kini menganggap
negara-negara Timur, termasuk Indonesia masih perlu dibina. Proses pembinaan
tersebut berhubungan dengan teknologi komunikasi hingga pada gaya hidup. Asumsinya mereka menganggap orang Timur belum dan tidak bisa
mandiri dalam membangun dirinya sehingga membutuhkan barat agar dapat menata
hidup orang Timur.
Namun perjalanan Edwin ke Bangkok misalnya kemudian ke Kamboja telah
membawanya dalam melihat sisi lain dari Timur yang tidak
manusiawi. “Edwin memilih ke Bangkok dulu hanya untuk bersenang-senang. Setelah
kegilaan itu, ia pindah ke Phnom Penh. Di balik senyuman dan keramahan Kamboja,
ia merasakan sakit dan kesedihan. Seperti yang terjadi terhadap orang Yahudi,
mungkin butuh waktu beberapa puluh tahun untuk bisa melihat peristiwa
pemusnahan secara objektif. Membandingkan kejahatan semacam itu tidaklah masuk
akal. Edwin tidak bisa mencegah untuk berpikir bahwa genosida kamboja bahkan
lebih tidak dapat dijelaskan. Orang-orang Khmer telah memusnahkan orang-orang
Khmer sendiri.” (312)
Edwin dengan relasi kukuasaannya ingin bertemu dengan
Raja Kamboja, hal ini mau dilakukannya karena salah satu ponakan Raja adalah
temannya. Tujuan Edwin adalah bagaimana menyelesaikan konfik tersebut. Di
posisi ini Edwin digambarkan sebagai barat yang superior, beradab dan timur
sebaliknya inferior masih dianggap belum manusiawi, karena masih saling membunuh. Kondisi yang dilihat dan dialami Edwin di Kamboja adalah kebiadaban yang harus dihentikan sehingga dianggap penting untuk diperadabkan.
Kita juga menemukan bagaimana Edwin sebagai anak muda
Eropa yang berkeliling di negara-negara pascakolonial dan merasa nyaman karena ia sangat dihargai oleh berbagai kalangan walau ia adalah seorang anak muda dan tidak ingin kembali ke Prancis walau ia masih mencintai Paris. “Ia sudah bosan
dengan Eropa. Ia sudah muak dengan Prancis. Ia masih akan tetap sayang dengan
Paris. Keindahannya akan tetap unik selama Paris berdiri. Edwin tak bisa
tinggal di sana lagi. Ia tidak bergairah lagi. Setiap orang sudah melihat
semuanya. Sinisme adalah tren yang permanen. Ia membutuhkan tempat yang
menghargai kemudaannya. Suatu masyarakat tidak hanya dibangun di sekitar hal-hal yang dipelihara oleh kaum
tua. Prancis dibuat untuk orang-orang tua—Ia bisa kembali ke Asia. Ia bisa
dengan mudah menetap di India atau China. Ia bisa kembali ke Jepang juga. Ia
belum memutuskan.” (344)
Mungkin sangat berbeda jikalau novel ini ditulis oleh orang-orang
yang berasal dari negara pascakolonial seperti Indonesia. Betapa Prancis adalah
salah satu negara yang diimpikan. Ini bisa kita lihat seperti Feba (2013) yang
menulis novel Holland, setiap kalimat
pembuka pada novelnya menaruh bahasa Belanda dan sangat menikmati Belanda seolah ingin "menjadi" Belanda. Kita
bisa menemukan bahwa Feba Sukmana sebagai orang Indonesia sangat bangga kalau
menjadi orang Belanda. Sebuah imajinasi kolonial yang tak disadari.
Pada akhir novel ini kita menemukan
bagaimana Edwin berada di Indonesia, ia pernah tinggal di Sumatera dan di Jakarta.
Pengalaman Edwin di Jakarta merasa nyaman dengan kondisi yang ia alami, dengan beberapa kali misalnya berada di club
malam, orang-orang yang baru dikenalnya mengamankan dirinya agar tidak
kecopetan dan ia diperlakukan dengan ramah. Namun, sekali lagi pengalaman ini
adalah pengalaman seorang anak muda dari negara Barat. “Edwin juga merasakan bahwa
Indonesia memiliki satu fitur khusus yang membuat negera-negara besar. Kreativitas.
Masyarakat kreatif. Indonesia punya ide, bisa berpikir di luar kotak, dan
memiliki visi sendiri. Ini adalah kekuasaan. Indonesia bisa menjadi Amerika
baru di Asia.” (367)
Bagi penulis sebagai
seorang Prancis, melihat Jakarta mempunyai masa depan yang baik, bisa
bersaing dengan negara-negara besar. Masa depan disini mungkin berhubungan
dengan kemajuan dalam arti pembangunan, dan baginya anak muda Jakarta masih inferior sehingga dibutuhkan keyakinan akan diri sendiri untuk bangkit bersaing
dengan yang lain.[]
Daftar Rujukan
Cristophe Dorigné-Thomson. Jakarta.!. sebuah novel, cet. Kedua, Jakarta: Gramedia. 2012.
Feba Sukmana. Holland. One Fine Day in Laiden. Jakarta: Bukuné. 2013.
Katrin Bandel. Sastra, Perempuan, Seks, cet. Kedua, Yogyakarta: Jalasutera. 2009.
Katrin Bandel. Sastra, Perempuan, Seks, cet. Kedua, Yogyakarta: Jalasutera. 2009.
Katrin Bandel. Homi K. Bhabha, Bahan Kuliah Kajian
Pascakolonial. 2013.
Leela Gandhi. Teori Pascakolonial. Upaya Meruntuhkan
Hegomoni Barat, diterjemahkan dari Postcolonial
Theory A Critical Introduction, by Allen & Unwin, 1998; oleh Qalam: Yogyakarta.
2007.
0 komentar:
Posting Komentar