Random Posts

banner image

Selasa, 10 Oktober 2017

Hijau di Hindia dan Belanda

Judul Buku                  : Student Hidjo
Penulis                         : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting     
            : Ari Pranowo
Penerbit          
            : Narasi (Anggota IKAPI)
Tempat Terbit
             : Yogyakarta
Cetakan Kedua           : 2015
ISBN              
            : 979-168-239-9




Pernahkah anda mendengar atau membaca buku berjudul Student Hidjo? Jika anda pernah membaca buku lawas ini berarti anda pasti sangat familiar dengan nama-nama tokohnya. Eits, jangan salah guys, bukan cuma anak-anak kekinian sebagai tokoh dalam berbagai sinetron Indonesia yang dinamai dari berbagai warna di dunia ini. Anak-anak pada tahun 1918, pada suatu masa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah dinamai berdasar warna, terutama pada buku ini. He he he.

Nama Hidjo, Woengoe, Biroe akan sangat sering anda jumpai jika membaca buku ini, sebab kehidupan dalam buku ini berpusat pada ketiga tokoh utama ini.Tokoh utama lelaki, Hidjo –jika dibaca berdasar ejaan baru berarti Hijo/Hijau- adalah anak pedagang bergelar Raden Mas, yang lulus HBS pada usia 18 tahun dan akan disekolahkan oleh sang ayah, Raden Potronojo, ke Belanda. Ayah Hidjo adalah seorang saudagar sukses yang bercita-cita mencapai kesetaraan sosial dengan para priyayi, melalui pendidikan tinggi sang anak.

Biroe –dalam ejaan baru dibaca Biru- gadis 13 tahun yang ditunangkan dengan Hidjo sejak kecil, digambarkan oleh penulis dengan hiperbola sebagai “gadis manis, molek, berkulit kuning, yang terang sinar wajahnya mengalahkan subang (perhiasan telinga, semacam anting yang bentuknya bundar dan pipih-wikipedia) f.2000,- (dua ribu gulden). Dalam kisah selanjutnya Biroe, dikisahkan mengalami keragu-raguan dalam mencintai, hatinya terbelah dua pada mencintai Hidjo atau Wardojo, anak Regent Djarak.

Adapun Woengoe –Wungu atau Ungu dalam ejaan baru- adalah saudara perempuan Wardojo, yang juga dikisahkan mencintai Hidjo. Woengoe digambarkan sebagai “seorang gadis nan molek yang berhati baik dan berperilaku manis.” Rupa-rupanya pada zaman itu seorang anak lelaki 18 tahun, lulusan HBS, bergelar Raden Mas punya banyak peminat, dan apakah anda juga tertarik menjadi salah satu pengagum tokoh Hidjo ini, girls? He he he

Kehidupan Sosial dan Pergaulan para Priyayi
Mas Marco Kartodikromo menulis Student Hidjo pada 1918 sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia, kemudian diterbitkan secara utuh dalam format buku pada tahun 1919. Novel ini merekam pertentangan budaya kehidupan priyayi di zaman pergerakan. Di mana, mulai lahir para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil.

Novel ini kental, menggambarkan kehidupan sosial para priyayi yang gemar bersenang-senang dalam berbagai waktu. Merayakan ulang tahun salah seorang dari mereka dengan mengundang beratus orang priyayi lainnya, dan menggelar acara tandakan dengan orkesra alat musik Jawa selama beberapa hari dan malam adalah hal biasa. Juga dengan berlibur selama beberapa waktu di pegunungan yang memiliki fasilitas air panas, pemandangan bukit yang bagus, hotel mewah, menyewakan kereta dan mobil.

Meski demikian, “kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya seorang regent, tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Saya ini, sebagaimana perkataan umum buruh,”  adalah kalimat yang diucapkan Regent Djarak pada Ayah Hidjo yang menggambarkan bahwa tidaak setiap orang menyetujui perlakuan istimewa yang membeda-bedakan orang jadi hina dan mulia.

Mengenai pergerakan intelektual dan ketidaksetujuan dalam pandangan Belanda terhadap orang Hindia, adalah tokoh Hidjo, Regent Dajarak dan seorang Controleur bernama Walter yang digambarkan memiliki pandangan berbeda dari orang kebanyakan. Walter dalam perjalanan cutinya ke Belanda, banyak menulis dan berbicara mengenai upaya pembodohan dan penghisapan yang dilakukan orang Belanda. Tentang tidak disediakannya sekolah, tentang penggunaan bahasa Belanda yang kasar pada orang Hindia, maupun tentang ke-keraskepala-an orang Belanda yang tetap tidak mau menggunakan bahasa Melayu atau Jawa halus.

Adapun Hidjo, setelah berkuliah di Belanda menjadi lebih terbuka perihal pergaulannya dengan orang Belanda. Banyak sekali membaca buku, ia menjadi berpikir tentang kehidupan yang sebenar-benarnya, ketika didapatinya bahwa di Belanda pun ada pula orang Belanda asli yang jadi jongos, ia menjadi jengah pada perlakuan para pejabat Belanda di Hindia.

Novel 140 halaman ini, boleh dijadikan salah satu referensi untuk mempelajari budaya, pergerakan intelektual dan kekontrasan kehidupan di Hindia dan Hindia Belanda pada tahun 1918. Tapi jangan lupakan satu hal ya guys,yaitu Mas Marco Kartodikromo benar-benar tidak mau keduluan dengan anak-anak kekinian dalam hal nama berdasarkan warna. He he he


Sofifi, 10 Oktober 2017



0 komentar:

Posting Komentar