Judul Buku : Student
Hidjo
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting : Ari Pranowo
Penerbit : Narasi (Anggota IKAPI)
Tempat Terbit : Yogyakarta
Cetakan Kedua : 2015
ISBN : 979-168-239-9
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting : Ari Pranowo
Penerbit : Narasi (Anggota IKAPI)
Tempat Terbit : Yogyakarta
Cetakan Kedua : 2015
ISBN : 979-168-239-9
Pernahkah anda mendengar atau membaca buku berjudul Student Hidjo? Jika
anda pernah membaca buku lawas ini berarti anda pasti sangat familiar dengan
nama-nama tokohnya. Eits, jangan salah guys,
bukan cuma anak-anak kekinian sebagai tokoh dalam berbagai sinetron Indonesia yang dinamai dari berbagai warna di dunia ini. Anak-anak pada tahun
1918, pada suatu masa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah dinamai berdasar
warna, terutama pada buku ini. He he he.
Nama Hidjo, Woengoe, Biroe
akan
sangat sering anda jumpai jika membaca buku ini, sebab kehidupan dalam buku ini
berpusat pada ketiga tokoh utama ini.Tokoh utama lelaki, Hidjo –jika dibaca
berdasar ejaan baru berarti Hijo/Hijau- adalah anak pedagang bergelar Raden Mas,
yang lulus HBS pada usia 18 tahun dan akan disekolahkan oleh sang ayah, Raden
Potronojo, ke Belanda. Ayah Hidjo adalah seorang saudagar sukses yang
bercita-cita mencapai kesetaraan sosial dengan para priyayi, melalui pendidikan
tinggi sang anak.
Biroe –dalam ejaan baru dibaca Biru- gadis 13 tahun yang ditunangkan dengan
Hidjo sejak kecil, digambarkan oleh penulis dengan hiperbola sebagai “gadis
manis, molek, berkulit kuning, yang terang sinar wajahnya mengalahkan subang
(perhiasan telinga, semacam anting yang bentuknya bundar dan pipih-wikipedia)
f.2000,- (dua ribu gulden).
Dalam
kisah selanjutnya Biroe, dikisahkan mengalami keragu-raguan dalam mencintai,
hatinya terbelah dua pada mencintai Hidjo atau Wardojo, anak Regent Djarak.
Adapun Woengoe –Wungu atau Ungu dalam ejaan baru- adalah saudara perempuan
Wardojo, yang juga dikisahkan mencintai
Hidjo.
Woengoe digambarkan sebagai “seorang gadis nan molek yang berhati baik dan
berperilaku manis.” Rupa-rupanya pada zaman itu seorang anak lelaki 18 tahun,
lulusan HBS, bergelar Raden Mas punya banyak peminat, dan apakah anda juga
tertarik menjadi salah satu pengagum tokoh Hidjo ini, girls? He he he
Kehidupan Sosial dan Pergaulan
para Priyayi
Mas Marco Kartodikromo menulis Student Hidjo pada 1918 sebagai cerita bersambung di Harian Sinar
Hindia, kemudian diterbitkan secara utuh dalam format buku pada tahun 1919. Novel
ini merekam pertentangan budaya kehidupan priyayi di zaman pergerakan. Di mana,
mulai lahir para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil.
Novel ini kental, menggambarkan
kehidupan sosial para priyayi yang gemar bersenang-senang dalam berbagai waktu.
Merayakan ulang tahun salah seorang dari mereka dengan mengundang beratus orang priyayi lainnya, dan menggelar
acara tandakan dengan orkesra alat
musik Jawa selama beberapa hari dan malam adalah hal biasa. Juga dengan
berlibur selama beberapa waktu di pegunungan yang memiliki fasilitas air panas,
pemandangan bukit yang bagus, hotel mewah, menyewakan kereta dan mobil.
Meski demikian, “kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja.
Saya seorang regent, tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda.
Saya ini, sebagaimana perkataan umum buruh,” adalah kalimat yang diucapkan Regent Djarak
pada Ayah Hidjo yang menggambarkan bahwa tidaak setiap orang menyetujui
perlakuan istimewa yang membeda-bedakan orang jadi hina dan mulia.
Mengenai pergerakan intelektual dan ketidaksetujuan dalam pandangan Belanda
terhadap orang Hindia, adalah tokoh Hidjo, Regent Dajarak dan seorang Controleur bernama Walter yang
digambarkan memiliki pandangan berbeda dari orang kebanyakan. Walter dalam perjalanan
cutinya ke Belanda, banyak menulis dan
berbicara mengenai upaya pembodohan dan penghisapan yang dilakukan orang
Belanda. Tentang tidak disediakannya sekolah, tentang penggunaan bahasa Belanda
yang kasar pada orang Hindia, maupun tentang ke-keraskepala-an orang Belanda yang tetap tidak mau
menggunakan bahasa Melayu atau Jawa halus.
Adapun Hidjo, setelah berkuliah di Belanda menjadi lebih terbuka perihal pergaulannya
dengan orang Belanda. Banyak sekali membaca buku, ia menjadi berpikir tentang kehidupan
yang sebenar-benarnya, ketika didapatinya bahwa di Belanda pun ada pula orang Belanda
asli yang jadi jongos, ia menjadi jengah pada perlakuan para pejabat Belanda di
Hindia.
Novel 140 halaman ini, boleh dijadikan salah satu referensi untuk
mempelajari budaya, pergerakan intelektual dan kekontrasan kehidupan di Hindia
dan Hindia Belanda pada tahun 1918. Tapi jangan lupakan satu hal ya guys,yaitu
Mas Marco Kartodikromo benar-benar tidak mau keduluan
dengan anak-anak kekinian dalam hal nama berdasarkan warna. He he he
Sofifi, 10 Oktober 2017
0 komentar:
Posting Komentar