Kau
terus menyinyir, mengungkap kata-kata melalui cermin dengan sedikit
menyulap-nyulap hingga dapat mewujudkan mimpimu yang kian lama sudah kau cita-citakan. Kau terus bersorak hingga
aku mengelus dada sambil bersaksi pada angin dengan sedikit membisik dan
terkagum-kagum bersepakat, menceritakan pada malam penuh kasih sambil
mengungkap tanya pada dunia. Dunia mendengar ocehan-ocehanmu sampai matahari, bintang-bintang, bulan
mulai bersiul pada orang-orang yang mendengarnya. Saat masyarakat mengagumkan
kata-katamu, kau meneteskan air mata hingga bercucuran jatuh ketanah.
“hidup nomor satu” mereka bersorak dengan penuh harapan. Kau masih terus mengungkap
tanya pada dunia penuh jiwa yang menggigil.
Kau
menjanjikan pada warga “jika aku terpilih nanti aku akan
mengungkap kebenaran sejati”. Warga mempercayainya. Kebenaran yang kau
sampaikan pikirku hanyalah omong-kosong ciptaan partai demi maksud dan kepentingannya sendiri, dan para warga
harus pura-pura mempercayainya. Sudah tak terbilang banyaknya, pada
kampanye-kampanye partai dan unjuk rasa spontan, kau menyampaikan dengan lantang
kebenaran itu.
Hari
mulai sore, senja memancarkan cahaya kemerahan tepat di arah timur. Masyarakat masih setia menunggu sambil mendengar kebenaran
yang kau ungkap itu. Kau berdiri di atas panggung bersama kerabatmu sambil
mengungkap kebenaran hingga semua mempercainya “jika aku terpilih nanti,
tujuanku adalah mensejahterakan rakyat” dengan lantang kau menyampaikan.
Burung-burung, kerabatmu dan seisi dunia juga ikut bersorak hingga tidak ada lagi tanya.
Hanya kebenaran yang terus dipegang, ditulis dalam buku catatan harian sebagai
tanda keyakinan.
Bendera-bendera kau tanam di kampung-kampung, di bukit-bukit dan gang-gang kecil dengan macam-macam warna yang memancarkan cahaya keidahan. Stiker-stiker berkode satu tertempel di pintu-pintu rumah, tiang listrik,
pagar-pagar dan dinding-dinding. Aku membacanya satu-persatu dengan tenang tanpa mengungkap tanya
sedikitpun. Selain itu aku juga mendengar musik-musik bergemuruh di setiap rumah-rumah dan di jalan-jalan.
Keesokan
harinya tibalah hari pemilihan dan kau pun akhirnya terpilih sebagai
“pemimpin”. Kau tersenyum, sedih, terharu. Tanda eksperimu mengecam dalam wajahmu
lalu membelukar. Kau berdiri di atas mobil seraya melambai, tersenyum, dan sambil bersorak “sapa suru melawan....” dengan
penuh lantang.
Sore kian tenggelam. Tepat di hari minggu, ramai warga berdatangan meramaikan kemenanganmu. Di sepanjang jalan, mobil, sepada motor konvoi mengililingi kampung ke kampung, sesekali petasan
nenentang bunyi klakson mobil dan motor. Keramaian tersebut menjadi suatu kemenangan bersejarah yang
akan terpahat dalam
ingatan.
Terjadi
juga akhirnya. Cita-cita yang diharap-harapkan itu terwujud. Sepanjang hidup,
pikiran, kau telah menantikan hal ini terjadi. Kau memandang kesana-kemari sembari melihat-lihat di sekelilingmu, tersenyum dan akhirnya wargapun
ikut tersenyum. Pukul 20:15 wit kau mengundang para warga untuk mengelar hajatan kecil-kecilan sambil mengungkap
harapan dalam tanya dan berhadap-hadapan “Terima kasih atas kerja sama kalian,
amanah yang kalian emban dengan penuh harapan ini insya Allah akan aku
wujudkan..!” begitu katanya dengan penuh kasih. Mondar-mandir kesana kemari dengan sedikit
cemas.
Kau kelihatan
begitu senang mendapatkan kesempatan menjadi seorang pemimpin. Sambil ngobrol
bersama rakyat senyummu masih sama seperti sebelum saat masih sebagai calon
pemimpin hingga akhir ini. Dengan semacam semangat yang meluntur, akan
ditudingnya seperti menebar ilusi dalam kata-katamu. Ngobrol bersama warga adalah bagaikan
mendengarkan denting-denting dari kotak musik yang sudah usang. Telah digeret
dari pojok-pojok ingatan. Satu di antara kata itu adalah tentang lima ribu burung
hitam, dan satu lagi sapi yang tanduknya loyo dan layu, dan ada juga tentang
jatah makan untuk burung-burung pasar.
“Baru saja terpikir oleh saya, Kalian sekarang pasti
terkagum-kagum” begitu katanya dengan ketawa kecil yang nyengir setiap kali dia
mengucapkan di atas panggung. Tetapi, tidak pernah bisa mengingat lebih dari
beberapa larik dari syair-syairnya. Warga tersenyum dan kau berjalan kesana kemari sambil
mengingat-ingat syair-syair yang bisa memikat hati warga. Keduanya saling
memahami kekurangannya masing-masing, ini tidak pernah mereka ungkapkan–bahwa
apa yang sedang berlangsung sekarang–penuh kecemasan. Ada saat-saat ketika
fakta maut sedang mendekat serasa sama nyatanya dengan ranjang yang kau tidur,
dan saling pagut dalam semacam sensualitas yang damba dan nelangsa, bagai jiwa
terkutuk yang menggenggam remah kenikmatan terakhir ketika jarum jam menunjukan
lima menit sebelum berdentang.
Ketika
sedang berlangsung syair-syair itu tidak sama sekali kau ingat.
Kerabat-kerabatmu hanya duduk tepat di arah belakangmu sambil tersenyum dan bahkan
sepanjang obrolan mereka hanya bisa diam tanpa sepatah katapun untuk disampaikan. Mereka hanya bisa
bertukar pendapat dengan berbisik digorong-gorong, menulis catatan-catatan kecil untuk para
pemimpinnya. Kadang-kadang juga mereka membicarakan tentang melakukan
pembagian proyek untuk kerabatnya, pembagian jatah untuk Partai, tetapi tanpa
berpikir sama sekali mengenai siapa yang harus
dan siapa dapat tanpa
mendiskusikannya akhirnya mereka bersepakat.
Aku
menghadirinya ketika hajatan syukuran itu berlangsung. Aku melihat, dan mendengar
dari kejauhan. Pertemuan yang memerlukan waktu hapir setengah jam ini hanya ada
satu kalimat yang dapat ku ingat “aku akan mensejahterkan rakyat” kata tersebut
diulang-ulang sampai selesai.
Sudah enam bulan aku meresahkan penuh kecemasan melihat kampungku
sama sekali tidak berkembang warga masih terus mengharapkan janji-janji itu.
Sekarang ketika kau sudah punya kedudukan yang tentram, memiliki rumah yang besar,
mobil mewah pemberian negara bahkan ketika setiap perjalanan, kemanapun yang
kau inginkan semuanya telah tertulis dengan angka yang cukup besar dan
kerabat-kerabatmu juga ikut menikmatinya. Sementara itu Warga hanya bisa harap-harap cemas penuh harapan agar kau dapat menempati janji.
Suatu
hari ada pengurangan tenaga
kerja di salah satu
perusahanmu. Kau
membiarkan seolah-olah masalah tersebut bukanlah tanggung jawabmu. Pemecatan tersebut mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan kau malah mengalihkan lagi dengan alasan yang cukup
rasional. Kau tentu masih ingat
janji saat berkampanye untuk mensejahterakan rakyat.
Mendadak, seolah itu bukan janjimu. Warga mendengar darimu dengan suara berat dan
besar meminta warga, seluruhnya untuk memilihmu. Kau menyuruhnya untuk percay hingga kau pun menjerumuskan kata-katamu sendiri[].
oleh; M. Wahib Sahie
0 komentar:
Posting Komentar