Random Posts

banner image

Minggu, 08 Oktober 2017

Menebar Kata, Mengungkap Kebenaran

Kau terus menyinyir, mengungkap kata-kata melalui cermin dengan sedikit menyulap-nyulap hingga dapat mewujudkan mimpimu yang kian lama sudah kau cita-citakan. Kau terus bersorak hingga aku mengelus dada sambil bersaksi pada angin dengan sedikit membisik dan terkagum-kagum bersepakat, menceritakan pada malam penuh kasih sambil mengungkap tanya pada dunia. Dunia mendengar ocehan-ocehanmu sampai matahari, bintang-bintang, bulan mulai bersiul pada orang-orang yang mendengarnya. Saat masyarakat mengagumkan kata-katamu, kau meneteskan air mata hingga bercucuran jatuh ketanah. “hidup nomor satu” mereka bersorak dengan penuh harapan. Kau masih terus mengungkap tanya pada dunia penuh jiwa yang menggigil.

Kau menjanjikan pada warga “jika aku terpilih nanti aku akan mengungkap kebenaran sejati”. Warga mempercayainya. Kebenaran yang kau sampaikan pikirku hanyalah omong-kosong ciptaan partai demi maksud dan kepentingannya sendiri, dan para warga harus pura-pura mempercayainya. Sudah tak terbilang banyaknya, pada kampanye-kampanye partai dan unjuk rasa spontan, kau menyampaikan dengan lantang kebenaran itu.

Hari mulai sore, senja memancarkan cahaya kemerahan tepat di arah timur. Masyarakat masih setia menunggu sambil mendengar kebenaran yang kau ungkap itu. Kau berdiri di atas panggung bersama kerabatmu sambil mengungkap kebenaran hingga semua mempercainya “jika aku terpilih nanti, tujuanku adalah mensejahterakan rakyat” dengan lantang kau menyampaikan. Burung-burung, kerabatmu dan seisi dunia juga ikut bersorak hingga tidak ada lagi tanya. Hanya kebenaran yang terus dipegang, ditulis dalam buku catatan harian sebagai tanda keyakinan.

Bendera-bendera kau tanam di kampung-kampung, di bukit-bukit dan gang-gang kecil dengan macam-macam warna yang memancarkan cahaya keidahan. Stiker-stiker berkode satu tertempel di pintu-pintu rumah, tiang listrik, pagar-pagar dan dinding-dinding. Aku membacanya satu-persatu dengan tenang tanpa mengungkap tanya sedikitpun. Selain itu aku juga mendengar musik-musik bergemuruh di setiap rumah-rumah dan di jalan-jalan.

Keesokan harinya tibalah hari pemilihan dan kau pun akhirnya terpilih sebagai “pemimpin”. Kau tersenyum, sedih, terharu. Tanda eksperimu mengecam dalam wajahmu lalu membelukar. Kau berdiri di atas mobil seraya melambai, tersenyum, dan sambil bersorak “sapa suru melawan....” dengan penuh lantang.

Sore kian tenggelam. Tepat di hari minggu, ramai warga berdatangan meramaikan kemenanganmu. Di sepanjang jalan, mobil, sepada motor konvoi mengililingi kampung ke kampung, sesekali petasan nenentang bunyi klakson mobil dan motor. Keramaian tersebut menjadi suatu kemenangan bersejarah yang akan terpahat dalam ingatan.

Terjadi juga akhirnya. Cita-cita yang diharap-harapkan itu terwujud. Sepanjang hidup, pikiran, kau telah menantikan hal ini terjadi. Kau memandang kesana-kemari sembari melihat-lihat di sekelilingmu, tersenyum dan akhirnya wargapun ikut tersenyum. Pukul 20:15 wit kau mengundang para warga untuk mengelar hajatan kecil-kecilan sambil mengungkap harapan dalam tanya dan berhadap-hadapan “Terima kasih atas kerja sama kalian, amanah yang kalian emban dengan penuh harapan ini insya Allah akan aku wujudkan..!” begitu katanya dengan penuh kasih. Mondar-mandir kesana kemari dengan sedikit cemas.

Kau kelihatan begitu senang mendapatkan kesempatan menjadi seorang pemimpin. Sambil ngobrol bersama rakyat senyummu masih sama seperti sebelum saat masih sebagai calon pemimpin hingga akhir ini. Dengan semacam semangat yang meluntur, akan ditudingnya seperti menebar ilusi dalam kata-katamu. Ngobrol bersama warga adalah bagaikan mendengarkan denting-denting dari kotak musik yang sudah usang. Telah digeret dari pojok-pojok ingatan. Satu di antara kata itu adalah tentang lima ribu burung hitam, dan satu lagi sapi yang tanduknya loyo dan layu, dan ada juga tentang jatah makan untuk burung-burung pasar.

“Baru saja terpikir oleh saya, Kalian sekarang pasti terkagum-kagum” begitu katanya dengan ketawa kecil yang nyengir setiap kali dia mengucapkan di atas panggung. Tetapi, tidak pernah bisa mengingat lebih dari beberapa larik dari syair-syairnya. Warga tersenyum dan kau berjalan kesana kemari sambil mengingat-ingat syair-syair yang bisa memikat hati warga. Keduanya saling memahami kekurangannya masing-masing, ini tidak pernah mereka ungkapkan–bahwa apa yang sedang berlangsung sekarang–penuh kecemasan. Ada saat-saat ketika fakta maut sedang mendekat serasa sama nyatanya dengan ranjang yang kau tidur, dan saling pagut dalam semacam sensualitas yang damba dan nelangsa, bagai jiwa terkutuk yang menggenggam remah kenikmatan terakhir ketika jarum jam menunjukan lima menit sebelum berdentang.

Ketika sedang berlangsung syair-syair itu tidak sama sekali kau ingat. Kerabat-kerabatmu hanya duduk tepat di arah belakangmu sambil tersenyum dan bahkan sepanjang obrolan mereka hanya bisa diam tanpa sepatah katapun untuk disampaikan. Mereka hanya bisa bertukar pendapat dengan berbisik digorong-gorong, menulis catatan-catatan kecil untuk para pemimpinnya. Kadang-kadang juga mereka membicarakan tentang melakukan pembagian proyek untuk kerabatnya, pembagian jatah untuk Partai, tetapi tanpa berpikir sama sekali mengenai siapa yang harus dan siapa dapat tanpa mendiskusikannya akhirnya mereka bersepakat.

Aku menghadirinya ketika hajatan syukuran itu berlangsung. Aku melihat, dan mendengar dari kejauhan. Pertemuan yang memerlukan waktu hapir setengah jam ini hanya ada satu kalimat yang dapat ku ingat “aku akan mensejahterkan rakyat” kata tersebut diulang-ulang sampai selesai.

Sudah enam bulan aku meresahkan penuh kecemasan melihat kampungku sama sekali tidak berkembang warga masih terus mengharapkan janji-janji itu. Sekarang ketika kau sudah punya kedudukan yang tentram, memiliki rumah yang besar, mobil mewah pemberian negara bahkan ketika setiap perjalanan, kemanapun yang kau inginkan semuanya telah tertulis dengan angka yang cukup besar dan kerabat-kerabatmu juga ikut menikmatinya. Sementara itu Warga hanya bisa harap-harap cemas penuh harapan agar kau dapat menempati janji.


Suatu hari ada pengurangan tenaga kerja di salah satu perusahanmu. Kau membiarkan seolah-olah masalah tersebut bukanlah tanggung jawabmu. Pemecatan tersebut mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan kau malah mengalihkan lagi dengan alasan yang cukup rasional. Kau tentu masih ingat janji saat berkampanye untuk mensejahterakan rakyat. Mendadak, seolah itu bukan janjimu. Warga mendengar darimu dengan suara berat dan besar meminta warga, seluruhnya untuk memilihmu. Kau menyuruhnya untuk percay hingga kau pun menjerumuskan kata-katamu sendiri[]. 

   oleh; M. Wahib Sahie




0 komentar:

Posting Komentar