Foto; Sampul buku | Judul : Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia | Penulis : Tod Jones | Jumlah
Hal: 355 hal | Penerbit : Buku Obor dan KITLV-Jakarta | ISBN : 978-979-461-885-1 | Tahun
terbit : Februari 2015
Oleh :JUFRI ABUBAKAR
Seiring
perubahan kekuasaan berubah pula kebijakan yang memengaruhi kebudayaan di Indonesia.
Dalam buku ini Tod Jones memperlihatkan bahwa kekuasan di Indonesia sejak abad
ke 20 telah melahirkan kebijakan yang diusahakan dapat mengontrol warga Negara.
Kebudayaan –
terutama bagi kalangan antropologi telah mengakui, bahwa praktik kebudayaan dan
cara hidup komunitas dibentuk dalam negosiasi dengan kekuasaan Negara dan
kekuatan politik lokal, dan bahwa praktik-praktik kebudayaan bisa memperkuat
hierarki politik dan kesempatan lain bisa menumbangkan kekuasaan politik (Greg
Acciaioli dan Anna Tsing dalam Tod Jones hal. 5).
Seperti
penulis lain, Tod Jones juga Menaruh minat pada kajian-kajian kebudayaan,
terutama di Indonesia. Dia mengakui tujuan penulisan buku ini untuk memberikan
kontribusi bagi perdebatan, khususnya di Indonesia tentang peran Negara dan
hubungannya dengan kebudayaan.
Tod Jones kini
aktif sebagai dosen pada Departemen Perencanaan dan Geografi di Curtin
University, Australia. Selain sebagai dosen, dia juga aktif melakukan penelitian
dibidang kebijakan dan perencanaan kebudayaan dan warisan budaya di Indonesia
dan Australia. Buku ini ditulis didasarkan pada studi
doktoralnya di Curtin University di Perth , Australia. Dia mengulas bagaimana
kebudayaan, khususnya kebudayaan nasional, telah dibentuk dalam kebijakan mulai
dari masa penjajahan yang bermula pada tahun 1900-an, berlanjut ke masa
pendudukan Jepang dan tahun tahun awal kemerdekaan, selama masa kekuasaan rezim
otoritarian Soeharto yang berakhir pada tahun1997, hingga masuk ke dalam era
reformasi sekarang ini.
Perhatian buku ini terbatas pada regulasi kebudayaan oleh lembaga-lembaga
kebudayaan Negara, mengaitkannya secara lekat dengan perpektif lembaga dan
industry kebudayaan (hal.5). Karena berfokus pada regulasi Negara, maka
kebudayaan yang dimaksudkan Tod Jones adalah yang merujuk pada berbagai praktik yang
dianggap budaya melalui pencantuman mereka dalam kategori seni, hubungan dengan
ritual atau bahasa, ketika istilah itu digunakan dalam konteks kebijakan budaya
(hal.35).
Menelusuri
sejarah kebijakan budaya di Indonesia, Tod membuka kembali memori asal-usul
kebijakan budaya pada periode kolonial Belanda dan Jepang. System pemeritahan
dan kebijakan kebudayaan di Indonesia memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintahan
asing di Indonesia.
Pada masa
pendudukan Belanda, kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda lebih mengutamakan
keuntungan - penguasaan pasar rempah-rempah dan sumberdaya alam lainnya.
Kebijakan keberbudayaan yang dijalankan oleh pemerintahan masa itu berupaya
mendamaikan dan menertibkan masyarakat untuk ikut dan demi kelancaran proses
pemerintahan Belanda. Salah satu contoh ialah penggunaan bahasa melayu sebagai
bahasa nasional. Pendirian lembaga penerbitan Balai Pustaka merupakan suatu
ekspresi perhatian politik etis untuk kesejahteraan sosial yang berusaha untuk
merubah perilaku dan atribut dari penduduk peribumi melalui keterlibatan dalam kesusteraan
(hal:53).
Setelah pemerintahan
Hindia-Belanda berakhir, Jepang masuk dan menerapkan berbagai kebijakan budaya yang
mengutungkan negaranya. Karena pendudukan Jepang di Indonesia berkaitan dengan
perang dunia ke II maka kebijakan kebudayaan terhadap bangsa Indonesia harus
memiliki korelasi dengan keuntungan perang. Tod menulis, kebijakan Jepang untuk
memenuhi kebutuhan perang berencana untuk memanfaatkan struktur yang ada dari
masyarakat yang mereka duduki. Salah satu karakter yang jelas-jelas membedakan
kebijakan kebudayaan Jepang ialah penggunaan mobilisasi masa. Mobilisasi yang
dimaksudkan mengacu pada eksploitasi sumberdaya ekonomi, tenaga kerja, dan
kerjasama dari penduduk Indonesia (hal:68).
Berakhirnya pendudukan
kolonial, Indonesia masuk pada periode baru pemerintahan. Pada periode ini, perubahan
justeru terjadi pada system pemerintahan dari kolonial yang mengubah
peran Negara dalam kebijakan kebudayaan. Yang disebutkan Tod sebagai
kunci dari perubahan budaya dari masa-masa setelah kolonial adalah bagaimana
Negara mendefenisiskan perannya. Periode ini sedang berusaha untuk membentuk
masyarakat yang sangat berbeda dan mengadopsi metode yang berbeda. Mencoba
memfasilitasi pengembangan populasi yang terdiri para individu bebas dengan
komitmen dan pandangan nasionalis, kebijakan budaya menjadi alat untuk
memobilisasi populasi nasional dibalik agenda politik Soekarno (hal:129).
Sedangkan kebijakan
budaya pada masa Orde Baru secara luas diindentifikasi oleh Tod sebagai kelanjutan
dari penggunaan kebudayaan versi reformis yang menjadi unsur dari setiap pemerintah
di Indonesia sejak kolonialisme. Kebijakan budaya Orde Baru berusaha untuk
membentuk jenis baru subjek budaya yang cocok untuk era Orde Baru. Seni juga
tidak luput dari intervensi pemerintah Orde Baru. Para penggiat seni daerah
tunduk pada rezim pelatihan dan didorong untuk memasukkan tema dan pesan
pembangunan kedalam karya mereka.
Buku ini juga menarik perhatian pada pentingnya konteks kolonial untuk menarik gambaran
kebijakan budaya post-kolonial, terutama selama periode pemerintahan otoritarian.
Pemerintahan post-kolonial mewarisi kebijakan budaya yang didasarkan pada seperangkat
asumsi yang meskipun asal usulnya liberal namun dalam praktiknya tidak
demokratis (hal:319).
Namun kita
juga perlu hati-hati dalam memahami maksud kebijakan budaya oleh Tod dalam buku
ini. Dia lebih menekankan asal-usul dan hasil kebijakan. Singkatnya, kebijakan dilihat
sebagai instrument kekuasaan yang diupayakan untuk
mewacanakan kepentingan kekuasaan[].
0 komentar:
Posting Komentar