Random Posts

banner image

Senin, 19 Juni 2017

Kekuasaan Mempengaruhi Kebudayaan

Foto; Sampul buku | Judul : Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia | Penulis : Tod Jones | Jumlah Hal:  355 hal | Penerbit : Buku Obor dan KITLV-Jakarta | ISBN : 978-979-461-885-1 | Tahun terbit  : Februari 2015

Oleh :JUFRI ABUBAKAR

Seiring perubahan kekuasaan berubah pula kebijakan yang memengaruhi kebudayaan di Indonesia. Dalam buku ini Tod Jones memperlihatkan bahwa kekuasan di Indonesia sejak abad ke 20 telah melahirkan kebijakan yang diusahakan dapat mengontrol warga Negara.

Kebudayaan – terutama bagi kalangan antropologi telah mengakui, bahwa praktik kebudayaan dan cara hidup komunitas dibentuk dalam negosiasi dengan kekuasaan Negara dan kekuatan politik lokal, dan bahwa praktik-praktik kebudayaan bisa memperkuat hierarki politik dan kesempatan lain bisa menumbangkan kekuasaan politik (Greg Acciaioli dan Anna Tsing dalam Tod Jones hal. 5).

Seperti penulis lain, Tod Jones juga Menaruh minat pada kajian-kajian kebudayaan, terutama di Indonesia. Dia mengakui tujuan penulisan buku ini untuk memberikan kontribusi bagi perdebatan, khususnya di Indonesia tentang peran Negara dan hubungannya dengan kebudayaan.

Tod Jones kini aktif sebagai dosen pada Departemen Perencanaan dan Geografi di Curtin University, Australia. Selain sebagai dosen, dia juga aktif melakukan penelitian dibidang kebijakan dan perencanaan kebudayaan dan warisan budaya di Indonesia dan Australia. Buku ini ditulis didasarkan pada studi doktoralnya di Curtin University di Perth , Australia. Dia mengulas bagaimana kebudayaan, khususnya kebudayaan nasional, telah dibentuk dalam kebijakan mulai dari masa penjajahan yang bermula pada tahun 1900-an, berlanjut ke masa pendudukan Jepang dan tahun tahun awal kemerdekaan, selama masa kekuasaan rezim otoritarian Soeharto yang berakhir pada tahun1997, hingga masuk ke dalam era reformasi sekarang ini.

Perhatian buku ini terbatas pada regulasi kebudayaan oleh lembaga-lembaga kebudayaan Negara, mengaitkannya secara lekat dengan perpektif lembaga dan industry kebudayaan (hal.5). Karena berfokus pada regulasi Negara, maka kebudayaan yang dimaksudkan Tod Jones adalah yang merujuk pada berbagai praktik yang dianggap budaya melalui pencantuman mereka dalam kategori seni, hubungan dengan ritual atau bahasa, ketika istilah itu digunakan dalam konteks kebijakan budaya (hal.35).

Menelusuri sejarah kebijakan budaya di Indonesia, Tod membuka kembali memori asal-usul kebijakan budaya pada periode kolonial Belanda dan Jepang. System pemeritahan dan kebijakan kebudayaan di Indonesia memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintahan asing di Indonesia.

Pada masa pendudukan Belanda, kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda lebih mengutamakan keuntungan - penguasaan pasar rempah-rempah dan sumberdaya alam lainnya. Kebijakan keberbudayaan yang dijalankan oleh pemerintahan masa itu berupaya mendamaikan dan menertibkan masyarakat untuk ikut dan demi kelancaran proses pemerintahan Belanda. Salah satu contoh ialah penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Pendirian lembaga penerbitan Balai Pustaka merupakan suatu ekspresi perhatian politik etis untuk kesejahteraan sosial yang berusaha untuk merubah perilaku dan atribut dari penduduk peribumi melalui keterlibatan dalam kesusteraan (hal:53).

Setelah pemerintahan Hindia-Belanda berakhir, Jepang masuk dan menerapkan berbagai kebijakan budaya yang mengutungkan negaranya. Karena pendudukan Jepang di Indonesia berkaitan dengan perang dunia ke II maka kebijakan kebudayaan terhadap bangsa Indonesia harus memiliki korelasi dengan keuntungan perang. Tod menulis, kebijakan Jepang untuk memenuhi kebutuhan perang berencana untuk memanfaatkan struktur yang ada dari masyarakat yang mereka duduki. Salah satu karakter yang jelas-jelas membedakan kebijakan kebudayaan Jepang ialah penggunaan mobilisasi masa. Mobilisasi yang dimaksudkan mengacu pada eksploitasi sumberdaya ekonomi, tenaga kerja, dan kerjasama dari penduduk Indonesia (hal:68).

Berakhirnya pendudukan kolonial, Indonesia masuk pada periode baru pemerintahan. Pada periode ini, perubahan justeru terjadi pada system pemerintahan dari kolonial yang  mengubah  peran Negara dalam kebijakan kebudayaan. Yang disebutkan Tod sebagai kunci dari perubahan budaya dari masa-masa setelah kolonial adalah bagaimana Negara mendefenisiskan perannya. Periode ini sedang berusaha untuk membentuk masyarakat yang sangat berbeda dan mengadopsi metode yang berbeda. Mencoba memfasilitasi pengembangan populasi yang terdiri para individu bebas dengan komitmen dan pandangan nasionalis, kebijakan budaya menjadi alat untuk memobilisasi populasi nasional dibalik agenda politik Soekarno (hal:129).

Sedangkan kebijakan budaya pada masa Orde Baru secara luas diindentifikasi oleh Tod sebagai kelanjutan dari penggunaan kebudayaan versi reformis yang menjadi unsur dari setiap pemerintah di Indonesia sejak kolonialisme. Kebijakan budaya Orde Baru berusaha untuk membentuk jenis baru subjek budaya yang cocok untuk era Orde Baru. Seni juga tidak luput dari intervensi pemerintah Orde Baru. Para penggiat seni daerah tunduk pada rezim pelatihan dan didorong untuk memasukkan tema dan pesan pembangunan kedalam karya mereka.

Buku ini juga menarik perhatian pada pentingnya konteks kolonial untuk menarik gambaran kebijakan budaya post-kolonial, terutama selama periode pemerintahan otoritarian. Pemerintahan post-kolonial mewarisi kebijakan budaya yang didasarkan pada seperangkat asumsi yang meskipun asal usulnya liberal namun dalam praktiknya tidak demokratis (hal:319).

Namun kita juga perlu hati-hati dalam memahami maksud kebijakan budaya oleh Tod dalam buku ini. Dia lebih menekankan asal-usul dan hasil kebijakan. Singkatnya, kebijakan dilihat sebagai instrument kekuasaan yang diupayakan untuk mewacanakan kepentingan kekuasaan[]. 

0 komentar:

Posting Komentar