Random Posts

banner image

Rabu, 21 Juni 2017

PARADOKS SUBJEK, RUANG IMAJINER

catatan imajiner 
Phomat R. Wali







        Sepertiga malam aku terbangun dari tidur yang lelap, pikirku mungkin sudah pagi dan aku akan kehilangan waktu menikmati malam ini dengan secangkir kopi hitam, dan sebungkus rokok filter, yang tak penting bagiku untuk merek rokoknya. Karena merek selalu identik dengan brand bisnis perusahaan. Di Sepertiga malam ini aku bisa menikmati malamku yang bukan malam orang lain dengan penuh hura-hura menikmati glamournya sudut kota Jogja seperti pada tiap malam minggu biasanya.
Saat beranjak dari tidur, pertama yang terlintas dalam benakku segera ke warung dekat kosan membeli roti coklat yang nantinya aku lahap dengan kopi hitam. Setelah itu sebatang rokok aku nyalakan untuk melengkapi makan malam yang bukan makan malam sebenarnya, seperti orang lain seadanya. Bagi kebanyakan orang, makan siang atau makan malam atau makan tentunya harus berupa lauk pauk, nasi-ikan-sayur, atau nasi-ayam-sayur, nasi-telur, nasi-goreng, nasi-kucing (angkringan) atau magelangan yang semuanya harus ada nasinya. Mungkin karena kita sudah terbiasa menyebut makan, harus pakai nasi atau nasi sebagai yang utama dalam makan. Kalau makannya cuma roti, sagu, pisang goreng belum dianggap makan bagi orang timur Indonesia. Makan yaa harus nasi atau pakai nasi.
Aku sering menemukan masalah demikian ketika ketemu dengan beberapa teman. Saat aku menanyakan sudah makan? Maka jawabannya “belum makan, saya tadi hanya makan roti, atau pisang goreng”. Dan baginya itu belum makan. Mungkin yang dia maksud belum kenyang. Tapi makan roti atau pisang goreng juga bisa membuat perut kenyang. Aku demikian, makan roti atau pisang goreng bagiku itu sudah makan untuk bisa melakukan aktivitas selanjutnya.
Sebatang rokok hampir aku habiskan, imajiku keluyuran kemana-mana, kepulan asap memenuhi ruang tamu kecil depan kamarku. Maklum anak kost. Semenjak kuliah di Jogja, keterasingan selalu melekat di dalam jiwa ini. Separuh jiwaku masih berada di Ternate. Pinginku dimana aku berada, disitu aku adanya. Tapi tidak bisa, selalu saja ada batas yang mengisyaratkan aku hanya sementara di Jogja menempuh pendidikan lanjutan. Terbelah, mungkin itu kata yang pas yang aku alami. Kerinduan “kampung halaman” selalu menggebu-gebu. Tapi ketika aku kembali ke Ternate bersua dengan keluarga, dan juga teman-teman, sangat terasa kerinduanku pada Jogja. Rindu terhadap suasana Jogja yang adem ayem. Rindu kepada teman-teman kuliah yang begitu mencair bersahabat, berbagi apa adanya. Rindu akan suara dosen-dosenku yang luwes, cerdas, dan “menakutkan”. Serasa aku menemukan suasana kemanusiaan yang begitu mendalam di kampus itu.
Terlepas dari frustasi yang aku alami ketika selesai kuliah, yang sering membuatku lapar lagi walau kadang sudah makan sebelum masuk kelas. Semua energiku hilang seolah terserap saat berhadapan dengan dosen-dosen yang super killer dengan kelebihannya masing-masing. Tapi dengan frustasi yang aku alami, kegelisan kian hari kian bertambah, walau belum memuncak. Karena kalau aku sudah mulai frustasi, aku harus melakukan sesuatu sebagai pelarian. Pelarianku sederhana berdiam diri di kamar dan tidur sepuasnya. Tanpa melakukan apa-apa. Kalau itupun tidak berhasil aku sering nongkrong di café Semesta dengan mengajak teman untuk bercerita apa adanya, juga tentu melirik si rambut panjang yang sering memberikan aura menggoda. Begitulah lelaki, matanya selalu terpana dan terlena dengan sosok indah, ayu juga kemayu.  
Tapi hanya sebatas melirik, dan mengagumi si aduhai berambut panjang yang datang dan pergi di café itu. Sebab aku hanya sebatas menikmati pemandangan indah yang aku tatap dan terasa memenuhi dahaga, sudah membuat frustasiku berkurang. Aku tidak bisa melakukan lebih pada si rambut panjang yang aku temui, yang baru aku kenal. Tidak bisa. Yaa tidak bisa. Karena di seberang lautan jauh di timur Indonesia sana, telah aku gadaikan seluruh hidupku untuk dia disana yang selalu setia menungguku kembali. Aku disini hanya menikmati pemandangan yang berlalu lalang itu. Yah, seperti berada di taman yang luas, dan aku hanya mampu mengagumi bunga-bunga yang cantik beserta panoramanya, telah membuat hatiku lega. Begitulah aku di Jogja ini.
Teman-temanku selalu melakukan ritual jumatan. Ritual dengan air suci yang dapat menghilangkan dahaga. Itu juga bagian dari pelarianku dengan teman-teman. Mereka adalah senior dan juga teman angkatanku yang baik hati dan tidak sombong, selalu mencair ketika duduk bersama di bawah beringin keramat itu. Yaa beringin Soekarno namanya. Beringin yang selalu memberikan suasananya yang teduh, semacam energi baru ketika duduk di beringin yang besar itu. Beringin yang indah dan tidak menyeramkan. Tidak seperti beringin-beringin di tempatku waktu kecil dulu yang rindang, gelap, dan menyeramkan. Ritual itu selalu membuatku refresh, dan tentunya frustasiku berkurang.
Namun, setelah dari itu selalu saja aku mengalami ketegangan ketika setiap hari senin hingga kamis. Di ruang Palma itu, ruang yang membuatku tak berdaya. Ruang dimana aku dan teman-temanku mendapatkan pencerahan dengan penuh kesakitan. Begitu juga ruang Anjani, Lontar juga ruang Realino tentunya. Dan aku masih terasa terasing ketika pulang dari kampus. Berada di kosan membuatku rindu kepada teman-teman kecilku yang jauh di seberang lautan sana. Mereka berdua, selalu memberiku tawa, canda di rumah ketika seharian aku lalu lalang di Ternate. Keduanya selalu menjadi teman baikku di rumah. Bermain bersama hingga tawa pecah mengisi jiwa menjadi tentram.
Satu lagi teman kecilku bertambah namun sampai kini, aku juga belum bersua dengannya. Rinduku terpaut di sini, padanya di sana yang selalu aku jaga untuk menghampirinya. Yah, untuk sementara waktu teman kecilku itu belajar bermain dulu dengan kedua kakaknya dan juga ibunya yang dapat mengajarinya tentang kasih sayang dan kebaikan. Aku percaya, setiap ibu, dan semua ibu di dunia ini mempunyai  pengetahuannya sendiri dalam mengajari anak-anaknya. Ibu selalu menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Ibu selalu menjadi tempat pelarian ketika kita ingin bersandar. Ibu selalu mendengarkan keluh kesah, keinginan, dan kemauan yang diminta. Ibu selalu menjadi tempat terakhir berlindung ketika ada masalah. Itu ingatan waktu kecilku. Begitu juga ayah, yang selalu memberiku cara hidup sebagai lelaki yang harus berani, jujur dan tidak gegabah. Walau kadang ayah membuatku takut kepadanya ketika aku berbuat salah. Ayah tak lain seperti Penjaga Malam yang siap menerkamku ketika aku melakukan kesalahan. Berbeda dengan ibu yang penyayang, pelindung, dan pemberi semua keinginan yang aku pinta. Itu juga ingatan masa kecilku.
Sehingga aku yakin, teman kecilku tidak akan apa-apa, karena dia sedang bersama dengan pelindungnya yang dapat merawatnya dengan baik lewat cinta kasihnya. Dan aku sebagai Penjaga Malam bagi mereka, masih duduk di seberang sini ditemani secangkir kopi hitam pekat, roti coklat, dan sebungkus rokok, yang membuatku menikmati malam ini. Malam yang hening, tak ada gemuruh saking heningnya detak jam dinding terdengar jelas di telingaku... Tak, tak, tak... seolah memberi ritme dan petunjuk tentang waktu yang terus berjalan.
Asap masih mengepul memenuhi ruang kecil kosanku. Imajiku masih berkeluyuran dalam kesendirian, dan masih mengingat-ngingat apa yang aku baca beberapa hari ini, juga apa yang dibilang sang Guru kepadaku. Kemudian teori bergentayangan tak karuan dalam imajiku, mencoba mengingat yang mau aku tulis. 
Malam mulai larut, hatiku mulai tenang, jiwaku makin teduh, dan imajiku masih berkeluyuran serasa tak bertuan. Dan aku masih setia duduk di tempatku bersama kopi hitam pekat, dan nyala rokok terus memberi isyarat dalam tiap tarikan bahwa aku harus menulis. Yaa, segera menulis syarat kuliahku. Karena satu hal yang aku butuhkan dari semua ini, “aku ingin pulang bermain dengan ketiga teman kecilku, sembari membesarkan mereka.”

di Batas Kota Yogyakarta.
(Sagan_Terban-Gondokusuman, 16/11/2014) 

0 komentar:

Posting Komentar