Sepertiga malam aku terbangun
dari tidur yang lelap, pikirku mungkin sudah pagi dan aku akan kehilangan waktu menikmati malam ini dengan secangkir
kopi hitam, dan sebungkus rokok filter, yang tak penting
bagiku untuk merek rokoknya. Karena merek selalu
identik dengan brand bisnis
perusahaan. Di Sepertiga malam ini
aku
bisa menikmati malamku yang bukan malam orang lain dengan penuh hura-hura
menikmati glamournya sudut kota Jogja
seperti pada tiap malam minggu biasanya.
Saat beranjak dari tidur, pertama
yang
terlintas dalam benakku segera ke warung
dekat kosan membeli roti coklat yang nantinya aku lahap dengan kopi
hitam. Setelah itu sebatang rokok aku nyalakan untuk melengkapi makan malam
yang bukan makan malam sebenarnya, seperti orang lain seadanya. Bagi kebanyakan
orang, makan siang atau makan malam atau makan tentunya harus berupa lauk pauk,
nasi-ikan-sayur, atau nasi-ayam-sayur, nasi-telur, nasi-goreng, nasi-kucing
(angkringan) atau magelangan yang semuanya harus ada nasinya. Mungkin karena
kita sudah terbiasa menyebut makan, harus pakai
nasi
atau nasi sebagai yang utama dalam makan. Kalau makannya cuma roti, sagu,
pisang goreng belum dianggap makan bagi orang timur Indonesia. Makan yaa harus
nasi atau pakai nasi.
Aku sering menemukan
masalah demikian ketika ketemu dengan
beberapa teman. Saat aku menanyakan sudah makan? Maka jawabannya “belum makan, saya tadi hanya makan roti, atau pisang goreng”. Dan baginya itu belum makan.
Mungkin yang dia maksud belum kenyang. Tapi makan roti atau pisang goreng juga
bisa membuat perut kenyang. Aku demikian, makan roti atau pisang goreng bagiku
itu sudah makan untuk bisa melakukan aktivitas selanjutnya.
Sebatang rokok hampir
aku habiskan, imajiku keluyuran kemana-mana,
kepulan asap memenuhi ruang tamu kecil depan kamarku. Maklum anak kost.
Semenjak kuliah di Jogja, keterasingan selalu melekat di dalam jiwa ini.
Separuh jiwaku masih berada di Ternate. Pinginku dimana aku berada, disitu aku adanya. Tapi tidak bisa, selalu saja ada
batas yang mengisyaratkan aku hanya sementara di Jogja menempuh pendidikan
lanjutan. Terbelah, mungkin itu kata yang pas yang aku alami. Kerinduan “kampung
halaman” selalu menggebu-gebu. Tapi ketika aku kembali ke Ternate bersua dengan
keluarga, dan juga teman-teman, sangat terasa kerinduanku pada Jogja. Rindu terhadap
suasana Jogja yang adem ayem. Rindu kepada teman-teman
kuliah yang begitu mencair bersahabat, berbagi apa adanya. Rindu akan suara
dosen-dosenku yang luwes, cerdas, dan “menakutkan”. Serasa aku menemukan
suasana kemanusiaan yang begitu mendalam di kampus itu.
Terlepas dari frustasi
yang aku alami ketika selesai kuliah, yang sering membuatku lapar lagi walau kadang sudah
makan sebelum masuk kelas. Semua energiku hilang seolah terserap saat berhadapan dengan dosen-dosen yang
super killer dengan kelebihannya
masing-masing. Tapi dengan frustasi
yang aku alami, kegelisan kian hari kian bertambah, walau belum memuncak. Karena kalau aku sudah mulai frustasi, aku harus melakukan sesuatu sebagai pelarian. Pelarianku
sederhana berdiam diri di kamar dan tidur sepuasnya. Tanpa melakukan apa-apa.
Kalau itupun tidak berhasil aku sering nongkrong di café Semesta dengan
mengajak teman untuk bercerita apa adanya, juga tentu melirik si rambut panjang
yang sering memberikan aura menggoda. Begitulah lelaki, matanya selalu terpana
dan terlena dengan sosok indah, ayu juga kemayu.
Tapi hanya sebatas
melirik, dan mengagumi si aduhai berambut panjang yang datang dan pergi di café itu. Sebab aku hanya sebatas menikmati pemandangan
indah yang aku tatap dan terasa memenuhi dahaga,
sudah membuat
frustasiku berkurang. Aku tidak bisa melakukan lebih pada si rambut panjang
yang aku temui, yang baru aku kenal. Tidak bisa. Yaa tidak bisa. Karena di seberang
lautan jauh di timur Indonesia sana, telah aku gadaikan seluruh hidupku untuk
dia disana yang selalu setia menungguku kembali. Aku disini hanya menikmati
pemandangan yang berlalu lalang itu. Yah, seperti berada di taman yang luas, dan aku hanya mampu mengagumi bunga-bunga yang cantik beserta panoramanya, telah membuat hatiku lega. Begitulah aku di Jogja ini.
Teman-temanku selalu
melakukan ritual jumatan. Ritual dengan “air suci” yang dapat menghilangkan dahaga. Itu juga bagian dari
pelarianku dengan teman-teman. Mereka adalah senior dan juga teman angkatanku
yang baik hati dan tidak sombong, selalu mencair ketika duduk bersama di bawah
beringin keramat itu. Yaa beringin Soekarno namanya. Beringin yang selalu
memberikan suasananya yang teduh, semacam energi baru ketika duduk di beringin
yang besar itu. Beringin yang indah dan tidak menyeramkan. Tidak seperti
beringin-beringin di tempatku waktu kecil dulu
yang
rindang, gelap, dan menyeramkan. Ritual itu
selalu membuatku refresh, dan tentunya frustasiku berkurang.
Namun, setelah dari itu selalu saja aku mengalami ketegangan ketika setiap hari senin
hingga kamis. Di ruang Palma itu, ruang yang membuatku tak berdaya. Ruang
dimana aku dan teman-temanku mendapatkan pencerahan dengan penuh kesakitan.
Begitu juga ruang Anjani, Lontar juga ruang Realino tentunya.
Dan aku masih terasa terasing ketika pulang dari kampus. Berada di kosan
membuatku rindu kepada teman-teman kecilku yang jauh di seberang
lautan sana. Mereka berdua, selalu memberiku tawa, canda di rumah ketika
seharian aku lalu lalang di Ternate. Keduanya selalu menjadi teman baikku di
rumah. Bermain bersama hingga tawa pecah mengisi jiwa menjadi tentram.
Satu lagi teman kecilku bertambah namun sampai kini, aku juga belum bersua
dengannya. Rinduku terpaut di
sini,
padanya di sana yang selalu aku jaga untuk menghampirinya. Yah, untuk sementara
waktu teman kecilku itu belajar bermain dulu dengan kedua kakaknya dan juga
ibunya yang dapat mengajarinya tentang kasih sayang dan kebaikan. Aku percaya,
setiap ibu, dan semua ibu di dunia ini mempunyai pengetahuannya sendiri dalam mengajari
anak-anaknya. Ibu selalu menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Ibu selalu menjadi
tempat pelarian ketika kita ingin bersandar. Ibu selalu mendengarkan keluh
kesah, keinginan, dan kemauan yang diminta. Ibu selalu
menjadi tempat terakhir berlindung ketika ada masalah. Itu ingatan waktu
kecilku. Begitu juga ayah, yang selalu memberiku cara hidup sebagai lelaki yang
harus berani, jujur dan tidak gegabah. Walau kadang
ayah membuatku takut kepadanya ketika aku berbuat salah. Ayah tak lain seperti
Penjaga Malam yang siap menerkamku ketika aku melakukan kesalahan. Berbeda
dengan ibu yang penyayang, pelindung, dan pemberi semua keinginan yang aku pinta.
Itu juga ingatan masa kecilku.
Sehingga aku yakin,
teman kecilku tidak akan apa-apa, karena dia sedang bersama dengan pelindungnya
yang dapat merawatnya dengan baik lewat cinta kasihnya. Dan aku sebagai Penjaga
Malam bagi mereka, masih duduk di seberang sini
ditemani secangkir kopi hitam pekat, roti coklat, dan sebungkus rokok, yang
membuatku menikmati malam ini. Malam yang hening, tak ada gemuruh saking
heningnya detak jam dinding terdengar jelas di telingaku... Tak, tak, tak...
seolah memberi ritme dan petunjuk tentang waktu yang terus berjalan.
Asap masih mengepul
memenuhi ruang kecil kosanku. Imajiku masih
berkeluyuran dalam kesendirian, dan masih mengingat-ngingat apa yang aku baca
beberapa hari ini, juga apa yang dibilang sang Guru kepadaku. Kemudian teori
bergentayangan tak karuan dalam imajiku, mencoba mengingat yang mau aku tulis.
Malam
mulai larut, hatiku mulai tenang, jiwaku makin teduh, dan imajiku masih berkeluyuran serasa tak bertuan. Dan aku masih setia duduk di tempatku bersama kopi hitam pekat, dan nyala rokok terus
memberi isyarat dalam tiap tarikan bahwa aku harus menulis. Yaa, segera menulis
syarat kuliahku. Karena satu hal yang
aku butuhkan dari semua ini, “aku ingin
pulang bermain dengan ketiga teman kecilku, sembari membesarkan mereka.”
di Batas Kota
Yogyakarta.
(Sagan_Terban-Gondokusuman, 16/11/2014)
0 komentar:
Posting Komentar