- Cerpen Asriyana Barham
“Waaah,
terima kasih banyak yaah, jadi tara enak hati “ kataku kepada Kak Rio. “iyoo, santai saja, hahaha ”. Sambil
tertawa dan langsung mohon pamit.
Aku masih berdiri tepat di depan pintu sampai Kak Rio tak lagi
terlihat.
Aku lalu masuk ke kamar dan menutup diri. Aku duduk
bersilang di lantai, kulihat jam di handphone, “ini masih pagi baru jam sembilan“ gumamku
“Kehidupan adalah drama yang penuh
tragedi dan komedi,”kata mom kepadaku, “Kau harus belajar untuk
sedikit lebih menikmati episode-episodenya yang menggelikan”.
Mataku membesar, aku kaget luar biasa. Kalimat
yang benar-benar menantangku seakan ingin mengajaku untuk masuk kedalam
dunianya. Baru juga membaca sinopsis, hatiku sudah tak karuan penasarannya. Aku
masih terpana. Judul novelnya adalah Istana Kaca.
Novel ini merupakan pemberian seseorang, seorang
kakak yang baik hati, yang telah mau memberi dan memperkenalkan aku
dalam kehidupan Jeannette Walls.
Dan aku jatuh cinta pada novel ini.
Hampir 2 jam berlalu. Aku berada di dunia Istana Kaca, ikut dalam rumah mobil
keluarga Rex Walss. Menjadi bagian dari Keluarga super luar biasa yang
terus hidup berpindah-pindah. Dari kota satu ke kota yang lain, bahkan
hidup digurun pasir yang gersang dan kemudian hidup lagi di dalam mobil
dan terus melanjutkan hidup yang bebas dan sangat merdeka.
Sekilas, aku melihat sudah sampai pada halaman
85 dari 520 halaman. Aku sadari bahwa Jeannette
Walls ingin membuatku paham bahwa hidupnya sangatlah berantakan namun
penuh kebahagiaan, karena dia menikmati dengan setulus hati. Semakin aku
membaca semakin aku terus menyamakan bahkan membanding-bandingkan antara
aku dan Jeannette Walls. Kami sama-sama
anak perempuan yang cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yang
memiliki masa kecil yang bebas, merdeka. Namun kemerdekaan kami berbeda, Jeannette Walls kecil dididik kedua
orang tuanya belajar pada alam sebebas-bebasnya tanpa ada aturan yang mengikat
sedikitpun. Sedang aku kecil adalah anak yang merdeka untuk
belajar, sebelum aku masuk seolah dasar aku sudah bebas belajar mengaji.
Aku mulai mengingat-ingat lagi kehidupanku
dimasa kecil, jika Jeannette
Walls dan keluarganya berpindah-pindah sesuka mereka untuk mencari
tempat-tempat baru untuk melanjutkan hidup mereka, namun mereka akan pergi
lagi ketika tempat yang disinggahi itu sudah tak lagi menjamin
kenyamanan. Keluargaku juga harus berpindah-pindah untuk mencari tempat
yang aman. Kami harus meninggalkan kampung di Halmahera, karena kami adalah
korban Kerusuhan Tahun 2000. Waktu itu aku belum sepenuhnya paham
penyebab kerusahan itu, yang aku pahami hanyalah bahwa
siangnya orang-orang menangis di mesjid sambil bertakbir dan menjelang malam
kami harus pergi meninggalkan kampung dengan perahu-perahu kecil untuk mengejar
kapal besar yang dinamai kapal perang, kapal itu terparkir ditengah laut
Ibu (Ibu bukan panggilan kepada perempuan yang melahirkan anak atau perempuan
dewasa namun Ibu adalah sebuah wilayah di Halamahera Barat).
Di kapal itu, mama bilang bahwa papa berada
disebuah kamar rumah sakit. Aku ikut mama untuk melihat papa, namun aku takut
masuk kedalam kamar itu, aku berhenti di pintu saja karena aku melihat papa
terbaring di ranjangnya dengan seluruh tubuhnya dililit perban. Mata bengkaknya
yang tajam melihatku, aku menangis dan bersembunyi dibelakang mama, aku
coba lagi ingat setelah itu, tapi aku hanya ingat bahwa di kapal itu,
orang-orang berebutan makanan dan air minum. Kerusuhan itu tidak hanya membuat
kami harus meninggalkan kampung namun juga membuat papa memiliki bekas luka
jahitan hampir seluruh tubuhnya .
Kerusuhan itu memnciptakan luka dan
membawa duka banyak orang, tapi tidak sedikitpun merampas kebahagianku sebagai
anak kecil di tempat-tempat pengungsian. Aku adalah anak pengungsian yang
memiliki banyak teman di setiap tempat tinggal yang kami singgahi,
baik itu dirumah sakit maupun lingkungan baru yang kami tempati. Berbeda
dengan Jeannette Walls orang
tuanya meminta agar tidak memiliki banyak teman.
Kisah pengungsian itu tak selamanya, karena pada
tahun 2002 kami dipulangkan ke kampung. Ketika itu aku baru masuk SD
semester pertama. Keluargaku memiliki kampung untuk pulang, keluarga Jeannette Walls juga memiliki kampung
tapi tidak sebagai tempat pulang.
***
Di kampung, kebebasanku mulai berubah menjadi
anak pantai yang nakal. Aku akan pulang kerumah ketika ditunggui mama dengan
rotan bambu. Aku yang takut rotan, lalu berlari menyusuri jalan lain
yang lebih dekat dengan rumah. Masa di mana aku mulai dicari mama menjadi
sebuah hiburan bagi teman-temanku seakan ini momen yang ditunggu-tunggu
untuk bisa bernyanyi “Yoko ngana, yoko ngana pe mama cari, yoko ngana, yoko
ngana pe mama cari “ suara itu diikuti dengan suara tawa ejek yang lainnya
dan akan berhenti ketika aku sudah tak lagi terlihat. Jalan pulang yang
aku ikuti, adalah jalan barangka yang berbatu yang tak mungkin mama
melewatinya. Mama akan tiba di rumah ketika aku sudah selesai mandi dan mama
mulai memarahiku dan mencari busana mengajiku. Setiap sore -karena malam di desa tidak ada listrik- dan setiap
subuh kami harus berangkat mengaji dengan pancona atau obor dan
dengan menggunakan alat penerangan seadanya kami mengaji sampai fajar tiba. Ini
tentu berbeda dengan Jeannette Walls yang
tak memiliki aturan sedikitpun, bahkan mandi hujan dan menari bersama
halilintar-pun orangtuanya tak melarangnya sedikitpun.
Kami berdua –aku dan Walls- memiliki barang
kesukaan, kami sama-sama pencinta batu. Jeannette
Walls suka batu yang namanya pun baru aku dengar seperti mirah, obsidian dan geode, entah bagaimana bentuknya. Koleksi batu,
batuku kebanyakan dari pantai, yang aku pisahkan hanya melalui warna
saja, merah, hitam, putih dan adapun batik-batik, dan ada pula yang
bulat seperti kelereng. Benda-benda itu semakin bertambah banyak di sudut kamar
mandi dan di dapur, yang lantas dipermasalahkan oleh mama. Karena takut
dibuang, kusembunyikan sampai akhirnya aku pun lupa tentang batu-batu itu
dan mencari batu-batu baru lagi.
Semakin usia kami bertambah, kami mulai
melupakan batu-batuan. Jeannette Walls memiliki kesukan baru yaitu memiliki
hewan peliharaan seperti ular, burung-burung liar, dan kucing hutan. Aku juga
begitu, memiliki kesukaan baru yaitu aku senang berternak. Keluargaku
memiliki kandang kambing. Di kandang itu ada beberapa ekor kambing dan
aku memilki seekor kambing betina yang berwarna putih yang aku beri nama
Bule, kambing yang paling aku sayang. Setiap sore sebelum mandi di pantai aku
harus memasukan kambing-kambing itu ke kandang, membersihkan kandang, membakar
kayu disekitarnya dan papa yang bertugas memberi makan. Rutinitas itu
berhenti ketika aku mulai memasuki sekolah menengah pertama, dan Bule-ku yang
sehat dan telah berusia tua namun terus beranak bayi-bayi putih yang lucu itu,
tiba-tiba dipotong orang tak dikenal di hutan kecil depan rumah kami. Bule-ku
itu memiliki luka potong ditulang belakang dan sebelah kakinya pun hilang. Kami
mengobatinya dengan penuh cinta. Namun Bule-ku mati, lalu bayi-bayi nya
yang diberi susu dancow juga ikut mati setelah beberapa
hari. Akupun selesai berhubungan dengan dunia ternak.
***
Jika Jeannette Walls hidup bersama kakak dan adik bersama-sama, namun
berbeda denganku, masa kanak-kanakku sampai aku sekolah tingkat pertama
aku hanya sendiri di rumah. Kedua kakak perempuanku bersekolah di kota dan
itulah kenapa aku sangat beruntung hidup bersama kedua orang tua-ku. Orang tua
ku dan orang tua Jeannette Walls
memang berbeda, namun ayah kami sama-sama genius dan sangat kami kagumi, ibuku
dan ibunya juga perempuan yang hebat, perempuan paling sederhana. Ibu Jeannette Walls suka batu dan
pohon kaktus, sedang mama hanya suka bunga-bunga dan tanaman rempah-rempah.
Aku lalu kembali pada alam sadarku, mengamati
novel, dan mengingat-mengingat sesuatu.
Yaaahaa! Aku ingat, tapi aku lupa kapan
waktunya, yang pasti aku pernah melihat di televisi di sebuah program yang
namanya masih aku ingat yaitu On the spot, sat itu ditayangkan
tentang sebuah keluarga di Amerika yang hidup dan tinggal di dalam mobil dengan
terus melakukan perjalanan. Entahlah, ini kebetulan atau atau tidak. Tapi
kisahnya memang mirip. Aku yakin itu adalah kisah keluarga Rex Walss.
Aku juga tahu semua orang punya cerita hidup
berbeda-beda, tidak ada yang sama kalaupun kebetulan sama, pastinya tidak
sama persis. Itulah kehidupan.
Aku kembali menatapnya lagi. Sungguh, aku sangat
suka novel inspiratif ini.
****
Sudah seminggu aku berteman dengan Jeannette Walls , aku akui dia adalah
ceminku. Darinya aku bisa melihat diriku yang sebenarnya.
Aku anggap ini adalah sebuah kado ulang tahunku,
meskipun lebih awal pemberiannya namun ini adalah kado ulang tahun
pertama dan sungguh luar biasa. Biarpun sang pemberi tak memiliki niat seperti
itu, namun aku sebut ini sebuah kebetulan. Ya, ini kebetulan.
Aku sangat yakin ini sebuah kebetulan yang luar
biasa, karena aku selalu percaya dengan sebuah pemikiran besar oleh Harun
Yahya yang menyatakan bahwa : “hidup
dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun
setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang
sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal
sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak
terbantahkan.”
Pemikiran itu, aku temui ketika membaca novelnya
Andrea Hirata yang berjudul Edensor
yang juga merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar pelangi.
Wooooww..... Super sekali dek... 💞
BalasHapusWooooww..... Super sekali dek... 💞
BalasHapus