Judul
Buku : Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan
Penulis : Anna Lowenhaupt Tsing
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan : Edisi Pertama 1998
Tebal : xxvi + 522 halaman
ISBN : 979-461-306-1
Buku ini membahas mengenai
konstruksi kebudayaan dan politik dari marginalitas dari sudut pandang
antropologi. Dalam membicara marginalitas sebagai pengembangan teori, Tsing
mengacu pada pendekatan “eklektik” bukan eksotik. Tsing berusaha mengkonstruksi
kembali teori kebudayaan konvensional sebagai pengetahuan dominan dan bersifat
mapan. Pusat perhatiannya pada marginalitas melibatkan pilihan untuk merumuskan
suatu perspektif mengenai kebudayaan dan komunitas yang berlawanan dengan
perspektif-perspektif lain yang paling umum dalam imajinasi populer maupun
etnografi klasik (hal.8). Buku ini Tsing mengkaji suku Dayak Meratus di
Kalimantan Selatan, di mana negara maupun masyarakat lainnya menyebut mereka sebagai
suku terasing, orang bukit, orang gunung, orang pinggiran, orang primitif yang
tidak beradab. Untuk menghindari istilah yang semakin meminggirkan ini, Tsing
menggunakan istilah atau sebutan “Orang Meratus”.
Mengkaji
persoalan marginalitas orang Meratus, Tsing mengacu pada konsep marginalitas
oleh ahli teori feminis bernama Gloria Anzuldua, membicarakan penggunaan
imajinatif dan empatetik dari perspektif dualistik “kesadaran daerah
perbatasan”. Perbatasan adalah semacam tepi; mereka membayangkan sisi yang lain
(hal.27). Atau mereka yang hidup di perbatasan dipandang sebagai “orang lain”,
terutama orang kota. Bayangan mengenai perbatasan dimana kajian kreatif
mengenai pendefenisian sendiri orang-orang yang berada di pinggiran (margin)
tanpa mengabaikan kekuasaan dan pengetahuan. Konsep “perbatasan” kemudian
diperluas oleh Ronato Rosaldo mengenai “persilangan perbatasan” sebagai tempat
dihasilkannya kebudayaan kreatif (ibid 1). Kedua konsepsi tersebut sebagai
kerangka analisa oleh Tsing dalam mengkaji orang Meratus yang hidup di
perbatasan dan mengalami marginalitas serta bagaimana respon-respon terhadap
ketersisihan mereka.
Suatu komunitas yang berada di daerah pinggiran,
perbatasan, perifer dan dianggap berada
di luar negara seperti halnya orang Meratus, dipersepsikan sebagai masyarakat
tidak beradab oleh negara maupun masyarakat lainya. Penekanan Tsing secara
khusus pada tahapan-tahapan marginalisasi, institusi dan pengalaman. Orang
Dayak peladang berpindah yang hidup di hutan hujan tropis di mana mereka
mendefenisikan kembali kehidupan mereka di tepi kekuasaan. Ia (Tsing) mengkaji
secara mendalam tiga persilangan sebagai proses yang membentuk marginalitas
orang Meratus yakni “aturan negara, pembentukan identitas regional dan etnis
serta diferensiasi gender” (hal.5).
Sejak awal kemerdekaan, masyarakat terasing di
Indonesia di berbagai daerah terpencil taraf hidupnya menunjukkan masih
terbelakang dan lebih rendah dari komunitas masyarakat lainnya, mendorong upaya
pemerintah untuk memperbaikinya. Upaya pembinaan oleh negara dengan premis
bahwa kehidupan masyarakat terasing tidak teratur, terbelakang dan primitif.
Penjelasan Tsing (hal.55) eksistensi orang Meratus menjadi pokok persoalan; di
mana mereka menyelahi aturan resmi mengenai ketertiban, pembangunan dan “status
politik” mereka. Kebudayaan nasional melihat orang Meratus sebagai sisa-sisa
masyarakat purba yang tak punya sejarah dan menetap di daerah pegunungan
berhutan lebat sehingga mempersulit perjalanan pejabat pada kawasan tersebut,
sebagai akibat dipandang sebagai masyarakat tidak tertib dan belum beradab. Upaya mengintegrasikan orang Meratus dalam
kebudayaan nasional pada satu sisi, dan pada sisi yang lain negara memandang
mereka sebagai masyarakat tidak beradab.
Kontradiksi inilah dikaji Tsing
sebagai marginalitas. Upaya pemerintah menertibkan orang Meratus melalui proyek
pemukiman kembali dengan asumsi cepat atau lambat mereka juga dapat
berpartisipasi dalam pembangunan dan terintegrasi secara nasional. Semenjak
tahun 1974, pemerintah melancarkan suatu program pembinaan masyarakat terasing;
masyarakat dipindahkan ke desa-desa pemukiman kembali di mana mereka dibimbing
dalam ekonomi, politik, kebudayaan, dan agama (hal.38). Kekuatan represif
negara memasuki ranah komunitas pedesaan dengan alasan menciptakan peradaban
masyarakat, namun dalam perspektif kebudayaan justru mengabaikan perspektif
lokal dan berdampak pada merapuhnya tatanan kultural masyarakat tempatan.
Pembinaan dan
penyatuan masyarakat ke dalam sistem politik di mana kebudayaan Jawa dijadikan
identitas nasional yang harus diterima seluruh masyarakat di Indonesia dan
lebih khususnya orang Meratus. Tsing menggambarkan dalam kondisi demikian orang
Meratus tunduk pada kekuasaan pemerintah, namun sekaligus menghindarinya ketika
mereka mengacu kepada kekacauan adminstrasi dan ritual dari keteraturan
pembangunan. Pemimpin Meratus mencari kesempatan dalam aturan negara dan
asimetri etnis untuk menciptakan kepemimpinan kharismatik dan mendorong
mobilitas; karena itu mereka menggoyahkan keteraturan dan unsur-unsurnya
(hal.36-37). Yang diistilahkan Tsing sebagai “Politik Perifer”, selain pemimpin
meratus membangun dialog dengan penguasa daerah dalam konteks subjektivitas
politik. Juga bagaimana respon-respon masyarakat mengenai masalah gender. Dijelaskan
pula bagaimana perempuan tersisihkan dari pengetahuan, politik serta bagaimana
mereka merespon perbedaan gender dan menciptakan krativitas mereka untuk
menantang kaum lelaki.
Pemahaman akan
marginalitas terjadi juga pada persentuhan identitas kebudayaan pada dua
kelompok tidak simetris yakni Banjar-Meratus. Orang Banjar melihat orang
Meratus sebagai kelompok masyarakat tingkat peradabannya lebih rendah
dibandingkan mereka (orang Banjar) yang tingkat peradaban lebih tinggi. Orang
Meratus bahkan diolok-olok sebagai orang bukit, tidak beradab dan tidak
bermoral karena masih percaya akan dewa-dewa. Sedangkan orang Banjar mayoritas
beragama Islam. Para pejabat menganggap orang Meratus primitif yang tidak
tertib, orang Banjar menganggap orang Meratus sebagai pemuja dewa yang tidak
bermoral (hal.39).
Kebijakan negara terhadap agama memperkuat
pandangan orang Banjar terhadap orang Meratus sebagai primitif yang tidak
beragama dan berada di luar negara. Mereka hidup di perbatasan negara dan
intens komunikasi dengan orang Banjar selama berabad-abad serta mengalami
marginalitas yang berkembang dalam dialog dengan kebijakan negara dan politik
daerah. Menurut Tsing, elaborasi marginalitas inilah yang menyebabkan kesalahan
pejabat daerah menganggap mereka sebagai tradisi primitif yang terasing
(hal.40).
Tuturan-tuturan atau cerita-serita masyarakat
tempatan di masa depan, masa lampau, masa kini di mana mereka adalah bagian
dari kerajaan Majapahit dan mengalami marginalitas sejak jaman kolonial, paska
kolonial dan hingga saat ini. Konstruksi stereotipe oleh pejabat pemerintah dan
masyarakat perkotaan bahwa orang Meratus adalah orang primitif pemburu kepala;
sebaliknya, mereka melihat negara sebagai pemburu kepala; tatkala pembangunan
memasuki pelosok-pelosok pedesaan aparat negara memburu kepala warga ketika
membangun proyek jembatan dan hal ini menimbulkan kepanikan serta keresahan
bagi warga desa. Terutama bagi pemimpin Meratus yang suka melakukan perjalanan
dan para wanita yang tersisihkan dari perjalanan.
Pembahasan mengenai kelompok marginalitas Dayak
Meratus, Tsing memfokuskan perhatiannya kepada sejumlah tokoh dan salah satunya
adalah Uma Adang yang tidak hanya dikaguminya, tetapi juga disegani di
lingkungan sosial karena memiliki kemampuan sosial dan spiritual. Tsing
mempelajari perspektif wanita setempat menurut pandangan mereka sendiri untuk
mengkaji persoalan asimetri gender; di mana mereka tersisihkan dari
pengetahuan, otoritas dan perjalanan regional. Para penyembuh tradisional
perempuan menantang kesempatan gender dengan maksud dapat tampil dan membangun
suara serta meceritakan mengenai saling keterkaitan antara gender, etnisitas
dan margintalitas politik.
Pada lingkungan sosial Dayak Meratus, pejabat
daerah tidak pernah seorang wanita. Namun, menurut Tsing, Uma Adang adalah
seorang tokoh informal yang berpengaruh dan tokoh politik tersembunyi. Lebih
janjut, Tsing melihat Uma Adang mewakili sikap masyarakat yang menghadapi
kekuatan besar. Akomodasi dan sikap protes yang bersifat gender memberi inspirasi
bagi manipulasi kreatif, di kala para wanita yang ambisius meniru sekaligus
menentang kedudukan kaum pria.
Buku ini memang banyak menggali syair-syair
orang Meratus yang menyiratkan symbol-simbol dalam upacara adat dan ritual
kepercayaan tradisional mereka, termasuk syair-syair yang mengungkapkan
asimetri gender. “Ratu Intan” merupakan legenda masyarakat Meratus sebagai
tokoh jaman silam, yang dengan ciri-ciri khasnya mampu mengungguli penguasa
pria dalam membawa masyarakat setempat dan daerah itu menuju ke arah kemakmuran
(hal.xxv). Sang Ratu pulalah yang menjadi inspirasi bagi tokoh, Uma Adang,
dalam menjalani aktivtas di dalam kehidupan sosialnya.
Dalam pembahasan buku ini Tsing menunjukkan
kecenderungan keberpihakannya pada masyarakat lemah, merasakan kegetiran akibat
tantangan kekuatan luar yang mereka hadapi dan mengabaikan pemahaman lokal. Buku ini layak dibaca oleh mahasiswa, dosen, peneliti, atau pun mereka yang ingin mempelajari ilmu-ilmu sosial,
terutama antropologi dan sosiologi.[]
oleh: Sarfan Tidore
Pegiat Institute Agraria Kepulauan (INSAN)
Pegiat Institute Agraria Kepulauan (INSAN)
0 komentar:
Posting Komentar