Random Posts

banner image

Senin, 07 Agustus 2017

Proses Marginalisasi Pada Masyarakat Terasing


Judul Buku                  : Di Bawah Bayang-Bayang Ratu Intan
Penulis                        : Anna Lowenhaupt Tsing
Penerbit                       : Yayasan Obor Indonesia
Cetakan                       : Edisi Pertama 1998
Tebal                           : xxvi + 522 halaman
ISBN                           : 979-461-306-1

Buku ini membahas mengenai konstruksi kebudayaan dan politik dari marginalitas dari sudut pandang antropologi. Dalam membicara marginalitas sebagai pengembangan teori, Tsing mengacu pada pendekatan “eklektik” bukan eksotik. Tsing berusaha mengkonstruksi kembali teori kebudayaan konvensional sebagai pengetahuan dominan dan bersifat mapan. Pusat perhatiannya pada marginalitas melibatkan pilihan untuk merumuskan suatu perspektif mengenai kebudayaan dan komunitas yang berlawanan dengan perspektif-perspektif lain yang paling umum dalam imajinasi populer maupun etnografi klasik (hal.8). Buku ini Tsing mengkaji suku Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, di mana negara maupun masyarakat lainnya menyebut mereka sebagai suku terasing, orang bukit, orang gunung, orang pinggiran, orang primitif yang tidak beradab. Untuk menghindari istilah yang semakin meminggirkan ini, Tsing menggunakan istilah atau sebutan “Orang Meratus”.

Mengkaji persoalan marginalitas orang Meratus, Tsing mengacu pada konsep marginalitas oleh ahli teori feminis bernama Gloria Anzuldua, membicarakan penggunaan imajinatif dan empatetik dari perspektif dualistik “kesadaran daerah perbatasan”. Perbatasan adalah semacam tepi; mereka membayangkan sisi yang lain (hal.27). Atau mereka yang hidup di perbatasan dipandang sebagai “orang lain”, terutama orang kota. Bayangan mengenai perbatasan dimana kajian kreatif mengenai pendefenisian sendiri orang-orang yang berada di pinggiran (margin) tanpa mengabaikan kekuasaan dan pengetahuan. Konsep “perbatasan” kemudian diperluas oleh Ronato Rosaldo mengenai “persilangan perbatasan” sebagai tempat dihasilkannya kebudayaan kreatif (ibid 1). Kedua konsepsi tersebut sebagai kerangka analisa oleh Tsing dalam mengkaji orang Meratus yang hidup di perbatasan dan mengalami marginalitas serta bagaimana respon-respon terhadap ketersisihan mereka.

Suatu komunitas yang berada di daerah pinggiran, perbatasan, perifer  dan dianggap berada di luar negara seperti halnya orang Meratus, dipersepsikan sebagai masyarakat tidak beradab oleh negara maupun masyarakat lainya. Penekanan Tsing secara khusus pada tahapan-tahapan marginalisasi, institusi dan pengalaman. Orang Dayak peladang berpindah yang hidup di hutan hujan tropis di mana mereka mendefenisikan kembali kehidupan mereka di tepi kekuasaan. Ia (Tsing) mengkaji secara mendalam tiga persilangan sebagai proses yang membentuk marginalitas orang Meratus yakni “aturan negara, pembentukan identitas regional dan etnis serta diferensiasi gender” (hal.5).

Sejak awal kemerdekaan, masyarakat terasing di Indonesia di berbagai daerah terpencil taraf hidupnya menunjukkan masih terbelakang dan lebih rendah dari komunitas masyarakat lainnya, mendorong upaya pemerintah untuk memperbaikinya. Upaya pembinaan oleh negara dengan premis bahwa kehidupan masyarakat terasing tidak teratur, terbelakang dan primitif. Penjelasan Tsing (hal.55) eksistensi orang Meratus menjadi pokok persoalan; di mana mereka menyelahi aturan resmi mengenai ketertiban, pembangunan dan “status politik” mereka. Kebudayaan nasional melihat orang Meratus sebagai sisa-sisa masyarakat purba yang tak punya sejarah dan menetap di daerah pegunungan berhutan lebat sehingga mempersulit perjalanan pejabat pada kawasan tersebut, sebagai akibat dipandang sebagai masyarakat tidak tertib dan belum beradab. Upaya mengintegrasikan orang Meratus dalam kebudayaan nasional pada satu sisi, dan pada sisi yang lain negara memandang mereka sebagai masyarakat tidak beradab.

Kontradiksi inilah dikaji Tsing sebagai marginalitas. Upaya pemerintah menertibkan orang Meratus melalui proyek pemukiman kembali dengan asumsi cepat atau lambat mereka juga dapat berpartisipasi dalam pembangunan dan terintegrasi secara nasional. Semenjak tahun 1974, pemerintah melancarkan suatu program pembinaan masyarakat terasing; masyarakat dipindahkan ke desa-desa pemukiman kembali di mana mereka dibimbing dalam ekonomi, politik, kebudayaan, dan agama (hal.38). Kekuatan represif negara memasuki ranah komunitas pedesaan dengan alasan menciptakan peradaban masyarakat, namun dalam perspektif kebudayaan justru mengabaikan perspektif lokal dan berdampak pada merapuhnya tatanan kultural masyarakat tempatan.

Pembinaan dan penyatuan masyarakat ke dalam sistem politik di mana kebudayaan Jawa dijadikan identitas nasional yang harus diterima seluruh masyarakat di Indonesia dan lebih khususnya orang Meratus. Tsing menggambarkan dalam kondisi demikian orang Meratus tunduk pada kekuasaan pemerintah, namun sekaligus menghindarinya ketika mereka mengacu kepada kekacauan adminstrasi dan ritual dari keteraturan pembangunan. Pemimpin Meratus mencari kesempatan dalam aturan negara dan asimetri etnis untuk menciptakan kepemimpinan kharismatik dan mendorong mobilitas; karena itu mereka menggoyahkan keteraturan dan unsur-unsurnya (hal.36-37). Yang diistilahkan Tsing sebagai “Politik Perifer”, selain pemimpin meratus membangun dialog dengan penguasa daerah dalam konteks subjektivitas politik. Juga bagaimana respon-respon masyarakat mengenai masalah gender. Dijelaskan pula bagaimana perempuan tersisihkan dari pengetahuan, politik serta bagaimana mereka merespon perbedaan gender dan menciptakan krativitas mereka untuk menantang kaum lelaki.

Pemahaman akan marginalitas terjadi juga pada persentuhan identitas kebudayaan pada dua kelompok tidak simetris yakni Banjar-Meratus. Orang Banjar melihat orang Meratus sebagai kelompok masyarakat tingkat peradabannya lebih rendah dibandingkan mereka (orang Banjar) yang tingkat peradaban lebih tinggi. Orang Meratus bahkan diolok-olok sebagai orang bukit, tidak beradab dan tidak bermoral karena masih percaya akan dewa-dewa. Sedangkan orang Banjar mayoritas beragama Islam. Para pejabat menganggap orang Meratus primitif yang tidak tertib, orang Banjar menganggap orang Meratus sebagai pemuja dewa yang tidak bermoral (hal.39).

Kebijakan negara terhadap agama memperkuat pandangan orang Banjar terhadap orang Meratus sebagai primitif yang tidak beragama dan berada di luar negara. Mereka hidup di perbatasan negara dan intens komunikasi dengan orang Banjar selama berabad-abad serta mengalami marginalitas yang berkembang dalam dialog dengan kebijakan negara dan politik daerah. Menurut Tsing, elaborasi marginalitas inilah yang menyebabkan kesalahan pejabat daerah menganggap mereka sebagai tradisi primitif yang terasing (hal.40). 

Tuturan-tuturan atau cerita-serita masyarakat tempatan di masa depan, masa lampau, masa kini di mana mereka adalah bagian dari kerajaan Majapahit dan mengalami marginalitas sejak jaman kolonial, paska kolonial dan hingga saat ini. Konstruksi stereotipe oleh pejabat pemerintah dan masyarakat perkotaan bahwa orang Meratus adalah orang primitif pemburu kepala; sebaliknya, mereka melihat negara sebagai pemburu kepala; tatkala pembangunan memasuki pelosok-pelosok pedesaan aparat negara memburu kepala warga ketika membangun proyek jembatan dan hal ini menimbulkan kepanikan serta keresahan bagi warga desa. Terutama bagi pemimpin Meratus yang suka melakukan perjalanan dan para wanita yang tersisihkan dari perjalanan.

Pembahasan mengenai kelompok marginalitas Dayak Meratus, Tsing memfokuskan perhatiannya kepada sejumlah tokoh dan salah satunya adalah Uma Adang yang tidak hanya dikaguminya, tetapi juga disegani di lingkungan sosial karena memiliki kemampuan sosial dan spiritual. Tsing mempelajari perspektif wanita setempat menurut pandangan mereka sendiri untuk mengkaji persoalan asimetri gender; di mana mereka tersisihkan dari pengetahuan, otoritas dan perjalanan regional. Para penyembuh tradisional perempuan menantang kesempatan gender dengan maksud dapat tampil dan membangun suara serta meceritakan mengenai saling keterkaitan antara gender, etnisitas dan margintalitas politik.

Pada lingkungan sosial Dayak Meratus, pejabat daerah tidak pernah seorang wanita. Namun, menurut Tsing, Uma Adang adalah seorang tokoh informal yang berpengaruh dan tokoh politik tersembunyi. Lebih janjut, Tsing melihat Uma Adang mewakili sikap masyarakat yang menghadapi kekuatan besar. Akomodasi dan sikap protes yang bersifat gender memberi inspirasi bagi manipulasi kreatif, di kala para wanita yang ambisius meniru sekaligus menentang kedudukan kaum pria.

Buku ini memang banyak menggali syair-syair orang Meratus yang menyiratkan symbol-simbol dalam upacara adat dan ritual kepercayaan tradisional mereka, termasuk syair-syair yang mengungkapkan asimetri gender. “Ratu Intan” merupakan legenda masyarakat Meratus sebagai tokoh jaman silam, yang dengan ciri-ciri khasnya mampu mengungguli penguasa pria dalam membawa masyarakat setempat dan daerah itu menuju ke arah kemakmuran (hal.xxv). Sang Ratu pulalah yang menjadi inspirasi bagi tokoh, Uma Adang, dalam menjalani aktivtas di dalam kehidupan sosialnya.

Dalam pembahasan buku ini Tsing menunjukkan kecenderungan keberpihakannya pada masyarakat lemah, merasakan kegetiran akibat tantangan kekuatan luar yang mereka hadapi dan mengabaikan pemahaman lokal. Buku ini layak dibaca oleh mahasiswa, dosen, peneliti, atau pun mereka yang ingin mempelajari ilmu-ilmu sosial, terutama antropologi dan sosiologi.[]

oleh: Sarfan Tidore
Pegiat Institute Agraria Kepulauan (INSAN)

0 komentar:

Posting Komentar