Sumber foto: Dokumentasi Komunitas Seribu Guru Malut
Catatan
perjalanan 4 hari bersama Komunitas Seribu Guru Malut
Tanggal 17 agustus 2017 adalah hari dimana kami
memulai perjalanan bersama ke utara Maluku Utara, bersama komunitas Seribu Guru
Malut. Bukan karena tekanan tertentu sehingga saya menulis catatan ini,
melainkan karena kebutuhan pribadi untuk menulis agar kenangan tak hanya
bersisa kenangan, yang hanya saya sendiri yang tahu.
Sebagian besar volunteer dan pengurus – kecuali saya,
yang menunggu di Sofifi dan beberapa kawan, yang menunggu di Morotai – menempuh
perjalanan menyeberangi lautan menuju Sofifi dari Ternate, menggunakan kapal
penyeberangan feri dan tiba sekira pukul 6 sore. Kami melanjutkan perjalanan ke
Tobelo melalui jalur darat dengan sebuah bus dan empat mobil selama empat jam. Meski
malam belum terlalu tua, semua volunteer memutuskan langsung mencari kasur dan
terlelap demi memulihkan tenaga untuk perjalanan berkesan yang tak berhenti
selama beberapa hari berikutnya.
Dibangunkan pukul empat dini hari untuk bergantian
mandi dan berkemas, kami bertolak dari Tobelo menyeberangi Selat Morotai menuju
tempat tujuan kegiatan Travelling and Teaching dilaksanakan. Morotai, sebuah
pulau indah nan eksotis yang membuat saya tidak bisa move on sejak 2011 ini
begitu menggiurkan, seumpama berlian bagi pecinta batu mulia dan buku baru
terbit bagi pecinta buku. Setiap butiran pasir, matahari (yang menurut saya
seolah diberi satu untuk seorang hehe), gugusan pulau, pepohonan bakau, pinus
dan pandan hutannya, udang dan lobsternya, bahkan pada setiap sejarah baik
lisan maupun tulisan yang bagi saya jadi candu. Entahlah, mungkin karena saya
punya sedikit kenangan di sana yang lama kelamaan jadi cinta.
Matahari yang perlahan naik di langit timur
Tobelo mengusir kantuk, kami menyeberang dengan dua speed boat dan aroma khas
air laut menyeruak dari celah jendela speed boat yang dibiarkan terbuka membuai
harapan baru. Speed boat melaju ke arah timur seperti menyongsong matahari, meski
tak lama keheningan membuai kantuk dan membuat semua penumpang – kecuali
motoris, tentu saja – kembali terlelap. Tiba di Morotai, kami menuju Museum
Trikora dan setelah menunggu beberapa saat kami disambut Bapak Muchlis Eso,
seorang tetua Morotai yang bercerita banyak sekali tentang sejarah Morotai
selama Perang Dunia II berlangsung. Morotai yang dahulu jadi primadona, sebelum
Belanda dan sekutu memindahkan tampuk kekuasaannya ke Batavia, adalah tempat
bersejarah dan berdarah.
Sejarah yang berdarah
Meski sejarah hanya tinggal sejarah, tetapi kita
perlu mendengarkan dan mengetahui berbagai versi sejarah agar pengetahuan
sejarah kita tak melulu jadi bias. Bersama beberapa kawan, Muhlis Eso
menggiatkan pengumpulan barang–barang sisa perang ag bisa diteruskan dalam
bentuk lisan dengan bukti kepada pemuda
Morotai dan Indonesia, bahwa Morotai pernah jadi tempat stategis
direncanakannya dan dilaksanakannya berbagai stategi perang sekutu melawan
Jepang. Adalah jenderal Douglas MacArthur (lahir 26 Januari 1880 – meninggal 5
April 1964 pada usia 84 tahun) adalah jenderal dan marsekal lapangan bintang
lima asal Amerika dari Angkatan Darat Filipina.* Menjadikan Pulau Zum–Zum
sebagai tempat tinggal sementara PD II berlangsung, Mac Arthur memainkan peran
besar dan penting dalam teater pasifik dan memerawani Morotai. Menumpahkan
darah di segala penjuru Morotai dan menyisakan cerita yang tak akan pernah mati
selama masih ada literatur sejarah dan pengiat sejarah seperti Muchlis Eso dan
kawan–kawannya.
Bercerita dengan berapi–api, Muhlis Eso adalah sosok
lelaki yang sangat ramah, menjadikan semangat berbagi sebagai pegangan hidup,
ia keukeuh mengumpulkan berbagai barang peninggalan PD II dan memajangnya di
kediaman yang disulap jadi museum pribadi. Boleh dikata, Muhlis Eso adalah
kolektor benda bersejarah dengan tujuan termulia yang tak tergiur unsur
komersiil. Selain bercerita banyak tentang sejarah semasa PD II, beliau juga
bercerita tentang suku asli yang mendiami Pulau Morotai yakni suku
Galela–Tobelo dan tentu saja Orang Moro. Karena saya lupa–lupa ingat tentang
cerita beliau tentang penduduk asli Morotai, saya bisa merekomendasikan sebuah
novel sejarah yang ditulis Y.B Mangunwijaya berjudul “Ikan–Ikan Hiu, Ido, Homa”
yang diterbitkan oleh Djambatan tahun 1987 dan diterbitkan kembali oleh Penerbit
Buku Kompas pada 2015. Novel sejarah ini, sebagaimana tertulis pada sinopsis di
sampul belakang buku, adalah novel sejarah yang menggabungkan catatan
kebudayaan masyarakat Halmahera, kehidupan lintas generasi dari suku Tobelo,
dan menyimpulkannya dalam satu benang merah : semangat kepahlawanan dan
keberanian masyarakat dalam menghadapi penguasa dan bangsa kolonial.
Melanjutkan perjalanan ke Air Kaca di Totodoku saat
matahari sepenggalah naik, kami disuguhi cerita sejarah lainnya –sebagai teman
sarapan bubur kacang ijo– tentang Air Kaca. Mata air yang dipercaya tersambung ke
Laut Morotai melalui lorong bawah air ini, adalah tempat mandi para pembesar
perang pihak sekutu, berdasar cerita dari teman pak Muchlis Eso –yang maaf,
saya lupa nama beliau– mata air ini dinamai Air Kaca karena para penduduk hanya
bisa melakukan komunikasi dengan Orang Moro melalui mata air ini. Jika
beruntung Orang Moro –yang bisa dikenali dengan tidak ada filtrum atau lekukan di
bawah hidung– akan muncul seumpama bayangan di permukaan air untuk
berkomunikasi. Dewasa ini, cerita lisan ini semakin berbumbu dengan ditambahkannya
cerita tentang barang siapa yang mencuci muka dan menampak bayangannya di
permukaan akan berjodoh dengan pasangannya yang sekarang. Hmm.. semoga.
Setelah sesi berfoto dan cuci muka di Air Kaca, kami bergeser ke Juanga tempat pak
Muchlis Eso menggelar segala jenis barang peninggalan sejarah di kediaman
pribadinya. Di sini kami bisa menemukan pengetahuan besar tentang sejarah PD II
dalam skala tempat kediaman yang bersahaja. Tak urung perjalanan travelling dan teaching sesi
5 bersama Komunitas Seribu Guru Malut ini jadi berharga, sebab tidak setiap
yang berharga harus dalam bentuk benda, bukan?
Perjalanan wisata sejarah kami berakhir saat
shalat jumat dan makan siang bersama di taman kota Daruba yang berhias
huruf–huruf besar bertuliskan Morotai Daloha.
***
Bertolak ke Pulau Dodola, kami diberi kebebasan
meng–eksplore seluruh bagian darat dan laut pulau berpasir putih ini, tentu
saja setelah sesi foto–foto bersama yang mengharuskan lari–lari kecil mengejar
drone (bukan mengejar matahari hehe), membentuk angka 5 –angka ini sarat makna,
bagi Komunitas Seribu Guru Malut, angka 5 atau salam 5 jari bermakna setiap
orang bisa jadi guru sekaligus merayakan hari jadi komunitas ini yang ke 5,
sedang bagi saya yang bekerja pada isu perlindungan anak dan pemberdayaan
perempuan salam 5 jari berarti salam perlindungan anak–, diminta memandang ke langit
dan berhalo–halo ria ke drone yang sontak menimbulkan gelegak tawa.
Mengajar tanpa RPP
Menjadi rajin, bangun pagi dan mandi lebih awal
dari biasanya jadi kebiasaan selama 4 hari mengikuti kegiatan ini. Meski kurang
tidur, semangat mengajar tak membuat satupun dari kami mengeluh. Kami memulai
kegiatan mengajar pada 19 agustus 2017 dengan upacara bendera untuk
memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72, di halaman SD Inpres Koloray,
satu–satunya sekolah dasar di Pulau Koloray, Kabupaten Pulau Morotai.
Pulau Koloray adalah pulau di Kecamatan Morotai
Selatan dengan topografi pulau yang landai.** Dahulu pada 2011 saat PILAS Institute melakukan
Baseline Survey selama 2 minggu di sini –saya ditempatkan di Pulau Galo–Galo, tanjung
di belakang SD Inpres dipenuhi pohon pinus yang menjulang tinggi dan hijau,
saat pendampingan Eco Climate Village bersama Samdhana Institute pada 2013
pohon pinus sudah mulai kering di beberapa tempat, dan pada 2017 kami disuguhi
pemandangan gersang yang hanya menyisakan pangkal–pangkal pohon sisa penebangan,
hal ini bisa saja disebabkan naiknya air laut ke pantai yang dahulu dibentengi
talud ini.***
Kembali ke proses mengajar tanpa RPP, pada briefing
sebelum mengajar para volunteer dibagi kedalam 6 kelas dan hanya mengajarkan
materi tentang Pancasila, pengenalan berbagai profesi, dan bencana alam serta
pemberian motivasi agar para siswa–siswi tetap memiliki asa dan cita–cita dalam diri. Penekanan melalui diksi diselingi
ice breaking dipilih sebagai metode efektif agar para siswa tidak bosan dan tetap
semangat belajar meski kelas digelar di luar ruangan, karena ruangan kelas
digunakan sebagai tempat tidur para volunteer perempuan.
Pertama kali mengikuti kegiatan teaching ini
sedikit banyak memberi saya semangat baru dalam menjalani hidup, sekaligus
memberi saya semangat untuk berbagi. Jika selama ini yang kami lakukan adalah
kajian teori yang berat dan kaku, maka saya menemukan nafas baru dalam berbagi
pengetahuan. Seumpama sastra yang memberi saya perspektif baru, kala suntuk
dengan buku teori dan rutinitas pekerjaan yang makin lama makin membosankan.
Travelling dan teaching bersama komunitas ini bisa jadi alternatif berbagi semangat
dan inspirasi dengan anak–anak dan orang–orang yang sangat peduli pada
pendidikan di pedalaman Indonesia. Bertemu orang baru lalu berkawan, bertemu
pak Muchlis Eso dan kawan, bertemu para murid, memperoleh dan berbagi
pengetahuan, bertukar pengalaman, dan berjumpa dengan Talita kecil yang
memesona dengan tingkah seriusnya saat menonton proses mengajar kelas 5 dan
kelas 6 yang kebetulan digelar di luar ruang kelas, adalah hal yang paling
membahagiakan bagi saya, dan pastinya membuat saya semakin susah move on dari
Morotai.
Saya angkat topi untuk Komunitas Seribu Guru Malut, salam
lima jari, salam perlindungan anak dan salam cerdas berfikir, santun bersikap. Sukur
dala-dala.
Tidore, 27 Agustus 2017
ket:
*sumber wikipedia
**ppk–kp3k.kkp.go.id
*** sumber media sosial Asniar Wahab
**ppk–kp3k.kkp.go.id
*** sumber media sosial Asniar Wahab
Oleh :Ovy Hayatudin
Ah, baper saya bacanya 😍
BalasHapus