Random Posts

banner image

Selasa, 29 Agustus 2017

Anak-Anak Pulau
















Foto: dokumentasi 1000 Guru MAlut

Langit mendung sore itu, lalu hujan deras menjemput magrib, kilat dan guntur sepakat beriringan, pulau kecil itu rasanya nyaris terbang diterpa angin kencang, membuat ibu gelisah tak menentu karena ayah belum juga pulang.

“Kami tak butuh hasil tangkapan ikan yang banyak ayah, kami hanya butuh ayah berada di antara kami dalam cuaca seperti ini,” Ade membatin. Si bungsu yang biasa disapa Ade tak bisa menyelesaikan PR dari sekolahnya malam itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya, Ade adalah siswi kelas V SD yang sangat giat belajar, tak satu pun PR yang diacuhkan. Namun malam itu, ia hanya bisa menatap ibunya yang mondar-mandir di depan meja tempatnya belajar. 

“Assalamu’alaikum, Kaka pulaaang,” teriakan si sulung, siswa kelas satu SMP, yang biasa disapa kaka memecahkan hening. Kaka baru saja pulang dari masjid, menunaikan sholat magrib. 

“Wa’alaikum salam,” Ade dan ibu serentak membalas salam. Kaka langsung mencium tangan ibunya, ia menangkap kegelisahan yang nampak di raut ibunya. Ibu sakit? tanya kaka yang mulai khawatir. Ia menopang ibunya ke kursi di samping Ade. Ibunya hanya membisu, kaka menatap Ade, berharap menemukan jawab atas kegelisahan itu.

 “Itu loh kak, ayah belum pulang,” jawab Ade sambil memeluk ibunya. “Lah, ayah kan sudah keseringan pulang malam bu, mungkin lagi keasyikan narik ikan.” Kaka menahan tawa menyaksikan ekspresi Ade dan ibunya yang amat dramatis menurutnya. Mengkhawatirkan apa yang tak mesti dikhawatirkan, demikian pikir Kaka.

 “Iya kak, ayah sudah sering pulang malam, tapi tidak dalam cuaca seperti ini,” akhirnya ibu bersuara juga, namun dengan nada suara yang amat berat, seolah ada sesuatu yang menekan tenggorokannya. 

“Baiklah bu, Kaka ke pantai ya, nungguin ayah, ibu dan Ade tak perlu khawatir, Kaka yakin ayah baik-baik saja”. Kaka langsung bergegas ke pantai. 

Ibu merasa sedikit lega setelah Kaka ke pantai, meski belum ada kabar kepulangan ayah, disamping itu, ade terus meyakini ibunya, “Ade juga yakin ayah baik-baik saja bu, ayah kan raja laut bu,” bibir Ade melengkung, menampakkan senyum bangga atas ayahnya, dan Ade berhasil mengukir senyum di bibir ibunya.  

Beberapa menit kemudian, Kaka kembali dengan nafas tersengal-sengal, raut pucat, tubuh gemetar, ada gelombang air mata yang desak-desakan turun ke pipinya. “A…. a…. Ayah, bu”, Ayah kenapa kak? tanya ibu yang berusaha tegar menutupi kegelisahannya. “Ayah kenapa kak?” Tanya Ade yang langsung menarik-narik tangan kakaknya, “ayah kenapa kak?”, Ade semakin mendesak, “Kenapa kak?”. 

“A…. a…. Ayah….”, Kaka tak kuasa meneruskan kalimatnya, seperti ada sesuatu yang mencekal tenggorokannya. Ibu langsung memeluk Kaka, dalam pelukan ibu, Kaka menemukan sedikit kekuatan meneruskan kalimatnya, “Ayah terdampar di pantai bu, Kaka tak sanggup melihatnya”. “Innalillahi wa innailahi roji’un.” ibunya berusaha menguatkan otot-ototnya yang tiba-tiba lemas, Kaka dan Ade tergugu menangis. 

“Assalamu’alaikum,” beberapa warga yang memboyong sang ayah dari pantai tiba di rumah. “Wa’alaikum salam,” hanya ibu yang menjawab salam. Isak tangis kedua anaknya pecah setelah melihat sang ayah. 

Warga setempet langsung menyiapkan segala kebutuhan untuk persiapan memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan jenazah malam itu juga. Tak ada yang bisa dilakukan oleh ibu, selain menguatkan kedua anaknya. “Kita ikhlaskan ayah ya kak, dek, agar ayah bisa beristirahat dengan tenang.” Kedua anaknya hanya mengangguk menahan isak. 

Setelah pemakaman, ketiganya kembali ke rumah. Suasana hening menyelimuti mereka. Tiba-tiba ade teringat akan sekolahnya.

“Sekolah Ade gimana bu? Apa Ade berhenti saja?”

 “Tidak dek, Ade harus tetap sekolah, Ade tak perlu risau soal biaya, Kaka janji akan menjadi tulang punggung keluarga, Kaka bisa ikut Fonae (Nelayan tangkap ikan dengan personil ± 15 orang) dan….”. 

“Tidak kak,”  ibu memotong pembicaraannya, “Kaka dan Ade harus tetap sekolah, soal biaya, itu urusan ibu, yang perlu kalian lakukan adalah belajar dan belajar, wujudkan impian ayah, ayah sangat ingin mewujudkan cita-cita kalian, tolong jangan kecewakan ayah”. 

“Tapi bu, apa yang akan ibu kerjakan untuk memenuhi kebutuhan kita?” tanya Kaka yang tidak rela ibunya menjadi tulang punggung. 

“Ibu bisa melakukan banyak hal kak, banyak daun pandan di sekitar pulau ini, ibu bisa menganyam tikar, bisa membuat gelang, tas, bross jilbab, dan beragam aksesoris dari daun pandan", 

"Ibu juga bisa mengambil kerang di sekitar pulau Zum-Zum, ada Bia Kima, Tabule tetto ka, Mulasa (Bia Faneti), Gogi Soro, Bia Raga, Kosa, Taga Para, Saroa, Tawini, Cici Potunu, Babasu (Bia Tamaku), Bobasane, Pea-Pea, Bobaenti, Salapaku, dan Sosononga. Alam menyediakan banyak kerang yang bisa ibu jual, ibu bisa menjual mentahnya di pasar Daruba, juga bisa menjual yang sudah dikeringkan, Insyaa Allah, rezeki setiap orang sudah ditentukan oleh Pemberi Rezeki, kita tak perlu risau soal itu, ya?”

“Oke bu, tapi ibu jangan melarang Kaka untuk bantu ibu mengambil daun pandan ya?” ucap Kaka bersemangat untuk membantu ibu, “Ade juga, Ade bantu jualan ya bu?” ibu tersenyum mendengar nada memohon dari kedua anaknya, “baiklah, Kaka dan Ade boleh membantu ibu, tapi sepulang sekolah”. “Siap bu”, keduanya kompak memberi hormat. 

Pentasnya berakhir dengan tepukan meriah penonton dan beberapa ibu-ibu yang mengusap mata karena BAPER dengan tampilan anak-anak pulau. Mereka adalah siswa/siswi kelas satu SMP Muhammadiyah Kolorai, saat itu (2013) sekolahnya baru beberapa bulan diresmikan, kelasnya baru diisi oleh siswa kelas satu, kelas dua dan tiga masih kosong. 

Lalu MC mempersilahkan persembahan terakhir dari seorang siswa kelas V SD Inpress Kolorai yang membacakan puisiku berjudul Rindu Rasulullah. Namanya Faisal Labuha, ia sangat bersemangat setelah mendengar penyampaian Hikmah Isra Wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW, karena ada beberapa kalimat dalam puisi itu juga disampaikan oleh penceramah, “Anta syamsun, Anta badrun, Anta nurun fawqa nuri”. 

Yah, itu adalah rangkaian acara dalam memperingati Isra Wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 2013 lalu, yang digelar di depan mesjid Kolorai. Tiga hari sebelum acara, Rahmi Moloku (Ibu guru SMP Kolorai, sekarang menjadi kepala sekolah) memintaku menuliskan naskah drama untuk ditampilkan oleh siswa-siswinya, dan dua puisi yang dibacakan oleh seorang siswi SMP sebagai pembuka acara dan oleh seorang siswa SD sebagai penutup acara. Dan hebatnya adalah anak-anak itu hanya berlatih selama 3 hari, namun mampu menguasai panggung dan menjiwai perannya masing-masing. 
***
Tiba-tiba mobil kami berhenti, membuatku terjaga dari lamunan tentang anak-anak Kolorai. Tak kusangka, ternyata baru setengah perjalanan. Oh iya, di mobil itu ada juga 4 relawan lainnya yakni, kak Putra dari Jawa Tengah yang duduk di samping supir, kak Je’She dari Jakarta yang duduk di sampingku (kami duduk di deretan kursi tengah), di kursi belakang ada kak Ryvan dari Manado tapi berdomisili di Filipina dan kak Resky dari Bogor. Mobil kami berhenti tepat di rumah makan Malifut, lalu om supir keluar dari mobil menuju toilet di samping rumah makan tersebut. Selang beberapa menit, mobil kami kembali melaju menuju Tobelo. Selain  kami berlima, sebagian relawan dan panitia menggunakan bus dan 3 mobil lainnya. 

Dalam perjalanan menuju Tobelo, ingatanku kembali pada 2013 lalu, pada masa pendampingan atas kerja sama PILAS Institute dengan The Samdhana Institute tentang Eco Climite Village di pulau-pulau kecil (Kolorai dan Galo-Galo). Ah, aku rindu pada anak-anak pulau yang tak kenal lelah berkumpul di rumah kepala desa (tanpa diminta) hanya untuk mendengar ocehan kami. Yah, kami berempat dari PILAS Institute yang bergantian berbagi bersama anak-anak pulau yang terdiri dari siswa SD, SMP, SMA, dan beberapa mahasiswa. Nyaris di setiap malam minggu selama 4 bulan pendampingan, kami selalu berkumpul dan belajar bersama, memperkenalkan sebab-akibat Global Warming, berbagi cerita tentang alam, dan mendengarkan cerita dari satu per satu anak-anak pulau.

Mobil kami berhenti untuk kedua kalinya, dan sampailah kami di Tobelo entah pada jam berapa, kami benar-benar acuh pada jarum jam di malam itu, bukan karena tidak peduli pada sang waktu, tapi yang dibutuhkan saat itu adalah air untuk mandi dan kasur untuk merebah, lalu terlelap bersama rindu yang terus mekar diingatan. 

Tepat jam 04.00 WIT, deringan alarm mengusir lelapku, dan untuk pertama kalinya harus mandi di waktu sepagi ini. Bukan hanya mandi jam 04.00 yang menjadi pengalaman pertama, perjalanan malam dari Sofifi menuju Tobelo pun baru sekali ini (biasanya pagi dan/atau siang), selain itu, satu lagi pengalaman pertama yang paling berharga adalah berkesempatan menjadi salah satu relawan 1000 Guru Maluku Utara dalam Travelling and Teaching #5 di Pulau Morotai (17-20 Agustus 2017). Dan pagi ini, 18 Agustus, kami harus melanjutkan perjalanan dengan speed boat menuju pulau terluar Indonesia, Morotai. 

Pulau Morotai kerap memikat hati setiap orang yang berkunjung, dan aku selalu terpikat sejak 2009 menginjakkan kaki di Pulau ini. Dan lebih terpikat lagi karena Travelling kali ini bersama relawan dari berbagai kota dan beragam profesi. Ah, ingatanku kembali membayangkan bagaimana kegirangan anak-anak pulau pada agenda Teaching besok. Anak-anak yang selalu senang berbagi dengan siapa saja, dan  selalu bersemangat belajar tentang apa saja. Yah, aku benar-benar rindu pada anak-anak pulau yang telah mengajariku banyak hal.
***
Setiba kami di Morotai, agenda pertama yang kami lalui adalah Travelling ke museum Trikora, lalu ke Air Kaca dan ke rumah Pak Muhlis Eso, rumah pribadi bak  museum sejarah yang dipenuhi beragam peninggalan PD II, dan kembali lagi ke Daruba untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Dodola setelah Jum’atan. Nah, Pulau Dodola adalah titik terakhir Travelling kami. Sekitar jam 18.00 WIT perahu yang kami tumpangi melaju menuju pulau Kolorai. 

Sesampai di dermaga Kolorai, apa yang kubayangkan benar-benar nyata. Kami sudah disambut oleh senyum manis dan tatapan binar-binarnya anak-anak pulau. Dan malam ini, kemungkinan besar anak-anak itu akan tidur bersama kami di sekolah jika tidak disuruh pulang. Bagaimana tidak, baru saja tiba di sekolah, ada beberapa anak sudah mengantarkan tikar ke sekolah untuk kakak-kakak relawan. Haha... suasana inilah yang membuat rinduku pada anak-anak pulau tak kunjung sirna. 

Setelah mandi dan makan malam, kami briefing beberapa menit bersama panitia, lalu bersama kelompok per kelas yang telah dibagi oleh panitia sejak di Ternate untuk mempersiapkan beberapa media pembelajaran pada agenda Teaching besok. Setelah itu masing-masing relawan melepas lelah di lantai sekolah. 

Seperti hari sebelumnya, jam 04.00 WIT adalah waktunya mandi, untuk persiapan Teaching. Hari ini, 19 Agustus 2017, setelah sekian lama, sejak lulus dari MAN Model Ternate tahun 2006, akhirnya mengikuti upacara bendera di SD Inpres Kolorai. Ah, jadi teringat kembali masa-masa sekolah. 

Setelah upacara, kami memulai proses belajar bersama siswa-siswi SD Inpres Kolorai dan pemeriksaan kesehatan gratis oleh Tim Medis bersama masyarakat Kolorai. Yang paling berkesan dari proses belajar bersama adalah Pohon Impian, lihatlah sinar mata pada anak-anak itu ketika menyampaikan apa cita-citanya, ada semangat yang butuh dikobarkan, ada mimpi yang mesti didukung, sebab di mata itu tak hanya memancarkan semangat, namun ada pula ketakutan yang jika tidak kita padamkan, akan melenyapkan mimpi-mimpi itu. 

Bersama 1000 Guru, aku benar-benar disadarkan bahwa semangat belajar anak-anak itu ada setelah menemukan kepercayaan diri, dan kepercayaan diri anak-anak akan terlahir ketika kita mempercayai mereka, mengakui kehebatan mereka, dan yang paling penting adalah tidak menganggap mereka tidak tahu apa-apa. 

Agenda Teaching berakhir pada jam 12.30 WIT, namun siswa-siswinya hanya pulang ke rumah mengganti pakaian seragam lalu kembali lagi ke sekolah. Seperti tak ingin lepas dari kakak-kakak relawan. Hingga langit menjadi gelap, anak-anak itu seperti menyimpan segudang cerita yang tak pernah usai diceritakan, seperti butuh pendengar yang harus bersama mereka lebih lama lagi hingga cerita itu berakhir. Namun, lagi-lagi mereka disuruh pulang karena malam semakin larut, itupun masih ada beberapa yang bertahan hingga bersama kami menuju pantai. 

Malam terakhir di pantai Kolorai, dan anak-anak itu selalu saja ada di setiap ceritaku, mereka mengumpulkan potongan-potongan kayu yang berserakan di pantai tanpa diminta, menimbunnya lalu berusaha menyalakan api tanpa minyak tanah. Kami pun mengelilingi api unggung itu, dan dimeriahkan dengan sebuah game yang dipandu kak Dion (ketua panitia TnT #5), lalu berakhir dengan lagu “Maluku Utara Tanah Pusaka” oleh Risky Musaddiq diiringi petikan gitar dan diikuti oleh sebagian volunteer.   
***
Seperti biasanya kami harus mandi pada pukul 04.00 WIT,  persiapan kembali ke Ternate. Nah, lagi dan lagi, anak-anak itu sudah berkumpul di sekolah. Mereka mendahului matahari yang bahkan belum bersinar. Seperti tidak merelakan kakak-kakak relawan pergi. Dan di hari sepagi ini, mereka tidak henti-hentinya memberi kami kesan. Membersihkan halaman sekolah tanpa diminta, padahal hari ini hari minggu, dan pembersihan itu sebenarnya akan dilakukan oleh relawan, namun anak-anak itu telah mendahuluinya.

Dan akhirnya, binar mata anak-anak itu harus kami tinggalkan di dermaga Kolorai. Lambaian tangan mereka sedikit menyesakkan dada. Tetap semangat, dek!! kelak, semangat itulah yang akan mengantarkan kita pada sang mimpi.
         
                                                                             Ternate, 21 Agustus 2017 


Relawan TnT 1000 Guru Malut



0 komentar:

Posting Komentar