Foto: dokumentasi 1000 Guru MAlut
Langit mendung sore itu, lalu hujan deras menjemput magrib, kilat dan guntur sepakat beriringan, pulau kecil itu rasanya nyaris terbang
diterpa angin kencang, membuat ibu gelisah tak menentu karena ayah belum juga
pulang.
“Kami tak butuh hasil tangkapan ikan yang banyak
ayah, kami hanya butuh ayah berada di antara kami dalam cuaca seperti ini,” Ade
membatin. Si bungsu yang biasa disapa Ade tak bisa menyelesaikan PR dari
sekolahnya malam itu, tidak seperti malam-malam sebelumnya, Ade adalah siswi
kelas V SD yang sangat giat belajar, tak satu pun PR yang diacuhkan. Namun
malam itu, ia hanya bisa menatap ibunya yang mondar-mandir di depan meja
tempatnya belajar.
“Assalamu’alaikum, Kaka pulaaang,” teriakan si
sulung, siswa kelas satu SMP, yang biasa disapa kaka memecahkan hening.
Kaka baru saja pulang dari masjid, menunaikan sholat magrib.
“Wa’alaikum salam,” Ade dan ibu serentak membalas
salam. Kaka langsung mencium tangan ibunya, ia menangkap kegelisahan yang
nampak di raut ibunya. Ibu sakit? tanya kaka yang mulai khawatir. Ia menopang
ibunya ke kursi di samping Ade. Ibunya hanya membisu, kaka menatap Ade,
berharap menemukan jawab atas kegelisahan itu.
“Itu loh kak, ayah belum pulang,” jawab Ade sambil
memeluk ibunya. “Lah, ayah kan sudah keseringan pulang malam bu, mungkin lagi
keasyikan narik ikan.” Kaka menahan tawa menyaksikan ekspresi Ade dan ibunya
yang amat dramatis menurutnya. Mengkhawatirkan apa yang tak mesti
dikhawatirkan, demikian pikir Kaka.
“Iya kak, ayah sudah sering pulang malam, tapi tidak
dalam cuaca seperti ini,” akhirnya ibu bersuara juga, namun dengan nada suara
yang amat berat, seolah ada sesuatu yang menekan tenggorokannya.
“Baiklah bu, Kaka ke pantai ya, nungguin ayah, ibu
dan Ade tak perlu khawatir, Kaka yakin ayah baik-baik saja”. Kaka langsung
bergegas ke pantai.
Ibu merasa sedikit lega setelah Kaka ke pantai,
meski belum ada kabar kepulangan ayah, disamping itu, ade terus meyakini
ibunya, “Ade juga yakin ayah baik-baik saja bu, ayah kan raja laut bu,” bibir
Ade melengkung, menampakkan senyum bangga atas ayahnya, dan Ade berhasil
mengukir senyum di bibir ibunya.
Beberapa menit kemudian, Kaka kembali dengan nafas
tersengal-sengal, raut pucat, tubuh gemetar, ada gelombang air mata yang
desak-desakan turun ke pipinya. “A…. a…. Ayah, bu”, Ayah kenapa kak? tanya ibu
yang berusaha tegar menutupi kegelisahannya. “Ayah kenapa kak?” Tanya Ade yang
langsung menarik-narik tangan kakaknya, “ayah kenapa kak?”, Ade semakin
mendesak, “Kenapa kak?”.
“A…. a…. Ayah….”, Kaka tak kuasa meneruskan
kalimatnya, seperti ada sesuatu yang mencekal tenggorokannya. Ibu langsung
memeluk Kaka, dalam pelukan ibu, Kaka menemukan sedikit kekuatan meneruskan
kalimatnya, “Ayah terdampar di pantai bu, Kaka tak sanggup melihatnya”. “Innalillahi
wa innailahi roji’un.” ibunya berusaha menguatkan otot-ototnya yang tiba-tiba
lemas, Kaka dan Ade tergugu menangis.
“Assalamu’alaikum,” beberapa warga yang memboyong
sang ayah dari pantai tiba di rumah. “Wa’alaikum salam,” hanya ibu yang menjawab
salam. Isak tangis kedua anaknya pecah setelah melihat sang ayah.
Warga setempet langsung menyiapkan segala kebutuhan
untuk persiapan memandikan, mengkafani, mensholati dan menguburkan jenazah
malam itu juga. Tak ada yang bisa dilakukan oleh ibu, selain menguatkan kedua
anaknya. “Kita ikhlaskan ayah ya kak, dek, agar ayah bisa beristirahat dengan
tenang.” Kedua anaknya hanya mengangguk menahan isak.
Setelah
pemakaman, ketiganya kembali ke rumah. Suasana hening menyelimuti mereka.
Tiba-tiba ade teringat akan sekolahnya.
“Sekolah Ade gimana bu? Apa Ade berhenti saja?”
“Tidak dek, Ade harus tetap sekolah, Ade tak perlu
risau soal biaya, Kaka janji akan menjadi tulang punggung keluarga, Kaka bisa
ikut Fonae (Nelayan tangkap ikan dengan
personil ± 15 orang) dan….”.
“Tidak kak,”
ibu memotong pembicaraannya, “Kaka dan Ade harus tetap sekolah, soal
biaya, itu urusan ibu, yang perlu kalian lakukan adalah belajar dan belajar,
wujudkan impian ayah, ayah sangat ingin mewujudkan cita-cita kalian, tolong
jangan kecewakan ayah”.
“Tapi bu, apa yang akan ibu kerjakan untuk memenuhi
kebutuhan kita?” tanya Kaka yang tidak rela ibunya menjadi tulang punggung.
“Ibu bisa melakukan banyak hal kak, banyak daun
pandan di sekitar pulau ini, ibu bisa menganyam tikar, bisa membuat gelang,
tas, bross jilbab, dan beragam aksesoris dari daun pandan",
"Ibu juga bisa mengambil kerang di sekitar
pulau Zum-Zum, ada Bia Kima, Tabule tetto ka, Mulasa (Bia Faneti), Gogi Soro,
Bia Raga, Kosa, Taga Para, Saroa, Tawini, Cici Potunu, Babasu (Bia Tamaku),
Bobasane, Pea-Pea, Bobaenti, Salapaku, dan Sosononga. Alam menyediakan banyak
kerang yang bisa ibu jual, ibu bisa menjual mentahnya di pasar Daruba, juga
bisa menjual yang sudah dikeringkan, Insyaa Allah, rezeki setiap orang sudah
ditentukan oleh Pemberi Rezeki, kita tak perlu risau soal itu, ya?”
“Oke bu, tapi ibu jangan melarang Kaka untuk bantu
ibu mengambil daun pandan ya?” ucap Kaka bersemangat untuk membantu ibu, “Ade juga,
Ade bantu jualan ya bu?” ibu tersenyum mendengar nada memohon dari kedua
anaknya, “baiklah, Kaka dan Ade boleh membantu ibu, tapi sepulang sekolah”.
“Siap bu”, keduanya kompak memberi hormat.
Pentasnya
berakhir dengan tepukan meriah penonton dan beberapa ibu-ibu yang mengusap mata
karena BAPER dengan tampilan anak-anak pulau. Mereka adalah siswa/siswi kelas
satu SMP Muhammadiyah Kolorai, saat itu (2013) sekolahnya baru beberapa bulan
diresmikan, kelasnya baru diisi oleh siswa kelas satu, kelas dua dan tiga masih
kosong.
Lalu MC mempersilahkan
persembahan terakhir dari seorang siswa kelas V SD Inpress Kolorai yang
membacakan puisiku berjudul Rindu Rasulullah. Namanya Faisal Labuha, ia sangat
bersemangat setelah mendengar penyampaian Hikmah Isra Wal Mi’raj Nabi Muhammad
SAW, karena ada beberapa kalimat dalam puisi itu juga disampaikan oleh
penceramah, “Anta syamsun, Anta badrun, Anta nurun fawqa nuri”.
Yah,
itu adalah rangkaian acara dalam memperingati Isra Wal Mi’raj Nabi Muhammad SAW
pada 2013 lalu, yang digelar di depan mesjid Kolorai. Tiga hari sebelum acara,
Rahmi Moloku (Ibu guru SMP Kolorai, sekarang menjadi kepala sekolah) memintaku
menuliskan naskah drama untuk ditampilkan oleh siswa-siswinya, dan dua puisi
yang dibacakan oleh seorang siswi SMP sebagai pembuka acara dan oleh seorang
siswa SD sebagai penutup acara. Dan hebatnya adalah anak-anak itu hanya
berlatih selama 3 hari, namun mampu menguasai panggung dan menjiwai perannya
masing-masing.
***
Tiba-tiba mobil kami berhenti, membuatku terjaga
dari lamunan tentang anak-anak Kolorai. Tak kusangka, ternyata baru setengah
perjalanan. Oh iya, di mobil itu ada juga 4 relawan lainnya yakni, kak Putra
dari Jawa Tengah yang duduk di samping supir, kak Je’She dari Jakarta yang
duduk di sampingku (kami duduk di deretan kursi tengah), di kursi belakang ada
kak Ryvan dari Manado tapi berdomisili di Filipina dan kak Resky dari Bogor.
Mobil kami berhenti tepat di rumah makan Malifut, lalu om supir keluar dari mobil
menuju toilet di samping rumah makan tersebut. Selang beberapa menit, mobil
kami kembali melaju menuju Tobelo. Selain
kami berlima, sebagian relawan dan panitia menggunakan bus dan 3 mobil
lainnya.
Dalam perjalanan menuju Tobelo, ingatanku kembali
pada 2013 lalu, pada masa pendampingan atas kerja sama PILAS Institute dengan
The Samdhana Institute tentang Eco
Climite Village di pulau-pulau kecil (Kolorai dan Galo-Galo). Ah, aku rindu
pada anak-anak pulau yang tak kenal lelah berkumpul di rumah kepala desa (tanpa
diminta) hanya untuk mendengar ocehan kami. Yah, kami berempat dari PILAS
Institute yang bergantian berbagi bersama anak-anak pulau yang terdiri dari
siswa SD, SMP, SMA, dan beberapa mahasiswa. Nyaris di setiap malam minggu
selama 4 bulan pendampingan, kami selalu berkumpul dan belajar bersama,
memperkenalkan sebab-akibat Global
Warming, berbagi cerita tentang alam, dan mendengarkan cerita dari satu per
satu anak-anak pulau.
Mobil kami berhenti untuk kedua kalinya, dan
sampailah kami di Tobelo entah pada jam berapa, kami benar-benar acuh pada
jarum jam di malam itu, bukan karena tidak peduli pada sang waktu, tapi yang
dibutuhkan saat itu adalah air untuk mandi dan kasur untuk merebah, lalu terlelap
bersama rindu yang terus mekar diingatan.
Pulau Morotai kerap memikat hati setiap orang yang
berkunjung, dan aku selalu terpikat sejak 2009 menginjakkan kaki di Pulau ini.
Dan lebih terpikat lagi karena Travelling
kali ini bersama relawan dari berbagai kota dan beragam profesi. Ah,
ingatanku kembali membayangkan bagaimana kegirangan anak-anak pulau pada agenda
Teaching besok. Anak-anak yang selalu
senang berbagi dengan siapa saja, dan
selalu bersemangat belajar tentang apa saja. Yah, aku benar-benar rindu
pada anak-anak pulau yang telah mengajariku banyak hal.
***
Setiba kami di Morotai, agenda pertama yang kami
lalui adalah Travelling ke museum
Trikora, lalu ke Air Kaca dan ke rumah Pak Muhlis Eso, rumah pribadi bak museum sejarah yang dipenuhi beragam peninggalan PD II, dan kembali lagi ke Daruba untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau
Dodola setelah Jum’atan. Nah, Pulau Dodola adalah titik terakhir Travelling kami. Sekitar jam 18.00 WIT
perahu yang kami tumpangi melaju menuju pulau Kolorai.
Setelah mandi dan makan malam, kami briefing beberapa menit bersama panitia,
lalu bersama kelompok per kelas yang telah dibagi oleh panitia sejak di Ternate
untuk mempersiapkan beberapa media pembelajaran pada agenda Teaching besok. Setelah itu
masing-masing relawan melepas lelah di lantai sekolah.
Seperti hari sebelumnya, jam 04.00 WIT adalah
waktunya mandi, untuk persiapan Teaching.
Hari ini, 19 Agustus 2017, setelah sekian lama, sejak lulus dari MAN Model
Ternate tahun 2006, akhirnya mengikuti upacara bendera di SD Inpres Kolorai.
Ah, jadi teringat kembali masa-masa sekolah.
Setelah upacara, kami memulai proses belajar bersama
siswa-siswi SD Inpres Kolorai dan pemeriksaan kesehatan gratis oleh Tim Medis
bersama masyarakat Kolorai. Yang paling berkesan dari proses belajar bersama
adalah Pohon Impian, lihatlah sinar mata pada anak-anak itu ketika menyampaikan
apa cita-citanya, ada semangat yang butuh dikobarkan, ada mimpi yang mesti
didukung, sebab di mata itu tak hanya memancarkan semangat, namun ada pula
ketakutan yang jika tidak kita padamkan, akan melenyapkan mimpi-mimpi itu.
Bersama 1000 Guru, aku benar-benar disadarkan bahwa
semangat belajar anak-anak itu ada setelah menemukan kepercayaan diri, dan
kepercayaan diri anak-anak akan terlahir ketika kita mempercayai mereka,
mengakui kehebatan mereka, dan yang paling penting adalah tidak menganggap
mereka tidak tahu apa-apa.
Agenda Teaching
berakhir pada jam 12.30 WIT, namun siswa-siswinya hanya pulang ke rumah mengganti
pakaian seragam lalu kembali lagi ke sekolah. Seperti tak ingin lepas dari
kakak-kakak relawan. Hingga langit menjadi gelap, anak-anak itu seperti
menyimpan segudang cerita yang tak pernah usai diceritakan, seperti butuh
pendengar yang harus bersama mereka lebih lama lagi hingga cerita itu berakhir.
Namun, lagi-lagi mereka disuruh pulang karena malam semakin larut, itupun masih
ada beberapa yang bertahan hingga bersama kami menuju pantai.
Malam terakhir di pantai Kolorai, dan anak-anak itu
selalu saja ada di setiap ceritaku, mereka mengumpulkan potongan-potongan kayu
yang berserakan di pantai tanpa diminta, menimbunnya lalu berusaha menyalakan
api tanpa minyak tanah. Kami pun mengelilingi api unggung itu, dan dimeriahkan dengan sebuah game yang dipandu kak Dion (ketua panitia TnT #5), lalu berakhir dengan lagu “Maluku Utara Tanah
Pusaka” oleh Risky Musaddiq diiringi petikan gitar dan diikuti oleh
sebagian volunteer.
***
Seperti biasanya kami harus mandi pada pukul 04.00
WIT, persiapan kembali ke Ternate. Nah, lagi dan lagi, anak-anak itu
sudah berkumpul di sekolah. Mereka mendahului matahari yang bahkan belum
bersinar. Seperti tidak merelakan kakak-kakak relawan pergi. Dan di hari sepagi
ini, mereka tidak henti-hentinya memberi kami kesan. Membersihkan halaman
sekolah tanpa diminta, padahal hari ini hari minggu, dan pembersihan itu
sebenarnya akan dilakukan oleh relawan, namun anak-anak itu telah
mendahuluinya.
Dan akhirnya, binar mata anak-anak itu harus kami
tinggalkan di dermaga Kolorai. Lambaian tangan mereka sedikit menyesakkan dada.
Tetap semangat, dek!! kelak, semangat itulah yang akan mengantarkan kita pada
sang mimpi.
Ternate,
21 Agustus 2017
Relawan TnT 1000 Guru Malut
0 komentar:
Posting Komentar