Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 26 Oktober 2017

Halimah Halmahera

Ia gadis perawan yang rambutnya dikencur. Ia Menari tide-tide, gerakan tangannya begitu dinamis. Halmahera namanya. Ia perempuan. Ia subur dan ada “emas” yang ia kandung.

Sore itu ombak searah arus, mereka berkawan menyertai Halimah dan bapaknya. Kadang, ayah Halimah menggunakan jore-jore, memanfaatkan arah angin untuk mempercepat laju perahu. Perahu milik bapak Halimah adalah semang-semang. Punya sayap seperti baikole, gesit dan lincah.

Halimah tidak hanya duduk manis di tengah perahu, ia juga ikut mendayung. Kadang seirama dengan bapaknya, kadang berlawanan. Dayung mereka yang mengenai sisi perahu disertai gemercik air menambah sensasi pagi itu.

“Halimah, jangan terlalu keras kasih kena panggayung di perahu nanti ikan tidak makan umpan” tegur ayah ketika Halimah teralu keras membenturkan dayungnya pada sisi perahu saat mendayung.

Ketika pergi maupun pulang kebun, ayah Halimah selalu membawa alat pancing. Sembari mendayung, ayah Halimah juga menarik umpan. Biasanya dapat 2 ekor ikan. Satu ekor dimasak di kebun untuk makan siang, dipasangkan dengan rebusan singkong dan ubi. Sebagai sambal, dipetik cabe dan tomat yang tumbuh di samping dego-dego. Satu ekornya lagi akan dibawa pulang.

Matahari belum sampai setengah hari. Ayah Halimah  masih sibuk membersihkan kebun dan mengambil tunas pisang untuk ditanam. Halimah tidak ada bersama ayahnya. Ia berkeliling memunggut biji-biji pala yang jatuh. Ayah Halimah akan memanggilnya membantu jika ada bibit-bibit cabe yang harus disemai.

Halimah sudah berkeliling dari satu pohon ke pohon lainnya, mencari dengan teliti biji-biji pala yang jatuh, terselip di antara dedaunan. Ia juga memetik biji-biji yang sudah tua, yang mengaga hitam dengan bunga yang merah merona dan menggoda. Pengait yang ia bawa, ia buat sendiri dari bambu kecil yang panjangnya hanya 5 hasta, sedikit lebih pendek dari milik ayahnya.

Ketika ibunya masih hidup, Mereka selalu berkeliling bersama. Mereka mencari biji-biji pala yang jatuh. Dia ingat pada ibunya yang selalu marah jika ia tidak serius mencari biji pala. Ibunya selalu menyuruhnya untuk membersihkan daun-daun yang ada dibawah pohon. Dia juga selalu ingat bahwa ketika ibunya masih ada, ia selalu manja.

“cari yang halal itu susah. Jadi harus sungguh-sungguh” ingat Halimah dalam hati.

Sesekali air matanya menetes ke tanah jika mengingat ibunya. Kata orang desa, Halimah adalah ibunya. Walaupun kulit ibunya hitam seperti biji pala tetapi cantik. Setiap pagi, ibunya selalu menggiling beras dan kunyit menggunakan botol kaca bekas. Ibunya menggunakan bedak giling itu untuk ke kebun. Ketika pulang kebun, ia keramas menggunakan akar pohon dari hutan dicampur kelapa parut. Rambutnya seperti gumutu dari pohon enau, tetapi setiap saat selalu bersih dan wangi. Selain cantik juga baik pada semua orang. Ibunya adalah Halmahera.

Kebiasaan yang dilakukan ibunya itu diikuti oleh Halimah. Ketika selesai membuatkan sarapan pagi, pisang goreng dan kopi buat ayahnya, ia bergegas membedaki wajahnya dengan bedak giling. Dari wajah, leher, tangan hingga kaki. Walaupun hampir tiap hari ia lakukan tetapi kulitnya tidak pernah putih. 

Halimah tidak pernah pulang tangan kosong ketika dari kebun. Dia selalu membawa hasil kebun, pisang, ubi dan singkong yang ia tempatkan di saloi miliknya. Di antara ruang-ruang kosong dalam saloi yang sudah terisi penuh, ia sisipkan cabe, tomat, daun singkong dan daun salam. Sedangkan bapaknya dengan saloi yang lebih besar, diisi kepala dan kayu bakar.

Sebelum magrib jatuh di barat. Halima dan ayahnya sudah sampai di desa. Barang bawaan diturunkan dari perahu. Dibantu anak-anak kecil dekil, mereka menarik perahu ke tempat aman supaya tidak tergerus ombak.

Halimah langsung memembawa gina  ke dapur. Menyalakan api dari kayu bakar dan menggoreng pisang. Di tungku satunya ia panaskan air untuk “jam 4” mereka.

Merbabu, 25/10/2017


#Ket: 
Tide-tide = tarian daerah Galela
Jou Ta’alla = Tuhan
Perahu semang-semang = perahu dengan penyeimbang dari bamboo
Baikole = kipasan kebun (Rhipidura leucophys)
jore-jore = layar darurat dari daun kelapa
panggayung = mendayung
dego-dego = rumah kebun
gumutu = sabut dari pohon enau
saloi = tempat untuk menaruh hasil kebun, disandang seperti ransel
Gina = muatan - rezeki
“jam 4”= ngopi atau ngeteh sore selepas kerja

          
            Jf. Upik



Selasa, 10 Oktober 2017

Hijau di Hindia dan Belanda

Judul Buku                  : Student Hidjo
Penulis                         : Mas Marco Kartodikromo
Penyunting     
            : Ari Pranowo
Penerbit          
            : Narasi (Anggota IKAPI)
Tempat Terbit
             : Yogyakarta
Cetakan Kedua           : 2015
ISBN              
            : 979-168-239-9




Pernahkah anda mendengar atau membaca buku berjudul Student Hidjo? Jika anda pernah membaca buku lawas ini berarti anda pasti sangat familiar dengan nama-nama tokohnya. Eits, jangan salah guys, bukan cuma anak-anak kekinian sebagai tokoh dalam berbagai sinetron Indonesia yang dinamai dari berbagai warna di dunia ini. Anak-anak pada tahun 1918, pada suatu masa jauh sebelum Indonesia merdeka sudah dinamai berdasar warna, terutama pada buku ini. He he he.

Nama Hidjo, Woengoe, Biroe akan sangat sering anda jumpai jika membaca buku ini, sebab kehidupan dalam buku ini berpusat pada ketiga tokoh utama ini.Tokoh utama lelaki, Hidjo –jika dibaca berdasar ejaan baru berarti Hijo/Hijau- adalah anak pedagang bergelar Raden Mas, yang lulus HBS pada usia 18 tahun dan akan disekolahkan oleh sang ayah, Raden Potronojo, ke Belanda. Ayah Hidjo adalah seorang saudagar sukses yang bercita-cita mencapai kesetaraan sosial dengan para priyayi, melalui pendidikan tinggi sang anak.

Biroe –dalam ejaan baru dibaca Biru- gadis 13 tahun yang ditunangkan dengan Hidjo sejak kecil, digambarkan oleh penulis dengan hiperbola sebagai “gadis manis, molek, berkulit kuning, yang terang sinar wajahnya mengalahkan subang (perhiasan telinga, semacam anting yang bentuknya bundar dan pipih-wikipedia) f.2000,- (dua ribu gulden). Dalam kisah selanjutnya Biroe, dikisahkan mengalami keragu-raguan dalam mencintai, hatinya terbelah dua pada mencintai Hidjo atau Wardojo, anak Regent Djarak.

Adapun Woengoe –Wungu atau Ungu dalam ejaan baru- adalah saudara perempuan Wardojo, yang juga dikisahkan mencintai Hidjo. Woengoe digambarkan sebagai “seorang gadis nan molek yang berhati baik dan berperilaku manis.” Rupa-rupanya pada zaman itu seorang anak lelaki 18 tahun, lulusan HBS, bergelar Raden Mas punya banyak peminat, dan apakah anda juga tertarik menjadi salah satu pengagum tokoh Hidjo ini, girls? He he he

Kehidupan Sosial dan Pergaulan para Priyayi
Mas Marco Kartodikromo menulis Student Hidjo pada 1918 sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia, kemudian diterbitkan secara utuh dalam format buku pada tahun 1919. Novel ini merekam pertentangan budaya kehidupan priyayi di zaman pergerakan. Di mana, mulai lahir para intelektual pribumi, yang lahir dari kalangan borjuis kecil.

Novel ini kental, menggambarkan kehidupan sosial para priyayi yang gemar bersenang-senang dalam berbagai waktu. Merayakan ulang tahun salah seorang dari mereka dengan mengundang beratus orang priyayi lainnya, dan menggelar acara tandakan dengan orkesra alat musik Jawa selama beberapa hari dan malam adalah hal biasa. Juga dengan berlibur selama beberapa waktu di pegunungan yang memiliki fasilitas air panas, pemandangan bukit yang bagus, hotel mewah, menyewakan kereta dan mobil.

Meski demikian, “kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya seorang regent, tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Saya ini, sebagaimana perkataan umum buruh,”  adalah kalimat yang diucapkan Regent Djarak pada Ayah Hidjo yang menggambarkan bahwa tidaak setiap orang menyetujui perlakuan istimewa yang membeda-bedakan orang jadi hina dan mulia.

Mengenai pergerakan intelektual dan ketidaksetujuan dalam pandangan Belanda terhadap orang Hindia, adalah tokoh Hidjo, Regent Dajarak dan seorang Controleur bernama Walter yang digambarkan memiliki pandangan berbeda dari orang kebanyakan. Walter dalam perjalanan cutinya ke Belanda, banyak menulis dan berbicara mengenai upaya pembodohan dan penghisapan yang dilakukan orang Belanda. Tentang tidak disediakannya sekolah, tentang penggunaan bahasa Belanda yang kasar pada orang Hindia, maupun tentang ke-keraskepala-an orang Belanda yang tetap tidak mau menggunakan bahasa Melayu atau Jawa halus.

Adapun Hidjo, setelah berkuliah di Belanda menjadi lebih terbuka perihal pergaulannya dengan orang Belanda. Banyak sekali membaca buku, ia menjadi berpikir tentang kehidupan yang sebenar-benarnya, ketika didapatinya bahwa di Belanda pun ada pula orang Belanda asli yang jadi jongos, ia menjadi jengah pada perlakuan para pejabat Belanda di Hindia.

Novel 140 halaman ini, boleh dijadikan salah satu referensi untuk mempelajari budaya, pergerakan intelektual dan kekontrasan kehidupan di Hindia dan Hindia Belanda pada tahun 1918. Tapi jangan lupakan satu hal ya guys,yaitu Mas Marco Kartodikromo benar-benar tidak mau keduluan dengan anak-anak kekinian dalam hal nama berdasarkan warna. He he he


Sofifi, 10 Oktober 2017



Minggu, 08 Oktober 2017

Menebar Kata, Mengungkap Kebenaran

Kau terus menyinyir, mengungkap kata-kata melalui cermin dengan sedikit menyulap-nyulap hingga dapat mewujudkan mimpimu yang kian lama sudah kau cita-citakan. Kau terus bersorak hingga aku mengelus dada sambil bersaksi pada angin dengan sedikit membisik dan terkagum-kagum bersepakat, menceritakan pada malam penuh kasih sambil mengungkap tanya pada dunia. Dunia mendengar ocehan-ocehanmu sampai matahari, bintang-bintang, bulan mulai bersiul pada orang-orang yang mendengarnya. Saat masyarakat mengagumkan kata-katamu, kau meneteskan air mata hingga bercucuran jatuh ketanah. “hidup nomor satu” mereka bersorak dengan penuh harapan. Kau masih terus mengungkap tanya pada dunia penuh jiwa yang menggigil.

Kau menjanjikan pada warga “jika aku terpilih nanti aku akan mengungkap kebenaran sejati”. Warga mempercayainya. Kebenaran yang kau sampaikan pikirku hanyalah omong-kosong ciptaan partai demi maksud dan kepentingannya sendiri, dan para warga harus pura-pura mempercayainya. Sudah tak terbilang banyaknya, pada kampanye-kampanye partai dan unjuk rasa spontan, kau menyampaikan dengan lantang kebenaran itu.

Hari mulai sore, senja memancarkan cahaya kemerahan tepat di arah timur. Masyarakat masih setia menunggu sambil mendengar kebenaran yang kau ungkap itu. Kau berdiri di atas panggung bersama kerabatmu sambil mengungkap kebenaran hingga semua mempercainya “jika aku terpilih nanti, tujuanku adalah mensejahterakan rakyat” dengan lantang kau menyampaikan. Burung-burung, kerabatmu dan seisi dunia juga ikut bersorak hingga tidak ada lagi tanya. Hanya kebenaran yang terus dipegang, ditulis dalam buku catatan harian sebagai tanda keyakinan.

Bendera-bendera kau tanam di kampung-kampung, di bukit-bukit dan gang-gang kecil dengan macam-macam warna yang memancarkan cahaya keidahan. Stiker-stiker berkode satu tertempel di pintu-pintu rumah, tiang listrik, pagar-pagar dan dinding-dinding. Aku membacanya satu-persatu dengan tenang tanpa mengungkap tanya sedikitpun. Selain itu aku juga mendengar musik-musik bergemuruh di setiap rumah-rumah dan di jalan-jalan.

Keesokan harinya tibalah hari pemilihan dan kau pun akhirnya terpilih sebagai “pemimpin”. Kau tersenyum, sedih, terharu. Tanda eksperimu mengecam dalam wajahmu lalu membelukar. Kau berdiri di atas mobil seraya melambai, tersenyum, dan sambil bersorak “sapa suru melawan....” dengan penuh lantang.

Sore kian tenggelam. Tepat di hari minggu, ramai warga berdatangan meramaikan kemenanganmu. Di sepanjang jalan, mobil, sepada motor konvoi mengililingi kampung ke kampung, sesekali petasan nenentang bunyi klakson mobil dan motor. Keramaian tersebut menjadi suatu kemenangan bersejarah yang akan terpahat dalam ingatan.

Terjadi juga akhirnya. Cita-cita yang diharap-harapkan itu terwujud. Sepanjang hidup, pikiran, kau telah menantikan hal ini terjadi. Kau memandang kesana-kemari sembari melihat-lihat di sekelilingmu, tersenyum dan akhirnya wargapun ikut tersenyum. Pukul 20:15 wit kau mengundang para warga untuk mengelar hajatan kecil-kecilan sambil mengungkap harapan dalam tanya dan berhadap-hadapan “Terima kasih atas kerja sama kalian, amanah yang kalian emban dengan penuh harapan ini insya Allah akan aku wujudkan..!” begitu katanya dengan penuh kasih. Mondar-mandir kesana kemari dengan sedikit cemas.

Kau kelihatan begitu senang mendapatkan kesempatan menjadi seorang pemimpin. Sambil ngobrol bersama rakyat senyummu masih sama seperti sebelum saat masih sebagai calon pemimpin hingga akhir ini. Dengan semacam semangat yang meluntur, akan ditudingnya seperti menebar ilusi dalam kata-katamu. Ngobrol bersama warga adalah bagaikan mendengarkan denting-denting dari kotak musik yang sudah usang. Telah digeret dari pojok-pojok ingatan. Satu di antara kata itu adalah tentang lima ribu burung hitam, dan satu lagi sapi yang tanduknya loyo dan layu, dan ada juga tentang jatah makan untuk burung-burung pasar.

“Baru saja terpikir oleh saya, Kalian sekarang pasti terkagum-kagum” begitu katanya dengan ketawa kecil yang nyengir setiap kali dia mengucapkan di atas panggung. Tetapi, tidak pernah bisa mengingat lebih dari beberapa larik dari syair-syairnya. Warga tersenyum dan kau berjalan kesana kemari sambil mengingat-ingat syair-syair yang bisa memikat hati warga. Keduanya saling memahami kekurangannya masing-masing, ini tidak pernah mereka ungkapkan–bahwa apa yang sedang berlangsung sekarang–penuh kecemasan. Ada saat-saat ketika fakta maut sedang mendekat serasa sama nyatanya dengan ranjang yang kau tidur, dan saling pagut dalam semacam sensualitas yang damba dan nelangsa, bagai jiwa terkutuk yang menggenggam remah kenikmatan terakhir ketika jarum jam menunjukan lima menit sebelum berdentang.

Ketika sedang berlangsung syair-syair itu tidak sama sekali kau ingat. Kerabat-kerabatmu hanya duduk tepat di arah belakangmu sambil tersenyum dan bahkan sepanjang obrolan mereka hanya bisa diam tanpa sepatah katapun untuk disampaikan. Mereka hanya bisa bertukar pendapat dengan berbisik digorong-gorong, menulis catatan-catatan kecil untuk para pemimpinnya. Kadang-kadang juga mereka membicarakan tentang melakukan pembagian proyek untuk kerabatnya, pembagian jatah untuk Partai, tetapi tanpa berpikir sama sekali mengenai siapa yang harus dan siapa dapat tanpa mendiskusikannya akhirnya mereka bersepakat.

Aku menghadirinya ketika hajatan syukuran itu berlangsung. Aku melihat, dan mendengar dari kejauhan. Pertemuan yang memerlukan waktu hapir setengah jam ini hanya ada satu kalimat yang dapat ku ingat “aku akan mensejahterkan rakyat” kata tersebut diulang-ulang sampai selesai.

Sudah enam bulan aku meresahkan penuh kecemasan melihat kampungku sama sekali tidak berkembang warga masih terus mengharapkan janji-janji itu. Sekarang ketika kau sudah punya kedudukan yang tentram, memiliki rumah yang besar, mobil mewah pemberian negara bahkan ketika setiap perjalanan, kemanapun yang kau inginkan semuanya telah tertulis dengan angka yang cukup besar dan kerabat-kerabatmu juga ikut menikmatinya. Sementara itu Warga hanya bisa harap-harap cemas penuh harapan agar kau dapat menempati janji.


Suatu hari ada pengurangan tenaga kerja di salah satu perusahanmu. Kau membiarkan seolah-olah masalah tersebut bukanlah tanggung jawabmu. Pemecatan tersebut mengakibatkan tingginya angka pengangguran dan kau malah mengalihkan lagi dengan alasan yang cukup rasional. Kau tentu masih ingat janji saat berkampanye untuk mensejahterakan rakyat. Mendadak, seolah itu bukan janjimu. Warga mendengar darimu dengan suara berat dan besar meminta warga, seluruhnya untuk memilihmu. Kau menyuruhnya untuk percay hingga kau pun menjerumuskan kata-katamu sendiri[]. 

   oleh; M. Wahib Sahie