Saat
ini banyak para guru merasa gamang bersikap antara membiarkan atau melarang
siswa memakai gawai (gadget) ketika sedang mengikuti pelajarannya. Bagi
yang melarang, berargumen bahwa sepenuhnya siswa harus fokus pada pembelajaran
di kelas. Bagi yang membiarkan, berargumen bahwa hal itu sudah menjadi bagian
yang tak terpisahkan bagi generasi sekarang dan lebih baik momen tersebut
digunakan untuk menunjang pembelajarannya.
Kegamangan
ini diperparah oleh fenomena media sosial yang memprovokasi ujaran-ujaran
kebencian, saling bully, saling
hujat-menghujat di arena media sosial. Bahkan, tidak sedikit yang memegang
teguh hoax yang disebarkan tanpa menyikapinya dengan sikap kritis. Singkatnya,
kedangkalan dan banalitas dalam ber-media sosial turut menular dan menghinggapi
kepala dan meresap secara diam-diam pada anak didik kita.
Kedangkalan
ini seperti tidak teratasi di ruang pendidikan kita. Apalagi, generasi ini
membawa ambiguitas dan kompleksitasnya sendiri, diantaranya salah satu problem
alot pembelajaran yaitu kesenjangan keyakinan/pandangan dan budaya antara
guru dan siswa. Bahkan, jika dulu hanya pada kesenjangan dalam satu dunia
(dunia nyata), namun sekarang bertambah kompleks yakni kesenjangan pandangan
dan terjadi pula dalam dua dunia (nyata dan maya).
Eksistensi Generasi Gawai
Senarai
problem yang diudar di atas menoktahkan kembali pentingnya pemikiran Sherry
Turkle -profesor
MIT University. Ia menyebut eksistensi yang tumbuh dan berkembang bersama gawai
ini dengan second self. Eksistensi generasi gawai ini disebutnya sebagai
digi-sein (ada/being bersama dengan mesin). Relasi manusia dengan
teknologi tidak hanya “sekedar perkakas” (just a tool), namun “mengada-bersama-perkakas”
(being-within-tool). Turkle hendak menjelaskan bahwa generasi
gawai berpikir, bersikap, dan berperilaku menyerupai mesin dan secara tidak
sadar dibentuk oleh mesin-mesin pintar yang menemaninya setiap hari.
Kehidupannya diprogram dari mesin tersebut. Sampai-sampai, keberadaan dan
kepribadiannya pun seperti cerminan pola kerja logika mesin-mesin cerdas yang
imut-imut itu.
Lalu,
apa implikasi problematisnya? Analisis menarik diwedarkan oleh Turkle dengan
memanah sampai kepada jantung eksistensi manusia. Turkle tidak mengabaikan kebermanfaatan
teknologi bagi kehidupan umat manusia, tetapi problem yang lebih besar
adalah kesia-siaan manusia karena teknologi (the useless man because
technology). Orang-orang merasa "aman" dengan bantuan smartphone,
namun justru takut untuk intim kepada sesama, takut untuk melakukan percakapan
langsung, alone together.
Gawai menghidangkan “ilusi kebersamaan, tanpa tuntutan
persahabatan". Relasi dengan liyan (the other) tanpa
tuntutan tanggungjawab. Manusia digi-sein adalah merana dalam keramaian,
tinggal bersama namun untuk keterpisahan. Percakapan (conversation)
direduksi menjadi virtual connection, yang pada akhirnya kita
bukan apa-apa tanpa mesin itu. Makanya, jangan heran jika melihat generasi
ini seolah-olah bersama dalam kantin, namun saling terpisah secara
sosio-emosional satu sama lain karena tenggelam dengan gawai.
Rekonstruksi
Ruang Psiko-Education
Lantas,
Bagaimana solusi dalam bidang pendidikan, terutama proses pembelajaran?
Memutuskan sama sekali hubungan dengan gawai atau membiarkannya larut
mengandung banyak resiko dan konsekuensi. Terlebih, e-learning pun
belumlah sepenuhnya meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini tidak
mengherankan karena kehadiran siswa di kelas kadang hanyalah kehadiran fisik.
Perhatian dan fokus, kehadiran jiwanya melayang-layang di dunia maya tersebut.
Namun,
kita dapat memberikan tawaran dan setapak-setapak menghadirkan kembali apa yang
hilang dalam kelas, yaitu rekonstruksi pada ruang sibernetika. Ruang
sibernetika pada dasarnya menuntut negosiasi kehidupan fisik, nyata kita dengan
realitas maya yang mengubah cara kita memahami identitas, komunitas, dan relasi
sosial.
Ruang
sibernetika ini merupakan ruang kehadiran pada peselancar maya yang tak
terbatas, karena ruang fisik telah ditembus oleh jaringan-jaringan yang saling
terhubung. Siswa generasi gawai ini menemukan kenyamanan pada ruang sibernetika
ini. Tidak ada tanggungjawab, tidak ada perhatian khusus, mudah dilakukan.
Dalam dunia realitas, pragmatisme dan apatisme dalam ruang-ruang pendidikan pun
tak terhindarkan. Seolah-olah mereka merindukan kehidupan yang lebih nyaman,
bebas dari kungkungan fisik dan lokasi seperti dunia maya.
Maka,
tawaran konseptual adalah memandang sama penting ruang realitas dan ruang
sibernetika tersebut. Guru hendaknya menceburkan diri ke dalam ruang virtual
mereka, rebut perhatian, dan jalin relasi. Makna dijalin dan dirajut dari ruang
fisik dan ruang sibernetika. Wacana-wacana mengenai optimisme, motivasi dalam
belajar harus dihadirkan di ruang maya tersebut. Singkatnya, membuat ruang maya
sebagai pantulan otentitas dirinya. Bukan sebaliknya, mereka merasa otentik (mengada)
ketika di ruang maya. Warnailah ruang-ruang virtual mereka sebagaimana kita
melakukannya pada ruang nyata.
Tantangannya,
pendidikan yang ditawarkan dalam dunia maya harus lebih menarik konten dan
kemasannya, pola relasinya. Buat mereka dihargai baik di dunia nyata ataupun di
dunia maya. Ajak mereka terlibat dalam relasi sosial -kegiatan-kegiatan
yang berciri filantropis misalnya- dengan
mengandalkan jaringan-jaringan virtual mereka. Dengan kata lain, pendidikan
yang mampu menarik perhatian mereka dan mengalahkan konten lainnya, adalah
pendidikan yang memberikan kenyamanan, pengakuan identitas pribadi, serta
penghargaan komunitas mereka.
Pola
relasi psikologis dalam dunia nyata -misalnya ruang
kelas-
pun harus berdasarkan friendship, twit-twit mereka di kelas mesti
dihargai, group-group sosial dibangun, keserasian download dan upload
pengetahuan dan nilai-nilai. Mereka didorong untuk berani mem-posting sesuatu
di ruang kelas, comment-comment di kelas dibuat sehangat di ruang facebook.
Kemudahan buku seperti kemudahan mereka saat browsing. Buatlah ruang
kelas menjadi milik bersama, senyaman, seindah, semeriah, semenarik pada ruang
virtual.
Saya cermati -tentunya dengan keterbatasan saya-, adanya kecenderungan
kemiskinan kajian pendidikan yang memprioritaskan ruang-ruang seperti ini. Kita
akan lebih mudah menemukan kajian pendidikan terkait ruang maya yang lebih
bersifat naïve judgment, membatasi gerak siswa, mengontrol, bahkan
mensabotase ruang sibernetika ini. Padahal, pola pikir dan perilaku mereka
meniru dan dibentuk secara kompleks bersama-sama dengan mesin-mesin pintar itu.
Dengan
kata lain, problema kegagapan pendidikan hari ini masih berasumsi bahwa identitas
generasi gawai masih dianggap sama dengan identitas generasi sebelumnya. Kajian-kajian
lebih cenderung memutuskan hubungan dengan ruang sibernetika, menstrerilkan
ruang nyata. Memenjarakan siswa dalam garis-garis primordialnya, sedangkan pola
hidup saat ini networking worldwide. Oleh karenanya, banyak tugas-tugas
intelektual hari ini yang harus merehabilitasi miscontext konsep-konsep
steril dengan kenyataan global networking. Tugas ini adalah tugas kita
semua. Pada titik ini, pendidikan Indonesia mendapatkan tambahan “ruang
kerja” baru[].
Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UAD Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar