Random Posts

banner image

Kamis, 28 September 2017

Memugar Ruang Psycho-Education pada Generasi Gawai

Saat ini banyak para guru merasa gamang bersikap antara membiarkan atau melarang siswa memakai gawai (gadget) ketika sedang mengikuti pelajarannya. Bagi yang melarang, berargumen bahwa sepenuhnya siswa harus fokus pada pembelajaran di kelas. Bagi yang membiarkan, berargumen bahwa hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi generasi sekarang dan lebih baik momen tersebut digunakan untuk menunjang pembelajarannya.

Kegamangan ini diperparah oleh fenomena media sosial yang memprovokasi ujaran-ujaran kebencian, saling bully,  saling hujat-menghujat di arena media sosial. Bahkan, tidak sedikit yang memegang teguh hoax yang disebarkan tanpa menyikapinya dengan sikap kritis. Singkatnya, kedangkalan dan banalitas dalam ber-media sosial turut menular dan menghinggapi kepala dan meresap secara diam-diam pada anak didik kita.

Kedangkalan ini seperti tidak teratasi di ruang pendidikan kita. Apalagi, generasi ini membawa ambiguitas dan kompleksitasnya sendiri, diantaranya salah satu problem alot pembelajaran yaitu kesenjangan keyakinan/pandangan dan budaya antara guru dan siswa. Bahkan, jika dulu hanya pada kesenjangan dalam satu dunia (dunia nyata), namun sekarang bertambah kompleks yakni kesenjangan pandangan dan terjadi pula dalam dua dunia (nyata dan maya).

Eksistensi Generasi Gawai
Senarai problem yang diudar di atas menoktahkan kembali pentingnya pemikiran Sherry Turkle -profesor MIT University. Ia menyebut eksistensi yang tumbuh dan berkembang bersama gawai ini dengan second self. Eksistensi generasi gawai ini disebutnya sebagai digi-sein (ada/being bersama dengan mesin). Relasi manusia dengan teknologi tidak hanya “sekedar perkakas” (just a tool), namun “mengada-bersama-perkakas” (being-within-tool). Turkle hendak menjelaskan bahwa generasi gawai berpikir, bersikap, dan berperilaku menyerupai mesin dan secara tidak sadar dibentuk oleh mesin-mesin pintar yang menemaninya setiap hari. Kehidupannya diprogram dari mesin tersebut. Sampai-sampai, keberadaan dan kepribadiannya pun seperti cerminan pola kerja logika mesin-mesin cerdas yang imut-imut itu.

Lalu, apa implikasi problematisnya? Analisis menarik diwedarkan oleh Turkle dengan memanah sampai kepada jantung eksistensi manusia. Turkle tidak mengabaikan kebermanfaatan teknologi bagi kehidupan umat manusia, tetapi problem yang lebih besar adalah kesia-siaan manusia karena teknologi (the useless man because technology). Orang-orang merasa "aman" dengan bantuan smartphone, namun justru takut untuk intim kepada sesama, takut untuk melakukan percakapan langsung, alone together.

Gawai menghidangkan “ilusi kebersamaan, tanpa tuntutan persahabatan". Relasi dengan liyan (the other) tanpa tuntutan tanggungjawab. Manusia digi-sein adalah merana dalam keramaian, tinggal bersama namun untuk keterpisahan. Percakapan (conversation) direduksi menjadi virtual connection, yang pada akhirnya kita bukan apa-apa tanpa mesin itu. Makanya, jangan heran jika melihat generasi ini seolah-olah bersama dalam kantin, namun saling terpisah secara sosio-emosional satu sama lain karena tenggelam dengan gawai.

Rekonstruksi Ruang Psiko-Education
Lantas, Bagaimana solusi dalam bidang pendidikan, terutama proses pembelajaran? Memutuskan sama sekali hubungan dengan gawai atau membiarkannya larut mengandung banyak resiko dan konsekuensi. Terlebih, e-learning pun belumlah sepenuhnya meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini tidak mengherankan karena kehadiran siswa di kelas kadang hanyalah kehadiran fisik. Perhatian dan fokus, kehadiran jiwanya melayang-layang di dunia maya tersebut.

Namun, kita dapat memberikan tawaran dan setapak-setapak menghadirkan kembali apa yang hilang dalam kelas, yaitu rekonstruksi pada ruang sibernetika. Ruang sibernetika pada dasarnya menuntut negosiasi kehidupan fisik, nyata kita dengan realitas maya yang mengubah cara kita memahami identitas, komunitas, dan relasi sosial.

Ruang sibernetika ini merupakan ruang kehadiran pada peselancar maya yang tak terbatas, karena ruang fisik telah ditembus oleh jaringan-jaringan yang saling terhubung. Siswa generasi gawai ini menemukan kenyamanan pada ruang sibernetika ini. Tidak ada tanggungjawab, tidak ada perhatian khusus, mudah dilakukan. Dalam dunia realitas, pragmatisme dan apatisme dalam ruang-ruang pendidikan pun tak terhindarkan. Seolah-olah mereka merindukan kehidupan yang lebih nyaman, bebas dari kungkungan fisik dan lokasi seperti dunia maya.

Maka, tawaran konseptual adalah memandang sama penting ruang realitas dan ruang sibernetika tersebut. Guru hendaknya menceburkan diri ke dalam ruang virtual mereka, rebut perhatian, dan jalin relasi. Makna dijalin dan dirajut dari ruang fisik dan ruang sibernetika. Wacana-wacana mengenai optimisme, motivasi dalam belajar harus dihadirkan di ruang maya tersebut. Singkatnya, membuat ruang maya sebagai pantulan otentitas dirinya. Bukan sebaliknya, mereka merasa otentik (mengada) ketika di ruang maya. Warnailah ruang-ruang virtual mereka sebagaimana kita melakukannya pada ruang nyata.

Tantangannya, pendidikan yang ditawarkan dalam dunia maya harus lebih menarik konten dan kemasannya, pola relasinya. Buat mereka dihargai baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Ajak mereka terlibat dalam relasi sosial -kegiatan-kegiatan yang berciri filantropis misalnya- dengan mengandalkan jaringan-jaringan virtual mereka. Dengan kata lain, pendidikan yang mampu menarik perhatian mereka dan mengalahkan konten lainnya, adalah pendidikan yang memberikan kenyamanan, pengakuan identitas pribadi, serta penghargaan komunitas mereka.

Pola relasi psikologis dalam dunia nyata -misalnya ruang kelas- pun harus berdasarkan friendship, twit-twit mereka di kelas mesti dihargai, group-group sosial dibangun, keserasian download dan upload pengetahuan dan nilai-nilai. Mereka didorong untuk berani mem-posting sesuatu di ruang kelas, comment-comment di kelas dibuat sehangat di ruang facebook. Kemudahan buku seperti kemudahan mereka saat browsing. Buatlah ruang kelas menjadi milik bersama, senyaman, seindah, semeriah, semenarik pada ruang virtual.

Saya cermati -tentunya dengan keterbatasan saya-, adanya kecenderungan kemiskinan kajian pendidikan yang memprioritaskan ruang-ruang seperti ini. Kita akan lebih mudah menemukan kajian pendidikan terkait ruang maya yang lebih bersifat naïve judgment, membatasi gerak siswa, mengontrol, bahkan mensabotase ruang sibernetika ini. Padahal, pola pikir dan perilaku mereka meniru dan dibentuk secara kompleks bersama-sama dengan mesin-mesin pintar itu.


Dengan kata lain, problema kegagapan pendidikan hari ini masih berasumsi bahwa identitas generasi gawai masih dianggap sama dengan identitas generasi sebelumnya. Kajian-kajian lebih cenderung memutuskan hubungan dengan ruang sibernetika, menstrerilkan ruang nyata. Memenjarakan siswa dalam garis-garis primordialnya, sedangkan pola hidup saat ini networking worldwide. Oleh karenanya, banyak tugas-tugas intelektual hari ini yang harus merehabilitasi miscontext konsep-konsep steril dengan kenyataan global networking. Tugas ini adalah tugas kita semua. Pada titik ini, pendidikan Indonesia mendapatkan tambahan “ruang kerja” baru[].


Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UAD Yogyakarta




0 komentar:

Posting Komentar