Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 28 Juni 2017

Capit Yang Terbuka di Hokadate


Ovy Hayatudin 
Foto : cover buku
Judul Buku : Kani Kosen; Sebuah Revolusi | Judul asli : Kanikosen | Penulis : Kobayashi Takiji | Penerjemah : Andy Bangkit Setiawan | Penerbit : Jalasutra | Tahun Terbit : Cet. I, 2013 |  Tahun Terbit di Jepang : 1929 | Tempat Terbit : Yogyakarta | ISBN : 978-602-8252-83-6


Hidup sesungguhnya bagai lautan, kita tidak bisa menebak isinya meski yang ditampakkan melulu ketenangan. Bahkan, jika yang ditampakkan adalah riak ataupun gelombang, kita tetap tidak bisa menebak apa yang terjadi pada kehidupan selanjutnya setelah gelora laut terjadi. Bisa saja, ia kembali tenang dengan menyisahkan sampah pada tepian atau justru malah menghancurkan, sebagaimana yang disiratkan dalam buku ini.
Kobayashi Takiji lahir di Odate, Akita pada 13 Oktober 1903. Ia seorang penulis sastra proletar Jepang yang terkenal melalui novelnya Kani Kosen. Novel yang pertama kali dipublikasikan pada 1929 ini ditulis saat Takiji berusia 26 tahun dan tepat 2 tahun setelah novelnya dipublikasikan ia meninggal karena siksaan kekerasan yang dilakukan polisi setempat (https://en.wikipedia.org/wiki/Takiji_Kobayashi).
Secara harfiah Kani Kosen berasal dari tiga suku kata Jepang, kani berarti kepiting, ko berarti pabrik dan sen berarti kapal (hal. VI) dan bisa diartikan sebagai Kapal Pabrik Penangkap Kepiting
Sebagai anak muda cemerlang yang baru berusia 26 tahun, Takiji menyatakan perlawanannya terhadap ketidakadilan politik, ekonomi sosial, melalui gerakan-gerakan sosial politik bawah tanah dan kritik sosial. Perlawanan ideologinya dituliskan dalam karya-karya sastra, salah satunya Kani Kosen yang ditulis tahun 1929 dan segera dilarang untuk diedarkan oleh penguasa militer pada waktu itu. (Prof. Dr. I Ketut Surajaya dalam Kata Pengantar Kani Kosen terbitan Jalasutera)
Yang fenomenal dari novel ini adalah menjadi best seller pada tahun 2008, lebih dari 80 tahun setelah publikasi pertama di Jepang. Kani Kosen bagi saya adalah novel klasik Jepang yang dengan apik mengisahkan pergulatan batin para pekerja di kapal penangkap kepiting, salah satu kapal yang menjadi penyumbang dana terbesar pada Jepang jaman itu. “Dalam setengah bulan 5.000.000 yen kalau setahun bisa 10.000.000 yen. Itu jumlah yang sangat luar biasa.” (hal. 116)
Jepang dalam kurun waktu tahun 1920-an mengalami zaman ketegangan antara kelompok sosial miskin versus kelompok sosial berada, ekonomi kapitalis versus ekonomi terpuruk, kelompok politik fasisme militerisme versus kelompok politik proletariat, kaum majikan borjuis versus kaum pekerja. (hal. VI)
Pekerja pada Kapal Kani Kosen terdiri dari berbagai kalangan masyarakat yang sebagian besar sedang putus asa pada kondisi ekonomi, bergabung dengan kapal penangkap kepiting dengan harapan dapat memperbaiki keadaan, namun malah dieksploitasi dengan berbagai peraturan yang dijalankan dengan ketat oleh seorang mandor yang berlagak sebagai jenderal.
Kewajiban menangkap kepiting dalam jumlah tertentu dalam satu hari mengharuskan para pekerja bekerja sejak dini hari di laut Kamchatka hingga Hakodate yang terkenal karena ombak ganas, yang oleh Takiji digambarkan dengan “terjangan ombak sangat tinggi bahkan hingga ke dek kapal sekoci… suaranya seperti di air terjun” (hal.39). Terjangan ombak ganas yang membuat kapal lain seketika lenyap ke dasar lautan, meski demikian kapal penangkap kepiting Kani Kosen digambarkan Takiji sebagai kapal besar yang dapat memuat 8 kapal Kawasaki.
Pekerja pada kapal ini dihadapkan pada kenyataan pahit seumpama pepatah melayu lama “indah kabar daripada rupa”, di daratan pekerja mendengar desas desus kapal terbaik yang mencari banyak pekerja dengan penghasilan lumayan besar sedang pada kenyataannya kapal ini digambarkan penulisnya semacam “pispot kotoran”, sebab setiap sudut dari kapal bercampur segala macam bebauan mulai dari amisnya kepiting dan ikan hingga bau keringat dan muntahan akibat mabuk laut yang tidak sempat dibersihkan. Waktu di kapal terasa seumpama neraka, sebab pekerja hanya boleh mengasoh dan tidur pada waktunya.
Deskripsi penulis tentang kapal ini benar-benar menunjukkan adanya eksploitasi keras yang dilakukan oleh mandor sebagai wakil perusahaan pada seluruh pekerja, seperti yang ditunjukkan dalam beberapa adegan dimana pekerja yang sakit dibiarkan istrahat di siang hari dan diwajibkan bekerja sepanjang malam dengan makanan yang kerap hanya berupa nasi dan garam. Sungguh ironi, bahwa kapal penangkap hasil laut memberi makan pekerja dengan garam.
Pada puncak klimaksnya, novel yang mengkritik para kelompok ekonomi kapitalis ini menyuguhkan pemberontakan para pekerja yang diawali mogok kerja besar-besaran, pemberontakan yang langsung diredam dengan penangkapan para pemimpin pemberontak oleh sekelompok militer Jepang. Penangkapan yang tak dinyana justru mengobarkan semangat pekerja untuk memberontak dengan lebih matang dan terorganisir.
Jika membaca keseluruhan novel ini dengan cermat, lalu mengetahui kisah Takiji yang meninggal 2 tahun kemudian karena siksaan oleh militer setempat, kita dapat menemukan banyak sekali pesan tersirat Takiji. Pesan pada para pekerja di perusahaan apapun bahwa memiliki serikat buruh pekerja serta kemampuan membaca situasi pada perusahaan tempat bekerja, penting untuk membantu terorganisirnya perlawanan pada kesewenangan yang dialami. Selain itu, novel ini benar-benar menggambarkan keinginan manusia untuk diperlakukan dengan adil. Sebab, bagai bara dalam sekam, setiap ketidakadilan dan ketertindasan dapat menyebabkan kebakaran yang lebih besar jika ia benar-benar telah mencapai titik jenuh[].
                                                                                                           
Sofifi, 20 Juni 2017.







   

Sabtu, 24 Juni 2017

Sebagai bagian dari membangun budaya membaca dan menulis di Maluku Utara maka Rumah gagasan PIlas Institute mengundang kawan-kawan yang gemar menulis untuk berkontribusi dengan mengirimkan tulisan ke email institutepilas@gmail.com aau ke WA 081244483246.

terimakasih

Rumah Gagasan Pilas
JF. Upik

Sejarah PILAS




SEJARAH KELAHIRAN

PILAS Institute pertama kali dikenal dengan nama Lingkar Arus Studi  ( LAS )  sebagai suatu kelompok belajar yang dibentuk tanggal 14 September 2001 di salah satu tempat yang dikenal dengan nama PODIUM yang berada tepat di Kelurahan Tanah Tinggi. PILAS didirikan oleh beberapa orang yang juga merupakan pendiri UMMU yakni : Herman Oesman, dan Agus SB., Pendirian LAS juga dibantu oleh Irfan Hadi, S.Hi, dan Ilham Saidi  ( keduanya kemudian diberikan amanah sebagai Ketua dan Sekretaris Pertama LAS )

LAS pada tahap awal pendiriannya, hanya berfokus sebagai komunitas kecil yang memiliki program : Belajar/Diskusi, serta Data/Riset. Anggota-anggota LAS awal lebih merupakan suatu ikatan soliditas pertemanan yang dilandasi keinginan untuk mengembangkan diri sebagai warga ilmiah  ( mahasiswa ) . Dengan ikatan-ikatan itulah, LAS mulai menata sistem institusi secara lebih mandiri dan profesional.

Selanjutnya untuk keperluan pengembangan institusi yang lebih besar, maka LAS bermetamorfosis menjadi sebuah institusi resmi yang disahkan berdasarkan Akta Notaris Faruk Alwy, SH, No. 04 Tanggal 01 Mei 2006. Sejak itulah berubah menjadi Perhimpunan Institut Lingkar Arus Studi  ( PILAS )  dan terdaftar pada KESBANGLINMAS Provinsi Maluku Utara Nomor : 220/311/BKBPM/2006, tanggal 14 Nopember 2006. Lalu berubah menjadi Perhimpunan Lingkar Arus Studi ( PILAS )  melalui perubahan Akta Notaris Faruk Alwy, SH, No. 25 tanggal 24 Juli 2010.

Komunitas kecil ini telah diakui dan diterima di UMMU sebagai salah satu institusi yang bergerak di berbagai bidang disiplin keilmuan yang berkaitan dengan kapasitas dan pemerhati bidang sosial kemasyarakatan, seperti riset dan diskusi. Dalam perkembangan selanjutnya, PILAS Institute banyak dibina oleh sejumlah dosen yang konsern di bidang pengembangan SDM, diantaranya : Kasman Hi. Ahmad, S.Ag, M.Pd; Syaiful Madjid, S.Sos, M.Si; Abdul Halil Hi. Ibrahim, S.Ag, M.Si; Abdullah Ismail, S.Sos, MA; Drs. Mansur Ode Talibu, M.Si  ( alm ) ; Thamrin Husein, S.Sos, M.Si, Iwan Duwila, S.Sos, MPA,  ( Senior PILAS Angkatan I ) , Saiful Totona, S.Sos, MA  ( Senior PILAS Angkatan III ) , A. Rahim Thalib, M.Pd, Murid Tonirio, M. Rahmi Husen, Sofyan Daud dan beberapa lagi.

VISI PILAS
Membebaskan Pemahaman Pemikiran Mahasiswa Menuju Pemahaman Keilmuan Yang Terbuka dan Moderat.

MISI PILAS

  • Memperkuat solidaritas, kebersamaan, persatuan, dan kesatuan antara mahasiswa se-Maluku Utara
  • Memupuk saling pengertian dan kerja sama antar sesama lembaga yang memiliki kepedulian dan perhatian terhadap upaya pembangunan dan pengembangan keilmuan yang terbuka dan moderat.

TUJUAN PILAS

  1. Memajukan dan mengembangkan bidang keilmuan, teknologi, seni dan budaya.
  2. Meningkatkan, mengembangkan dan memajukan pengetahuan anggota PILAS dalam bidang keilmuan, seni dan budaya.
  3. Meningkatkan pemanfaatan ilmu bagi kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.
  4. Sebagai sarana komunikasi dalam menumbuhkan ukhuwah di antara mahasiswa, baik di Maluku Utara maupun di luar Maluku Utara
  5. Untuk menumbuhkan dan mensosialisasikan pandangan dan sikap-sikap serta misi keilmuan yang moderat, ramah, dan modern di kalangan mahasiswa.

YANG PERNAH MEMIMPIN PILAS

  1. Irfan Hadi, S.Hi
  2. Amin Raden, S.Sos
  3. Abdjan Radja, SIP
  4. Iwan Duwila, S.Sos, MPA
  5. Rahmat R. Wali, S.Sos
  6. Darmin Hi. Hasim, S.Sos
  7. Asman Daud, SIP
  8. Amina Feilisa, S.Sos
  9. Jufri Abubakar, Sos
  10. Risman Rais, S.Sos
  11. Junaidi Ayy
  12. Nurlia Tohe

Rabu, 21 Juni 2017

PARADOKS SUBJEK, RUANG IMAJINER

catatan imajiner 
Phomat R. Wali







        Sepertiga malam aku terbangun dari tidur yang lelap, pikirku mungkin sudah pagi dan aku akan kehilangan waktu menikmati malam ini dengan secangkir kopi hitam, dan sebungkus rokok filter, yang tak penting bagiku untuk merek rokoknya. Karena merek selalu identik dengan brand bisnis perusahaan. Di Sepertiga malam ini aku bisa menikmati malamku yang bukan malam orang lain dengan penuh hura-hura menikmati glamournya sudut kota Jogja seperti pada tiap malam minggu biasanya.
Saat beranjak dari tidur, pertama yang terlintas dalam benakku segera ke warung dekat kosan membeli roti coklat yang nantinya aku lahap dengan kopi hitam. Setelah itu sebatang rokok aku nyalakan untuk melengkapi makan malam yang bukan makan malam sebenarnya, seperti orang lain seadanya. Bagi kebanyakan orang, makan siang atau makan malam atau makan tentunya harus berupa lauk pauk, nasi-ikan-sayur, atau nasi-ayam-sayur, nasi-telur, nasi-goreng, nasi-kucing (angkringan) atau magelangan yang semuanya harus ada nasinya. Mungkin karena kita sudah terbiasa menyebut makan, harus pakai nasi atau nasi sebagai yang utama dalam makan. Kalau makannya cuma roti, sagu, pisang goreng belum dianggap makan bagi orang timur Indonesia. Makan yaa harus nasi atau pakai nasi.
Aku sering menemukan masalah demikian ketika ketemu dengan beberapa teman. Saat aku menanyakan sudah makan? Maka jawabannya “belum makan, saya tadi hanya makan roti, atau pisang goreng”. Dan baginya itu belum makan. Mungkin yang dia maksud belum kenyang. Tapi makan roti atau pisang goreng juga bisa membuat perut kenyang. Aku demikian, makan roti atau pisang goreng bagiku itu sudah makan untuk bisa melakukan aktivitas selanjutnya.
Sebatang rokok hampir aku habiskan, imajiku keluyuran kemana-mana, kepulan asap memenuhi ruang tamu kecil depan kamarku. Maklum anak kost. Semenjak kuliah di Jogja, keterasingan selalu melekat di dalam jiwa ini. Separuh jiwaku masih berada di Ternate. Pinginku dimana aku berada, disitu aku adanya. Tapi tidak bisa, selalu saja ada batas yang mengisyaratkan aku hanya sementara di Jogja menempuh pendidikan lanjutan. Terbelah, mungkin itu kata yang pas yang aku alami. Kerinduan “kampung halaman” selalu menggebu-gebu. Tapi ketika aku kembali ke Ternate bersua dengan keluarga, dan juga teman-teman, sangat terasa kerinduanku pada Jogja. Rindu terhadap suasana Jogja yang adem ayem. Rindu kepada teman-teman kuliah yang begitu mencair bersahabat, berbagi apa adanya. Rindu akan suara dosen-dosenku yang luwes, cerdas, dan “menakutkan”. Serasa aku menemukan suasana kemanusiaan yang begitu mendalam di kampus itu.
Terlepas dari frustasi yang aku alami ketika selesai kuliah, yang sering membuatku lapar lagi walau kadang sudah makan sebelum masuk kelas. Semua energiku hilang seolah terserap saat berhadapan dengan dosen-dosen yang super killer dengan kelebihannya masing-masing. Tapi dengan frustasi yang aku alami, kegelisan kian hari kian bertambah, walau belum memuncak. Karena kalau aku sudah mulai frustasi, aku harus melakukan sesuatu sebagai pelarian. Pelarianku sederhana berdiam diri di kamar dan tidur sepuasnya. Tanpa melakukan apa-apa. Kalau itupun tidak berhasil aku sering nongkrong di café Semesta dengan mengajak teman untuk bercerita apa adanya, juga tentu melirik si rambut panjang yang sering memberikan aura menggoda. Begitulah lelaki, matanya selalu terpana dan terlena dengan sosok indah, ayu juga kemayu.  
Tapi hanya sebatas melirik, dan mengagumi si aduhai berambut panjang yang datang dan pergi di café itu. Sebab aku hanya sebatas menikmati pemandangan indah yang aku tatap dan terasa memenuhi dahaga, sudah membuat frustasiku berkurang. Aku tidak bisa melakukan lebih pada si rambut panjang yang aku temui, yang baru aku kenal. Tidak bisa. Yaa tidak bisa. Karena di seberang lautan jauh di timur Indonesia sana, telah aku gadaikan seluruh hidupku untuk dia disana yang selalu setia menungguku kembali. Aku disini hanya menikmati pemandangan yang berlalu lalang itu. Yah, seperti berada di taman yang luas, dan aku hanya mampu mengagumi bunga-bunga yang cantik beserta panoramanya, telah membuat hatiku lega. Begitulah aku di Jogja ini.
Teman-temanku selalu melakukan ritual jumatan. Ritual dengan air suci yang dapat menghilangkan dahaga. Itu juga bagian dari pelarianku dengan teman-teman. Mereka adalah senior dan juga teman angkatanku yang baik hati dan tidak sombong, selalu mencair ketika duduk bersama di bawah beringin keramat itu. Yaa beringin Soekarno namanya. Beringin yang selalu memberikan suasananya yang teduh, semacam energi baru ketika duduk di beringin yang besar itu. Beringin yang indah dan tidak menyeramkan. Tidak seperti beringin-beringin di tempatku waktu kecil dulu yang rindang, gelap, dan menyeramkan. Ritual itu selalu membuatku refresh, dan tentunya frustasiku berkurang.
Namun, setelah dari itu selalu saja aku mengalami ketegangan ketika setiap hari senin hingga kamis. Di ruang Palma itu, ruang yang membuatku tak berdaya. Ruang dimana aku dan teman-temanku mendapatkan pencerahan dengan penuh kesakitan. Begitu juga ruang Anjani, Lontar juga ruang Realino tentunya. Dan aku masih terasa terasing ketika pulang dari kampus. Berada di kosan membuatku rindu kepada teman-teman kecilku yang jauh di seberang lautan sana. Mereka berdua, selalu memberiku tawa, canda di rumah ketika seharian aku lalu lalang di Ternate. Keduanya selalu menjadi teman baikku di rumah. Bermain bersama hingga tawa pecah mengisi jiwa menjadi tentram.
Satu lagi teman kecilku bertambah namun sampai kini, aku juga belum bersua dengannya. Rinduku terpaut di sini, padanya di sana yang selalu aku jaga untuk menghampirinya. Yah, untuk sementara waktu teman kecilku itu belajar bermain dulu dengan kedua kakaknya dan juga ibunya yang dapat mengajarinya tentang kasih sayang dan kebaikan. Aku percaya, setiap ibu, dan semua ibu di dunia ini mempunyai  pengetahuannya sendiri dalam mengajari anak-anaknya. Ibu selalu menjadi pahlawan bagi anak-anaknya. Ibu selalu menjadi tempat pelarian ketika kita ingin bersandar. Ibu selalu mendengarkan keluh kesah, keinginan, dan kemauan yang diminta. Ibu selalu menjadi tempat terakhir berlindung ketika ada masalah. Itu ingatan waktu kecilku. Begitu juga ayah, yang selalu memberiku cara hidup sebagai lelaki yang harus berani, jujur dan tidak gegabah. Walau kadang ayah membuatku takut kepadanya ketika aku berbuat salah. Ayah tak lain seperti Penjaga Malam yang siap menerkamku ketika aku melakukan kesalahan. Berbeda dengan ibu yang penyayang, pelindung, dan pemberi semua keinginan yang aku pinta. Itu juga ingatan masa kecilku.
Sehingga aku yakin, teman kecilku tidak akan apa-apa, karena dia sedang bersama dengan pelindungnya yang dapat merawatnya dengan baik lewat cinta kasihnya. Dan aku sebagai Penjaga Malam bagi mereka, masih duduk di seberang sini ditemani secangkir kopi hitam pekat, roti coklat, dan sebungkus rokok, yang membuatku menikmati malam ini. Malam yang hening, tak ada gemuruh saking heningnya detak jam dinding terdengar jelas di telingaku... Tak, tak, tak... seolah memberi ritme dan petunjuk tentang waktu yang terus berjalan.
Asap masih mengepul memenuhi ruang kecil kosanku. Imajiku masih berkeluyuran dalam kesendirian, dan masih mengingat-ngingat apa yang aku baca beberapa hari ini, juga apa yang dibilang sang Guru kepadaku. Kemudian teori bergentayangan tak karuan dalam imajiku, mencoba mengingat yang mau aku tulis. 
Malam mulai larut, hatiku mulai tenang, jiwaku makin teduh, dan imajiku masih berkeluyuran serasa tak bertuan. Dan aku masih setia duduk di tempatku bersama kopi hitam pekat, dan nyala rokok terus memberi isyarat dalam tiap tarikan bahwa aku harus menulis. Yaa, segera menulis syarat kuliahku. Karena satu hal yang aku butuhkan dari semua ini, “aku ingin pulang bermain dengan ketiga teman kecilku, sembari membesarkan mereka.”

di Batas Kota Yogyakarta.
(Sagan_Terban-Gondokusuman, 16/11/2014) 

Senin, 19 Juni 2017

Pentingkah Pengalaman ?

Catatan oleh Gunawan Tidore


  
Kita tidak merasakan ke dua kaki menahan derasnya luapan air dari pegunungan yang dengan kencang menembus pemukiman.  Kita pun tidak mendengar jerit ketakunan Warga Oba saat dilanda banjir. Kita pun tidak lagi merasa rugi dengan berapa jumlah tanaman warga yang tumbang,  berapa banyak prabot rumah warga yang hilang. Warga pun mungkin dalam waktu yang bersamaan tidak memikirkan hal itu, melainkan bagaimana cara keluar dari gempuran air yang melaju dari hutan. Dan apa jadinya kalau gempuran air tidak terjadi pada jam 8 pagi.

Sabtu siang, pekan lalu.  Pihak Bandara Samratulangi Manado terpaksa menunda jadwal penerbangan pesawat Garuda Air, Sriwijaya Air,  Batik Air dan Lion Air rute Manado-Ternate, Maluku Utara. Sedianya Garuda Air rute Manado Ternate yang saya tumpangi diberangkatkan jam 11.20 WIT, namun petugas mengumumkan penundaan jam penerbangan tanpa memberi kepastian kapan diberangkatkan kembali sebab cuaca tidak memungkinkan penerbangan. Cuaca di sekitar Manado nampak mendung. Lalu wilayah mana yang menyebabkan ditundanya penerbangan ini. Tanya saya, setelah mendengar pengumunguman dari petugas bandara, sembari penasaran, saya membuka aplikasi AccuWeather untuk mengetahui wilayah cuaca yang diumumkan tidak memungkinkan pesawat akan diterbangkan. Setelah dibuka tingkat cerahnya cuaca di areal Bandara 24 derajat calcius dan di Ternate cuaca dengan curah hujan 30 derajat calcius. Saya tidak membuka perkiraan cuaca di Tidore Kepulauan.

Senin pagi,  harian Malut Post memberitakan dampak dari cuaca yang sempat menunda penerbangan Garuda Air itu.

Di Kecamatan Oba Tikep, luapan air dengan ketinggi melewati fondasi. Sedikitnya ada 685 rumah warga di enam desa sekecamatan.  Dikabarkan pula, warga mengungsi di wilayah terdekat yang belum tergenang.

Atas peristiwa itu,  para pemangku kuasa di Tidore mengadakan pertemuan guna memberi bantuan pada warga.

Saya tidak tahu peristiwa itu pernah terjadi atau mungkin kembali terjadi. Namun setidaknya peristiwa yang tidak menyenangkan warga itu dijadikan pengalaman. Tapi apakah penting pengalaman itu bagi kita..?

Pengalaman memiliki arti penting dan membutuhkan tindakan real. Bagi orang Papua yang menetap di pedalaman, pengalaman teramatlah penting.  Seperti yang diceritrakan oleh Jaded Diamond dalam bukunya The World Until Yesterday bahwa ketika dirinya bersama sekelompok orang Papua yang menjelajahi hutan di Papua untuk mencari tahu jenis burung. Diamond terkejud ketika temannya itu tidak menghendaki dirinya tidur di bawah pohon raksasa yang cabangnya mulai kekeringan.

Diamod sendiri belum merasa dan melihat orang ditimpa batang pohon sehingga mengeluarkan usus dan otak. Namun orang-orang Papua  punya pengalaman itu,  meski bukan di tempat di mana Diamond hendak merebahkan diri.

Kewaspadaan orang Papua pedalaman akan bahaya, menunjukkan bahwa mereka jarang mati akibat tertimpah pohon maupun mati akibat dimangsa binatang buas.  Tingkat kematian orang Papua pedalaman cenderung banyak akibat peperangan antara suku.

Peristiwa di Sabtu dan Minggu pekan lalu memang tidak merenggut nyawa warga Oba, namun dalam gelisah dan cemas mereka membutuhkan perlindungan yang pasti bukan janji. Dan faktor yang cukup berpihak pada warga karena gumpuran air terjadi sekitar pukul 08.00 WIT.  Kita tak tahu bagimana jika terjadi tengah malam[].















Dua Istana

  • Cerpen Asriyana Barham




Waaah, terima kasih banyak yaah, jadi tara enak hati kataku  kepada Kak Rio.  “iyoo, santai saja, hahaha ”. Sambil tertawa dan langsung mohon pamit.
Aku masih berdiri tepat di depan pintu sampai Kak Rio tak lagi terlihat.  
Aku lalu masuk ke kamar dan menutup diri.  Aku duduk bersilang di lantai, kulihat jam di handphone,  “ini masih pagi baru jam  sembilan“ gumamku
“Kehidupan adalah drama yang penuh tragedi dan komedi,”kata mom kepadaku, “Kau harus belajar  untuk sedikit lebih menikmati episode-episodenya yang menggelikan”. 
Mataku membesar, aku kaget luar biasa. Kalimat yang benar-benar menantangku seakan ingin mengajaku untuk masuk kedalam dunianya. Baru juga membaca sinopsis, hatiku sudah tak karuan penasarannya. Aku masih  terpana. Judul novelnya adalah Istana Kaca.
Novel ini merupakan pemberian seseorang, seorang  kakak yang baik hati, yang telah mau memberi dan memperkenalkan aku dalam  kehidupan Jeannette Walls.
Dan aku jatuh cinta pada novel ini.
Hampir 2 jam berlalu. Aku berada di dunia Istana Kaca, ikut dalam rumah mobil keluarga Rex Walss. Menjadi bagian dari Keluarga super luar biasa yang  terus hidup berpindah-pindah. Dari kota satu ke kota yang lain, bahkan hidup digurun pasir yang gersang dan kemudian hidup lagi di dalam mobil dan terus melanjutkan hidup yang bebas dan sangat merdeka.
Sekilas, aku melihat sudah sampai pada halaman 85 dari 520 halaman. Aku sadari bahwa Jeannette Walls ingin membuatku paham bahwa hidupnya sangatlah berantakan namun penuh kebahagiaan, karena dia menikmati dengan setulus hati. Semakin aku membaca semakin aku terus menyamakan bahkan membanding-bandingkan  antara aku dan Jeannette Walls. Kami sama-sama anak perempuan yang cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yang memiliki masa kecil yang bebas, merdeka. Namun  kemerdekaan kami berbeda, Jeannette Walls kecil dididik kedua orang tuanya belajar pada alam sebebas-bebasnya tanpa ada aturan yang mengikat sedikitpun. Sedang aku kecil adalah  anak yang merdeka  untuk belajar, sebelum  aku masuk seolah dasar aku sudah bebas belajar mengaji.
Aku mulai mengingat-ingat lagi kehidupanku dimasa kecil, jika   Jeannette Walls dan keluarganya berpindah-pindah sesuka mereka untuk mencari tempat-tempat baru untuk melanjutkan hidup mereka, namun mereka akan pergi lagi  ketika tempat yang disinggahi itu sudah tak lagi menjamin kenyamanan.  Keluargaku juga harus berpindah-pindah untuk mencari tempat yang aman. Kami harus meninggalkan kampung di Halmahera, karena kami adalah korban Kerusuhan Tahun 2000.   Waktu itu aku belum sepenuhnya paham penyebab kerusahan itu,  yang aku pahami hanyalah  bahwa  siangnya orang-orang menangis di mesjid sambil bertakbir dan menjelang malam kami harus pergi meninggalkan kampung dengan perahu-perahu kecil untuk mengejar kapal besar yang dinamai kapal perang, kapal itu terparkir ditengah laut  Ibu (Ibu bukan panggilan kepada perempuan yang melahirkan anak atau perempuan dewasa  namun Ibu adalah  sebuah wilayah di Halamahera Barat). 
Di kapal itu, mama bilang bahwa papa berada disebuah kamar rumah sakit. Aku ikut mama untuk melihat papa, namun aku takut masuk kedalam kamar itu, aku berhenti di pintu saja karena aku melihat papa terbaring  di ranjangnya dengan seluruh tubuhnya dililit perban. Mata bengkaknya yang tajam melihatku, aku menangis dan bersembunyi dibelakang mama, aku coba lagi ingat setelah itu, tapi aku hanya ingat bahwa di kapal itu, orang-orang berebutan makanan dan air minum. Kerusuhan itu tidak hanya membuat kami harus meninggalkan kampung namun juga membuat papa memiliki bekas luka jahitan hampir seluruh tubuhnya .
Kerusuhan itu memnciptakan  luka dan membawa duka banyak orang, tapi tidak sedikitpun merampas kebahagianku sebagai anak kecil  di tempat-tempat pengungsian. Aku adalah anak pengungsian yang memiliki banyak teman di setiap tempat  tinggal yang kami singgahi, baik  itu dirumah sakit maupun lingkungan baru yang kami tempati. Berbeda dengan Jeannette Walls orang tuanya meminta agar tidak memiliki banyak teman.
Kisah pengungsian itu tak selamanya, karena pada tahun 2002 kami dipulangkan ke kampung. Ketika itu aku baru masuk SD semester pertama. Keluargaku memiliki kampung untuk pulang, keluarga Jeannette Walls juga memiliki kampung tapi tidak sebagai tempat pulang.
***
Di kampung, kebebasanku mulai berubah menjadi anak pantai yang nakal. Aku akan pulang kerumah ketika ditunggui mama dengan rotan bambu.  Aku yang takut rotan, lalu berlari menyusuri jalan lain yang  lebih dekat dengan rumah. Masa di mana aku mulai dicari mama menjadi sebuah hiburan bagi teman-temanku seakan ini momen yang ditunggu-tunggu  untuk bisa bernyanyi “Yoko ngana, yoko ngana pe mama cari, yoko ngana, yoko ngana pe mama cari “ suara itu diikuti dengan suara tawa ejek yang lainnya dan akan berhenti ketika aku sudah tak lagi terlihat.  Jalan pulang yang aku ikuti, adalah jalan barangka yang berbatu yang tak mungkin mama melewatinya. Mama akan tiba di rumah ketika aku sudah selesai mandi dan mama mulai  memarahiku dan mencari busana mengajiku. Setiap sore  -karena malam di desa tidak ada listrik- dan setiap subuh kami harus berangkat mengaji dengan pancona  atau obor dan dengan menggunakan alat penerangan seadanya kami mengaji sampai fajar tiba. Ini tentu berbeda dengan Jeannette Walls yang tak memiliki aturan sedikitpun, bahkan mandi hujan dan menari bersama halilintar-pun orangtuanya tak melarangnya sedikitpun.
Kami berdua –aku dan Walls- memiliki barang kesukaan, kami sama-sama pencinta batu. Jeannette Walls  suka batu yang namanya pun baru aku dengar seperti mirah, obsidian dan geode, entah bagaimana bentuknya. Koleksi batu, batuku kebanyakan dari pantai, yang  aku pisahkan hanya melalui warna saja, merah, hitam, putih dan adapun batik-batik,  dan  ada pula yang bulat seperti kelereng. Benda-benda itu semakin bertambah banyak di sudut kamar mandi dan di dapur, yang lantas dipermasalahkan oleh mama. Karena takut dibuang, kusembunyikan sampai akhirnya aku pun lupa tentang batu-batu itu dan mencari batu-batu baru lagi.
Semakin usia kami bertambah,  kami mulai melupakan batu-batuan.   Jeannette Walls memiliki kesukan baru yaitu memiliki hewan peliharaan seperti ular, burung-burung liar, dan kucing hutan. Aku juga begitu, memiliki kesukaan baru yaitu aku senang  berternak. Keluargaku memiliki kandang kambing. Di kandang itu ada beberapa ekor kambing  dan aku  memilki seekor kambing betina yang berwarna putih yang aku beri nama Bule, kambing yang paling aku sayang. Setiap sore sebelum mandi di pantai aku harus memasukan kambing-kambing itu ke kandang, membersihkan kandang, membakar kayu  disekitarnya dan papa yang bertugas memberi makan. Rutinitas itu berhenti ketika aku mulai memasuki sekolah menengah pertama, dan Bule-ku yang sehat dan telah berusia tua namun terus beranak bayi-bayi putih yang lucu itu, tiba-tiba dipotong orang tak dikenal di hutan kecil depan rumah kami. Bule-ku itu memiliki luka potong ditulang belakang dan sebelah kakinya pun hilang. Kami mengobatinya dengan penuh cinta.  Namun Bule-ku mati, lalu bayi-bayi nya yang diberi susu dancow  juga ikut mati setelah beberapa hari.  Akupun selesai berhubungan dengan dunia ternak.
***
 Jika Jeannette Walls hidup bersama kakak dan adik bersama-sama, namun berbeda denganku, masa kanak-kanakku sampai aku sekolah  tingkat pertama aku hanya sendiri di rumah. Kedua kakak perempuanku bersekolah di kota dan itulah kenapa aku sangat beruntung hidup bersama kedua orang tua-ku. Orang tua ku dan orang tua Jeannette Walls memang berbeda, namun ayah kami sama-sama genius dan sangat kami kagumi, ibuku dan ibunya juga perempuan yang hebat, perempuan paling sederhana. Ibu Jeannette Walls suka batu dan pohon kaktus, sedang mama hanya suka bunga-bunga dan tanaman rempah-rempah.
Aku lalu kembali pada alam sadarku, mengamati novel,  dan mengingat-mengingat sesuatu.
Yaaahaa! Aku ingat, tapi aku lupa kapan waktunya, yang pasti aku pernah melihat di televisi di sebuah program yang namanya masih  aku ingat yaitu On the spot, sat itu ditayangkan tentang sebuah keluarga di Amerika yang hidup dan tinggal di dalam mobil dengan terus melakukan perjalanan. Entahlah, ini kebetulan atau atau tidak. Tapi kisahnya memang mirip. Aku yakin itu adalah kisah keluarga Rex Walss.
Aku juga tahu semua orang punya cerita hidup berbeda-beda, tidak ada yang sama kalaupun kebetulan sama, pastinya tidak sama  persis. Itulah kehidupan.
Aku kembali menatapnya lagi. Sungguh, aku sangat suka novel inspiratif ini.
****
Sudah seminggu aku berteman dengan Jeannette Walls , aku akui dia adalah ceminku. Darinya aku bisa melihat diriku yang sebenarnya.  
Aku anggap ini adalah sebuah kado ulang tahunku, meskipun lebih awal pemberiannya namun ini adalah  kado ulang tahun pertama dan sungguh luar biasa. Biarpun sang pemberi tak memiliki niat seperti itu, namun aku sebut ini sebuah kebetulan. Ya, ini kebetulan.
Aku sangat yakin ini sebuah kebetulan yang luar biasa, karena aku selalu percaya  dengan sebuah pemikiran besar oleh Harun Yahya yang menyatakan bahwa : “hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan.”
Pemikiran itu, aku temui ketika membaca novelnya Andrea Hirata yang berjudul Edensor  yang juga merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar pelangi.





Kekuasaan Mempengaruhi Kebudayaan

Foto; Sampul buku | Judul : Kebudayaan dan Kekuasaan di Indonesia | Penulis : Tod Jones | Jumlah Hal:  355 hal | Penerbit : Buku Obor dan KITLV-Jakarta | ISBN : 978-979-461-885-1 | Tahun terbit  : Februari 2015

Oleh :JUFRI ABUBAKAR

Seiring perubahan kekuasaan berubah pula kebijakan yang memengaruhi kebudayaan di Indonesia. Dalam buku ini Tod Jones memperlihatkan bahwa kekuasan di Indonesia sejak abad ke 20 telah melahirkan kebijakan yang diusahakan dapat mengontrol warga Negara.

Kebudayaan – terutama bagi kalangan antropologi telah mengakui, bahwa praktik kebudayaan dan cara hidup komunitas dibentuk dalam negosiasi dengan kekuasaan Negara dan kekuatan politik lokal, dan bahwa praktik-praktik kebudayaan bisa memperkuat hierarki politik dan kesempatan lain bisa menumbangkan kekuasaan politik (Greg Acciaioli dan Anna Tsing dalam Tod Jones hal. 5).

Seperti penulis lain, Tod Jones juga Menaruh minat pada kajian-kajian kebudayaan, terutama di Indonesia. Dia mengakui tujuan penulisan buku ini untuk memberikan kontribusi bagi perdebatan, khususnya di Indonesia tentang peran Negara dan hubungannya dengan kebudayaan.

Tod Jones kini aktif sebagai dosen pada Departemen Perencanaan dan Geografi di Curtin University, Australia. Selain sebagai dosen, dia juga aktif melakukan penelitian dibidang kebijakan dan perencanaan kebudayaan dan warisan budaya di Indonesia dan Australia. Buku ini ditulis didasarkan pada studi doktoralnya di Curtin University di Perth , Australia. Dia mengulas bagaimana kebudayaan, khususnya kebudayaan nasional, telah dibentuk dalam kebijakan mulai dari masa penjajahan yang bermula pada tahun 1900-an, berlanjut ke masa pendudukan Jepang dan tahun tahun awal kemerdekaan, selama masa kekuasaan rezim otoritarian Soeharto yang berakhir pada tahun1997, hingga masuk ke dalam era reformasi sekarang ini.

Perhatian buku ini terbatas pada regulasi kebudayaan oleh lembaga-lembaga kebudayaan Negara, mengaitkannya secara lekat dengan perpektif lembaga dan industry kebudayaan (hal.5). Karena berfokus pada regulasi Negara, maka kebudayaan yang dimaksudkan Tod Jones adalah yang merujuk pada berbagai praktik yang dianggap budaya melalui pencantuman mereka dalam kategori seni, hubungan dengan ritual atau bahasa, ketika istilah itu digunakan dalam konteks kebijakan budaya (hal.35).

Menelusuri sejarah kebijakan budaya di Indonesia, Tod membuka kembali memori asal-usul kebijakan budaya pada periode kolonial Belanda dan Jepang. System pemeritahan dan kebijakan kebudayaan di Indonesia memiliki hubungan yang kompleks dengan pemerintahan asing di Indonesia.

Pada masa pendudukan Belanda, kebijakan-kebijakan pemerintah Belanda lebih mengutamakan keuntungan - penguasaan pasar rempah-rempah dan sumberdaya alam lainnya. Kebijakan keberbudayaan yang dijalankan oleh pemerintahan masa itu berupaya mendamaikan dan menertibkan masyarakat untuk ikut dan demi kelancaran proses pemerintahan Belanda. Salah satu contoh ialah penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa nasional. Pendirian lembaga penerbitan Balai Pustaka merupakan suatu ekspresi perhatian politik etis untuk kesejahteraan sosial yang berusaha untuk merubah perilaku dan atribut dari penduduk peribumi melalui keterlibatan dalam kesusteraan (hal:53).

Setelah pemerintahan Hindia-Belanda berakhir, Jepang masuk dan menerapkan berbagai kebijakan budaya yang mengutungkan negaranya. Karena pendudukan Jepang di Indonesia berkaitan dengan perang dunia ke II maka kebijakan kebudayaan terhadap bangsa Indonesia harus memiliki korelasi dengan keuntungan perang. Tod menulis, kebijakan Jepang untuk memenuhi kebutuhan perang berencana untuk memanfaatkan struktur yang ada dari masyarakat yang mereka duduki. Salah satu karakter yang jelas-jelas membedakan kebijakan kebudayaan Jepang ialah penggunaan mobilisasi masa. Mobilisasi yang dimaksudkan mengacu pada eksploitasi sumberdaya ekonomi, tenaga kerja, dan kerjasama dari penduduk Indonesia (hal:68).

Berakhirnya pendudukan kolonial, Indonesia masuk pada periode baru pemerintahan. Pada periode ini, perubahan justeru terjadi pada system pemerintahan dari kolonial yang  mengubah  peran Negara dalam kebijakan kebudayaan. Yang disebutkan Tod sebagai kunci dari perubahan budaya dari masa-masa setelah kolonial adalah bagaimana Negara mendefenisiskan perannya. Periode ini sedang berusaha untuk membentuk masyarakat yang sangat berbeda dan mengadopsi metode yang berbeda. Mencoba memfasilitasi pengembangan populasi yang terdiri para individu bebas dengan komitmen dan pandangan nasionalis, kebijakan budaya menjadi alat untuk memobilisasi populasi nasional dibalik agenda politik Soekarno (hal:129).

Sedangkan kebijakan budaya pada masa Orde Baru secara luas diindentifikasi oleh Tod sebagai kelanjutan dari penggunaan kebudayaan versi reformis yang menjadi unsur dari setiap pemerintah di Indonesia sejak kolonialisme. Kebijakan budaya Orde Baru berusaha untuk membentuk jenis baru subjek budaya yang cocok untuk era Orde Baru. Seni juga tidak luput dari intervensi pemerintah Orde Baru. Para penggiat seni daerah tunduk pada rezim pelatihan dan didorong untuk memasukkan tema dan pesan pembangunan kedalam karya mereka.

Buku ini juga menarik perhatian pada pentingnya konteks kolonial untuk menarik gambaran kebijakan budaya post-kolonial, terutama selama periode pemerintahan otoritarian. Pemerintahan post-kolonial mewarisi kebijakan budaya yang didasarkan pada seperangkat asumsi yang meskipun asal usulnya liberal namun dalam praktiknya tidak demokratis (hal:319).

Namun kita juga perlu hati-hati dalam memahami maksud kebijakan budaya oleh Tod dalam buku ini. Dia lebih menekankan asal-usul dan hasil kebijakan. Singkatnya, kebijakan dilihat sebagai instrument kekuasaan yang diupayakan untuk mewacanakan kepentingan kekuasaan[]. 

Kamis, 15 Juni 2017

Baliho


Cerpen Oleh : Ovy


Guruh mendayu-dayu, mencoba merayu awan untuk segera menumpahkan bebannya. Aku masih berdiri disini, ditempat sebelumnya aku berdiri, atau lebih tepatnya dipaksa berdiri tanpa dihiraukan seorangpun. Cuaca tak lagi menjadi masalah bagiku, saat hujan dan guruh menggebu-gebu mewarnai hari atau saat panas terik yang menyilaukan mata, aku tetap saja berdiri dengan penyangga berkaki dua sebagai pengganti kakiku.
Maklum saja, aku tak berkaki dalam gambar-gambar ku kali ini, dan biasanya aku memang tak berkaki. orang hanya mengenalku melalui gambar-gambar sebatas dada ke atas, dengan songkok dan jas sebagai pakaian dan kadang-kadang mencoba menghalangi silauan matahari dengan kacamata. Dahulu, aku pernah mencoba berdiri dengan gambar seutuhnya, tapi aku malah dicela. Orang-orang yang sambil lalu dalam kesibukannya hanya berkata dengan nada miring “foto model ya?”, seraya berlalu sambil tersenyum aneh.
Sebenarnya aku bisa berimprovisasi apapun, namun dalam warna ku yang semakin memudar karena cuaca aku tak lagi terlihat gagah, seperti saat pertama kali para pesuruh itu mendiriikan gambarku disepanjang jalanan kota. Dahulu, saat orang mengenalku hanya sebagai aktivis, akademisi, advokat, dan politisi yang berlabel jujur aku tak pernah menggunakan gelarku, sekarang beda lagi. Segala macam gelar hasil pergulatan dengan buku-buku bertahun-tahun aku pamerkan demi sekertas suara di pemilu nanti.
Tahukah kalian, bahwa dalam prosesnya walaupun berwarna-warni, aku tetaplah hanya berwujud satu! Kendati para pesuruh memaksaku berdiri dalam berbagai pose, busana, gelar, senyum dan berbagai seringai aku tetaplah berjiwa satu. Aku rasa, sebaiknya aku tak menyebut jenis berjiwa apa aku ini karena hanya akan menambah pengetahuan kalian tentang kelicikanku saja.
Kali ini awan benar-benar membuatku basah kuyup setelah mengikuti rayuan alam, saat hujan ini berhenti dan panas kembali memanggang aku akan menjadi semakin lusuh, luntur dan siap dicampakkan. Seorang laki-laki bercelana lusuh dengan jidat lebar yang ditutupi topi berlari-lari kecil menuju sebuah pangkalan ojeg yang ditinggal penjaganya mencari nafkah. Sunyi, laki-laki itu hanya terduduk diam sambil mengeringkan sisa-sisa air di rambutnya, seakan sengaja membiarkan alam menyandungkan iramanya.
Hujan masih lebat saat laki-laki berkaos oblong bergambarkan pendiri negara itu mengangkat wajahnya menatapku. Dia melihatku dengan seksama, memperhatikan penyangga ku yang kotor berbalut tanah liat lalu menatap tajam pada gambar wajahku. Matanya memancarkan aura marah saat pandangannya tertumbuk pada sesosok gambar wajah berkharisma yang sama persis dengan gambar di kaos oblongnya, disudut baliho ku.
Beberapa detik kemudian, sayup-sayup kudengar sebuah kalimat yang meyudutkanku ditengah hujan. Apa maksudmu menggunakan gambar laki-laki berkharisma ini menjadi background baliho dirimu?, kalimat itu diucapkan saat guruh membelah udara dikaki langit. Tak berhenti sampai disitu saja, laki-laki bertopi itu merongrongku dengan sejumlah pertanyaannya, apa kau pikir kau setara dan akan menjadi setara begitu ia menjadi backround mu?? Tidak sadarkah kau, ia bisa saja bangkit menuntutmu saat kau menggunakan nama dan kekuatannya untuk menggapai puncak kekuasaan dengan aroma badan ketidakadilan mu?!!. Sungguh, aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Sungguh mengherankan saat sesorang marah pada gambar balihoku hanya karena secuil wajah senyum dilatar baliho.
Laki-laki itu lagi-lagi mengucapkan sesuatu, belahan bibirnya yang rapi menggumamkan sebuah kalimat yang membuatku tertunduk, penguasa zalim penguasa ditentang. Lantas ia berlari pergi meninggalkanku dalam deraian air hujan yang menertawakanku.
******
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di kaki penyangga ku, seorang perempuan berkaki jenjang dengan rok mini hitamnya keluar sambil menjinjing sebuah kamera berlensa. Ia memotret gambar baliho diriku beberapa kali lalu bergumam pelan, sepertinya ia wartawan atau mungkin juga seorang kritikus politik atau bisa saja seorang dari lembaga pengontrol pemilu. Ah, aku tak tahu siapa dia sebenarnya, yang jelas ia memotretku lantas berlalu dengan sedannya.
Kali ini aku merenung, sepertinya sebuah kalimat manis dibawah dadaku yang menariknya. Sengaja memang, aku dan tim pejuang ku kali ini memilih kalimat “berobat gratis berkualitas dan pembukaan lapangan kerja” secara besar-besaran, layaknya obral baju. Selain karena ku pikir aku mampu mewujudkannya, secuil kalimat bermadu pasti banyak menarik lebah.
Perempuan tadi mungkin akan menceritakan tentang aku pada teman-teman wanita lainnya, yang mungkin saja butuh madu ku. Seringai wajah di baliho milikku menajamkan pandangannya dan melebarkan bibirnya, memberi senyum pada siapa saja yang menatapku.
Tiba-tiba dari kelokan jalan dibelakang peyangga ku, seorang laki-laki berpakaian necis layaknya seorang sales berjalan menuju baliho ku dengan takjim nya. Ia, laki-laki itu pasti mengenalku paling tidak pasti pernah mendengar namaku. Ya, aku adalah seorang businessman sukses dengan kapitalisasi yang berakar urat di darahku, yang memberi kehidupan pada mereka para sales yang tak pernah komentar terhadap penghisapan yang jelas-jelas aku lakukan. Upah lembur yang tak sesuai upah minimum kerja nasional, yang menjadi Alat Tutup Mulut mereka.
Tak tahu kah para pesuruh ku itu bahwa hasil keringat mereka ku bayarkan dengan hutang dan icip-icip uang rakyat, uang mereka sendiri. Tapi tak apa karena uang memanglah yang paling pintar mempermainkan perasaan orang.
******
Kali ini aku tampil berbeda dari sebelumnya, pose ku dengan jeans dan kemeja tak dikancing yang diikat pada bagian ujungnya membuatku merasa semakin gagah. Ironinya, saat aku di ber-diri-kan di sepanjang jalanan kota orang-orang malah menertawakanku dengan geli. Bunyi tawa mereka yang nyaring dan menggelikan itu membuatku penasaran atas diriku. Sulit dijelaskan dengan kata-kata tapi perasaanku sungguh campur aduk. Aku bingung dengan ekspresi mereka terhadap setiap pose ku, pakaianku, senyum ku, gambar-gambar background ku, bahkan kalimat-kalimat ku. Apa sebenarnya yang dipikirkan belahan otak-otak para masyarakat itu??
Salahkah aku bila berdiri di sepanjang jalanan milik negara untuk mengejar hasrat menjadi orang nomor satu?? Bahkan mereka lantas menjadikan raut wajahku yang khas sebagai guyonan diantara mereka. Ada yang berkata dengan nada menggelikan namun terdengar panas di telingaku “Pak kumis hanya jago jualan saja!”, “Pak akademisi mulai pamer gelar!”, “pak politisi pandai cari muka deh, ah!”, atau sebagian besar menyayikan lagu-lagu untuk menyinggungku, mulai dari lagunya bang pemberontak,sampai lagu-lagu POP Mellow ber-Janji Manis.
Salahkah aku, jika berusaha memaniskan madu yang telah manis untuk selembar rupiah guna membayar hutang-hutang ku? Salahkah aku jika memutar-mutarkan waktu untuk menjadi pemilik “kursi panas”? salahkah jika aku ingin menggapai jabatan itu, padahal telah berpuluh-puluh rekening di berbagai bank dipelosok dunia yang kusediakan!!
Sungguh sangat mengecewakan dan mengejutkan tatkala rahasia-rahasia ku telah diketahui umum dan saat mereka, para masyarakat ktiris, tidak lagi memperdulikanku seperti dahulu.
Aku hanya bisa berdiri dalam waktu yang menusuk penghianatan dan penyalahgunaan jabatanku dengan membuatku semakin luntur, pudar, using dan siap dicampakkan. Lantas apa yang bisa kulakukan, lagi??!!

Dibawah bendera waktu
Ternate, 3-4 september 2016

Rabu, 14 Juni 2017

Sekolah Teori dan Metodologi (SERIOLOGI)

Akan segera dilaksanakan SERIOLOGI, untuk itu kepada kaders PILAS dan siapa saja yang ingin mengikuti kegiatan tersebut agar menghubungi Departemen Sekolah PILAS di Rumah Gagasan kelurahan Jambula - Kota Ternate.

TTD
Departement Sekolah PILAS

Sekerat Bosokene, Sehangat Khatulistiwa



Cerpen Oleh : Rahmatia Kadir

            Pada pepucuk dedauan, hendak ia sampaikan pula sebuah pesan pamitnya meninggalkan Bumi Hijrah, tempat di mana ia tumbuh hingga menjadi seorang pemuda. Walau Ome bukanlah tanah air milik orang tuanya, namun di sana-lah kehidupan yang menghidupinya. Ramainya suara para sanak keluarga yang memenuhi rumah seakan sarat berada di dalamnya, hanya untuk mengadakan acara perpisahannya menuju tanah rantau sebagai suatu doa pengantar perginya, apa lagi jika bukan bosokene(1)? Sebuah belanga berisi nasi telah siap disantap bersama tusukan beberapa butir telur rebus sebagai ritual ini. Cukup banyak yang memberi wejangan-wejangan sebagai bekalnya saat berada di ranah rantau nanti.
            “Rizky, kau harus pulang membawa kesuksesan dan menikmati bosokene kembali setelahnya. Jangan berani datang jika belum berhasil,” pesan dibumbui gurauan yang menurutnya benar-benar merupakan amanah besar baginya.
            “Insya Allah, doakan saja ya ( . )”Jawabnya sambil tersenyum kecil.
            Berbeda dengan kebanyakan orang, Rizky bukan pergi untuk mencari penghidupan, ia akan menimba ilmu di tanah Bugis yang dikenal dengan tingginya nilai agamisnya. Berharap sekembalinya, ia bisa menjadi seseorang yang dapat mengayomi masyarakat dalam urusan agama.
            “Jaga i diri laha-laha, Ngofa(2) ( . )”Ucap Ibu saat hidung Rizky menyentuh kulit tangannya.
            “Jo(3), Bu. Doakan aku selalu ya ( . )”
            Suasana haru menyelinap di hati mereka masing-masing. Seberapa relanya meninggalkan dan ditinggalkan. Namun, adalah keadaan yang mengharuskan perpisahan sementara itu terjadi hingga kerelaan hanya menjadi simbolitas semata. Bagaimana pun juga, kekentalan cinta akan kampung halaman akan tetap melebihi kekaguman akan keelokan ranah rantau.
* * *
            Tiga tahun berlalu, mendekati puncak akhir semester delapan. Rizky memang memiliki isi kepala yang gemilang, maka sangat mudah baginya untuk mempercepat kuliahnya. Soal biaya pun bukan menjadi masalah baginya, karena selalu teratasi dengan beasiswa. Namun, tak lantas membuatnya berpuas hati sebab amanah yang harus diembannya melalui pesan-pesan keluarganya akan pengharapan kesuksesannya saat pulang nanti agar dapat kembali menikmati bosokene sebagai adat leluhurnya—Rizky duduk menatap beberapa pete-pete yang lalu lalang sambil memandangi ponselnya.
            “Siapa?”
            Sebuah tanya mengejutkan perjalanan psikisnya. Sontak ia menoleh ke belakang. Matanya menangkap sesungging senyum yang merekah di ranumnya bibir seorang gadis, membuatnya sulit memalingkan pandangannya. Dara, satu-satunya temannya selama di Makassar yang paling tahu dengan kisah hidupnya. Dara sendiri bukanlah penduduk asli Makassar. Ia juga terlahir dari sebuah keluarga di daerah khatulistiwa Maluku Utara. Tetapi sedari kecil, Dara telah diasuh oleh sepasang suami-istri berdarah Bugis yang kebetulan masih kerabat dekat dari orang tuanya. Sejak berada dalam didikan orang tua angkatnya, Dara tidak pernah lagi mengunjungi Orimakurunga Kayoa yang merupakan tanah kelahirannya.
            “Ibuku. Sejak kapan senyummu jadi selebar itu, Dara?” Rizky mencoba mengalihkan pembahasan.
            “Kau tak berkeinginan untuk menebak dulu sebelum kujawab, Ky?” ia mengambil tempat duduk di sebelah Rizky dengan spasi yang cukup jauh.
            “Hasil yudisiumnya memuaskan, ya?”
            “Lebih dari itu.” Wajahnya semakin ceria.
            “Aku kehabisan kata ( . )” Rizky mulai menyerah.
            “Aku memang sangat bersyukur dengan hasil yudisium itu, Ky. Tapi, yang paling membahagiakan adalah aku diizinkan untuk menginjakkan kaki di tanah kelahiranku oleh Ayah,” ia memperlihatkan dua buah tiket pesawat di tangannya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik badannya.
            “Ededeh(4), terharu sekali aku mendengarnya. Kapan kau akan berangkat, Ra? Aku turut senang.”
            “Tiga hari lagi dan ini untukmu, kita akan ke Ternate bersama.” Dara menyerahkan selembar tiket pada Rizky yang membuat Rizky jadi mematung.
            “Aku sangat berterima kasih padamu dan bahagia atas ini, tapi bagaimana pun kau tahu bahwa pantang bagiku untuk pulang sebelum kesuksesan berada dalam genggaman. Bahkan telepon dari Ibuku saja tidak pernah kuangkat.” Rizky tertunduk.
            “Mengapa kau bersikap seperti itu, Ky? Jangan cuma karena perkara prinsip bisa membuatmu menjadi durhaka kepada orang tuamu. Sekental itukah adat di negerimu? Konyol sekali.” Sanggah Dara.
            “Terserah apa katamu, Ra. Boleh kau pandang hina akan prinsipku, tapi aku sepertimu saja yang berusaha menjunjung adat negeriku.”
            “Kau selalu saja begitu tiap kali kita membahas hal ini. Aku yakin, bosokene tidak sekejam yang kau prinsipkan.” Suasana hening sejenak sampai Dara mencoba membuka kembali suara untuk meredam emosi Rizky, “Sekarang, aku mau menawarkanmu sesuatu. Terserah kau mau menerimanya atau tidak.”
            “Maafkanku, Ra. Aku tak bermaksud ( . )”
            “Sudahlah, aku juga minta maaf atas kekataku tadi. Ky, maukah kau ke Ternate bersamaku? Anggap saja ini sebagai apresiasimu atau sekadar menemani sahabatmu yang masih buta arah jalan di Bumi Kie Raha. Please(5)ya ( . )” Dara yang setengah memelas membuat Rizky luluh juga.
            “Baiklah, tapi hanya menemanimu, tidak untuk mendatangi keluargaku di Tidore, ya ( . )”
            “Iya, Tuan muda.” Senda Dara, kembali tersenyum. Dibalas Rizky dengan senyum pula sebagai tanda setuju.
* * *
            Mata Dara liar memandang sekelilingnya. Seiring dengan terperangahnya ia akan keindahan Kota Pantai, senyum selalu menjadi bukti kekaguman dan kebahagiaannya. Rizky yang berada di sampingnya pun turut dibuat tersenyum oleh tingkahnya.
            “Ky, ajari aku satu ungkapam umum dalam bahasa Ternate ya ( . )” Pinta Dara.
            “Fajaru cinta se jo ngon(6).”
            “Apa artinya? Mengapa ada kata ‘cinta’nya?”
            “PR buatmu. Katanya asli Maluku Utara,” Rizky menjulurkan lidahnya.
            “Wah, curang. Eh Ky, itu bukannya pemandangan yang ada di pecahan kertas uang seribu, ya?” Dara menunjuk ke arah pantai dan sebuah gunung.
            “Iya, Nona manis. Itu pulau Maitara namanya.”
            “Lalu, yang paling tinggi itu?”
            Pertanyaan terakhir Dara benar-benar membuatnya ingin sekali menangis. Tak terukur seberapa dalam kerinduannya. Matanya telah berkaca-kaca. Ditahannya yang membuatnya kesulitan mengatur napasnya.
            “Ky( . )Apakah aku terlalu banyak bertanya?” Dara menoleh dan mendapati mimik Rizky yang tak biasa, “Ada apa?”
            “Gunung tinggi itu yang memiliki adat bosokene, Ra ( . )”
            “Tidore, Ky?” Dara masih tak percaya. Rizky menjawab dengan anggukan dan senyum yang cukup dipaksakan, “Kalau Tidore begitu dekat dengan Ternate, mari kita ke sana. Aku juga penasaran dan berkenalan langsung dengan orang-orang di sana.”
            “Hanya menemanimu, Ra. Ingat itu.” Rizky sekilat mungkin memotong ajakan Dara. Dara tertunduk, membatin.
            “Maafkanku, Ra ( . )”
             “Aku berusaha mengerti, Ky ( . )”
            “Terima kasih untuk semuanya, Ra ( . )”
* * *
            Hamparan pepasir putih yang membingkai pantai Orimakurunga, penanda betapa panasnya kulit wilayah khatulistiwa ini. Dara sesekali menoleh ke arah Rizky, rasa takut tergambar jelas di raut wajahnya. Rizky yang memahami itu, berusaha membuat suasana hati Dara menjadi nyaman dengan senyumnya. Bila saja Dara adalah seorang lelaki, maka telah pasti akan ia genggam tangannya untuk menguatkan hati Dara.
            “Kita telah sampai di bibir pantai tanah kelahiranmu, Ra. Jika kau belum yakin untuk melanjutkan langkah kakimu, kita boleh kembali ya ( . )” Kata Rizky masih sambil berdiri menatap jauh ke depan.
            “Apakah aku akan diterima di negeri ini, Ky?” Dara mengepalkan tangannya yang membuktikan rasa takutnya.
            “Kita akan berjalan bersama ya ( . )”
            Dalam keraguan, muncul seorang lelaki paruh baya menghampiri mereka. Reflek saja, Dara langsung memegang ujung jaket Rizky, mencoba berlindung. Beruntung, orang itu mengubah keadaan dengan senyumnya.
            “Kalian siapa?”
            “Saya Rizky dari Tidore dan ini teman saya, namanya Dara. Kami mau mencari seorang ibu bernama Hadirah,” Rizky mengulurkan tangan untuk berjabat.
            “Hadirah?” Bapak itu mengernyitkan keningnya.
            “Iya, bapak mengenal beliau?” Dara terlihat bersemangat.
            “Saya, Ridwan. Mari, ikut saya ke rumah.” Lelaki tua itu lantas membalikkan punggungnya, Rizky dan Dara menurut dan mengukuti beliau dari belakang.
            Setibanya di rumah, Pak Ridwan mempersilakan Rizky dan Dara untuk duduk. Sementara, beliau langsung menuju ke dalam. Dara mengamati seisi ruang di mana mereka berada. Lalu, tidak berselang lama, Pak Ridwan kembali dengan seorang perempuan tua yang mungkin adalah istri beliau. Mereka dihidangkan dua gelas kopi tumbuk dan sepiring sagu lombo(7).
            “Jadi, ada maksud apa kalian ingin menemui Hadirah?” tanya Pak Ridwan setelah menyeruput kopinya.
            “Teman saya ini sudah sangat lama ingin bertemu dengan Ibu Hadirah.” Rizky menjawab dengan hati-hati.
            “Saya merindukan beliau ( . )” Dara menyambungnya.
            “Sedekat itukah kalian dengan Hadirah?”
            Sikap Pak Ridwan membuat Rizky dan Dara merangkai banyak tanya dalam kepala mereka. Tapi, mereka yakin bahwa Pak Ridwan pasti menegenal orang yang sedang mereka cari itu—Pak Ridwan mengatur napasnya sejenak. Lalu, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang didudukinya.
            “Jadi begini, Pak. Saya dan Dara datang ke Orimakurunga ini karena hendak menyatukan kembali sebuah ikatan keluarga yang telah kurang-lebih sembilan belas tahun lalu terpisah. Ibu Hadirah itu ibu kandung dari Dara yang belum sekali pun dalam hidup teman saya ini melihat beliau secara langsung.” Rizky mencoba menjelaskan sambil sesekali memandang wajah Dara sebagai isyarat meminta persetujuan.
            Wajah Pak Ridwan dan istrinya berubah seketika, bahkan Pak Ridwan tertunduk jadinya. Tiba-tiba saja, istri Pak Ridwan lari memeluk Dara di antara sela-sela tangisnya yang mulai pecah. Suasana hening selain dari suara tangis ibu itu.
            “Maafkan kami, Nak ( . )” Itu saja kalimat yang berusaha terucap oleh istri Pak Ridwan.
            Oleh cerita Pak Ridwan, terjawab jelas sudah bahwa sepasang suami istri yang berada bersama mereka saat ini merupakan orang tua dari Ibu Hadirah. Menurut ceritanya, ayah Dara adalah seorang pemuda yang gagah. Sayangnya, beliau dianggap belum cukup mapan untuk menjadi suami. Itu dibuktikan melalui waktu maka dod(8). Kasim, ayah Dara tidak mmapu memenuhi pra syarat nikah yang biasa disebut sebagai uang belanja. Maka, terjadilah halausak(9) antara keduanya yang terlanjur saling mencintai. Pak Ridwan dan istrinya berusaha mengambil kembali Ibu Hadirah tanpa peduli kondisinya yang tengah mengandung seorang calon bayi. Singkat cerita, Ibu Hadirah yang berjuang mempertahankan kehidupan anaknya memilih untuk tetap menikah dengan Pak Kasim dan meninggalkan orang tuanya. Pak Ridwan dan istrinya yang telah sakit hati karena pilihan anaknya menolak untuk menganggap Ibu Hadirah sebagai anak mereka lagi—Mata Dara telah berkaca-kaca. Saat itu, Rizky ingin sekali memeluknya, apalagi reaksi tubuhnya yang mendadak mematung seolah tak percaya akan kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah lama tiada. Sesuatu yang tak lazim, Dara tiba-tiba saja terjatuh pingsan.
* * *
            Rizky dan Pak Ridwan panik mencari Dara. Lalu, kelegaan hadir saat memandang siluetnya di antara dinginnya fajar di pantai, ia sedang berdiri dengan sejengkal kaki yang ditelan air laut. Sesekali ia melemparkan batu-batu kecil jauh ke depan.
            “Udara pagi itu sangat dingin. Lain kali, kenakan jaketmu ya, Nona manis ( . )” Rizky membungkus punggung Dara dengan sebuah jaket yang sedari tadi dipegangnya.
            Tanpa berkata, Dara lantas menenggelamkan tubuhnya di dada Rizky dan sesenggukan. Rizky tahu bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi, tapi ia tak dapat menampik rasa ibanya dan membiarkan Dara memeluknya.
            “Aku ingin pulang, Ky ( . )Aku merasa bukan lagi sesiapa di negeriku sendiri.”
            “Mereka menerimamu dengan baik, kan? Kita doakan saja yang terbaik untuk semua. Kau akan segera menikah, jangan terlalu membebani pikiranmu ( . )”
            Seminggu di Orimakurunga membuat Dara cukup berat meninggalkan kampung halamannya itu. Berkali-kali ia memeluk neneknya yang entah kapan akan kembali bersua. Sepanjang perjalanan, begitu banyak air mata yang terurai oleh Dara. Rizky membiarkannya, dalam benaknya, mungkin Dara butuh waktu untuk sendiri.
            “Ky, mari ke Tidore sebentar untuk menemui ibumu( . )”
            Ajak Dara setelah berada di Ternate. Wajah Rizky berubah merah padam. Ia selalu merasa kesal dengan sikap Dara yang seakan-akan memaksanya untuk merombak prinsipnya. Kali ini, ia memilih untuk diam.
            “Apa kau ingin sama menyesalnya denganku?” pertanyaan Dara terakhir ini seolah menampar Rizky. Spontan, Rizky memandang tajam Dara, “ya, maafkanku. Tapi, aku rasa kita terlalu berlebihan dalam memaknai adat negeri. Aku hanya tidak ingin kau akan mengalami hal serupa denganku, Ky. Bosokene adalah adat tanahmu, tapi orang tua tetaplah orang tua. Mau sampai kapan kau siksa mereka dengan kerinduan yang menyesakkan dada? Kau pikir mereka tidak akan mengkhawatirkanmu? Apa kau akan terus saja menghukum dirimu sendiri? Dengan engkau berada di Makssar saja, mereka telah sangat bangga akanmu. Bukankah prestasimu selama ini sudah bisa dikatakan sebagai sebuah kesuksesan dan kau pasti bisa kembali menikmati bosokene?” Rizky tak menyangka Dara bisa sampai berurai air mata menyikapi hal ini.
            Belum selesai Dara berkata, tetiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seseorang menjelmakan perubahan drastis dalam mimik wajahnya. Tubuhnya berubah lemas.
            “Ada apa, Ra?”
            “Kak Fahmi membatalkan pernikahan kami, Ky. Ia ternyata tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku bukanlah anak kandung dari ibu ( . )”
            “Berani sekali dia melukai hati sahabatku. Lihat saja, akan kuberi dia pelajaran.”
            “Sudahlah, Ky ( . )Sebaiknya memang seperti ini. Daripada saat telah menjadi istrinya dan ternyata ia akan terus mengungkit-ungkit hal ini. Aku berusaha ikhlas, Ky ( .)”
            “Aku kagum padamu, Ra. Jodoh pasti menemui takdirnya ( . )”
            Berkat bujukan Dara, Rizky akhirnya mau pergi ke Tidore—Tidak ada yang berubah, Ome dan rumahnya masih seperti saat sebelum dirinya berangkat ke Makassar. Matanya menangkap sosok yang sangat ia rindukan, siapa lagi bila bukan ibunya.
            “Ibu ( . )” Rizky yang tak dapat menahan kerinduannya, sontak setengah berteriak memanggil ibunya dari jauh.
            Terjadilah suasana mengharukan di antara mereka. Rizky berusaha menggapai kaki ibunya, memohon ampun atas segala sikapnya---Mata ibu Rizky tertuju pada Dara. Beliau tersenyum dan menghampirinya.
            “Cantik sekali, siapa namamu?”
            “Saya Dara, Bu.” Dara mencium tangan ibu Rizky.
            “Rizky tidak pernah memberi kabar. Sekali datang, langsung membawa calon istri. Di mana kau menemui bidadari ini, Nak?”
            “Ibu, Dara ini ( . )” Kata-kata Rizky segera dipotong oleh Dara.
            “Apakah akan ada bosekene untuk Rizky, Bu?”
            “Tentu saja. Ia telah kembali dengan selamat. Itu merupakan hal yang mesti disyukuri.” Jawab ibu sambil merangkul bahu kanan Dara.
* * *
            “Ra, mengapa kau memotong jawabanku pada ibu tadi? Tidakkah kau merasa risih akan dugaan itu?” tanya Rizky saat mereka hanya berdua saja.
            “Aku hanya tidak mau mengubah suasana bahagia tadi, Ky. Maafkan aku( . )”
            “Bagaimana bila kau benar-benar jadi calon istriku?”
            “Apa maksudmu, Ky?”
            “Apakah cinta sejati bisa kita miliki bersama? Sejak lama, aku telah menyukaimu, Ra. Kini, aku baru berani mengungkapnya setelah kau mulai ikhlas melepaskan Kak Fahmi dan ketika aku telah mendapatkan panggilan kerja. Maukah kau mendampingiku di saat susah dan senang dalam ikatan yang sakral?” Dara belum mengeluarkan sepatah kata pun, “fajaru cinta se ngon, Dara ( . )”
            “Artimya apa?’ senyum merekah di sela tanda tanya di kepala Dara.
            “Aku cinta akan dikau, Dara ( . )”
            “Kau sungguh tidak sedang bercanda, Ky?” Rizky hanya menjawab dengan anggukan. Sesungging senyum menawan kembali menjadi pemandangan yang Rizky rindukan selama beberapa minggu ini tak menampak di wajah Dara.
            Sekental apapun sebuah adat, cukup gunakan akal sehat untuk memaknainya, sebab Tuhan tidak akan pernah mau mempersulit hamba-Nya. Sekerat bosokene, sehangat khatulistiwa, cinta bersemi di antara kontroversial negeri. Namun, hidup adalah pilihan, ke mana ujungnya akan bermuara melalui proses bertajuk pro-kontra. Rizky akhirnya menemukan cinta sejatinya bersama seorang dara Kayoa.[]
~*~
(1)Sebuah adat Tidore membuat selamatan atau memanjatkan syukur akan sesuatu, biasanya ketika berangkat dan kembalinya seorang perantau.
(2)”Jaga dirimu baik-baik, Nak” dalam Bahasa Tidore.
(3)”Iya, Bu” dalam Bahasa Tidore.
(4)Sebuah ekspresi orang Sulawesi Selatan ketika mendengar sesuatu.
(5)Ungkapan memohon dalam Bahasa Inggris.
(6)”Aku mencintaimu” dalam Bahasa Ternate.
(9)Lunak dalam bahasa penduduk Maluku Utara sehari-hari.
(10)Sebuah adat Kayoa ketika seorang lelaki datang meminang seorang perempuan dan terjadi tawar-menawar biaya pernikahan.
(10)Atau ‘kawin lari’. Kebiasaan sebagian orang yang berada di Kayoa ketika sepasang kekasih telah seiya-sekata dan tidak mendapatkan restu karena persoalan ekonomi lelaki.