Random Posts

banner image

Kamis, 15 Juni 2017

Baliho


Cerpen Oleh : Ovy


Guruh mendayu-dayu, mencoba merayu awan untuk segera menumpahkan bebannya. Aku masih berdiri disini, ditempat sebelumnya aku berdiri, atau lebih tepatnya dipaksa berdiri tanpa dihiraukan seorangpun. Cuaca tak lagi menjadi masalah bagiku, saat hujan dan guruh menggebu-gebu mewarnai hari atau saat panas terik yang menyilaukan mata, aku tetap saja berdiri dengan penyangga berkaki dua sebagai pengganti kakiku.
Maklum saja, aku tak berkaki dalam gambar-gambar ku kali ini, dan biasanya aku memang tak berkaki. orang hanya mengenalku melalui gambar-gambar sebatas dada ke atas, dengan songkok dan jas sebagai pakaian dan kadang-kadang mencoba menghalangi silauan matahari dengan kacamata. Dahulu, aku pernah mencoba berdiri dengan gambar seutuhnya, tapi aku malah dicela. Orang-orang yang sambil lalu dalam kesibukannya hanya berkata dengan nada miring “foto model ya?”, seraya berlalu sambil tersenyum aneh.
Sebenarnya aku bisa berimprovisasi apapun, namun dalam warna ku yang semakin memudar karena cuaca aku tak lagi terlihat gagah, seperti saat pertama kali para pesuruh itu mendiriikan gambarku disepanjang jalanan kota. Dahulu, saat orang mengenalku hanya sebagai aktivis, akademisi, advokat, dan politisi yang berlabel jujur aku tak pernah menggunakan gelarku, sekarang beda lagi. Segala macam gelar hasil pergulatan dengan buku-buku bertahun-tahun aku pamerkan demi sekertas suara di pemilu nanti.
Tahukah kalian, bahwa dalam prosesnya walaupun berwarna-warni, aku tetaplah hanya berwujud satu! Kendati para pesuruh memaksaku berdiri dalam berbagai pose, busana, gelar, senyum dan berbagai seringai aku tetaplah berjiwa satu. Aku rasa, sebaiknya aku tak menyebut jenis berjiwa apa aku ini karena hanya akan menambah pengetahuan kalian tentang kelicikanku saja.
Kali ini awan benar-benar membuatku basah kuyup setelah mengikuti rayuan alam, saat hujan ini berhenti dan panas kembali memanggang aku akan menjadi semakin lusuh, luntur dan siap dicampakkan. Seorang laki-laki bercelana lusuh dengan jidat lebar yang ditutupi topi berlari-lari kecil menuju sebuah pangkalan ojeg yang ditinggal penjaganya mencari nafkah. Sunyi, laki-laki itu hanya terduduk diam sambil mengeringkan sisa-sisa air di rambutnya, seakan sengaja membiarkan alam menyandungkan iramanya.
Hujan masih lebat saat laki-laki berkaos oblong bergambarkan pendiri negara itu mengangkat wajahnya menatapku. Dia melihatku dengan seksama, memperhatikan penyangga ku yang kotor berbalut tanah liat lalu menatap tajam pada gambar wajahku. Matanya memancarkan aura marah saat pandangannya tertumbuk pada sesosok gambar wajah berkharisma yang sama persis dengan gambar di kaos oblongnya, disudut baliho ku.
Beberapa detik kemudian, sayup-sayup kudengar sebuah kalimat yang meyudutkanku ditengah hujan. Apa maksudmu menggunakan gambar laki-laki berkharisma ini menjadi background baliho dirimu?, kalimat itu diucapkan saat guruh membelah udara dikaki langit. Tak berhenti sampai disitu saja, laki-laki bertopi itu merongrongku dengan sejumlah pertanyaannya, apa kau pikir kau setara dan akan menjadi setara begitu ia menjadi backround mu?? Tidak sadarkah kau, ia bisa saja bangkit menuntutmu saat kau menggunakan nama dan kekuatannya untuk menggapai puncak kekuasaan dengan aroma badan ketidakadilan mu?!!. Sungguh, aku benar-benar tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Sungguh mengherankan saat sesorang marah pada gambar balihoku hanya karena secuil wajah senyum dilatar baliho.
Laki-laki itu lagi-lagi mengucapkan sesuatu, belahan bibirnya yang rapi menggumamkan sebuah kalimat yang membuatku tertunduk, penguasa zalim penguasa ditentang. Lantas ia berlari pergi meninggalkanku dalam deraian air hujan yang menertawakanku.
******
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di kaki penyangga ku, seorang perempuan berkaki jenjang dengan rok mini hitamnya keluar sambil menjinjing sebuah kamera berlensa. Ia memotret gambar baliho diriku beberapa kali lalu bergumam pelan, sepertinya ia wartawan atau mungkin juga seorang kritikus politik atau bisa saja seorang dari lembaga pengontrol pemilu. Ah, aku tak tahu siapa dia sebenarnya, yang jelas ia memotretku lantas berlalu dengan sedannya.
Kali ini aku merenung, sepertinya sebuah kalimat manis dibawah dadaku yang menariknya. Sengaja memang, aku dan tim pejuang ku kali ini memilih kalimat “berobat gratis berkualitas dan pembukaan lapangan kerja” secara besar-besaran, layaknya obral baju. Selain karena ku pikir aku mampu mewujudkannya, secuil kalimat bermadu pasti banyak menarik lebah.
Perempuan tadi mungkin akan menceritakan tentang aku pada teman-teman wanita lainnya, yang mungkin saja butuh madu ku. Seringai wajah di baliho milikku menajamkan pandangannya dan melebarkan bibirnya, memberi senyum pada siapa saja yang menatapku.
Tiba-tiba dari kelokan jalan dibelakang peyangga ku, seorang laki-laki berpakaian necis layaknya seorang sales berjalan menuju baliho ku dengan takjim nya. Ia, laki-laki itu pasti mengenalku paling tidak pasti pernah mendengar namaku. Ya, aku adalah seorang businessman sukses dengan kapitalisasi yang berakar urat di darahku, yang memberi kehidupan pada mereka para sales yang tak pernah komentar terhadap penghisapan yang jelas-jelas aku lakukan. Upah lembur yang tak sesuai upah minimum kerja nasional, yang menjadi Alat Tutup Mulut mereka.
Tak tahu kah para pesuruh ku itu bahwa hasil keringat mereka ku bayarkan dengan hutang dan icip-icip uang rakyat, uang mereka sendiri. Tapi tak apa karena uang memanglah yang paling pintar mempermainkan perasaan orang.
******
Kali ini aku tampil berbeda dari sebelumnya, pose ku dengan jeans dan kemeja tak dikancing yang diikat pada bagian ujungnya membuatku merasa semakin gagah. Ironinya, saat aku di ber-diri-kan di sepanjang jalanan kota orang-orang malah menertawakanku dengan geli. Bunyi tawa mereka yang nyaring dan menggelikan itu membuatku penasaran atas diriku. Sulit dijelaskan dengan kata-kata tapi perasaanku sungguh campur aduk. Aku bingung dengan ekspresi mereka terhadap setiap pose ku, pakaianku, senyum ku, gambar-gambar background ku, bahkan kalimat-kalimat ku. Apa sebenarnya yang dipikirkan belahan otak-otak para masyarakat itu??
Salahkah aku bila berdiri di sepanjang jalanan milik negara untuk mengejar hasrat menjadi orang nomor satu?? Bahkan mereka lantas menjadikan raut wajahku yang khas sebagai guyonan diantara mereka. Ada yang berkata dengan nada menggelikan namun terdengar panas di telingaku “Pak kumis hanya jago jualan saja!”, “Pak akademisi mulai pamer gelar!”, “pak politisi pandai cari muka deh, ah!”, atau sebagian besar menyayikan lagu-lagu untuk menyinggungku, mulai dari lagunya bang pemberontak,sampai lagu-lagu POP Mellow ber-Janji Manis.
Salahkah aku, jika berusaha memaniskan madu yang telah manis untuk selembar rupiah guna membayar hutang-hutang ku? Salahkah aku jika memutar-mutarkan waktu untuk menjadi pemilik “kursi panas”? salahkah jika aku ingin menggapai jabatan itu, padahal telah berpuluh-puluh rekening di berbagai bank dipelosok dunia yang kusediakan!!
Sungguh sangat mengecewakan dan mengejutkan tatkala rahasia-rahasia ku telah diketahui umum dan saat mereka, para masyarakat ktiris, tidak lagi memperdulikanku seperti dahulu.
Aku hanya bisa berdiri dalam waktu yang menusuk penghianatan dan penyalahgunaan jabatanku dengan membuatku semakin luntur, pudar, using dan siap dicampakkan. Lantas apa yang bisa kulakukan, lagi??!!

Dibawah bendera waktu
Ternate, 3-4 september 2016

6 komentar: