Cerpen Oleh : Ovy
Guruh mendayu-dayu, mencoba merayu awan
untuk segera menumpahkan bebannya. Aku masih berdiri disini, ditempat
sebelumnya aku berdiri, atau lebih tepatnya dipaksa berdiri tanpa dihiraukan
seorangpun. Cuaca tak lagi menjadi masalah bagiku, saat hujan dan guruh
menggebu-gebu mewarnai hari atau saat panas terik yang menyilaukan mata, aku tetap
saja berdiri dengan penyangga berkaki dua sebagai pengganti kakiku.
Maklum saja, aku tak berkaki dalam
gambar-gambar ku kali ini, dan biasanya aku memang tak berkaki. orang hanya
mengenalku melalui gambar-gambar sebatas dada ke atas, dengan songkok dan jas
sebagai pakaian dan kadang-kadang mencoba menghalangi silauan matahari dengan
kacamata. Dahulu, aku pernah mencoba berdiri dengan gambar seutuhnya, tapi aku
malah dicela. Orang-orang yang sambil lalu dalam kesibukannya hanya berkata
dengan nada miring “foto model ya?”, seraya berlalu sambil tersenyum aneh.
Sebenarnya aku bisa berimprovisasi
apapun, namun dalam warna ku yang semakin memudar karena cuaca aku tak lagi
terlihat gagah, seperti saat pertama kali para pesuruh itu mendiriikan gambarku disepanjang jalanan kota. Dahulu,
saat orang mengenalku hanya sebagai aktivis, akademisi, advokat, dan politisi
yang berlabel jujur aku tak pernah menggunakan gelarku, sekarang beda lagi. Segala
macam gelar hasil pergulatan dengan buku-buku bertahun-tahun aku pamerkan demi
sekertas suara di pemilu nanti.
Tahukah kalian, bahwa dalam prosesnya
walaupun berwarna-warni, aku tetaplah hanya berwujud satu! Kendati para pesuruh
memaksaku berdiri dalam berbagai pose, busana, gelar, senyum dan berbagai seringai
aku tetaplah berjiwa satu. Aku rasa, sebaiknya aku tak menyebut jenis berjiwa
apa aku ini karena hanya akan menambah pengetahuan kalian tentang kelicikanku
saja.
Kali ini awan benar-benar membuatku
basah kuyup setelah mengikuti rayuan alam, saat hujan ini berhenti dan panas
kembali memanggang aku akan menjadi semakin lusuh, luntur dan siap dicampakkan.
Seorang laki-laki bercelana lusuh dengan jidat lebar yang ditutupi topi berlari-lari
kecil menuju sebuah pangkalan ojeg yang ditinggal penjaganya mencari nafkah.
Sunyi, laki-laki itu hanya terduduk diam sambil mengeringkan sisa-sisa air di
rambutnya, seakan sengaja membiarkan alam menyandungkan iramanya.
Hujan masih lebat saat laki-laki berkaos
oblong bergambarkan pendiri negara itu mengangkat wajahnya menatapku. Dia
melihatku dengan seksama, memperhatikan penyangga ku yang kotor berbalut tanah
liat lalu menatap tajam pada gambar wajahku. Matanya memancarkan aura marah saat
pandangannya tertumbuk pada sesosok gambar wajah berkharisma yang sama persis
dengan gambar di kaos oblongnya, disudut baliho
ku.
Beberapa detik kemudian,
sayup-sayup kudengar sebuah kalimat yang meyudutkanku ditengah hujan. Apa maksudmu menggunakan gambar laki-laki
berkharisma ini menjadi background baliho dirimu?, kalimat itu diucapkan
saat guruh membelah udara dikaki langit. Tak berhenti sampai disitu saja,
laki-laki bertopi itu merongrongku dengan sejumlah pertanyaannya, apa kau pikir kau setara dan akan menjadi
setara begitu ia menjadi backround mu?? Tidak sadarkah kau, ia bisa saja
bangkit menuntutmu saat kau menggunakan nama dan kekuatannya untuk menggapai
puncak kekuasaan dengan aroma badan ketidakadilan mu?!!. Sungguh, aku
benar-benar tak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Sungguh mengherankan
saat sesorang marah pada gambar balihoku hanya karena secuil wajah senyum dilatar
baliho.
Laki-laki itu lagi-lagi mengucapkan
sesuatu, belahan bibirnya yang rapi menggumamkan sebuah kalimat yang membuatku
tertunduk, penguasa zalim penguasa
ditentang. Lantas ia berlari pergi meninggalkanku dalam deraian air hujan
yang menertawakanku.
******
Sebuah mobil sedan hitam berhenti
tepat di kaki penyangga ku, seorang perempuan berkaki jenjang dengan rok mini
hitamnya keluar sambil menjinjing sebuah kamera berlensa. Ia memotret gambar
baliho diriku beberapa kali lalu bergumam pelan, sepertinya ia wartawan atau mungkin
juga seorang kritikus politik atau bisa saja seorang dari lembaga pengontrol pemilu.
Ah, aku tak tahu siapa dia sebenarnya, yang jelas ia memotretku lantas berlalu
dengan sedannya.
Kali ini aku merenung, sepertinya sebuah
kalimat manis dibawah dadaku yang menariknya. Sengaja memang, aku dan tim pejuang
ku kali ini memilih kalimat “berobat gratis berkualitas dan pembukaan lapangan
kerja” secara besar-besaran, layaknya obral baju. Selain karena ku pikir aku mampu mewujudkannya, secuil
kalimat bermadu pasti banyak menarik lebah.
Perempuan tadi mungkin akan menceritakan
tentang aku pada teman-teman wanita lainnya, yang mungkin saja butuh madu ku. Seringai wajah di baliho
milikku menajamkan pandangannya dan melebarkan bibirnya, memberi senyum pada
siapa saja yang menatapku.
Tiba-tiba dari kelokan jalan dibelakang
peyangga ku, seorang laki-laki berpakaian necis layaknya seorang sales berjalan menuju baliho ku dengan
takjim nya. Ia, laki-laki itu pasti mengenalku paling tidak pasti pernah
mendengar namaku. Ya, aku adalah seorang businessman
sukses dengan kapitalisasi yang berakar urat di darahku, yang memberi
kehidupan pada mereka para sales yang
tak pernah komentar terhadap penghisapan yang jelas-jelas aku lakukan. Upah lembur
yang tak sesuai upah minimum kerja nasional, yang menjadi Alat Tutup Mulut mereka.
Tak tahu kah para pesuruh ku itu bahwa hasil keringat
mereka ku bayarkan dengan hutang dan icip-icip
uang rakyat, uang mereka sendiri. Tapi tak apa karena uang memanglah yang
paling pintar mempermainkan perasaan orang.
******
Kali ini aku tampil berbeda dari
sebelumnya, pose ku dengan jeans dan
kemeja tak dikancing yang diikat pada bagian ujungnya membuatku merasa semakin
gagah. Ironinya, saat aku di ber-diri-kan di sepanjang jalanan kota orang-orang
malah menertawakanku dengan geli. Bunyi tawa mereka yang nyaring dan menggelikan
itu membuatku penasaran atas diriku. Sulit dijelaskan dengan kata-kata tapi perasaanku
sungguh campur aduk. Aku bingung dengan ekspresi mereka terhadap setiap pose
ku, pakaianku, senyum ku, gambar-gambar background ku, bahkan kalimat-kalimat
ku. Apa sebenarnya yang dipikirkan belahan otak-otak para masyarakat itu??
Salahkah aku bila berdiri di
sepanjang jalanan milik negara untuk mengejar hasrat menjadi orang nomor satu??
Bahkan mereka lantas menjadikan raut wajahku yang khas sebagai guyonan diantara
mereka. Ada yang berkata dengan nada menggelikan namun terdengar panas di
telingaku “Pak kumis hanya jago jualan saja!”, “Pak akademisi mulai pamer
gelar!”, “pak politisi pandai cari muka deh, ah!”, atau sebagian besar
menyayikan lagu-lagu untuk menyinggungku, mulai dari lagunya bang pemberontak,sampai lagu-lagu POP Mellow ber-Janji
Manis.
Salahkah aku, jika berusaha
memaniskan madu yang telah manis untuk selembar rupiah guna membayar hutang-hutang
ku? Salahkah aku jika memutar-mutarkan waktu untuk menjadi pemilik “kursi
panas”? salahkah jika aku ingin menggapai jabatan itu, padahal telah
berpuluh-puluh rekening di berbagai bank dipelosok dunia yang kusediakan!!
Sungguh sangat mengecewakan dan
mengejutkan tatkala rahasia-rahasia ku telah diketahui umum dan saat mereka,
para masyarakat ktiris, tidak lagi memperdulikanku seperti dahulu.
Aku hanya bisa berdiri dalam waktu
yang menusuk penghianatan dan penyalahgunaan jabatanku dengan membuatku semakin
luntur, pudar, using dan siap dicampakkan. Lantas apa yang bisa kulakukan,
lagi??!!
Dibawah bendera waktu
Ternate, 3-4 september 2016
Kece! 😍
BalasHapusTrima kaaih, Tia.
HapusSaran ka. 😚
Supeeeer... ❤
BalasHapus😁
HapusSupeeeer... ❤
BalasHapusnice....
BalasHapus