Ovy Hayatudin
Hidup sesungguhnya bagai lautan, kita tidak
bisa menebak isinya meski yang ditampakkan melulu ketenangan. Bahkan, jika yang
ditampakkan adalah riak ataupun gelombang, kita tetap tidak bisa menebak apa
yang terjadi pada kehidupan selanjutnya setelah gelora laut terjadi. Bisa saja,
ia kembali tenang dengan menyisahkan sampah pada tepian atau justru malah
menghancurkan, sebagaimana yang disiratkan dalam buku ini.
Kobayashi Takiji lahir di Odate, Akita
pada 13 Oktober 1903. Ia seorang penulis sastra proletar Jepang yang terkenal
melalui novelnya Kani Kosen. Novel yang pertama kali dipublikasikan pada 1929 ini ditulis saat Takiji berusia 26 tahun dan tepat 2 tahun setelah
novelnya dipublikasikan ia meninggal karena siksaan kekerasan yang dilakukan
polisi setempat (https://en.wikipedia.org/wiki/Takiji_Kobayashi).
Secara harfiah Kani Kosen berasal dari tiga
suku kata Jepang, kani berarti kepiting, ko berarti pabrik dan sen berarti
kapal (hal. VI) dan bisa diartikan sebagai Kapal Pabrik Penangkap Kepiting
Sebagai anak muda cemerlang yang baru
berusia 26 tahun, Takiji menyatakan perlawanannya terhadap ketidakadilan
politik, ekonomi sosial, melalui gerakan-gerakan sosial politik bawah tanah dan
kritik sosial. Perlawanan ideologinya dituliskan dalam karya-karya sastra,
salah satunya Kani Kosen yang ditulis tahun 1929 dan segera dilarang untuk
diedarkan oleh penguasa militer pada waktu itu. (Prof. Dr. I Ketut Surajaya
dalam Kata Pengantar Kani Kosen terbitan Jalasutera)
Yang fenomenal dari novel ini adalah
menjadi best seller pada tahun 2008,
lebih dari 80 tahun setelah publikasi pertama di Jepang. Kani Kosen bagi saya
adalah novel klasik Jepang yang dengan apik mengisahkan pergulatan batin para
pekerja di kapal penangkap kepiting, salah satu kapal yang menjadi penyumbang
dana terbesar pada Jepang jaman itu. “Dalam setengah bulan 5.000.000 yen kalau
setahun bisa 10.000.000 yen. Itu jumlah yang sangat luar biasa.” (hal. 116)
Jepang dalam kurun waktu tahun 1920-an mengalami zaman ketegangan antara kelompok sosial miskin versus kelompok
sosial berada, ekonomi kapitalis versus ekonomi terpuruk, kelompok politik
fasisme militerisme versus kelompok politik proletariat, kaum majikan borjuis
versus kaum pekerja. (hal. VI)
Pekerja pada Kapal Kani Kosen terdiri
dari berbagai kalangan masyarakat yang sebagian besar sedang putus asa pada
kondisi ekonomi, bergabung dengan kapal penangkap kepiting dengan harapan dapat
memperbaiki keadaan, namun malah dieksploitasi dengan berbagai peraturan yang
dijalankan dengan ketat oleh seorang mandor yang berlagak sebagai jenderal.
Kewajiban menangkap kepiting dalam
jumlah tertentu dalam satu hari mengharuskan para pekerja bekerja sejak dini
hari di laut Kamchatka hingga Hakodate yang terkenal karena ombak ganas, yang
oleh Takiji digambarkan dengan “terjangan ombak sangat tinggi bahkan hingga ke
dek kapal sekoci… suaranya seperti di air terjun” (hal.39). Terjangan ombak
ganas yang membuat kapal lain seketika lenyap ke dasar lautan, meski demikian
kapal penangkap kepiting Kani Kosen digambarkan Takiji sebagai kapal besar yang
dapat memuat 8 kapal Kawasaki.
Pekerja pada kapal ini dihadapkan pada
kenyataan pahit seumpama pepatah melayu lama “indah kabar daripada rupa”, di
daratan pekerja mendengar desas desus kapal terbaik yang mencari banyak pekerja
dengan penghasilan lumayan besar sedang pada kenyataannya kapal ini digambarkan
penulisnya semacam “pispot kotoran”, sebab setiap sudut dari kapal bercampur
segala macam bebauan mulai dari amisnya kepiting dan ikan hingga bau keringat
dan muntahan akibat mabuk laut yang tidak sempat dibersihkan. Waktu di kapal
terasa seumpama neraka, sebab pekerja hanya boleh mengasoh dan tidur pada
waktunya.
Deskripsi penulis tentang kapal ini
benar-benar menunjukkan adanya eksploitasi keras yang dilakukan oleh mandor
sebagai wakil perusahaan pada seluruh pekerja, seperti yang ditunjukkan dalam
beberapa adegan dimana pekerja yang sakit dibiarkan istrahat di siang hari dan
diwajibkan bekerja sepanjang malam dengan makanan yang kerap hanya berupa nasi
dan garam. Sungguh ironi, bahwa kapal penangkap hasil laut memberi makan
pekerja dengan garam.
Pada puncak klimaksnya, novel yang
mengkritik para kelompok ekonomi kapitalis ini menyuguhkan pemberontakan para
pekerja yang diawali mogok kerja besar-besaran, pemberontakan yang langsung
diredam dengan penangkapan para pemimpin pemberontak oleh sekelompok militer
Jepang. Penangkapan yang tak dinyana justru mengobarkan semangat pekerja untuk
memberontak dengan lebih matang dan terorganisir.
Jika membaca keseluruhan novel ini
dengan cermat, lalu mengetahui kisah Takiji yang meninggal 2 tahun kemudian
karena siksaan oleh militer setempat, kita dapat menemukan banyak sekali pesan
tersirat Takiji. Pesan pada para pekerja di perusahaan apapun bahwa memiliki
serikat buruh pekerja serta kemampuan membaca situasi pada perusahaan tempat
bekerja, penting untuk membantu terorganisirnya perlawanan pada kesewenangan
yang dialami. Selain itu, novel ini benar-benar menggambarkan keinginan manusia
untuk diperlakukan dengan adil. Sebab, bagai bara dalam sekam, setiap
ketidakadilan dan ketertindasan dapat menyebabkan kebakaran yang lebih besar
jika ia benar-benar telah mencapai titik jenuh[].
Sofifi,
20 Juni 2017.
😍
BalasHapus