Random Posts

banner image

Rabu, 28 Juni 2017

Capit Yang Terbuka di Hokadate


Ovy Hayatudin 
Foto : cover buku
Judul Buku : Kani Kosen; Sebuah Revolusi | Judul asli : Kanikosen | Penulis : Kobayashi Takiji | Penerjemah : Andy Bangkit Setiawan | Penerbit : Jalasutra | Tahun Terbit : Cet. I, 2013 |  Tahun Terbit di Jepang : 1929 | Tempat Terbit : Yogyakarta | ISBN : 978-602-8252-83-6


Hidup sesungguhnya bagai lautan, kita tidak bisa menebak isinya meski yang ditampakkan melulu ketenangan. Bahkan, jika yang ditampakkan adalah riak ataupun gelombang, kita tetap tidak bisa menebak apa yang terjadi pada kehidupan selanjutnya setelah gelora laut terjadi. Bisa saja, ia kembali tenang dengan menyisahkan sampah pada tepian atau justru malah menghancurkan, sebagaimana yang disiratkan dalam buku ini.
Kobayashi Takiji lahir di Odate, Akita pada 13 Oktober 1903. Ia seorang penulis sastra proletar Jepang yang terkenal melalui novelnya Kani Kosen. Novel yang pertama kali dipublikasikan pada 1929 ini ditulis saat Takiji berusia 26 tahun dan tepat 2 tahun setelah novelnya dipublikasikan ia meninggal karena siksaan kekerasan yang dilakukan polisi setempat (https://en.wikipedia.org/wiki/Takiji_Kobayashi).
Secara harfiah Kani Kosen berasal dari tiga suku kata Jepang, kani berarti kepiting, ko berarti pabrik dan sen berarti kapal (hal. VI) dan bisa diartikan sebagai Kapal Pabrik Penangkap Kepiting
Sebagai anak muda cemerlang yang baru berusia 26 tahun, Takiji menyatakan perlawanannya terhadap ketidakadilan politik, ekonomi sosial, melalui gerakan-gerakan sosial politik bawah tanah dan kritik sosial. Perlawanan ideologinya dituliskan dalam karya-karya sastra, salah satunya Kani Kosen yang ditulis tahun 1929 dan segera dilarang untuk diedarkan oleh penguasa militer pada waktu itu. (Prof. Dr. I Ketut Surajaya dalam Kata Pengantar Kani Kosen terbitan Jalasutera)
Yang fenomenal dari novel ini adalah menjadi best seller pada tahun 2008, lebih dari 80 tahun setelah publikasi pertama di Jepang. Kani Kosen bagi saya adalah novel klasik Jepang yang dengan apik mengisahkan pergulatan batin para pekerja di kapal penangkap kepiting, salah satu kapal yang menjadi penyumbang dana terbesar pada Jepang jaman itu. “Dalam setengah bulan 5.000.000 yen kalau setahun bisa 10.000.000 yen. Itu jumlah yang sangat luar biasa.” (hal. 116)
Jepang dalam kurun waktu tahun 1920-an mengalami zaman ketegangan antara kelompok sosial miskin versus kelompok sosial berada, ekonomi kapitalis versus ekonomi terpuruk, kelompok politik fasisme militerisme versus kelompok politik proletariat, kaum majikan borjuis versus kaum pekerja. (hal. VI)
Pekerja pada Kapal Kani Kosen terdiri dari berbagai kalangan masyarakat yang sebagian besar sedang putus asa pada kondisi ekonomi, bergabung dengan kapal penangkap kepiting dengan harapan dapat memperbaiki keadaan, namun malah dieksploitasi dengan berbagai peraturan yang dijalankan dengan ketat oleh seorang mandor yang berlagak sebagai jenderal.
Kewajiban menangkap kepiting dalam jumlah tertentu dalam satu hari mengharuskan para pekerja bekerja sejak dini hari di laut Kamchatka hingga Hakodate yang terkenal karena ombak ganas, yang oleh Takiji digambarkan dengan “terjangan ombak sangat tinggi bahkan hingga ke dek kapal sekoci… suaranya seperti di air terjun” (hal.39). Terjangan ombak ganas yang membuat kapal lain seketika lenyap ke dasar lautan, meski demikian kapal penangkap kepiting Kani Kosen digambarkan Takiji sebagai kapal besar yang dapat memuat 8 kapal Kawasaki.
Pekerja pada kapal ini dihadapkan pada kenyataan pahit seumpama pepatah melayu lama “indah kabar daripada rupa”, di daratan pekerja mendengar desas desus kapal terbaik yang mencari banyak pekerja dengan penghasilan lumayan besar sedang pada kenyataannya kapal ini digambarkan penulisnya semacam “pispot kotoran”, sebab setiap sudut dari kapal bercampur segala macam bebauan mulai dari amisnya kepiting dan ikan hingga bau keringat dan muntahan akibat mabuk laut yang tidak sempat dibersihkan. Waktu di kapal terasa seumpama neraka, sebab pekerja hanya boleh mengasoh dan tidur pada waktunya.
Deskripsi penulis tentang kapal ini benar-benar menunjukkan adanya eksploitasi keras yang dilakukan oleh mandor sebagai wakil perusahaan pada seluruh pekerja, seperti yang ditunjukkan dalam beberapa adegan dimana pekerja yang sakit dibiarkan istrahat di siang hari dan diwajibkan bekerja sepanjang malam dengan makanan yang kerap hanya berupa nasi dan garam. Sungguh ironi, bahwa kapal penangkap hasil laut memberi makan pekerja dengan garam.
Pada puncak klimaksnya, novel yang mengkritik para kelompok ekonomi kapitalis ini menyuguhkan pemberontakan para pekerja yang diawali mogok kerja besar-besaran, pemberontakan yang langsung diredam dengan penangkapan para pemimpin pemberontak oleh sekelompok militer Jepang. Penangkapan yang tak dinyana justru mengobarkan semangat pekerja untuk memberontak dengan lebih matang dan terorganisir.
Jika membaca keseluruhan novel ini dengan cermat, lalu mengetahui kisah Takiji yang meninggal 2 tahun kemudian karena siksaan oleh militer setempat, kita dapat menemukan banyak sekali pesan tersirat Takiji. Pesan pada para pekerja di perusahaan apapun bahwa memiliki serikat buruh pekerja serta kemampuan membaca situasi pada perusahaan tempat bekerja, penting untuk membantu terorganisirnya perlawanan pada kesewenangan yang dialami. Selain itu, novel ini benar-benar menggambarkan keinginan manusia untuk diperlakukan dengan adil. Sebab, bagai bara dalam sekam, setiap ketidakadilan dan ketertindasan dapat menyebabkan kebakaran yang lebih besar jika ia benar-benar telah mencapai titik jenuh[].
                                                                                                           
Sofifi, 20 Juni 2017.







   

1 komentar: