Random Posts

banner image

Senin, 19 Juni 2017

Dua Istana

  • Cerpen Asriyana Barham




Waaah, terima kasih banyak yaah, jadi tara enak hati kataku  kepada Kak Rio.  “iyoo, santai saja, hahaha ”. Sambil tertawa dan langsung mohon pamit.
Aku masih berdiri tepat di depan pintu sampai Kak Rio tak lagi terlihat.  
Aku lalu masuk ke kamar dan menutup diri.  Aku duduk bersilang di lantai, kulihat jam di handphone,  “ini masih pagi baru jam  sembilan“ gumamku
“Kehidupan adalah drama yang penuh tragedi dan komedi,”kata mom kepadaku, “Kau harus belajar  untuk sedikit lebih menikmati episode-episodenya yang menggelikan”. 
Mataku membesar, aku kaget luar biasa. Kalimat yang benar-benar menantangku seakan ingin mengajaku untuk masuk kedalam dunianya. Baru juga membaca sinopsis, hatiku sudah tak karuan penasarannya. Aku masih  terpana. Judul novelnya adalah Istana Kaca.
Novel ini merupakan pemberian seseorang, seorang  kakak yang baik hati, yang telah mau memberi dan memperkenalkan aku dalam  kehidupan Jeannette Walls.
Dan aku jatuh cinta pada novel ini.
Hampir 2 jam berlalu. Aku berada di dunia Istana Kaca, ikut dalam rumah mobil keluarga Rex Walss. Menjadi bagian dari Keluarga super luar biasa yang  terus hidup berpindah-pindah. Dari kota satu ke kota yang lain, bahkan hidup digurun pasir yang gersang dan kemudian hidup lagi di dalam mobil dan terus melanjutkan hidup yang bebas dan sangat merdeka.
Sekilas, aku melihat sudah sampai pada halaman 85 dari 520 halaman. Aku sadari bahwa Jeannette Walls ingin membuatku paham bahwa hidupnya sangatlah berantakan namun penuh kebahagiaan, karena dia menikmati dengan setulus hati. Semakin aku membaca semakin aku terus menyamakan bahkan membanding-bandingkan  antara aku dan Jeannette Walls. Kami sama-sama anak perempuan yang cepat beradaptasi dengan lingkungan yang baru, yang memiliki masa kecil yang bebas, merdeka. Namun  kemerdekaan kami berbeda, Jeannette Walls kecil dididik kedua orang tuanya belajar pada alam sebebas-bebasnya tanpa ada aturan yang mengikat sedikitpun. Sedang aku kecil adalah  anak yang merdeka  untuk belajar, sebelum  aku masuk seolah dasar aku sudah bebas belajar mengaji.
Aku mulai mengingat-ingat lagi kehidupanku dimasa kecil, jika   Jeannette Walls dan keluarganya berpindah-pindah sesuka mereka untuk mencari tempat-tempat baru untuk melanjutkan hidup mereka, namun mereka akan pergi lagi  ketika tempat yang disinggahi itu sudah tak lagi menjamin kenyamanan.  Keluargaku juga harus berpindah-pindah untuk mencari tempat yang aman. Kami harus meninggalkan kampung di Halmahera, karena kami adalah korban Kerusuhan Tahun 2000.   Waktu itu aku belum sepenuhnya paham penyebab kerusahan itu,  yang aku pahami hanyalah  bahwa  siangnya orang-orang menangis di mesjid sambil bertakbir dan menjelang malam kami harus pergi meninggalkan kampung dengan perahu-perahu kecil untuk mengejar kapal besar yang dinamai kapal perang, kapal itu terparkir ditengah laut  Ibu (Ibu bukan panggilan kepada perempuan yang melahirkan anak atau perempuan dewasa  namun Ibu adalah  sebuah wilayah di Halamahera Barat). 
Di kapal itu, mama bilang bahwa papa berada disebuah kamar rumah sakit. Aku ikut mama untuk melihat papa, namun aku takut masuk kedalam kamar itu, aku berhenti di pintu saja karena aku melihat papa terbaring  di ranjangnya dengan seluruh tubuhnya dililit perban. Mata bengkaknya yang tajam melihatku, aku menangis dan bersembunyi dibelakang mama, aku coba lagi ingat setelah itu, tapi aku hanya ingat bahwa di kapal itu, orang-orang berebutan makanan dan air minum. Kerusuhan itu tidak hanya membuat kami harus meninggalkan kampung namun juga membuat papa memiliki bekas luka jahitan hampir seluruh tubuhnya .
Kerusuhan itu memnciptakan  luka dan membawa duka banyak orang, tapi tidak sedikitpun merampas kebahagianku sebagai anak kecil  di tempat-tempat pengungsian. Aku adalah anak pengungsian yang memiliki banyak teman di setiap tempat  tinggal yang kami singgahi, baik  itu dirumah sakit maupun lingkungan baru yang kami tempati. Berbeda dengan Jeannette Walls orang tuanya meminta agar tidak memiliki banyak teman.
Kisah pengungsian itu tak selamanya, karena pada tahun 2002 kami dipulangkan ke kampung. Ketika itu aku baru masuk SD semester pertama. Keluargaku memiliki kampung untuk pulang, keluarga Jeannette Walls juga memiliki kampung tapi tidak sebagai tempat pulang.
***
Di kampung, kebebasanku mulai berubah menjadi anak pantai yang nakal. Aku akan pulang kerumah ketika ditunggui mama dengan rotan bambu.  Aku yang takut rotan, lalu berlari menyusuri jalan lain yang  lebih dekat dengan rumah. Masa di mana aku mulai dicari mama menjadi sebuah hiburan bagi teman-temanku seakan ini momen yang ditunggu-tunggu  untuk bisa bernyanyi “Yoko ngana, yoko ngana pe mama cari, yoko ngana, yoko ngana pe mama cari “ suara itu diikuti dengan suara tawa ejek yang lainnya dan akan berhenti ketika aku sudah tak lagi terlihat.  Jalan pulang yang aku ikuti, adalah jalan barangka yang berbatu yang tak mungkin mama melewatinya. Mama akan tiba di rumah ketika aku sudah selesai mandi dan mama mulai  memarahiku dan mencari busana mengajiku. Setiap sore  -karena malam di desa tidak ada listrik- dan setiap subuh kami harus berangkat mengaji dengan pancona  atau obor dan dengan menggunakan alat penerangan seadanya kami mengaji sampai fajar tiba. Ini tentu berbeda dengan Jeannette Walls yang tak memiliki aturan sedikitpun, bahkan mandi hujan dan menari bersama halilintar-pun orangtuanya tak melarangnya sedikitpun.
Kami berdua –aku dan Walls- memiliki barang kesukaan, kami sama-sama pencinta batu. Jeannette Walls  suka batu yang namanya pun baru aku dengar seperti mirah, obsidian dan geode, entah bagaimana bentuknya. Koleksi batu, batuku kebanyakan dari pantai, yang  aku pisahkan hanya melalui warna saja, merah, hitam, putih dan adapun batik-batik,  dan  ada pula yang bulat seperti kelereng. Benda-benda itu semakin bertambah banyak di sudut kamar mandi dan di dapur, yang lantas dipermasalahkan oleh mama. Karena takut dibuang, kusembunyikan sampai akhirnya aku pun lupa tentang batu-batu itu dan mencari batu-batu baru lagi.
Semakin usia kami bertambah,  kami mulai melupakan batu-batuan.   Jeannette Walls memiliki kesukan baru yaitu memiliki hewan peliharaan seperti ular, burung-burung liar, dan kucing hutan. Aku juga begitu, memiliki kesukaan baru yaitu aku senang  berternak. Keluargaku memiliki kandang kambing. Di kandang itu ada beberapa ekor kambing  dan aku  memilki seekor kambing betina yang berwarna putih yang aku beri nama Bule, kambing yang paling aku sayang. Setiap sore sebelum mandi di pantai aku harus memasukan kambing-kambing itu ke kandang, membersihkan kandang, membakar kayu  disekitarnya dan papa yang bertugas memberi makan. Rutinitas itu berhenti ketika aku mulai memasuki sekolah menengah pertama, dan Bule-ku yang sehat dan telah berusia tua namun terus beranak bayi-bayi putih yang lucu itu, tiba-tiba dipotong orang tak dikenal di hutan kecil depan rumah kami. Bule-ku itu memiliki luka potong ditulang belakang dan sebelah kakinya pun hilang. Kami mengobatinya dengan penuh cinta.  Namun Bule-ku mati, lalu bayi-bayi nya yang diberi susu dancow  juga ikut mati setelah beberapa hari.  Akupun selesai berhubungan dengan dunia ternak.
***
 Jika Jeannette Walls hidup bersama kakak dan adik bersama-sama, namun berbeda denganku, masa kanak-kanakku sampai aku sekolah  tingkat pertama aku hanya sendiri di rumah. Kedua kakak perempuanku bersekolah di kota dan itulah kenapa aku sangat beruntung hidup bersama kedua orang tua-ku. Orang tua ku dan orang tua Jeannette Walls memang berbeda, namun ayah kami sama-sama genius dan sangat kami kagumi, ibuku dan ibunya juga perempuan yang hebat, perempuan paling sederhana. Ibu Jeannette Walls suka batu dan pohon kaktus, sedang mama hanya suka bunga-bunga dan tanaman rempah-rempah.
Aku lalu kembali pada alam sadarku, mengamati novel,  dan mengingat-mengingat sesuatu.
Yaaahaa! Aku ingat, tapi aku lupa kapan waktunya, yang pasti aku pernah melihat di televisi di sebuah program yang namanya masih  aku ingat yaitu On the spot, sat itu ditayangkan tentang sebuah keluarga di Amerika yang hidup dan tinggal di dalam mobil dengan terus melakukan perjalanan. Entahlah, ini kebetulan atau atau tidak. Tapi kisahnya memang mirip. Aku yakin itu adalah kisah keluarga Rex Walss.
Aku juga tahu semua orang punya cerita hidup berbeda-beda, tidak ada yang sama kalaupun kebetulan sama, pastinya tidak sama  persis. Itulah kehidupan.
Aku kembali menatapnya lagi. Sungguh, aku sangat suka novel inspiratif ini.
****
Sudah seminggu aku berteman dengan Jeannette Walls , aku akui dia adalah ceminku. Darinya aku bisa melihat diriku yang sebenarnya.  
Aku anggap ini adalah sebuah kado ulang tahunku, meskipun lebih awal pemberiannya namun ini adalah  kado ulang tahun pertama dan sungguh luar biasa. Biarpun sang pemberi tak memiliki niat seperti itu, namun aku sebut ini sebuah kebetulan. Ya, ini kebetulan.
Aku sangat yakin ini sebuah kebetulan yang luar biasa, karena aku selalu percaya  dengan sebuah pemikiran besar oleh Harun Yahya yang menyatakan bahwa : “hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis, dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak terbantahkan.”
Pemikiran itu, aku temui ketika membaca novelnya Andrea Hirata yang berjudul Edensor  yang juga merupakan novel ketiga dari tetralogi Laskar pelangi.





2 komentar: