Edu, baru saja
pulang ke rumah, setelah matahari semakin mendekati tempat tidurnya di ufuk
timur. Ia sudah terbiasa dengan matahari, itulah satu-satunya jam dimilikinya, Edu
hanya bisa menentukan waktu dengan melihat posisi matahari. Ia,
tak punya jam tangan bermerek seperti yang dikenakan anak-anak pejabat seusianya.
Hari ini Edu
baru saja mencetak goal indah lewat
kepalanya dan sangat gembira, walaupun goalnya
tak menyelamatkan mereka dari kekalahan. Tapi kekalahan tak merebut
kebahagiannya.
Matahari sumpurna
tenggelam di ufuk timur. Edu masih saja senyum bahagia mengenan goal indahnya, dan membatin, andai saja
menang aku ke depan untuk mencium piala itu walaupun tak sebagus piala dunia.
Tija, melangkah
pelan-pelan jangan sampai abangnya tahu dia di
belakangnya dan Tija memulai aksinya. Ada suanggiiiii, adaaaaa suanggiiiii.
Abangnya kaget dari lamunannya bak seorang asisten membawa uang miliaran rupiah
milik bosnya dalam koper dan ketika membuka kopernya uangnya telah raib diambil
tuyul.
Kurang ajar, Tija kau
nii....
Bukan bang, lagian
abang senyum kaya gitu sendirian..... jangan-jangan....?
Jangan-jangan apa? Abang
sudah ehem.. ehemem. Ehemem-ehehem apa? Abang gila.
Sudah pintar rupanya
adik abang; pintar menjelekin orang-mengagetkan orang. Tadi jantung abang
seakan mau meloncat keluar.
Abang ngelamun apa?
Tanya Tija.
Tapi bang tak usah
jawab, Tija sudah punya jawabannya.
Jawaban pertama,
abang memikirkan Mirka. Mirka siapa? adiknya King. Kedua; abang
senyum sendirian, sore tadi abang cipta goal
indah. Walaupun goal itu tak membuat
hidup abang indah. Abang tak bisa naik podium bak Ozil pemain andalan Tija
waktu mencium piala. Dan tahu ngga tadi aku lihat abang persis
pemain andalan abang Leo yang nangis bak anak kecil melihat Tim favorit Tija
mencium piala dunia waktu itu.
Tebakan Tija benarkan?
Iya, benar tapi cuma seeeeedikiiiit.
Ah. Gak asik ngobrol denganmu,
Tija? Kenapa? Kamu suka menjelekkan Leo, Tija, diam sejenak.
Adik abang yang
cantiiiikkk, maaaaniisss, sekarang keluar iya abang mau belajar agar
pintar –lulus untuk mencapai cita-cita abang?
Memang abang punya
cita-cita? Ada. Walau kita hidup di desa terpencil, kita harus punya cita-cita.
Walaupun kita terlalu kecil untuk cita-cita itu. Tapi kita harus memeluk
cita-cita itu erat-erat, agar kita bisa mendaratkannya dalam kenyataan.
Memang adik cantik tak
punya cita-cita?, Tija kan masih SMP bang? Tak masalah, cita-cita
tak mengenal di mana kita berada. Dimana pun kita duduk, berada kita harus
punya cita-cita.
Tija, ingin jadi
Bill Kovach. Waooo Luar biasa. Edu kaget
mendengar cita-cita adiknya.
Darimana kau
tahu Bill Kovach? The Elements of Journalism.
Tapi Kovach, laki-laki?
Tija, tahu. Terus, tanya
abangnya.
Terus apa bang?
Tija, mau ehem..
ehemem?
Astaaaaga abang. Abang
tega berpikir seperti itu.
Menurut abang kalau
Kovach lelaki, Tija juga harus jadi lelaki?
Iyakan, jawab abangnya
spontan?
Tija, bangga jadi
perempuan.
Kalau Tija, dilahirkan
kembali, Tija tetap ingin jadi perempuan. Perempuan itu pahlawan.
Abang tahukan perempuan
dalam bahasa sansekerta artinya sumber kehidupan.
Tija, ingin jadi Kovach
itu, Tija mau jadi wartawan. Dan bersemangat ala Kovach.
Itu bang. bukan ehem..
ehem.
Tija mau memberi
arti pada dunia lewat apa yang Tija, liput-tulis, suatu kelak jika sudah jadi
Kovach.
Kan Tija, masih ingat
kata teman abang? Cano. Yang wartawan itu. Oo iya, abang ingat. Cano sempat
bilang bahwa tugas wartawan itu seperti guru. Bila guru mendidik muridnya dengan
pengetahuan baru, maka tugas wartawan mendidik pembaca lewat liputan-tulisan
yang yang bagus dan benar.
Terus abang cita-citanya
apa?
Iiii, Tija, kepo.
Kepo itu baik bang.
Kok baik, alasannya?
Simpel saja bang, salah satu cara berpikir
ilmiah adalah ingin cari tahu.
Setidaknya, Tija, nanya cita-cita
abang, Tija sudah menerapkan salah satu teknik berpikir ilmiah.
Abang cita-citanya apa?
Bermanfaat untuk banyak orang.
Sekarang sudah tahu
cita-cita abang. Sekarang Kovach muda yang kepo sudah boleh
keluar? Tunggu dulu, ada satu lagi pertanyaan tambahan. Apa? Untuk
apa abang jadi orang bermanfat? Mengapa cita-cita abang terlalu abstrak?
Aku tahu kamu mau
jadi Kovach, tapi sekarang belum saatnya Kovach muda mewawancari abang. Simpan
pertanyaanmu? Setelah kau lampaui Kovach, kau tanya kembali pertanyaan yang
sama pada abang.
Tapiiii? Apalagi Tija?
Tija boleh pinjam bukunya The Elements of Journalism.Tapi dibaca
iya. Siiaaaaap.
......
Tak seperti hari-hari
berlalu. Hari ini matahari tak bersemangat menerangi bumi, mendung
hari ini. Mungkin semalam matahari tak tidur pulas, lantaran ayam sering
berkokok. Kokonya ayam seakan menjadi alarmnya matahari.
Mendung tak merebut kepintaran dua saudara itu untuk membaca waktu, mereka tahu
sekarang waktunya sekolah. Kedua saudara itu berpamitan, abang
abstrak ayo kita berangkat sekolah, siap Kovach. Mama Ima,
menyaksikan kedua anaknya keheranan.
Abstrak dan Bill
Kovach itu siapa nak? Tanya mama Ima pada foto kedua anaknya.
......
Edu itu ibu Muslima
cepat kita masuk kelas, jangan sampai kita dihukum, Ajak King. Tunggu King.
Tunggu apa lagi Edu, tunggu kita dihukum., siapa juga mau
dihukum ibu Muslima. Terus mengapa harus tunggu Du? Begini Ki,
bukankah ibu Muslima itu baik dan tak jahat, dia jugakan yang menjadi motivator
untuk murid-muridnya mengikuti karnaval –cerdas cermatkan? Edu, sadar,
sadarlah, ibu Muslima yang kau maksud itu hanya ada dalam film “Laskar
Pelangi”. Ibu Muslima di kampung Boni ini tugasnya marah-marah,
jahat dan tak pandai. Dia bahkan menurut ku tak pantas jadi guru
dan.........????? sebelum King melunasi kalimat berikutnya, terdengar suara ibu
Muslima memanggil King. King Wakwakae, kesini cepat? Kau juga Edu
Ebbalei? Mati kita King? di kelas sembilan jam pelajaran apa? Tanya Ibu
Muslima? Fisika bu?
Oh... hari ini pak
Intora tak masuk. Dia izin ke kabupaten untuk urus keperluan ujian.
Beritahu teman-temanmu selapas dari kelas tujuh ibu masuk di
kelas sembilan.
.....
Ibu Muslima sudah di
depan black board , dan kelasnya diam karena ketakutan,
serangga yang ada di pekarangan sekolah pun ikut terdiam. Kelas itu diam
sediam-diamnya dan aku tak bisa menggambarkan bagaimana kelas ini diam.
Ibu muslima memecah
suasana. Anak-anak hari ini ibu akan mengisi jamnya pak Intora. Saking takutnya
anak-anak tak bisa membalas ibu Muslima. Tapi sebelumnya ibu ingin tahu apa
cita-cita kalian setelah lulus nanti.
Sebagian anak-anak telah
menyebut cita-cita mereka, ada menjadi guru, dokter, polisi dan
seterusnya. Apa cita-citamu Edu?aku ingi menjadi
orang bermanfat, bu. Seisi kelas diam memandangi Edu,
termasuk ibu Muslima. Keringat dingin keluar dari pori-porinya, Edu.
Itu jurusan apa Edu?
Dan mau kuliah di mana? Semua kampus tak ada jurusan itu? Kamu ini bodoh bahkan
cita-citamu saja tak tahu. Dan kamu ingin menjadi apa King? Aaaaakku
iinngin jaaadiiii peeeg........, saking takunya King tak bisa
melunasi kata berikutnya.
Edu dan King kalian
berdua boleh keluar dari ruangan ini, dan membersihkan seisi ruangan setelah
pulang sekolah. Itu hukuman yang pas untuk kalian.
Edu benarkan tadi aku
bilang. Ibu Muslima tak pantas jadi guru. Bagaimana bisa jadi guru, menanyakan
cita-cita saja bak kita sedang diintrogasi. Kau lihatkan tatapan
matanya penuh intimidasi. Saking takutnya aku bicara saja seperti orang gagap.,
tadi kalau ibu Muslima tak menampilkan wajahnya seperti itu aku bisa
menyebutkan cita-citaku. Aku ingin jadi Pengusaha.
Du, aku kira ibu Muslima
harus lebih banyak membaca lagi agar lebih dewasa untuk mendidik. Setidaknya
dia harus baca buku “ Sekolah itu Candu”. Agar dia bisa tahu apa arti sekolah.
Sekolah itukan meluangkan waktu luang. Kau dan akukan meluangkan waktu kita
untuk berubah dari rasa takut di sekolah tapi realitasnya aku lebih
takut, Du. Dan jangan lupa ibu Muslima juga membaca“Sakola
Rimba” untuk bisa tahu bagaimana cara mengajar yang baik.
Bagaimana pendapatmu Du.
Aku setuju denganmu King. Ibu Muslima terlalu otoriter dalam mendidik. Dia krisis
kehormatan. Yang dia tuntut adalah kehormatan-kepatuhan dari siswa-siswa, kalau
tak hormat, kau tahu kan resikonya kan, King.
Aku yakin King, ibu
Muslimah sudah membaca buku-buku yang kau sebutkan, tapi bacaan ibu Muslima tak
menyatu dengan dirinya. Kita harus belajar menyatukan hasil bacaan dengan diri, agar
tak ada perceraian antara bacaan dan tindakan.
Membaca itu bukan untuk
mengisi otak agar penuh, tidak King, otak tak bisa penuh. Kau bisa bayangkan
bagaimana kalau otak penuh, maka kepala para profesor itu begitu super besar.
Membaca itu untuk
mengosongkan pikiran, Kok bisa? Tanya King?
Iya King. Mengkosongkan
pikiran dari hal-hal yang tak pantas.
Seharusnya ibu Muslima
mendengar cita-citamu King. Agar membantumu mendaratkan cita-citamu jadi nyata.
Itukan tugas pendidikan.
Kau tahukan apa itu
pendidikan, King ? Tak tahu
Menurut Erich Fromm akar
kata pendidikan (education) adalah Educere, yang arti
harfiahnya adalah membimbing ke depan, atau mengeluarkan sesuatu yang menjadi
potensi.
Sudah seharusnya ibu
Muslima memahami ini dan membantu kita meraih cita-cita.
Bukan sebaliknya membuat
kita kaku-ketakutan.
Kalau sekolah hanya
membuat kita takut-kaku. Untuk kita sekolah, King?
Samargalila (Bacan) 07
November 2016
Alur yang mengalir dan menarik. Kalau teknik penulisan dialognya diperbaiki lagi, pasti makin keren tulisannya. Semangat dan sukses selalu, Rahmat. 😊💪
BalasHapusterimakasih. kalau ada kiriman berikut saya kirim ke situ biar diliat e. hehe
HapusGampang kalau cuma lihat saja. 😄
HapusTerima Kasih... Insya Allah.
Hapus