Cerpen Oleh : Rahmatia Kadir
Pada pepucuk dedauan, hendak ia
sampaikan pula sebuah pesan pamitnya meninggalkan Bumi Hijrah, tempat di mana
ia tumbuh hingga menjadi seorang pemuda. Walau Ome bukanlah tanah air milik
orang tuanya, namun di sana-lah kehidupan yang menghidupinya. Ramainya suara
para sanak keluarga yang memenuhi rumah seakan sarat berada di dalamnya, hanya
untuk mengadakan acara perpisahannya menuju tanah rantau sebagai suatu doa
pengantar perginya, apa lagi jika bukan bosokene(1)?
Sebuah belanga berisi nasi telah siap disantap bersama tusukan beberapa butir
telur rebus sebagai ritual ini. Cukup banyak yang memberi wejangan-wejangan
sebagai bekalnya saat berada di ranah rantau nanti.
“Rizky, kau harus pulang membawa kesuksesan
dan menikmati bosokene kembali setelahnya. Jangan berani datang jika belum
berhasil,” pesan dibumbui gurauan yang menurutnya benar-benar merupakan amanah
besar baginya.
“Insya Allah, doakan saja ya ( . )”Jawabnya
sambil tersenyum kecil.
Berbeda dengan kebanyakan orang,
Rizky bukan pergi untuk mencari penghidupan, ia akan menimba ilmu di tanah
Bugis yang dikenal dengan tingginya nilai agamisnya. Berharap sekembalinya, ia
bisa menjadi seseorang yang dapat mengayomi masyarakat dalam urusan agama.
“Jaga
i diri laha-laha, Ngofa(2) ( . )”Ucap Ibu saat hidung Rizky
menyentuh kulit tangannya.
“Jo(3),
Bu. Doakan aku selalu ya ( . )”
Suasana haru menyelinap di hati
mereka masing-masing. Seberapa relanya meninggalkan dan ditinggalkan. Namun,
adalah keadaan yang mengharuskan perpisahan sementara itu terjadi hingga
kerelaan hanya menjadi simbolitas semata. Bagaimana pun juga, kekentalan cinta
akan kampung halaman akan tetap melebihi kekaguman akan keelokan ranah rantau.
*
* *
Tiga tahun berlalu, mendekati puncak
akhir semester delapan. Rizky memang memiliki isi kepala yang gemilang, maka
sangat mudah baginya untuk mempercepat kuliahnya. Soal biaya pun bukan menjadi
masalah baginya, karena selalu teratasi dengan beasiswa. Namun, tak lantas
membuatnya berpuas hati sebab amanah yang harus diembannya melalui pesan-pesan
keluarganya akan pengharapan kesuksesannya saat pulang nanti agar dapat kembali
menikmati bosokene sebagai adat leluhurnya—Rizky duduk menatap beberapa pete-pete yang lalu lalang sambil
memandangi ponselnya.
“Siapa?”
Sebuah tanya mengejutkan perjalanan
psikisnya. Sontak ia menoleh ke belakang. Matanya menangkap sesungging senyum
yang merekah di ranumnya bibir seorang gadis, membuatnya sulit memalingkan
pandangannya. Dara, satu-satunya temannya selama di Makassar yang paling tahu
dengan kisah hidupnya. Dara sendiri bukanlah penduduk asli Makassar. Ia juga
terlahir dari sebuah keluarga di daerah khatulistiwa Maluku Utara. Tetapi
sedari kecil, Dara telah diasuh oleh sepasang suami-istri berdarah Bugis yang
kebetulan masih kerabat dekat dari orang tuanya. Sejak berada dalam didikan
orang tua angkatnya, Dara tidak pernah lagi mengunjungi Orimakurunga Kayoa yang
merupakan tanah kelahirannya.
“Ibuku. Sejak kapan senyummu jadi
selebar itu, Dara?” Rizky mencoba mengalihkan pembahasan.
“Kau tak berkeinginan untuk menebak
dulu sebelum kujawab, Ky?” ia mengambil tempat duduk di sebelah Rizky dengan
spasi yang cukup jauh.
“Hasil yudisiumnya memuaskan, ya?”
“Lebih dari itu.” Wajahnya semakin
ceria.
“Aku kehabisan kata ( . )” Rizky
mulai menyerah.
“Aku memang sangat bersyukur dengan
hasil yudisium itu, Ky. Tapi, yang paling membahagiakan adalah aku diizinkan
untuk menginjakkan kaki di tanah kelahiranku oleh Ayah,” ia memperlihatkan dua
buah tiket pesawat di tangannya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik
badannya.
“Ededeh(4),
terharu sekali aku mendengarnya. Kapan kau akan berangkat, Ra? Aku turut
senang.”
“Tiga hari lagi dan ini untukmu,
kita akan ke Ternate bersama.” Dara menyerahkan selembar tiket pada Rizky yang
membuat Rizky jadi mematung.
“Aku sangat berterima kasih padamu
dan bahagia atas ini, tapi bagaimana pun kau tahu bahwa pantang bagiku untuk
pulang sebelum kesuksesan berada dalam genggaman. Bahkan telepon dari Ibuku
saja tidak pernah kuangkat.” Rizky tertunduk.
“Mengapa kau bersikap seperti itu,
Ky? Jangan cuma karena perkara prinsip bisa membuatmu menjadi durhaka kepada
orang tuamu. Sekental itukah adat di negerimu? Konyol sekali.” Sanggah Dara.
“Terserah apa katamu, Ra. Boleh kau
pandang hina akan prinsipku, tapi aku sepertimu saja yang berusaha menjunjung
adat negeriku.”
“Kau selalu saja begitu tiap kali
kita membahas hal ini. Aku yakin, bosokene tidak sekejam yang kau prinsipkan.”
Suasana hening sejenak sampai Dara mencoba membuka kembali suara untuk meredam
emosi Rizky, “Sekarang, aku mau menawarkanmu sesuatu. Terserah kau mau
menerimanya atau tidak.”
“Maafkanku, Ra. Aku tak bermaksud (
. )”
“Sudahlah, aku juga minta maaf atas
kekataku tadi. Ky, maukah kau ke Ternate bersamaku? Anggap saja ini sebagai
apresiasimu atau sekadar menemani sahabatmu yang masih buta arah jalan di Bumi
Kie Raha. Please(5)ya ( .
)” Dara yang setengah memelas membuat Rizky luluh juga.
“Baiklah, tapi hanya menemanimu,
tidak untuk mendatangi keluargaku di Tidore, ya ( . )”
“Iya, Tuan muda.” Senda Dara,
kembali tersenyum. Dibalas Rizky dengan senyum pula sebagai tanda setuju.
*
* *
Mata Dara liar memandang
sekelilingnya. Seiring dengan terperangahnya ia akan keindahan Kota Pantai,
senyum selalu menjadi bukti kekaguman dan kebahagiaannya. Rizky yang berada di
sampingnya pun turut dibuat tersenyum oleh tingkahnya.
“Ky, ajari aku satu ungkapam umum
dalam bahasa Ternate ya ( . )” Pinta Dara.
“Fajaru
cinta se jo ngon(6).”
“Apa artinya? Mengapa ada kata
‘cinta’nya?”
“PR buatmu. Katanya asli Maluku
Utara,” Rizky menjulurkan lidahnya.
“Wah, curang. Eh Ky, itu bukannya
pemandangan yang ada di pecahan kertas uang seribu, ya?” Dara menunjuk ke arah
pantai dan sebuah gunung.
“Iya, Nona manis. Itu pulau Maitara
namanya.”
“Lalu, yang paling tinggi itu?”
Pertanyaan terakhir Dara benar-benar
membuatnya ingin sekali menangis. Tak terukur seberapa dalam kerinduannya.
Matanya telah berkaca-kaca. Ditahannya yang membuatnya kesulitan mengatur
napasnya.
“Ky( . )Apakah aku terlalu banyak
bertanya?” Dara menoleh dan mendapati mimik Rizky yang tak biasa, “Ada apa?”
“Gunung tinggi itu yang memiliki
adat bosokene, Ra ( . )”
“Tidore, Ky?” Dara masih tak percaya.
Rizky menjawab dengan anggukan dan senyum yang cukup dipaksakan, “Kalau Tidore
begitu dekat dengan Ternate, mari kita ke sana. Aku juga penasaran dan
berkenalan langsung dengan orang-orang di sana.”
“Hanya menemanimu, Ra. Ingat itu.”
Rizky sekilat mungkin memotong ajakan Dara. Dara tertunduk, membatin.
“Maafkanku, Ra ( . )”
“Aku berusaha mengerti, Ky ( . )”
“Terima kasih untuk semuanya, Ra ( .
)”
*
* *
Hamparan pepasir putih yang
membingkai pantai Orimakurunga, penanda betapa panasnya kulit wilayah
khatulistiwa ini. Dara sesekali menoleh ke arah Rizky, rasa takut tergambar
jelas di raut wajahnya. Rizky yang memahami itu, berusaha membuat suasana hati
Dara menjadi nyaman dengan senyumnya. Bila saja Dara adalah seorang lelaki,
maka telah pasti akan ia genggam tangannya untuk menguatkan hati Dara.
“Kita telah sampai di bibir pantai
tanah kelahiranmu, Ra. Jika kau belum yakin untuk melanjutkan langkah kakimu,
kita boleh kembali ya ( . )” Kata Rizky masih sambil berdiri menatap jauh ke
depan.
“Apakah aku akan diterima di negeri
ini, Ky?” Dara mengepalkan tangannya yang membuktikan rasa takutnya.
“Kita akan berjalan bersama ya ( .
)”
Dalam keraguan, muncul seorang
lelaki paruh baya menghampiri mereka. Reflek saja, Dara langsung memegang ujung
jaket Rizky, mencoba berlindung. Beruntung, orang itu mengubah keadaan dengan
senyumnya.
“Kalian siapa?”
“Saya Rizky dari Tidore dan ini
teman saya, namanya Dara. Kami mau mencari seorang ibu bernama Hadirah,” Rizky
mengulurkan tangan untuk berjabat.
“Hadirah?” Bapak itu mengernyitkan
keningnya.
“Iya, bapak mengenal beliau?” Dara
terlihat bersemangat.
“Saya, Ridwan. Mari, ikut saya ke
rumah.” Lelaki tua itu lantas membalikkan punggungnya, Rizky dan Dara menurut
dan mengukuti beliau dari belakang.
Setibanya di rumah, Pak Ridwan
mempersilakan Rizky dan Dara untuk duduk. Sementara, beliau langsung menuju ke
dalam. Dara mengamati seisi ruang di mana mereka berada. Lalu, tidak berselang
lama, Pak Ridwan kembali dengan seorang perempuan tua yang mungkin adalah istri
beliau. Mereka dihidangkan dua gelas kopi tumbuk
dan sepiring sagu lombo(7).
“Jadi, ada maksud apa kalian ingin
menemui Hadirah?” tanya Pak Ridwan setelah menyeruput kopinya.
“Teman saya ini sudah sangat lama
ingin bertemu dengan Ibu Hadirah.” Rizky menjawab dengan hati-hati.
“Saya merindukan beliau ( . )” Dara
menyambungnya.
“Sedekat itukah kalian dengan
Hadirah?”
Sikap Pak Ridwan membuat Rizky dan
Dara merangkai banyak tanya dalam kepala mereka. Tapi, mereka yakin bahwa Pak
Ridwan pasti menegenal orang yang sedang mereka cari itu—Pak Ridwan mengatur
napasnya sejenak. Lalu, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang
didudukinya.
“Jadi begini, Pak. Saya dan Dara
datang ke Orimakurunga ini karena hendak menyatukan kembali sebuah ikatan keluarga
yang telah kurang-lebih sembilan belas tahun lalu terpisah. Ibu Hadirah itu ibu
kandung dari Dara yang belum sekali pun dalam hidup teman saya ini melihat
beliau secara langsung.” Rizky mencoba menjelaskan sambil sesekali memandang
wajah Dara sebagai isyarat meminta persetujuan.
Wajah Pak Ridwan dan istrinya
berubah seketika, bahkan Pak Ridwan tertunduk jadinya. Tiba-tiba saja, istri
Pak Ridwan lari memeluk Dara di antara sela-sela tangisnya yang mulai pecah.
Suasana hening selain dari suara tangis ibu itu.
“Maafkan kami, Nak ( . )” Itu saja
kalimat yang berusaha terucap oleh istri Pak Ridwan.
Oleh cerita Pak Ridwan, terjawab
jelas sudah bahwa sepasang suami istri yang berada bersama mereka saat ini
merupakan orang tua dari Ibu Hadirah. Menurut ceritanya, ayah Dara adalah
seorang pemuda yang gagah. Sayangnya, beliau dianggap belum cukup mapan untuk
menjadi suami. Itu dibuktikan melalui waktu maka
dod(8). Kasim, ayah Dara tidak mmapu memenuhi pra syarat nikah
yang biasa disebut sebagai uang belanja. Maka, terjadilah halausak(9) antara keduanya yang terlanjur saling
mencintai. Pak Ridwan dan istrinya berusaha mengambil kembali Ibu Hadirah tanpa
peduli kondisinya yang tengah mengandung seorang calon bayi. Singkat cerita,
Ibu Hadirah yang berjuang mempertahankan kehidupan anaknya memilih untuk tetap
menikah dengan Pak Kasim dan meninggalkan orang tuanya. Pak Ridwan dan istrinya
yang telah sakit hati karena pilihan anaknya menolak untuk menganggap Ibu
Hadirah sebagai anak mereka lagi—Mata Dara telah berkaca-kaca. Saat itu, Rizky
ingin sekali memeluknya, apalagi reaksi tubuhnya yang mendadak mematung seolah
tak percaya akan kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah lama tiada. Sesuatu
yang tak lazim, Dara tiba-tiba saja terjatuh pingsan.
*
* *
Rizky dan Pak Ridwan panik mencari
Dara. Lalu, kelegaan hadir saat memandang siluetnya di antara dinginnya fajar
di pantai, ia sedang berdiri dengan sejengkal kaki yang ditelan air laut.
Sesekali ia melemparkan batu-batu kecil jauh ke depan.
“Udara pagi itu sangat dingin. Lain
kali, kenakan jaketmu ya, Nona manis ( . )” Rizky membungkus punggung Dara
dengan sebuah jaket yang sedari tadi dipegangnya.
Tanpa berkata, Dara lantas
menenggelamkan tubuhnya di dada Rizky dan sesenggukan. Rizky tahu bahwa hal
seperti ini tidak boleh terjadi, tapi ia tak dapat menampik rasa ibanya dan
membiarkan Dara memeluknya.
“Aku ingin pulang, Ky ( . )Aku
merasa bukan lagi sesiapa di negeriku sendiri.”
“Mereka menerimamu dengan baik, kan?
Kita doakan saja yang terbaik untuk semua. Kau akan segera menikah, jangan
terlalu membebani pikiranmu ( . )”
Seminggu di Orimakurunga membuat
Dara cukup berat meninggalkan kampung halamannya itu. Berkali-kali ia memeluk
neneknya yang entah kapan akan kembali bersua. Sepanjang perjalanan, begitu
banyak air mata yang terurai oleh Dara. Rizky membiarkannya, dalam benaknya,
mungkin Dara butuh waktu untuk sendiri.
“Ky, mari ke Tidore sebentar untuk
menemui ibumu( . )”
Ajak Dara setelah berada di Ternate.
Wajah Rizky berubah merah padam. Ia selalu merasa kesal dengan sikap Dara yang
seakan-akan memaksanya untuk merombak prinsipnya. Kali ini, ia memilih untuk
diam.
“Apa kau ingin sama menyesalnya
denganku?” pertanyaan Dara terakhir ini seolah menampar Rizky. Spontan, Rizky
memandang tajam Dara, “ya, maafkanku. Tapi, aku rasa kita terlalu berlebihan
dalam memaknai adat negeri. Aku hanya tidak ingin kau akan mengalami hal serupa
denganku, Ky. Bosokene adalah adat tanahmu, tapi orang tua tetaplah orang tua.
Mau sampai kapan kau siksa mereka dengan kerinduan yang menyesakkan dada? Kau
pikir mereka tidak akan mengkhawatirkanmu? Apa kau akan terus saja menghukum
dirimu sendiri? Dengan engkau berada di Makssar saja, mereka telah sangat
bangga akanmu. Bukankah prestasimu selama ini sudah bisa dikatakan sebagai
sebuah kesuksesan dan kau pasti bisa kembali menikmati bosokene?” Rizky tak
menyangka Dara bisa sampai berurai air mata menyikapi hal ini.
Belum selesai Dara berkata, tetiba
ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seseorang menjelmakan perubahan drastis
dalam mimik wajahnya. Tubuhnya berubah lemas.
“Ada apa, Ra?”
“Kak Fahmi membatalkan pernikahan
kami, Ky. Ia ternyata tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku bukanlah anak
kandung dari ibu ( . )”
“Berani sekali dia melukai hati
sahabatku. Lihat saja, akan kuberi dia pelajaran.”
“Sudahlah, Ky ( . )Sebaiknya memang
seperti ini. Daripada saat telah menjadi istrinya dan ternyata ia akan terus
mengungkit-ungkit hal ini. Aku berusaha ikhlas, Ky ( .)”
“Aku kagum padamu, Ra. Jodoh pasti
menemui takdirnya ( . )”
Berkat bujukan Dara, Rizky akhirnya
mau pergi ke Tidore—Tidak ada yang berubah, Ome dan rumahnya masih seperti saat
sebelum dirinya berangkat ke Makassar. Matanya menangkap sosok yang sangat ia
rindukan, siapa lagi bila bukan ibunya.
“Ibu ( . )” Rizky yang tak dapat
menahan kerinduannya, sontak setengah berteriak memanggil ibunya dari jauh.
Terjadilah suasana mengharukan di
antara mereka. Rizky berusaha menggapai kaki ibunya, memohon ampun atas segala
sikapnya---Mata ibu Rizky tertuju pada Dara. Beliau tersenyum dan
menghampirinya.
“Cantik sekali, siapa namamu?”
“Saya Dara, Bu.” Dara mencium tangan
ibu Rizky.
“Rizky tidak pernah memberi kabar.
Sekali datang, langsung membawa calon istri. Di mana kau menemui bidadari ini,
Nak?”
“Ibu, Dara ini ( . )” Kata-kata
Rizky segera dipotong oleh Dara.
“Apakah akan ada bosekene untuk
Rizky, Bu?”
“Tentu saja. Ia telah kembali dengan
selamat. Itu merupakan hal yang mesti disyukuri.” Jawab ibu sambil merangkul
bahu kanan Dara.
*
* *
“Ra, mengapa kau memotong jawabanku
pada ibu tadi? Tidakkah kau merasa risih akan dugaan itu?” tanya Rizky saat
mereka hanya berdua saja.
“Aku hanya tidak mau mengubah
suasana bahagia tadi, Ky. Maafkan aku( . )”
“Bagaimana bila kau benar-benar jadi
calon istriku?”
“Apa maksudmu, Ky?”
“Apakah cinta sejati bisa kita
miliki bersama? Sejak lama, aku telah menyukaimu, Ra. Kini, aku baru berani
mengungkapnya setelah kau mulai ikhlas melepaskan Kak Fahmi dan ketika aku
telah mendapatkan panggilan kerja. Maukah kau mendampingiku di saat susah dan
senang dalam ikatan yang sakral?” Dara belum mengeluarkan sepatah kata pun,
“fajaru cinta se ngon, Dara ( . )”
“Artimya apa?’ senyum merekah di
sela tanda tanya di kepala Dara.
“Aku cinta akan dikau, Dara ( . )”
“Kau sungguh tidak sedang bercanda,
Ky?” Rizky hanya menjawab dengan anggukan. Sesungging senyum menawan kembali
menjadi pemandangan yang Rizky rindukan selama beberapa minggu ini tak menampak
di wajah Dara.
Sekental apapun sebuah adat, cukup
gunakan akal sehat untuk memaknainya, sebab Tuhan tidak akan pernah mau
mempersulit hamba-Nya. Sekerat bosokene, sehangat khatulistiwa, cinta bersemi
di antara kontroversial negeri. Namun, hidup adalah pilihan, ke mana ujungnya
akan bermuara melalui proses bertajuk pro-kontra. Rizky akhirnya menemukan
cinta sejatinya bersama seorang dara Kayoa.[]
~*~
(1)Sebuah
adat Tidore membuat selamatan atau memanjatkan syukur akan sesuatu, biasanya
ketika berangkat dan kembalinya seorang perantau.
(2)”Jaga
dirimu baik-baik, Nak” dalam Bahasa Tidore.
(3)”Iya,
Bu” dalam Bahasa Tidore.
(4)Sebuah
ekspresi orang Sulawesi Selatan ketika mendengar sesuatu.
(5)Ungkapan
memohon dalam Bahasa Inggris.
(6)”Aku
mencintaimu” dalam Bahasa Ternate.
(9)Lunak
dalam bahasa penduduk Maluku Utara sehari-hari.
(10)Sebuah
adat Kayoa ketika seorang lelaki datang meminang seorang perempuan dan terjadi
tawar-menawar biaya pernikahan.
(10)Atau
‘kawin lari’. Kebiasaan sebagian orang yang berada di Kayoa ketika sepasang
kekasih telah seiya-sekata dan tidak mendapatkan restu karena persoalan ekonomi
lelaki.
Kak, elipsis ( ... ) yang mau diganti kemarin itu jadi titik satu ( . ) tanpa tanda kurung maksud saya.
BalasHapusMisal awalnya "Iya, Ky ..." Ubahnya jadi "Iya, Ky." Bukan "Iya, Ky (.)"
BalasHapusBtw, itu bahasa daerah kalau salah, mohon dimaafkan karena itu hail tanya ke orang juga. 😊
BalasHapusWadduuuuh..... Om Admin, editor cerpen jgn dikasih ke org yg biasanya ngedit opini om. Tuh titik di dlm kurung apa artinya?!
BalasHapusContoh kalimat Risky: ibu, Dara ini. kalimat yg ini titiknya harus lebih dari satu, krn kalimatnya blm slsai sdh dipotong oleh dara. Sya yakin tulisan aslinya tak mesti diedit lagi...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus