Random Posts

banner image

Rabu, 14 Juni 2017

Sekerat Bosokene, Sehangat Khatulistiwa



Cerpen Oleh : Rahmatia Kadir

            Pada pepucuk dedauan, hendak ia sampaikan pula sebuah pesan pamitnya meninggalkan Bumi Hijrah, tempat di mana ia tumbuh hingga menjadi seorang pemuda. Walau Ome bukanlah tanah air milik orang tuanya, namun di sana-lah kehidupan yang menghidupinya. Ramainya suara para sanak keluarga yang memenuhi rumah seakan sarat berada di dalamnya, hanya untuk mengadakan acara perpisahannya menuju tanah rantau sebagai suatu doa pengantar perginya, apa lagi jika bukan bosokene(1)? Sebuah belanga berisi nasi telah siap disantap bersama tusukan beberapa butir telur rebus sebagai ritual ini. Cukup banyak yang memberi wejangan-wejangan sebagai bekalnya saat berada di ranah rantau nanti.
            “Rizky, kau harus pulang membawa kesuksesan dan menikmati bosokene kembali setelahnya. Jangan berani datang jika belum berhasil,” pesan dibumbui gurauan yang menurutnya benar-benar merupakan amanah besar baginya.
            “Insya Allah, doakan saja ya ( . )”Jawabnya sambil tersenyum kecil.
            Berbeda dengan kebanyakan orang, Rizky bukan pergi untuk mencari penghidupan, ia akan menimba ilmu di tanah Bugis yang dikenal dengan tingginya nilai agamisnya. Berharap sekembalinya, ia bisa menjadi seseorang yang dapat mengayomi masyarakat dalam urusan agama.
            “Jaga i diri laha-laha, Ngofa(2) ( . )”Ucap Ibu saat hidung Rizky menyentuh kulit tangannya.
            “Jo(3), Bu. Doakan aku selalu ya ( . )”
            Suasana haru menyelinap di hati mereka masing-masing. Seberapa relanya meninggalkan dan ditinggalkan. Namun, adalah keadaan yang mengharuskan perpisahan sementara itu terjadi hingga kerelaan hanya menjadi simbolitas semata. Bagaimana pun juga, kekentalan cinta akan kampung halaman akan tetap melebihi kekaguman akan keelokan ranah rantau.
* * *
            Tiga tahun berlalu, mendekati puncak akhir semester delapan. Rizky memang memiliki isi kepala yang gemilang, maka sangat mudah baginya untuk mempercepat kuliahnya. Soal biaya pun bukan menjadi masalah baginya, karena selalu teratasi dengan beasiswa. Namun, tak lantas membuatnya berpuas hati sebab amanah yang harus diembannya melalui pesan-pesan keluarganya akan pengharapan kesuksesannya saat pulang nanti agar dapat kembali menikmati bosokene sebagai adat leluhurnya—Rizky duduk menatap beberapa pete-pete yang lalu lalang sambil memandangi ponselnya.
            “Siapa?”
            Sebuah tanya mengejutkan perjalanan psikisnya. Sontak ia menoleh ke belakang. Matanya menangkap sesungging senyum yang merekah di ranumnya bibir seorang gadis, membuatnya sulit memalingkan pandangannya. Dara, satu-satunya temannya selama di Makassar yang paling tahu dengan kisah hidupnya. Dara sendiri bukanlah penduduk asli Makassar. Ia juga terlahir dari sebuah keluarga di daerah khatulistiwa Maluku Utara. Tetapi sedari kecil, Dara telah diasuh oleh sepasang suami-istri berdarah Bugis yang kebetulan masih kerabat dekat dari orang tuanya. Sejak berada dalam didikan orang tua angkatnya, Dara tidak pernah lagi mengunjungi Orimakurunga Kayoa yang merupakan tanah kelahirannya.
            “Ibuku. Sejak kapan senyummu jadi selebar itu, Dara?” Rizky mencoba mengalihkan pembahasan.
            “Kau tak berkeinginan untuk menebak dulu sebelum kujawab, Ky?” ia mengambil tempat duduk di sebelah Rizky dengan spasi yang cukup jauh.
            “Hasil yudisiumnya memuaskan, ya?”
            “Lebih dari itu.” Wajahnya semakin ceria.
            “Aku kehabisan kata ( . )” Rizky mulai menyerah.
            “Aku memang sangat bersyukur dengan hasil yudisium itu, Ky. Tapi, yang paling membahagiakan adalah aku diizinkan untuk menginjakkan kaki di tanah kelahiranku oleh Ayah,” ia memperlihatkan dua buah tiket pesawat di tangannya yang sedari tadi ia sembunyikan di balik badannya.
            “Ededeh(4), terharu sekali aku mendengarnya. Kapan kau akan berangkat, Ra? Aku turut senang.”
            “Tiga hari lagi dan ini untukmu, kita akan ke Ternate bersama.” Dara menyerahkan selembar tiket pada Rizky yang membuat Rizky jadi mematung.
            “Aku sangat berterima kasih padamu dan bahagia atas ini, tapi bagaimana pun kau tahu bahwa pantang bagiku untuk pulang sebelum kesuksesan berada dalam genggaman. Bahkan telepon dari Ibuku saja tidak pernah kuangkat.” Rizky tertunduk.
            “Mengapa kau bersikap seperti itu, Ky? Jangan cuma karena perkara prinsip bisa membuatmu menjadi durhaka kepada orang tuamu. Sekental itukah adat di negerimu? Konyol sekali.” Sanggah Dara.
            “Terserah apa katamu, Ra. Boleh kau pandang hina akan prinsipku, tapi aku sepertimu saja yang berusaha menjunjung adat negeriku.”
            “Kau selalu saja begitu tiap kali kita membahas hal ini. Aku yakin, bosokene tidak sekejam yang kau prinsipkan.” Suasana hening sejenak sampai Dara mencoba membuka kembali suara untuk meredam emosi Rizky, “Sekarang, aku mau menawarkanmu sesuatu. Terserah kau mau menerimanya atau tidak.”
            “Maafkanku, Ra. Aku tak bermaksud ( . )”
            “Sudahlah, aku juga minta maaf atas kekataku tadi. Ky, maukah kau ke Ternate bersamaku? Anggap saja ini sebagai apresiasimu atau sekadar menemani sahabatmu yang masih buta arah jalan di Bumi Kie Raha. Please(5)ya ( . )” Dara yang setengah memelas membuat Rizky luluh juga.
            “Baiklah, tapi hanya menemanimu, tidak untuk mendatangi keluargaku di Tidore, ya ( . )”
            “Iya, Tuan muda.” Senda Dara, kembali tersenyum. Dibalas Rizky dengan senyum pula sebagai tanda setuju.
* * *
            Mata Dara liar memandang sekelilingnya. Seiring dengan terperangahnya ia akan keindahan Kota Pantai, senyum selalu menjadi bukti kekaguman dan kebahagiaannya. Rizky yang berada di sampingnya pun turut dibuat tersenyum oleh tingkahnya.
            “Ky, ajari aku satu ungkapam umum dalam bahasa Ternate ya ( . )” Pinta Dara.
            “Fajaru cinta se jo ngon(6).”
            “Apa artinya? Mengapa ada kata ‘cinta’nya?”
            “PR buatmu. Katanya asli Maluku Utara,” Rizky menjulurkan lidahnya.
            “Wah, curang. Eh Ky, itu bukannya pemandangan yang ada di pecahan kertas uang seribu, ya?” Dara menunjuk ke arah pantai dan sebuah gunung.
            “Iya, Nona manis. Itu pulau Maitara namanya.”
            “Lalu, yang paling tinggi itu?”
            Pertanyaan terakhir Dara benar-benar membuatnya ingin sekali menangis. Tak terukur seberapa dalam kerinduannya. Matanya telah berkaca-kaca. Ditahannya yang membuatnya kesulitan mengatur napasnya.
            “Ky( . )Apakah aku terlalu banyak bertanya?” Dara menoleh dan mendapati mimik Rizky yang tak biasa, “Ada apa?”
            “Gunung tinggi itu yang memiliki adat bosokene, Ra ( . )”
            “Tidore, Ky?” Dara masih tak percaya. Rizky menjawab dengan anggukan dan senyum yang cukup dipaksakan, “Kalau Tidore begitu dekat dengan Ternate, mari kita ke sana. Aku juga penasaran dan berkenalan langsung dengan orang-orang di sana.”
            “Hanya menemanimu, Ra. Ingat itu.” Rizky sekilat mungkin memotong ajakan Dara. Dara tertunduk, membatin.
            “Maafkanku, Ra ( . )”
             “Aku berusaha mengerti, Ky ( . )”
            “Terima kasih untuk semuanya, Ra ( . )”
* * *
            Hamparan pepasir putih yang membingkai pantai Orimakurunga, penanda betapa panasnya kulit wilayah khatulistiwa ini. Dara sesekali menoleh ke arah Rizky, rasa takut tergambar jelas di raut wajahnya. Rizky yang memahami itu, berusaha membuat suasana hati Dara menjadi nyaman dengan senyumnya. Bila saja Dara adalah seorang lelaki, maka telah pasti akan ia genggam tangannya untuk menguatkan hati Dara.
            “Kita telah sampai di bibir pantai tanah kelahiranmu, Ra. Jika kau belum yakin untuk melanjutkan langkah kakimu, kita boleh kembali ya ( . )” Kata Rizky masih sambil berdiri menatap jauh ke depan.
            “Apakah aku akan diterima di negeri ini, Ky?” Dara mengepalkan tangannya yang membuktikan rasa takutnya.
            “Kita akan berjalan bersama ya ( . )”
            Dalam keraguan, muncul seorang lelaki paruh baya menghampiri mereka. Reflek saja, Dara langsung memegang ujung jaket Rizky, mencoba berlindung. Beruntung, orang itu mengubah keadaan dengan senyumnya.
            “Kalian siapa?”
            “Saya Rizky dari Tidore dan ini teman saya, namanya Dara. Kami mau mencari seorang ibu bernama Hadirah,” Rizky mengulurkan tangan untuk berjabat.
            “Hadirah?” Bapak itu mengernyitkan keningnya.
            “Iya, bapak mengenal beliau?” Dara terlihat bersemangat.
            “Saya, Ridwan. Mari, ikut saya ke rumah.” Lelaki tua itu lantas membalikkan punggungnya, Rizky dan Dara menurut dan mengukuti beliau dari belakang.
            Setibanya di rumah, Pak Ridwan mempersilakan Rizky dan Dara untuk duduk. Sementara, beliau langsung menuju ke dalam. Dara mengamati seisi ruang di mana mereka berada. Lalu, tidak berselang lama, Pak Ridwan kembali dengan seorang perempuan tua yang mungkin adalah istri beliau. Mereka dihidangkan dua gelas kopi tumbuk dan sepiring sagu lombo(7).
            “Jadi, ada maksud apa kalian ingin menemui Hadirah?” tanya Pak Ridwan setelah menyeruput kopinya.
            “Teman saya ini sudah sangat lama ingin bertemu dengan Ibu Hadirah.” Rizky menjawab dengan hati-hati.
            “Saya merindukan beliau ( . )” Dara menyambungnya.
            “Sedekat itukah kalian dengan Hadirah?”
            Sikap Pak Ridwan membuat Rizky dan Dara merangkai banyak tanya dalam kepala mereka. Tapi, mereka yakin bahwa Pak Ridwan pasti menegenal orang yang sedang mereka cari itu—Pak Ridwan mengatur napasnya sejenak. Lalu, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi yang didudukinya.
            “Jadi begini, Pak. Saya dan Dara datang ke Orimakurunga ini karena hendak menyatukan kembali sebuah ikatan keluarga yang telah kurang-lebih sembilan belas tahun lalu terpisah. Ibu Hadirah itu ibu kandung dari Dara yang belum sekali pun dalam hidup teman saya ini melihat beliau secara langsung.” Rizky mencoba menjelaskan sambil sesekali memandang wajah Dara sebagai isyarat meminta persetujuan.
            Wajah Pak Ridwan dan istrinya berubah seketika, bahkan Pak Ridwan tertunduk jadinya. Tiba-tiba saja, istri Pak Ridwan lari memeluk Dara di antara sela-sela tangisnya yang mulai pecah. Suasana hening selain dari suara tangis ibu itu.
            “Maafkan kami, Nak ( . )” Itu saja kalimat yang berusaha terucap oleh istri Pak Ridwan.
            Oleh cerita Pak Ridwan, terjawab jelas sudah bahwa sepasang suami istri yang berada bersama mereka saat ini merupakan orang tua dari Ibu Hadirah. Menurut ceritanya, ayah Dara adalah seorang pemuda yang gagah. Sayangnya, beliau dianggap belum cukup mapan untuk menjadi suami. Itu dibuktikan melalui waktu maka dod(8). Kasim, ayah Dara tidak mmapu memenuhi pra syarat nikah yang biasa disebut sebagai uang belanja. Maka, terjadilah halausak(9) antara keduanya yang terlanjur saling mencintai. Pak Ridwan dan istrinya berusaha mengambil kembali Ibu Hadirah tanpa peduli kondisinya yang tengah mengandung seorang calon bayi. Singkat cerita, Ibu Hadirah yang berjuang mempertahankan kehidupan anaknya memilih untuk tetap menikah dengan Pak Kasim dan meninggalkan orang tuanya. Pak Ridwan dan istrinya yang telah sakit hati karena pilihan anaknya menolak untuk menganggap Ibu Hadirah sebagai anak mereka lagi—Mata Dara telah berkaca-kaca. Saat itu, Rizky ingin sekali memeluknya, apalagi reaksi tubuhnya yang mendadak mematung seolah tak percaya akan kenyataan bahwa kedua orang tuanya telah lama tiada. Sesuatu yang tak lazim, Dara tiba-tiba saja terjatuh pingsan.
* * *
            Rizky dan Pak Ridwan panik mencari Dara. Lalu, kelegaan hadir saat memandang siluetnya di antara dinginnya fajar di pantai, ia sedang berdiri dengan sejengkal kaki yang ditelan air laut. Sesekali ia melemparkan batu-batu kecil jauh ke depan.
            “Udara pagi itu sangat dingin. Lain kali, kenakan jaketmu ya, Nona manis ( . )” Rizky membungkus punggung Dara dengan sebuah jaket yang sedari tadi dipegangnya.
            Tanpa berkata, Dara lantas menenggelamkan tubuhnya di dada Rizky dan sesenggukan. Rizky tahu bahwa hal seperti ini tidak boleh terjadi, tapi ia tak dapat menampik rasa ibanya dan membiarkan Dara memeluknya.
            “Aku ingin pulang, Ky ( . )Aku merasa bukan lagi sesiapa di negeriku sendiri.”
            “Mereka menerimamu dengan baik, kan? Kita doakan saja yang terbaik untuk semua. Kau akan segera menikah, jangan terlalu membebani pikiranmu ( . )”
            Seminggu di Orimakurunga membuat Dara cukup berat meninggalkan kampung halamannya itu. Berkali-kali ia memeluk neneknya yang entah kapan akan kembali bersua. Sepanjang perjalanan, begitu banyak air mata yang terurai oleh Dara. Rizky membiarkannya, dalam benaknya, mungkin Dara butuh waktu untuk sendiri.
            “Ky, mari ke Tidore sebentar untuk menemui ibumu( . )”
            Ajak Dara setelah berada di Ternate. Wajah Rizky berubah merah padam. Ia selalu merasa kesal dengan sikap Dara yang seakan-akan memaksanya untuk merombak prinsipnya. Kali ini, ia memilih untuk diam.
            “Apa kau ingin sama menyesalnya denganku?” pertanyaan Dara terakhir ini seolah menampar Rizky. Spontan, Rizky memandang tajam Dara, “ya, maafkanku. Tapi, aku rasa kita terlalu berlebihan dalam memaknai adat negeri. Aku hanya tidak ingin kau akan mengalami hal serupa denganku, Ky. Bosokene adalah adat tanahmu, tapi orang tua tetaplah orang tua. Mau sampai kapan kau siksa mereka dengan kerinduan yang menyesakkan dada? Kau pikir mereka tidak akan mengkhawatirkanmu? Apa kau akan terus saja menghukum dirimu sendiri? Dengan engkau berada di Makssar saja, mereka telah sangat bangga akanmu. Bukankah prestasimu selama ini sudah bisa dikatakan sebagai sebuah kesuksesan dan kau pasti bisa kembali menikmati bosokene?” Rizky tak menyangka Dara bisa sampai berurai air mata menyikapi hal ini.
            Belum selesai Dara berkata, tetiba ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seseorang menjelmakan perubahan drastis dalam mimik wajahnya. Tubuhnya berubah lemas.
            “Ada apa, Ra?”
            “Kak Fahmi membatalkan pernikahan kami, Ky. Ia ternyata tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku bukanlah anak kandung dari ibu ( . )”
            “Berani sekali dia melukai hati sahabatku. Lihat saja, akan kuberi dia pelajaran.”
            “Sudahlah, Ky ( . )Sebaiknya memang seperti ini. Daripada saat telah menjadi istrinya dan ternyata ia akan terus mengungkit-ungkit hal ini. Aku berusaha ikhlas, Ky ( .)”
            “Aku kagum padamu, Ra. Jodoh pasti menemui takdirnya ( . )”
            Berkat bujukan Dara, Rizky akhirnya mau pergi ke Tidore—Tidak ada yang berubah, Ome dan rumahnya masih seperti saat sebelum dirinya berangkat ke Makassar. Matanya menangkap sosok yang sangat ia rindukan, siapa lagi bila bukan ibunya.
            “Ibu ( . )” Rizky yang tak dapat menahan kerinduannya, sontak setengah berteriak memanggil ibunya dari jauh.
            Terjadilah suasana mengharukan di antara mereka. Rizky berusaha menggapai kaki ibunya, memohon ampun atas segala sikapnya---Mata ibu Rizky tertuju pada Dara. Beliau tersenyum dan menghampirinya.
            “Cantik sekali, siapa namamu?”
            “Saya Dara, Bu.” Dara mencium tangan ibu Rizky.
            “Rizky tidak pernah memberi kabar. Sekali datang, langsung membawa calon istri. Di mana kau menemui bidadari ini, Nak?”
            “Ibu, Dara ini ( . )” Kata-kata Rizky segera dipotong oleh Dara.
            “Apakah akan ada bosekene untuk Rizky, Bu?”
            “Tentu saja. Ia telah kembali dengan selamat. Itu merupakan hal yang mesti disyukuri.” Jawab ibu sambil merangkul bahu kanan Dara.
* * *
            “Ra, mengapa kau memotong jawabanku pada ibu tadi? Tidakkah kau merasa risih akan dugaan itu?” tanya Rizky saat mereka hanya berdua saja.
            “Aku hanya tidak mau mengubah suasana bahagia tadi, Ky. Maafkan aku( . )”
            “Bagaimana bila kau benar-benar jadi calon istriku?”
            “Apa maksudmu, Ky?”
            “Apakah cinta sejati bisa kita miliki bersama? Sejak lama, aku telah menyukaimu, Ra. Kini, aku baru berani mengungkapnya setelah kau mulai ikhlas melepaskan Kak Fahmi dan ketika aku telah mendapatkan panggilan kerja. Maukah kau mendampingiku di saat susah dan senang dalam ikatan yang sakral?” Dara belum mengeluarkan sepatah kata pun, “fajaru cinta se ngon, Dara ( . )”
            “Artimya apa?’ senyum merekah di sela tanda tanya di kepala Dara.
            “Aku cinta akan dikau, Dara ( . )”
            “Kau sungguh tidak sedang bercanda, Ky?” Rizky hanya menjawab dengan anggukan. Sesungging senyum menawan kembali menjadi pemandangan yang Rizky rindukan selama beberapa minggu ini tak menampak di wajah Dara.
            Sekental apapun sebuah adat, cukup gunakan akal sehat untuk memaknainya, sebab Tuhan tidak akan pernah mau mempersulit hamba-Nya. Sekerat bosokene, sehangat khatulistiwa, cinta bersemi di antara kontroversial negeri. Namun, hidup adalah pilihan, ke mana ujungnya akan bermuara melalui proses bertajuk pro-kontra. Rizky akhirnya menemukan cinta sejatinya bersama seorang dara Kayoa.[]
~*~
(1)Sebuah adat Tidore membuat selamatan atau memanjatkan syukur akan sesuatu, biasanya ketika berangkat dan kembalinya seorang perantau.
(2)”Jaga dirimu baik-baik, Nak” dalam Bahasa Tidore.
(3)”Iya, Bu” dalam Bahasa Tidore.
(4)Sebuah ekspresi orang Sulawesi Selatan ketika mendengar sesuatu.
(5)Ungkapan memohon dalam Bahasa Inggris.
(6)”Aku mencintaimu” dalam Bahasa Ternate.
(9)Lunak dalam bahasa penduduk Maluku Utara sehari-hari.
(10)Sebuah adat Kayoa ketika seorang lelaki datang meminang seorang perempuan dan terjadi tawar-menawar biaya pernikahan.
(10)Atau ‘kawin lari’. Kebiasaan sebagian orang yang berada di Kayoa ketika sepasang kekasih telah seiya-sekata dan tidak mendapatkan restu karena persoalan ekonomi lelaki.


5 komentar:

  1. Kak, elipsis ( ... ) yang mau diganti kemarin itu jadi titik satu ( . ) tanpa tanda kurung maksud saya.

    BalasHapus
  2. Misal awalnya "Iya, Ky ..." Ubahnya jadi "Iya, Ky." Bukan "Iya, Ky (.)"

    BalasHapus
  3. Btw, itu bahasa daerah kalau salah, mohon dimaafkan karena itu hail tanya ke orang juga. 😊

    BalasHapus
  4. Wadduuuuh..... Om Admin, editor cerpen jgn dikasih ke org yg biasanya ngedit opini om. Tuh titik di dlm kurung apa artinya?!
    Contoh kalimat Risky: ibu, Dara ini. kalimat yg ini titiknya harus lebih dari satu, krn kalimatnya blm slsai sdh dipotong oleh dara. Sya yakin tulisan aslinya tak mesti diedit lagi...

    BalasHapus
  5. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus