Random Posts

banner image

Senin, 31 Juli 2017

Pengacara dan Sang Komandan

Aku Rarus, dilahirkan di desa Chimera, sebuah desa yang jauh dari mata penguasa. Desa yang tak pernah mendapatkan semprotan cahaya lampu dari perusahan negeri ini, tapi semua warga Chimera dituntut taat bayar pajak dan taat hukum, namun semua perintah itu tak berlaku untukku. Warga desa Chimera selain aku yang masih menginjak tanah dan tubuhnya akan dikebumikan di tanah negeri ini ketika mati kelak, wajib bayar pajak.

Di desa Chimera-lah satu-satunya desa yang aturan negeri ini tak membuatku bersujud untuk menuruti. Di Chimera aku bisa benar-benar bebas, sebab aku memegang kantong kemih para komandan yang bertugas di desa. Bila para komandan memaksaku mematuhi aturan, aku akan memeras kantong mereka, dan mereka akan menjerit kesakitan dibalik jeruji besi.
***
Berawal dari mimpi. Aku pernah bermimpi menjadi penulis agar menginspirasi orang-orang lewat buah tanganku. Sebab itu aku memilih jatuh cinta pada bahasa Indonesia sewaktu di sekolah. Kini mimpiku tak bisa menginjak bumi. Aku tak lagi percaya pada mimpi.

Berharap mimpi jadi nyata di negeri ini terlalu sakit. Bahkan nyawa jadi harga yang harus dibayar agar bisa mewujudkannya. Siapa yang mau memberikan nyawa setelah itu tak menikmati mimpinya?

Tak sama dengan Veronika,  bagi Veronika mimpi bak api yang membakar kayu menjadi arang. Terus bermimpi sebab satu menit dari sekarang jadi misteri. Kita tak pernah tahu tentang misteri. Mimpi bisa jadi nyata bila kita memulainya, juga sebaliknya mimpi akan berhenti bila kita tak memulainya. Ujar Veronika ketika aku bacakan cerita ini padanya.

Aku tak percaya dengan mantra Veronika. Sebab aku korban mimpi. Dulu aku bermimpi jadi mahasiswa di Universitas Ternama untuk melanjutkan mimpi. Untuk menuruti mimpi semua persyaratan yang dituntut universitas telah aku tunaikan. Tapi nasib dan universitas  tak menikahi aku. Aku gagal, sebab gagal menyetor uang mahar pada universitas.  

Namaku dihapus dari sekian banyak calon mahasiswa yang tak memenuhi syarat yang dituntut universitas, tapi  mereka punya mahar yang bisa memenuhi keinginan universitas.

Kejadian ini yang membuatku tak percaya pada mantra Veronika, gadis yang beberapa bulan terakhir ini membuat hatiku bersujud padanya.

Setelah nasib naas menimpa ku untuk tak menikmati kursi putar di Universitas Ternama, aku mulai pulang ke desa dan memutuskan berhenti bermimpi jadi megah di negeri ini. Aku jadi seorang pengacara yang tak berkantor apalagi beracara di pengadilan, sebab aku tak pernah mencicipi pendidikan profesi pengacara. Setelah lamaranku ditolak untuk menikmati kursi putar di universitas, akhirnya aku punya profesi jadi pengacara di desa, walau pada dasarnya aku tak pernah duduk di bangku kuliah.

Bangku kuliah hanya ada dalam mimpi. Profesi sebagai pengacara juga tak sama dengan profesi pengacara benaran. Aku Cuma ”pengganguran banyak acara”, begitu orang-orang desa memanggilku. Mereka menyingkatnya jadi “pengacara.”

Membuat  keributan di lingkungan wajib hukumnya, mencuri, mabuk-mabukan, meniduri janda muda sampai memperkosa anak orang, melindungi para penjahat adalah tugas keseharian yang ku tunaikan dengan baik. Semua orang membenciku, namun mereka tak sekuat rasa benci mereka untuk bisa membunuhku.

Semua upaya warga desa agar membunuhku tak pernah berhasil, mulai dari dukun sampai ke aparat keamanan. Sebab aku tahu caranya membentengi diri dari semua upaya para warga. Menyuruh dukun membunuhku sama saja dengan menyuruh si dukun membunuh dirinya sendiri, sebab aku tahu mantra penjinak mantra dukun.

Melaporkan aku ke aparat penegak keamanan, laporan warga tak pernah membawaku ke  kantor keamanan apalagi jeruji besi.  Aku sangat kuat. Aku punya jurus penjinak aparat keamanan.

Ada seorang  komandan keamanan yang terlibat kasus pengrusakan  hutan di desa Chimera. Pengrusakan hutan dilakukan oleh PT. Omotoi, pemiliknya adalah sang komandan.  PT. Omotoi,  dengan semangat pangkal kaya menjalankan tugas dengan baik menggunduli hutan.  Hutan yang dulu rimba kini bak manusia tak mengenakan pakaian.

Aksi PT. Omotoi, diprotes Lembaga Swadaya Masyarakat, dengan menyurati  pemerintah di Jakarta untuk mematikan hasrat PT. Omotoi,  agar tak lagi menelanjangi hutan, surat itu ditanggapi serius pemerintah di Jakarta. Pemerintah mengutus orang kepercayaan untuk melihat lokasi yang diprotes Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketika investigator dari Jakarta tiba ke lokasi ternyata hutan itu tak hanya ditelanjangi PT.Omotoi,  tanahnya pun tak bisa membuai tanaman warga.

Kedatangan investivagor tak  membawa sang komandan  ke Jakarta agar bertanggung jawab atas kerusakan hutan,  hanya Sapri yang berhasil dibawa ke Jakarta untuk diadili.  Sapri adalah salah satu karyawan kepercayaan PT. Omotoi.

Sapri tak melibatkan  sang komandan sebagai  dalang dari pengundulan hutan. Aku dibayar satu miliar untuk meletakan pistol di mulut Sapri agar tak menyebut nama sang komandan. Akhirnya keterlibatan sang komandan tak diketahui penguasa di Jakarta. 

Semakin banyak penjahat berdinas seperti sang komandan menggunakan jasaku, maka aku  bebas melakukan apa saja yang bisa aku lakukan, sebab aku menahan berkas-berkas kejahatan para komandan.

Warga Chimera menyebutku penjahat. Tapi hati kecilku berbisik akulah orang paling suci.  Orang-orang sok suci saja yang bilang aku penjahat. Orang-orang seperti sang komandan adalah klien-klien yang baik. Mereka memberi kehidupan padaku dan keluarga. Bekerja sama denga PT. Omotoi  aku bisa  membeli parfum untuk istri agar tetap wangi agar aku lebih bernafsu ketika making love dan bisa menyekolahkan anak ke luar negeri, dengan harapan anakku  bisa lebih cerdas untuk menipu negeri ini dengan beragam pengalaman dan teori yang ditemui di luar negeri.

Negeri ini penghormatan pada profesi seperti profesiku tak kalah hormatnya dengan penghormtan pada penguasa. Walau di negeri ini secara dejure penguasa begitu dihormati namun secara defakta penguasa begitu menghormati orang-orang seperti aku. Penguasa membutuhkanku untuk melindungi mereka dari beribu macam aturan yang dibuat sendiri dan aku butuh mereka agar tetap bisa mengharumkan tubuh istriku dan mengirim anakku agar tak menahan lapar di negara orang. Apa kata orang luar negeri bila anak aku mati kelaparan sebab terlambat mendapat kiriman, sedangkan orang luar negeri tahu bahwa negeriku berlimpah harta. []



Pegiat PILAS Institute

0 komentar:

Posting Komentar