Random Posts

banner image

Senin, 28 Agustus 2017

Memotivasi dan Menginspirasi Anak-Anak di Pulau Kolorai



 

Catatan TnT 1000 Guru Malut di Kolorai, Kabupaten Pulau Morotai

Anha ini kesempatan belajar, perbanyak tamang deng cari pengalaman. Bayangkan saja orang sebanyak ini kalau ngana dapa dong pe ilmu biar sadiki-sadiki saja itu so bruntung skali!” Kata  Aisa ketika dalam perjalanan dari Sofifi menuju Tobelo, kamis 17 Agustus 2017.

Saya adalah seorang mahasiswa biasa yang sangat bersyukur bisa bergabung di Komunitas 1000 Guru Maluku Utara, untuk ikut traveling and teaching ke 5 di Morotai lebih tepatnya di Pulau Dodola dan Pulau Kolorai untuk memperingati hari ulang tahun Negara Indonesia dan memperingati 5 tahun 1000 Guru menginspirasi. Dalam komunitas 1000 guru, siapa saja boleh jadi guru.  Lewat komunitas inilah saya menjadi tenaga sukarela untuk mengajar yang dikenal dengan relawan atau volunteer, itu adalah cara saya untuk ikut berkontribusi langsung dalam dunia pendidikan di Indonesia dan lebih khususnya lagi di Maluku Utara. Saya dengan segala kekurangan dalam diri, merasa terinspirasi dan sangat termotivasi ketika bertemu dengan mereka para teman-teman relawan yang sangat  luar biasa. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia dan dari berbagai macam latar belakang profesi yang berbeda, bahkan ada yang tinggal di luar negeri karena bekerja dan kuliah (tepuk salut buat mereka).

Ini bukan kali pertama bagi saya menjadi relawan pengajar dalam kegiatan komunitas 1000 guru Maluku Utara, karena pada 2 bulan lalu untuk pertama kalinya 1000 Guru Maluku Utara dalam rangka Bulan Ramadhan memberi kesempatan kepada saya untuk ikut dalam kegiatan Teaching and Giving (TnG) di SD MIN Sasa Kota Ternate. Sedangkan untuk kali ini, kembali diberi kesempatan lagi dari 1000 Guru Malut untuk ikut traveling and teaching (TnT) di satu pulau bernama Kolorai di Kabupaten Morotai. Lalu apa yang berbeda dari TnG dan TnT? 


TnT dan TnG adalah sama-sama program 1000 guru Maluku Utara yang fokus pada pendidikan dasar, dengan merekrut relawan pengajar dari berbagai profesi dengan tujuan memotivasi dan menginspirasi anak-anak kecil agar bercita-cita sebaik mungkin dan terus mau bersekolah. 1000 Guru Maluku Utara memiliki kriteria dalam memilih sekolah yang akan dijadikan sasaran mengajar, yaitu sekolah di pedalaman dan di pulau di Maluku Utara, juga sekolah yang masih kurang mendapat perhatian pemerintah. 

Morotai bukanlah nama baru yang asing di telinga masyarakat Indonesia khususnya para traveller, apalagi bagi saya anak kandung dari Bumi Kie Raha. Tentunya ini bukan pertama kali saya ke Morotai namun ini adalah kesempatan yang ketiga kalinya untuk saya menginjak kaki di bumi Moro. Bagi saya tidak ada namanya kesempatan ke dua, yang ada hanyalah selalu ada kesempatan asalkan kita mau. Kesempatan itulah dapat saya memaknai arti dari sebuah pengalaman, karena pengalaman tak selalu sama seperti kesempatan pertama. Saya bisa saja berkesempatan 1000 kali datang ke Morotai, namun tidak berarti saya akan menemukan 1000 kali pengalaman yang sama. Seperti itulah untuk tiga kalinya ke Morotai, pengalaman yang paling berkesan dan bisa dibilang takkan terulang lagi adalah pengalaman menjadi relawan 1000 Guru Malut.


Banyak hal yang bisa terulang misalnya jika nantinya saya ke Morotai, mengikuti rute perjalanan seperti kami lakukan yaitu naik kapal ferry dari bastiong menuju Sofifi dilanjutkan dengan naik bus ke Tobelo. Kami menginap di Tobelo dan paginya naik speed boat menuju Morotai. Sesampai di Morotai kami menyempatkan waktu mejelajahi peninggalan sejarah perang dunia kedua dan bertemu langsung Pak Muhlis Eso yang super semangat mencintai sejarah, lalu siangnya menempuh perjalanan ke pulau Dodola hingga petang. Setelah dari Dodola kami menuju pulau Kolorai dan menginap di SD kolorai Selama 2 malam dan mengajar di sana lalu besoknya pulang ke Ternate menggunakan pesawat. Kesempatan perjalanan seperti itu bisa saja terjadi dalam hidup saya, namun suasana-nya sudah berbeda. 


Saya mungkin tidak akan lagi melakukan perjalanan dan mengajar bersama orang-orang yang sama seperti pada tanggal 17-20 Agustus 2017, apalagi mengulang cerita tidur bersama mereka, mandi pagi jam 4 di penginapan Tobelo, hingga di Kolorai, kami harus tawaf subuh disepanjang jalan untuk mencari tanda-tanda rumah warga yang pintunya terbuka untuk menumpang mandi. Tidak ada lagi suara aba-aba yang sama untuk mengingatkan waktu makan dan sarapan, tidak ada lagi suara gitar dan nyanyian-nyanyian yang sama. Bahkan kita hanya ingat betul bahwa kami pernah menghabiskan minggu di tepi pantai dengan api unggun yang dibuat susah payah selama satu jam, lalu ada lingkaran manusia yang bernyanyi diringi suara gitar dan deru ombak. Sedang dari belakang lingkaran manusia yang bernyanyi ada relawan yang diam-diam makan jagung rebus dan bernyanyi pelan-pelan mengikuti irama yang ada. Kini yang ada hanya pesan-pesan di group WhatsApp yang masih ramai, namun bisa saja besok atau dua hari kedepan sudah tak ada lagi pesan-pesan yang sama.


Selama tiga hari menyatu di Dunia 1000 Guru malut di Morotai, saya merasa bahwa hidup ini memang belum ada apa-apanya dibanding mereka semua. Saya ibarat bercermin pada segalanya, kepada sesama relawan dan kepada anak-anak Pulau Kolorai. Saya seperti menemukan diri saya yang sebenarnya, menemukan titik kembali pada diri sendiri. Saya seperti berada dalam novel spritual yang berjudul Titik Balik. Novel itu bercerita tentang pengalaman pribadi seorang penulis bernama Rani Rachmani yang menemukan titik kembali dirinya ketika berada di Pulau Kepa Bali. Ketika Rani Rachmani lelah dengan kehidupan pekerjaannya dia memutuskan berlibur di pulau Kepa dan siapa sangka di pulau itu dia belajar mengenali dirinya sendiri, mengenali apa yang sebenarnya dia cari dalam hidup ini. Sama halnya saya yang diam-diam ingin sejenak melupakan tugas akhir sebagai mahasiswa, meskipun sejenak saja dengan mencoba berlibur di pulau yang sudah lama saya inginkan yaitu Dodola dan Kolorai, namun di Kolorai-lah saya menemukan apa yang dicari.


Apakah ini alay dan berlebihan? terserahlah karena seperti itulah kenyataannya. Sejak saya pulang dari Kolorai, saya semakin bersemangat menjadi orang yang lebih baik lagi. Saya semakin bersemangat merencanakan kehidupan di masa depan, saya seperti memiliki hutang untuk hidup lebih baik dari sekarang karena mereka anak-anak Kolorai, anak-anak polos itu yang wajah mereka mengkilat, pemalu namun penuh semangat hidup. Anak-anak yang menjemput kami para relawan dengan sorak gembira, anak-anak yang semangat bercerita tentang Kolorai di halaman sekolah yang gelap gulita. 


Anak-anak yang memilih bertahan di halaman sekolah meskipun disuruh pulang ke rumah masing-masing karena sudah larut malam.  Anak-anak yang mengekor ketika kami para relawan ingin ke pantai, anak-anak yang menawarkan diri untuk bermain bersama. Anak-anak yang ingin lebih dekat lagi dengan kami, bahkan ketika kami pulang mereka masih mengantar kami di jembatan dengan wajah yang sangat polos. Pada akhirnya saya dan relawan lainnya tidak tahu apa yang mereka lakukan setelah kepulangan kami. Semoga saja mereka terus semangat menjalani kehidupan mereka, terus semangat menempuh pendidikan ke jenjang selanjutnya sebagai jembatan untuk mewujudkan cita-cita mereka. 


Saya jadi ingat ketika kami para relawan dipandu berfoto bersama, dan tiba-tiba ada aba-aba “Ayo kita pura-pura bahagia!” kata kakak Talitha Andini Prameswari seorang talent dari Jakarta yang juga seorang Relawan. Tapi siapa sangka, tenyata saya benar-benar bahagia di kampung orang bahkan sampai hari ini masih ingat betul setiap momen di sana. Saya juga masih ingat pesan kakak Jonathan Locanawan, yang ketika telah sampai di Jakarta dia menulis bahwa dia berangkat tanpa ekspektasi dan pulang membawa mimpi. Saya  mengakui bahwa itu benar. Ssaya adalah anak Kampung, anak orang Halmahera asli. Namun bisa bilang Kolorai benar-benar  berbeda dari kampungku, apa yang saya temui di Kolorai tidak saya temui di kampungku. Terimakasih Kolorai ! 

Lewat catatan ini, saya ucapkan terimakasih kepada semua pengurus 1000 Guru Malut dan semua relawan super hebat. Semoga kelak kita tetap satu semangat memajukan pendidikan di Indonesia. Tetaplah semangat[].

Salam sukses selalu dan salam basudara samua.
Salam lima jari !


Relawan Tnt 1000 Guru Malut

 





1 komentar: