Random Posts

banner image

Senin, 28 Agustus 2017

Morotai Daloha












Sumber foto: Dokumentasi Komunitas Seribu Guru Malut


Catatan perjalanan 4 hari bersama Komunitas Seribu Guru Malut

Tanggal 17 agustus 2017 adalah hari dimana kami memulai perjalanan bersama ke utara Maluku Utara, bersama komunitas Seribu Guru Malut. Bukan karena tekanan tertentu sehingga saya menulis catatan ini, melainkan karena kebutuhan pribadi untuk menulis agar kenangan tak hanya bersisa kenangan, yang hanya saya sendiri yang tahu.

Sebagian besar volunteer dan pengurus – kecuali saya, yang menunggu di Sofifi dan beberapa kawan, yang menunggu di Morotai – menempuh perjalanan menyeberangi lautan menuju Sofifi dari Ternate, menggunakan kapal penyeberangan feri dan tiba sekira pukul 6 sore. Kami melanjutkan perjalanan ke Tobelo melalui jalur darat dengan sebuah bus dan empat mobil selama empat jam. Meski malam belum terlalu tua, semua volunteer memutuskan langsung mencari kasur dan terlelap demi memulihkan tenaga untuk perjalanan berkesan yang tak berhenti selama beberapa hari berikutnya.

Dibangunkan pukul empat dini hari untuk bergantian mandi dan berkemas, kami bertolak dari Tobelo menyeberangi Selat Morotai menuju tempat tujuan kegiatan Travelling and Teaching dilaksanakan. Morotai, sebuah pulau indah nan eksotis yang membuat saya tidak bisa move on sejak 2011 ini begitu menggiurkan, seumpama berlian bagi pecinta batu mulia dan buku baru terbit bagi pecinta buku. Setiap butiran pasir, matahari (yang menurut saya seolah diberi satu untuk seorang hehe), gugusan pulau, pepohonan bakau, pinus dan pandan hutannya, udang dan lobsternya, bahkan pada setiap sejarah baik lisan maupun tulisan yang bagi saya jadi candu. Entahlah, mungkin karena saya punya sedikit kenangan di sana yang lama kelamaan jadi cinta. 

Matahari yang perlahan naik di langit timur Tobelo mengusir kantuk, kami menyeberang dengan dua speed boat dan aroma khas air laut menyeruak dari celah jendela speed boat yang dibiarkan terbuka membuai harapan baru. Speed boat melaju ke arah timur seperti menyongsong matahari, meski tak lama keheningan membuai kantuk dan membuat semua penumpang – kecuali motoris, tentu saja – kembali terlelap. Tiba di Morotai, kami menuju Museum Trikora dan setelah menunggu beberapa saat kami disambut Bapak Muchlis Eso, seorang tetua Morotai yang bercerita banyak sekali tentang sejarah Morotai selama Perang Dunia II berlangsung. Morotai yang dahulu jadi primadona, sebelum Belanda dan sekutu memindahkan tampuk kekuasaannya ke Batavia, adalah tempat bersejarah dan berdarah. 

Sejarah yang berdarah
Meski sejarah hanya tinggal sejarah, tetapi kita perlu mendengarkan dan mengetahui berbagai versi sejarah agar pengetahuan sejarah kita tak melulu jadi bias. Bersama beberapa kawan, Muhlis Eso menggiatkan pengumpulan barang–barang sisa perang ag bisa diteruskan dalam bentuk lisan dengan bukti  kepada pemuda Morotai dan Indonesia, bahwa Morotai pernah jadi tempat stategis direncanakannya dan dilaksanakannya berbagai stategi perang sekutu melawan Jepang. Adalah jenderal Douglas MacArthur (lahir 26 Januari 1880 – meninggal 5 April 1964 pada usia 84 tahun) adalah jenderal dan marsekal lapangan bintang lima asal Amerika dari Angkatan Darat Filipina.* Menjadikan Pulau Zum–Zum sebagai tempat tinggal sementara PD II berlangsung, Mac Arthur memainkan peran besar dan penting dalam teater pasifik dan memerawani Morotai. Menumpahkan darah di segala penjuru Morotai dan menyisakan cerita yang tak akan pernah mati selama masih ada literatur sejarah dan pengiat sejarah seperti Muchlis Eso dan kawan–kawannya. 
Bercerita dengan berapi–api, Muhlis Eso adalah sosok lelaki yang sangat ramah, menjadikan semangat berbagi sebagai pegangan hidup, ia keukeuh mengumpulkan berbagai barang peninggalan PD II dan memajangnya di kediaman yang disulap jadi museum pribadi. Boleh dikata, Muhlis Eso adalah kolektor benda bersejarah dengan tujuan termulia yang tak tergiur unsur komersiil. Selain bercerita banyak tentang sejarah semasa PD II, beliau juga bercerita tentang suku asli yang mendiami Pulau Morotai yakni suku Galela–Tobelo dan tentu saja Orang Moro. Karena saya lupa–lupa ingat tentang cerita beliau tentang penduduk asli Morotai, saya bisa merekomendasikan sebuah novel sejarah yang ditulis Y.B Mangunwijaya berjudul “Ikan–Ikan Hiu, Ido, Homa” yang diterbitkan oleh Djambatan tahun 1987 dan diterbitkan kembali oleh Penerbit Buku Kompas pada 2015. Novel sejarah ini, sebagaimana tertulis pada sinopsis di sampul belakang buku, adalah novel sejarah yang menggabungkan catatan kebudayaan masyarakat Halmahera, kehidupan lintas generasi dari suku Tobelo, dan menyimpulkannya dalam satu benang merah : semangat kepahlawanan dan keberanian masyarakat dalam menghadapi penguasa dan bangsa kolonial. 
Melanjutkan perjalanan ke Air Kaca di Totodoku saat matahari sepenggalah naik, kami disuguhi cerita sejarah lainnya –sebagai teman sarapan bubur kacang ijo– tentang Air Kaca. Mata air yang dipercaya tersambung ke Laut Morotai melalui lorong bawah air ini, adalah tempat mandi para pembesar perang pihak sekutu, berdasar cerita dari teman pak Muchlis Eso –yang maaf, saya lupa nama beliau– mata air ini dinamai Air Kaca karena para penduduk hanya bisa melakukan komunikasi dengan Orang Moro melalui mata air ini. Jika beruntung Orang Moro –yang bisa dikenali dengan tidak ada filtrum atau lekukan di bawah hidung– akan muncul seumpama bayangan di permukaan air untuk berkomunikasi. Dewasa ini, cerita lisan ini semakin berbumbu dengan ditambahkannya cerita tentang barang siapa yang mencuci muka dan menampak bayangannya di permukaan akan berjodoh dengan pasangannya yang sekarang. Hmm.. semoga.
Setelah sesi berfoto dan cuci muka di Air Kaca, kami bergeser ke Juanga tempat pak Muchlis Eso menggelar segala jenis barang peninggalan sejarah di kediaman pribadinya. Di sini kami bisa menemukan pengetahuan besar tentang sejarah PD II dalam skala tempat kediaman yang bersahaja.  Tak urung perjalanan travelling dan teaching sesi 5 bersama Komunitas Seribu Guru Malut ini jadi berharga, sebab tidak setiap yang berharga harus dalam bentuk benda, bukan?
Perjalanan wisata sejarah kami berakhir saat shalat jumat dan makan siang bersama di taman kota Daruba yang berhias huruf–huruf besar bertuliskan Morotai Daloha.
***
Bertolak ke Pulau Dodola, kami diberi kebebasan meng–eksplore seluruh bagian darat dan laut pulau berpasir putih ini, tentu saja setelah sesi foto–foto bersama yang mengharuskan lari–lari kecil mengejar drone (bukan mengejar matahari hehe), membentuk angka 5 –angka ini sarat makna, bagi Komunitas Seribu Guru Malut, angka 5 atau salam 5 jari bermakna setiap orang bisa jadi guru sekaligus merayakan hari jadi komunitas ini yang ke 5, sedang bagi saya yang bekerja pada isu perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan salam 5 jari berarti salam perlindungan anak–, diminta memandang ke langit dan berhalo–halo ria ke drone yang sontak menimbulkan gelegak tawa.

Mengajar tanpa RPP 
Menjadi rajin, bangun pagi dan mandi lebih awal dari biasanya jadi kebiasaan selama 4 hari mengikuti kegiatan ini. Meski kurang tidur, semangat mengajar tak membuat satupun dari kami mengeluh. Kami memulai kegiatan mengajar pada 19 agustus 2017 dengan upacara bendera untuk memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia ke 72, di halaman SD Inpres Koloray, satu–satunya sekolah dasar di Pulau Koloray, Kabupaten Pulau Morotai.
Pulau Koloray adalah pulau di Kecamatan Morotai Selatan dengan topografi pulau yang landai.**  Dahulu pada 2011 saat PILAS Institute melakukan Baseline Survey selama 2 minggu di sini –saya ditempatkan di Pulau Galo–Galo, tanjung di belakang SD Inpres dipenuhi pohon pinus yang menjulang tinggi dan hijau, saat pendampingan Eco Climate Village bersama Samdhana Institute pada 2013 pohon pinus sudah mulai kering di beberapa tempat, dan pada 2017 kami disuguhi pemandangan gersang yang hanya menyisakan pangkal–pangkal pohon sisa penebangan, hal ini bisa saja disebabkan naiknya air laut ke pantai yang dahulu dibentengi talud ini.*** 
Kembali ke proses mengajar tanpa RPP, pada briefing sebelum mengajar para volunteer dibagi kedalam 6 kelas dan hanya mengajarkan materi tentang Pancasila, pengenalan berbagai profesi, dan bencana alam serta pemberian motivasi agar para siswa–siswi tetap memiliki asa dan  cita–cita dalam diri. Penekanan melalui diksi diselingi ice breaking dipilih sebagai metode efektif agar para siswa tidak bosan dan tetap semangat belajar meski kelas digelar di luar ruangan, karena ruangan kelas digunakan sebagai tempat tidur para volunteer perempuan. 
Pertama kali mengikuti kegiatan teaching ini sedikit banyak memberi saya semangat baru dalam menjalani hidup, sekaligus memberi saya semangat untuk berbagi. Jika selama ini yang kami lakukan adalah kajian teori yang berat dan kaku, maka saya menemukan nafas baru dalam berbagi pengetahuan. Seumpama sastra yang memberi saya perspektif baru, kala suntuk dengan buku teori dan rutinitas pekerjaan yang makin lama makin membosankan. Travelling dan teaching bersama komunitas ini bisa jadi alternatif berbagi semangat dan inspirasi dengan anak–anak dan orang–orang yang sangat peduli pada pendidikan di pedalaman Indonesia. Bertemu orang baru lalu berkawan, bertemu pak Muchlis Eso dan kawan, bertemu para murid, memperoleh dan berbagi pengetahuan, bertukar pengalaman, dan berjumpa dengan Talita kecil yang memesona dengan tingkah seriusnya saat menonton proses mengajar kelas 5 dan kelas 6 yang kebetulan digelar di luar ruang kelas, adalah hal yang paling membahagiakan bagi saya, dan pastinya membuat saya semakin susah move on dari Morotai. 
Saya angkat topi untuk Komunitas Seribu Guru Malut, salam lima jari, salam perlindungan anak dan salam cerdas berfikir, santun bersikap. Sukur dala-dala.

Tidore, 27 Agustus 2017

ket:
*sumber wikipedia
**ppk–kp3k.kkp.go.id
*** sumber media sosial Asniar Wahab 












1 komentar: