Random Posts

banner image

Selasa, 21 November 2017

Halimah Pulang Sekolah


Ibu dan bapaknya dikandung Halmahera. Ia mewarisi hidung seperti tanjung Bongo dari bapaknya, dan mata yang dalam pemberian danau Duma dari ibunya. Sedangkan, hatinya dari laut Halmahera. Dekat ke daratan, ada karang yang muncul ke permukaan, lebih jauh akan tersembunyi karang-karang itu. Hanya akan memberi tanda jika musim gelombang. Para nelayan lebih akrab dengan hatinya Halimah.

Ia besar tanpa sendal. Selalu penuh daki dari kaki hingga paha. Kuku kaki apalagi. Selain Panjang juga terselip daki yang sedikit lagi mungkin akan membiru. Hidung yang ia warisi dari bapaknya itu mancung, dan ia biarkan ingus meleleh bebas. Tak ia risaukan apalagi ketika sedang asik bermain boi. Ia hanya peduli jika ada teman yang meledek atau ketika bibirnya sudah sedikit berasa asin.

Halima yaaa, ngana pe ingus itu” dengan pergelangan tangan kiri, ia cekatan menghapus dengan cara menarik pergelangan tangganya dari kanan ke kiri. Hilang, tetapi  membekas tipis hingga ujung bibir. 

Ia akan mengadu pada ayahnya jika tidak diajak bermain. Iya manja dan manis seperti ibunya dan disayang oleh ayahnya.

Selepas mandi, ia selalu duduk manis di dipan rumah. Sembari menunggu magrib, dia juga memasang telinga mendengarkan suara ibu Hayati menjajakan sagu gula merah. Itu penganan kesukannya, ia akan merajuk, jika tak dibelikan. Jika dibuatkan sendiri oleh ibunya, ia rela disuruh sana-sini. Asalkan porsinya sedikit lebih banyak.

Tetapi itu dulu, Halimah kini bukan lagi gadis kecil dengan bedak giling. Ia punya pilihan bodi lotion, shampoo, sabun, sumengken dan bedak herocin. Ampas kelapa, dan akar pohon yang waktu dulu jadi andalan untuk keramas sudah tidak lagi. Bedak giling yang dulu ia selalu pakai sebelum ke kebun bersama ayahnya sudah tidak lagi membungkus wajahnya yang manis. Kini, Ia sudah lebih wangi, wangi anak kota. Tetapi ia tetap cantik mirip ibunya.

Tidak ada lagi daki. Kakinya sudah ditutupi pakaian yang lebih panjang. Jika hatinya sedang senang-senangnya, motifnya bola bola atau bunga-bunga. Dan jika sedang bertengkar marah pada Rahul, maka motifnya biru laut, bukan biru awan. Jilbabnya banyak warna, ada merah, biru, kuning, dan juga bunga-bunga, dan bola-bola. Tetapi, ia lebih suka warna merah sejak kenal dengan Rahul.

Enam tahun sudah ia menjalin kasih dengan Rahul. Mereka bertemu ketika masih duduk di bangku kuliah di Semarang. Halimah di Fakultas Psikologi dan Rahul di Jurusan Filsafat. Ketika itu, tidak hujan rintik-rintik, tidak juga ada purnama, tidak juga ada bunga-bunga mekar di sekeliling masjid raya. Tetapi keduanya tiba-tiba berpapasan, dan berkenalan. Seperti malaikat turut campur. Mekarlah hati masing masing.

Masjid tidak ingin jadi saksi, tetapi apa mau dikata. Masjid yang hanya selalu siap menerima Jemaah datang melantunkan doa itu, mereka jadikan saksi bisu dengan dzikir dan doa. Halimah dari hati yang biru, ia hempaskan asah dan Rahul dengan niat tulus, bertemu birunya cinta Halima. Bergandengan hilang melewati kubah hingga di ujung alif mesjid raya. Lalu hujan tiba-tiba rintik-rintik dan angin datang sepoi-sepoi, burung-bururng merpati beterbangan.

Semejak lulus kuliah, mereka jarang bertemu. Halimah di Galela dan Rahul di Tobelo. Namun, ia selalu berasa Rahul ada di sampingnya, baunya bisa tercium, dan hatinya yang biru itu serasa menyentuh tanah yang sedang dipijaki Rahul. Hatinya bergetar. Akan tetapi, bukan itu yang dia inginkan. Bukan pula puisi yang selalu dikirimkan Rahul. Dalam hati, ia ingin segera dipinang.

Magrib itu tidak ada hujan, apalagi rindu, hanya ada kopi hitam yang ia seduh sejak siang. Sudah sejak lama, sejak semester awal kuliah, Halimah sudah gemar ngopi. Tetapi kali ini lebih pahit dari biasanya. Entahlah, mungkin hanya karena perasaannya atau ia salah menakar. Dan mungkin karena janji yang kian belum ditepati Rahul.

Akhirnya, mereka bisa bertemu di suatu sore. Bukan rabu tetapi sabtu. Bukan di padang bunga, bukan pula di masjid raya, tetapi di pantai Luari. Pasirnya putih dan pantainya jernih. Pohon di sepajang pantai itu menyejukkan. Halima duduk memandang hatinya, sedangkan Rahul menatap luas laut yang membiru.

“Ka Ul, setiap kali torang datang baleleyan tu orang dong bilang, Halima jangan talalu baleleyan lagi la orang lain baleleyan di ngana pe acara lagi” kisah Halima.

“yo kai Mangena na kia manyawa ?” tanya Rahul memastikan.

manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela Manyawa” jawab Halimah pelan

“ dorang dua galela-tobelo makanya nikah adat. Jadi banyak yang harus perempuan siapkan”

Halimah mulai munghitung. “banyak. Bahan-bahan dapur, rica, garam, tomat, kuning, goraka, lengkuas, gula, kopi, teh, beras. Ada juga nasi brinji, nasi jaha, wajik, wajik bobootene, beras kue basah, kue kering, ikan mentah, ikan masak, kompor, parang, pisau, wajan, dandang, rak piring, piring, gelas, sendok, garpu, gata-gata sosiru, tikar, kasur, tempat tidur, bantal, seprei, kain, lemari pakaian, lemari maknan” hitung Halimah.

Semua yang dihitung Halimah membuat Rahul sesak napas.

“sebanyak itu untuk apa Halima ?”

“itu semua dibeli dan dibuat oleh keluarga perempuan dan nanti dibawa pengantin perempuan ke rumah laki-laki untuk kebutuhan sehari-hari pengantin dan keluarga”

“jang lupa kasih banyak kopi e” Rahul memecah suasana sore.


Mereka pulang. Tetapi dalam hati Halimah masih tersimpan keinginan harus tetap menikah adat karena ibu dan ayahnya Galela-Tobelo.




                 Jf. Upik












Ket:
Boi=permainan tradisional Maluku Utara, dimainakan menggunakan batok kelapa dan bola
Sagu gula merah=penganan khas Maluku Utara, terbuat dari singkong yang campur gula aren dan dipanggang menggunakan forno
Sumengken=lipstik
Torang/tong = kita
baleleyan = membantu
ngana= kamu
yo kai Mangena na kia manyawa = yang nikah itu orang mana
manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela= laki-laki orang Tobelo, perempuan orang Galela
nasi jaha = makanan khas Maluku Utara, terbuat dari beras ketan yang dimasak menggunakan bambu
 bobootene= sejenis gandum
sosiru=alat tradisional yang dianyam dari bambu, biasanya digunakan untuk membersihkan beras.
Gata-gata=sepit

0 komentar:

Posting Komentar