Ibu dan bapaknya dikandung Halmahera. Ia mewarisi hidung seperti tanjung Bongo dari bapaknya, dan mata yang dalam pemberian danau Duma dari ibunya. Sedangkan, hatinya dari laut Halmahera. Dekat ke daratan, ada karang yang muncul ke permukaan, lebih jauh akan tersembunyi karang-karang itu. Hanya akan memberi tanda jika musim gelombang. Para nelayan lebih akrab dengan hatinya Halimah.
Ia
besar tanpa sendal. Selalu penuh daki dari kaki hingga paha. Kuku kaki apalagi.
Selain Panjang juga terselip daki yang sedikit lagi mungkin akan membiru. Hidung
yang ia warisi dari bapaknya itu mancung, dan ia biarkan ingus meleleh bebas. Tak
ia risaukan apalagi ketika sedang asik bermain boi. Ia hanya peduli jika ada teman yang meledek atau ketika
bibirnya sudah sedikit berasa asin.
“Halima yaaa, ngana pe ingus itu” dengan
pergelangan tangan kiri, ia cekatan menghapus dengan cara menarik pergelangan
tangganya dari kanan ke kiri. Hilang, tetapi
membekas tipis hingga ujung bibir.
Ia
akan mengadu pada ayahnya jika tidak diajak bermain. Iya manja dan manis
seperti ibunya dan disayang oleh ayahnya.
Selepas
mandi, ia selalu duduk manis di dipan rumah. Sembari menunggu magrib, dia juga
memasang telinga mendengarkan suara ibu Hayati menjajakan sagu gula merah. Itu penganan kesukannya, ia akan merajuk, jika tak
dibelikan. Jika dibuatkan sendiri oleh ibunya, ia rela disuruh sana-sini. Asalkan
porsinya sedikit lebih banyak.
Tetapi
itu dulu, Halimah kini bukan lagi gadis kecil dengan bedak giling. Ia punya
pilihan bodi lotion, shampoo, sabun, sumengken dan bedak herocin. Ampas kelapa, dan akar pohon yang
waktu dulu jadi andalan untuk keramas sudah tidak lagi. Bedak giling yang dulu
ia selalu pakai sebelum ke kebun bersama ayahnya sudah tidak lagi membungkus
wajahnya yang manis. Kini, Ia sudah lebih wangi, wangi anak kota. Tetapi ia
tetap cantik mirip ibunya.
Tidak
ada lagi daki. Kakinya sudah ditutupi pakaian yang lebih panjang. Jika hatinya sedang
senang-senangnya, motifnya bola bola atau bunga-bunga. Dan jika sedang
bertengkar marah pada Rahul, maka motifnya biru laut, bukan biru awan. Jilbabnya
banyak warna, ada merah, biru, kuning, dan juga bunga-bunga, dan bola-bola. Tetapi,
ia lebih suka warna merah sejak kenal dengan Rahul.
Enam
tahun sudah ia menjalin kasih dengan Rahul. Mereka bertemu ketika masih duduk
di bangku kuliah di Semarang. Halimah di Fakultas Psikologi dan Rahul di
Jurusan Filsafat. Ketika itu, tidak hujan rintik-rintik, tidak juga ada
purnama, tidak juga ada bunga-bunga mekar di sekeliling masjid raya. Tetapi
keduanya tiba-tiba berpapasan, dan berkenalan. Seperti malaikat turut campur.
Mekarlah hati masing masing.
Masjid
tidak ingin jadi saksi, tetapi apa mau dikata. Masjid yang hanya selalu siap
menerima Jemaah datang melantunkan doa itu, mereka jadikan saksi bisu dengan
dzikir dan doa. Halimah dari hati yang biru, ia hempaskan asah dan Rahul dengan
niat tulus, bertemu birunya cinta Halima. Bergandengan hilang melewati kubah
hingga di ujung alif mesjid raya. Lalu hujan tiba-tiba rintik-rintik dan angin
datang sepoi-sepoi, burung-bururng merpati beterbangan.
Semejak
lulus kuliah, mereka jarang bertemu. Halimah di Galela dan Rahul di Tobelo. Namun,
ia selalu berasa Rahul ada di sampingnya, baunya bisa tercium, dan hatinya yang
biru itu serasa menyentuh tanah yang sedang dipijaki Rahul. Hatinya bergetar. Akan
tetapi, bukan itu yang dia inginkan. Bukan pula puisi yang selalu dikirimkan Rahul.
Dalam hati, ia ingin segera dipinang.
Magrib
itu tidak ada hujan, apalagi rindu, hanya ada kopi hitam yang ia seduh sejak
siang. Sudah sejak lama, sejak semester awal kuliah, Halimah sudah gemar ngopi.
Tetapi kali ini lebih pahit dari biasanya. Entahlah, mungkin hanya karena perasaannya
atau ia salah menakar. Dan mungkin karena janji yang kian belum ditepati Rahul.
Akhirnya,
mereka bisa bertemu di suatu sore. Bukan rabu tetapi
sabtu. Bukan di padang bunga, bukan pula di masjid raya, tetapi di pantai
Luari. Pasirnya putih dan pantainya jernih. Pohon di sepajang pantai itu
menyejukkan. Halima duduk memandang hatinya, sedangkan Rahul menatap luas laut
yang membiru.
“Ka
Ul, setiap kali torang datang baleleyan tu orang dong bilang, Halima jangan talalu
baleleyan lagi la orang lain baleleyan
di ngana pe acara lagi” kisah Halima.
“yo
kai Mangena na kia manyawa ?” tanya Rahul
memastikan.
“manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela
Manyawa” jawab Halimah pelan.
“ dorang
dua galela-tobelo makanya nikah adat. Jadi banyak yang harus perempuan siapkan”
Halimah
mulai munghitung. “banyak. Bahan-bahan dapur, rica, garam, tomat, kuning, goraka, lengkuas, gula, kopi, teh, beras.
Ada juga nasi brinji, nasi jaha,
wajik, wajik bobootene, beras kue
basah, kue kering, ikan mentah, ikan masak, kompor, parang, pisau, wajan, dandang,
rak piring, piring, gelas, sendok, garpu, gata-gata
sosiru, tikar, kasur, tempat tidur,
bantal, seprei, kain, lemari pakaian, lemari maknan” hitung Halimah.
Semua
yang dihitung Halimah membuat Rahul sesak napas.
“sebanyak
itu untuk apa Halima ?”
“itu
semua dibeli dan dibuat oleh keluarga perempuan dan nanti dibawa pengantin
perempuan ke rumah laki-laki untuk kebutuhan sehari-hari pengantin dan
keluarga”
“jang
lupa kasih banyak kopi e” Rahul memecah suasana sore.
Mereka
pulang. Tetapi dalam hati Halimah masih tersimpan keinginan harus tetap menikah
adat karena ibu dan ayahnya Galela-Tobelo.
Ket:
Boi=permainan tradisional Maluku Utara, dimainakan
menggunakan batok kelapa dan bola
Sagu gula merah=penganan
khas Maluku Utara, terbuat dari singkong yang campur gula aren dan dipanggang menggunakan
forno
Sumengken=lipstik
Torang/tong
= kita
baleleyan = membantu
ngana= kamu
yo kai Mangena na kia manyawa = yang nikah itu orang mana
manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela= laki-laki orang Tobelo, perempuan orang Galela
nasi jaha
= makanan khas Maluku Utara, terbuat dari beras ketan yang dimasak menggunakan
bambu
bobootene= sejenis gandum
sosiru=alat
tradisional yang dianyam dari bambu, biasanya digunakan untuk membersihkan beras.
Gata-gata=sepit
0 komentar:
Posting Komentar