Random Posts

banner image

Selasa, 07 November 2017

Stasiun Tugu dan Bayang Tak Berwajah


foto: Jf. Upik

Kereta api yang melaju meninggalkan stasiun menjadikan siluet benda-benda seolah bergerak dengan kecepatan tetap di luar jendela, meninggalkan ilusi bahwa sesungguhnya yang bergerak bukanlah keretanya melainkan benda-benda dalam perputaran bumi dengan hanya melipatgandakan kecepatan cahaya. Bangku kereta api kelas ekonomi dari Bandung tak sepenuhnya terisi, sebab ini memang masih awal hari bahkan bayang-bayang benda pada tanah di luar kaca kereta juga belum nampak benar. 

Semburat jingga di ufuk timur baru nampak setengah jam setelah kereta api meninggalkan Bandung, menampakkan mega seumpama bayang manusia yang mengejek setidaknya bagi si lelaki asing. Lelaki dengan wajah garang dan mata merah yang tak terpejam sejak tiga hari lalu, duduk tepat di seberang jendela kereta api. Matanya menerawang, seperti tak ingin mengerjap seperti memiliki penglihatan yang menembus setiap benda berilusi bergerak di luar kaca kereta.

Ia melirik mega pada langit pagi, masih seperti bayang manusia dengan ekspresi mencibir yang menatap dengan cahaya menggoda pada matanya. Seolah menyimpan tanya, duh apa gerangan yang membuatmu lari orang asing?
Seorang petugas berjalan masuk dari pintu gerbong untuk mengecek tiket kereta masing-masing penumpang, seorang lelaki yang lelap bangun dengan tergagap lantas meraih saku bajunya. Sudahkah akan masuk ke stasiun berikutnya? Lalu petugas itu sampai padanya, si lelaki asing melirik sekilas dengan senyum hambar dan melambaikan tiket kereta di depan hidung petugas yang lantas menghilang ke gerbong berikutnya. Betapa ironi, bahwa kendaraan peninggalan Belanda ini masih setia menjadi saksi bisu perlakuan yang sama pada setiap calon penumpang. Dahulu gerbong kelas ekonomi adalah gerbong di mana manusia pribumi bukan priyayi ditempatkan tidak secara terpisah dengan berjenis-jenis hewan, seolah tidak ada lagi tempat yang lebih layak bagi bukan priyayi selain gerbong mirip kandang.

Bayang-bayang masih berlari di luar kereta, dan matahari telah benar-benar bangun dari peraduannya. Lelaki asing yang sendirian itu menarik nafas, pemandangan di luar adalah sawah sepanjang mata memandang, atau sependek kaca kereta. Siluet seorang perempuan, entah muda atau tua, berjalan pada pematang dengan menjinjing seceret air dan menggendong bakul, yang entah pula apa isinya. Perempuan, betapa mahluk pendamping Adam itu mampu menciptakan luka.

Kaca jendela menampakkan bayang tak berwajah sebuah adegan dari kepala si lelaki asing, yang secara refleks langsung mengerjapkan matanya beberapa kali lalu meluruskan duduknya. Kumaha Eta? Ada apa dengan mataku?!  Adegan di kaca jendela berlanjut, seperti film hitam putih yang diproyeksikan pada dinding, ia hanya menampakkan bayang tanpa wajah, bayang yang menancapkan kuasa.

Dua bayang lelaki beradu mulut, bayang lelaki tua menggebrak-gebrak meja dengan tak sabar dan bayang lelaki muda balas menggebrak meja sambil berdiri, diantara keduanya ada bayang seorang perempuan yang terisak-isak. Adegan berganti, menjadi bayang benda langit dengan sayap kokoh yang meninggalkan bayang bertuliskan Bandara Babullah dan menyongsong tulisan Bandara Husein Sastranegara. Aah, dua tahun lalu. Itu dua tahun lalu, bagaimana bisa muncul seperti film pendek pada kaca kereta pula!  Lelaki asing itu berteriak tertahan meski ia paham bahwa selamanya kenangan akan seperti bayangan, mengikuti kemana saja pemiliknya pergi.
***

Perempuan bermata coklat dengan senyum menenangkan itu terisak, ia menghapus air mata dengan ujung lengan daster coklat yang dikenakannya. Tak mudah berdiri di posisinya sekarang, berada tepat di antara kedua lelaki yang dikasihinya, di antara kedua lelaki yang sama-sama menunjukkan taring kemarahan. Kedua lelaki yang tak asing sama sekali bagi hidupnya, lelaki yang menghidupinya dan dihidupinya, yang menghisap sari tubuhnya untuk tetap hidup.

Mata coklatnya kelabu, genangan air mata membentuk tetesan pada dada bajunya lalu menderas hingga basah. Ia menatap kedua lelaki itu dengan harap, hentikan pertikaian ini! Tidak bisakah jika kalian berdua duduk dan berbicara dengan kasih seperti yang selama ini aku lakukan?!  Tapi suara itu hanya ada dalam kepalanya, sebab kedua lelaki nya kembali saling meninggikan suara dan menggebrak meja.

Yang tua berbicara tentang adab dan sopan santun yang tak ditunjukan lelaki muda, dan lelaki muda berbalik menyerang yang tua dengan segelumit masalah yang muncul dari ego tua. Ego tua yang mempertahankan kebenaran bagi diri sendiri, yang mencari alasan untuk membenarkan sikapnya. Ego tua yang ditentang si lelaki muda bukan cuma soal harga diri melainkan juga soal prinsip, tentang mana benar mana salah, tentang ajaran yang sesungguhnya. Perempuan bermata coklat semakin terisak, dihadapannya dua lelaki nya tak ada yang berniat mengalah.

Si lelaki muda meninju meja dengan keras sebelum pergi dan meninggalkan pintu membanting di belakang. Aaah, ternyata ia benar-benar meninju dinding gerbong kereta yang ditumpanginya, di bangku seberang seorang perempuan muda yang entah naik di stasiun mana, menatap heran. Matanya seolah berbicara, anda baik-baik saja?  Dan si lelaki melirik pada proyeksi di kaca kereta yang telah menghilang dengan tak senang.

Pikirannya kembali bercabang, ia melesat dalam kereta yang menuju kedepan sedang ingatannya melesat cepat kebelakang, menuju kota yang ditinggalkannya beberapa jam lalu. Lelaki asing itu bersidekap seperti orang diserang udara dingin padahal di luar kereta matahari sedang terik-teriknya. Bayang si lelaki tua yang marah mengikutinya hingga sudut tergelap hatinya, lantas mengendap dan menjadi tanda, bahwa padanya ada bara yang siap menyala.

Diliriknya sekilas perempuan muda di seberang bangku yang sekarang sibuk dengan gadget nya, setiap orang punya urusan sendiri setiap orang punya kemarahan sendiri setiap orang punya bayang-bayang nya sendiri. Dihembuskan nafasnya dengan keras, lalu kembali beralih pada kaca jendela kereta, saat memasuki terowongan gelap bayang wajahnya pada kaca kereta membuatnya kaget, betapa wajah itu lebih tua dari usia sebenarnya.

Aku dan wajah yang kelam karena tempaan masalah hidup, batin si lelaki asing, semoga saja usiaku dan masalahku adalah berkah hidupku. Gelap menjadi terang dan hijau, sebab kereta telah melewati terowongan dan melaju di antara persawahan pedesaan, bayang wajahnya di kaca kereta menjadi berubah. Aah, ilusi. Ia menutup mata yang tak mau terpejam sejak tiga hari lalu, memaksakan kehendaknya. Sayang sekali, otaknya tidak menuruti keinginan matanya.

Penumpang silih berganti menempati bangku di sebelah dan di seberangnya, seperti proyektor yang menampilkan slide episode hidup yang diputar tiga kali lebih cepat,  sesaat ia seperti mengalami deja vu.

Stasiun Tugu di depannya, ia turun dengan menyandang ransel berat yang tak terasa berat dibanding beban pada pundaknya, pada otaknya pada hatinya. Pada bangku panjang dekat pintu keluar, seorang perempuan muda berjilbab duduk menantinya dengan senyum dikulum. Aah, perempuan ini. Bisakah ia menjadi masa depan yang kelak ku songsong? Bisakah ia menjadi bayang terang yang menggenapi bayang tak berwajah yang selalu mengikutiku?   Si lelaki berjalan menyongsong perempuan muda yang kini berdiri dengan tangan terentang. Bisakah? Sebab bayang itu bernama ayah.


Sofifi, Maluku Utara, 01-02 Februari 2016


Bekerja di PILAS Institute


0 komentar:

Posting Komentar