foto: Jf. Upik
Semburat
jingga di ufuk timur baru nampak setengah jam setelah kereta api meninggalkan
Bandung, menampakkan mega seumpama bayang manusia yang mengejek setidaknya bagi
si lelaki asing. Lelaki dengan wajah garang dan mata merah yang tak terpejam sejak
tiga hari lalu, duduk tepat di seberang jendela kereta api. Matanya menerawang,
seperti tak ingin mengerjap seperti memiliki penglihatan yang menembus setiap
benda berilusi bergerak di luar kaca kereta.
Ia
melirik mega pada langit pagi, masih seperti bayang manusia dengan ekspresi
mencibir yang menatap dengan cahaya menggoda pada matanya. Seolah menyimpan
tanya, duh apa gerangan yang membuatmu lari orang asing?
Seorang
petugas berjalan masuk dari pintu gerbong untuk mengecek tiket kereta
masing-masing penumpang, seorang lelaki yang lelap bangun dengan tergagap
lantas meraih saku bajunya. Sudahkah akan masuk ke stasiun berikutnya? Lalu
petugas itu sampai padanya, si lelaki asing melirik sekilas dengan senyum
hambar dan melambaikan tiket kereta di depan hidung petugas yang lantas
menghilang ke gerbong berikutnya. Betapa ironi, bahwa kendaraan peninggalan
Belanda ini masih setia menjadi saksi bisu perlakuan yang sama pada setiap
calon penumpang. Dahulu gerbong kelas ekonomi adalah gerbong di mana manusia pribumi
bukan priyayi ditempatkan tidak secara terpisah dengan berjenis-jenis hewan,
seolah tidak ada lagi tempat yang lebih layak bagi bukan priyayi selain gerbong
mirip kandang.
Bayang-bayang
masih berlari di luar kereta, dan matahari telah benar-benar bangun dari
peraduannya. Lelaki asing yang sendirian itu menarik nafas, pemandangan di luar
adalah sawah sepanjang mata memandang, atau sependek kaca kereta. Siluet
seorang perempuan, entah muda atau tua, berjalan pada pematang dengan
menjinjing seceret air dan menggendong bakul, yang entah pula apa isinya.
Perempuan, betapa mahluk pendamping Adam itu mampu menciptakan luka.
Kaca
jendela menampakkan bayang tak berwajah sebuah adegan dari kepala si lelaki
asing, yang secara refleks langsung mengerjapkan matanya beberapa kali lalu
meluruskan duduknya. Kumaha Eta? Ada apa dengan mataku?! Adegan di kaca jendela berlanjut, seperti
film hitam putih yang diproyeksikan pada dinding, ia hanya menampakkan bayang
tanpa wajah, bayang yang menancapkan kuasa.
Dua
bayang lelaki beradu mulut, bayang lelaki tua menggebrak-gebrak meja dengan tak
sabar dan bayang lelaki muda balas menggebrak meja sambil berdiri, diantara
keduanya ada bayang seorang perempuan yang terisak-isak. Adegan berganti,
menjadi bayang benda langit dengan sayap kokoh yang meninggalkan bayang
bertuliskan Bandara Babullah dan menyongsong tulisan Bandara Husein
Sastranegara. Aah, dua tahun lalu. Itu dua tahun lalu, bagaimana bisa muncul
seperti film pendek pada kaca kereta pula!
Lelaki asing itu berteriak tertahan meski ia paham bahwa selamanya
kenangan akan seperti bayangan, mengikuti kemana saja pemiliknya pergi.
***
Perempuan
bermata coklat dengan senyum menenangkan itu terisak, ia menghapus air mata
dengan ujung lengan daster coklat yang dikenakannya. Tak mudah berdiri di
posisinya sekarang, berada tepat di antara kedua lelaki yang dikasihinya, di
antara kedua lelaki yang sama-sama menunjukkan taring kemarahan. Kedua lelaki
yang tak asing sama sekali bagi hidupnya, lelaki yang menghidupinya dan
dihidupinya, yang menghisap sari tubuhnya untuk tetap hidup.
Mata
coklatnya kelabu, genangan air mata membentuk tetesan pada dada bajunya lalu
menderas hingga basah. Ia menatap kedua lelaki itu dengan harap, hentikan
pertikaian ini! Tidak bisakah jika kalian berdua duduk dan berbicara dengan
kasih seperti yang selama ini aku lakukan?!
Tapi suara itu hanya ada dalam kepalanya, sebab kedua lelaki nya kembali
saling meninggikan suara dan menggebrak meja.
Yang tua
berbicara tentang adab dan sopan santun yang tak ditunjukan lelaki muda, dan
lelaki muda berbalik menyerang yang tua dengan segelumit masalah yang muncul
dari ego tua. Ego tua yang mempertahankan kebenaran bagi diri sendiri, yang
mencari alasan untuk membenarkan sikapnya. Ego tua yang ditentang si lelaki muda
bukan cuma soal harga diri melainkan juga soal prinsip, tentang mana benar mana
salah, tentang ajaran yang sesungguhnya. Perempuan bermata coklat semakin
terisak, dihadapannya dua lelaki nya tak ada yang berniat mengalah.
Si
lelaki muda meninju meja dengan keras sebelum pergi dan meninggalkan pintu
membanting di belakang. Aaah, ternyata ia benar-benar meninju dinding gerbong
kereta yang ditumpanginya, di bangku seberang seorang perempuan muda yang entah
naik di stasiun mana, menatap heran. Matanya seolah berbicara, anda baik-baik
saja? Dan si lelaki melirik pada
proyeksi di kaca kereta yang telah menghilang dengan tak senang.
Pikirannya
kembali bercabang, ia melesat dalam kereta yang menuju kedepan sedang
ingatannya melesat cepat kebelakang, menuju kota yang ditinggalkannya beberapa
jam lalu. Lelaki asing itu bersidekap seperti orang diserang udara dingin
padahal di luar kereta matahari sedang terik-teriknya. Bayang si lelaki tua
yang marah mengikutinya hingga sudut tergelap hatinya, lantas mengendap dan menjadi
tanda, bahwa padanya ada bara yang siap menyala.
Diliriknya
sekilas perempuan muda di seberang bangku yang sekarang sibuk dengan gadget nya, setiap orang punya urusan
sendiri setiap orang punya kemarahan sendiri setiap orang punya bayang-bayang
nya sendiri. Dihembuskan nafasnya dengan keras, lalu kembali beralih pada kaca
jendela kereta, saat memasuki terowongan gelap bayang wajahnya pada kaca kereta
membuatnya kaget, betapa wajah itu lebih tua dari usia sebenarnya.
Aku dan
wajah yang kelam karena tempaan masalah hidup, batin si lelaki asing, semoga
saja usiaku dan masalahku adalah berkah hidupku. Gelap menjadi terang dan
hijau, sebab kereta telah melewati terowongan dan melaju di antara persawahan
pedesaan, bayang wajahnya di kaca kereta menjadi berubah. Aah, ilusi. Ia
menutup mata yang tak mau terpejam sejak tiga hari lalu, memaksakan
kehendaknya. Sayang sekali, otaknya tidak menuruti keinginan matanya.
Penumpang
silih berganti menempati bangku di sebelah dan di seberangnya, seperti
proyektor yang menampilkan slide episode hidup yang diputar tiga kali lebih
cepat, sesaat ia seperti mengalami deja
vu.
Stasiun
Tugu di depannya, ia turun dengan menyandang ransel berat yang tak terasa
berat dibanding beban pada pundaknya, pada otaknya pada hatinya. Pada bangku
panjang dekat pintu keluar, seorang perempuan muda berjilbab duduk menantinya
dengan senyum dikulum. Aah, perempuan ini. Bisakah ia menjadi masa depan yang
kelak ku songsong? Bisakah ia menjadi bayang terang yang menggenapi bayang tak
berwajah yang selalu mengikutiku? Si
lelaki berjalan menyongsong perempuan muda yang kini berdiri dengan tangan
terentang. Bisakah? Sebab bayang itu bernama ayah.
Sofifi, Maluku
Utara, 01-02 Februari 2016
Bekerja di PILAS Institute
0 komentar:
Posting Komentar