Random Posts

banner image

Jumat, 03 November 2017

Pesiar ke Sanana


KM. Aksar Saputra 09 sedianya akan diberangkatkan pukul 15.00 wit, namun karena “janji sang pelaut” maka kapal tertunda hingga jam 18.00 wit. Selain itu, penjualan tiket yang tidak terkordinasi baik memaksa saya harus bolak-balik empat kali memprotes nomor ranjang penumpang lain yang sama dengan nomor ranjang saya. Tiga kali saya menang gugatan dan tidak harus pindah ranjang, pada gugatan ke empat kali saya harus mengalah pada anak muda keras kepala. 

Pagi itu, 22 Mei 2017, Kapal tiba di pelabuhan Sanana jam 07.00 wit. Setelah semua penumpang turun dan muatan dibongkar oleh buruh pelabuhan, kapal akan berlayar lagi jam 10.00 wit dengan tujuan Falabisahaya dan akan kembali lagi ke Ternate esok harinya.

Muatan yang dibongkar di pelabuhan Sanana separuhnya sembilan bahan pokok dan sayur-sayuran yang didatangkan dari Bitung – Ternate lalu ke Sanana. Sayur-mayur, wortel, kol, sawi dan kentang dijual oleh ibu-ibu di pasar, diletakkan di atas meja atau sekedarnya dengan menggelar terpal atau karung di atas tanah, berpasangan damai dengan sayur daun papaya, daun singkong, jantung pisang dan tentunya sagu tumang yang bentuk seperti bola kasti - sekilas seperti roti.   Bahan pangan lokal ini masih menjadi pilihan sumber penghidupan masyarakat desa.



sumber Jf. Upik: Sagu ini sekilas tampak seperti roti. Sagu diperoleh dari desa-desa yang masih mengelola pohon sagu sebagai bahan pangan utama. Di pasar Sanana, mama-mama menjual sagu 1 tumang (dalam ukuran besar) Rp. 100.000. menjelang puasa, permintaan sagu meningkat karena banyak yang memilih sagu sebagi buka puasa.








Suami adalah salah satu penganan khas Maluku Utara yang dibuat dari sari pati singkong. Sari pati dikukus dan dibentuk kerucut. Ada beberapa pilihan rasa, original tanpa campuran apapun, ada rasa kelapa dan ada juga dicampur gula aren. Original bisa tahan hingga seminggu. Setiap kapal yang bersandar di salah satu desa di Sanana atau Taliabu kita akan ditawari oleh ibu-ibu untuk membeli suami dan ikan bakar. Serasa di surga jika suami dipasangkan dengan kopi juga ikan bakar dan ditemani pacar apalagi isteri. 

Meskipun sudah pukul 16.00 wit, matahari masih terlalu terik bagi kami yang  saat itu memilih berjalan kaki. Pohon-pohon tumbuh damai di sepanjang jalan menjadi perisai kami dari panas matahari. Anak-anak dekil dan bau keringat memberi petunjuk warung kopi “ lurus saja om, nanti di depan tempat cuci motor belok kiri, setelah perempatan rumah ke tiga.” Petunjuk dari anak-anak ini cukup mudah, kami tidak perlu mencari nomor rumah atau  nama jalan, cukup mengingat perempatan dan rumah yang menjadi petanda sudah dekat dengan alamat. Sayang kafe itu buka setelah magrib.

Kafe lain yang kami datangi menghadap pantai, depannya ada reklamasi pantai yang belum usai. Jika kita menengok ke kiri, di kejauhan berlabuh kapal-kapal besar menunggu giliran lepas pandara. Membawa muatan kopra ke kabupaten Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah. Ada juga kapal KM. Fungka yang menunggu penumpang dan otoritas pelabuhan memberi izin berlayar ke pulau Taliabu lalu menyisir selatan. Di sana kapal itu akan berhadap-hadapan dengan ombak. Cuaca di selatan menjadi  alasan saya dan kawan urung niat naik kapal fungka dan memilih menunggu jadwal kapal KM. Agil Pratama yang menyisir arah barat pulau Taliabu. Ada juga perahu-perahu kecil dengan mesin berkapasitas 40 pk (Paar den Kraft / daya kuda) menunggu penumpang dan mengantar mereka ke pulau Mangoli atau ke desa-desa yang sulit di akses dengan kendaraan darat.  

Di dekat pelabuhan, kita akan mendapati gencarnya pemerintah Kepulauan Sula melakukan reklamasi pantai guna menambah ruang publik atau hanya sekedar mempercantik wajah kota. Reklamasi itu terbentang di tiga desa, Fogi, Fatcei dan Falahu yang telah  dikerjakan semasa kepemimpinan Ahmad Hidayat Mus sebagai Bupati Kepulauan Sula.

Reklamasi itu mungkin keinginan pemerintah Kepsul untuk menyamai pembangunan di kota-kota besar. Jika demikian, maka sebetulnya relamasi kini bukan lagi sebagai solusi dari sempitnya ruang untuk pembangunan kota melainkan sebagai ekspresi kebuntuan cara berpikir pemerintah.  Hasilnya, reklamasi hanya mempertontonkan penghilangan ruang hidup masyarakat - tidak ada lagi perahu nelayan tertambat.  Entah kemana perahu-perahu nelayan kini ditambatkan, ataukah perahu-perahu itu sudah lapuk, hanya tersisa dayung yang terselip bisu di atap rumbia.

Dahulu sebelum ada reklamasi, para petani  yang sehabis dari kebun langsung pergi melaut, kini sehabis ke kebun ikan harus dibeli. Dahulu tidak butuh banyak uang untuk membeli ikan, kini harus mengeluarkan simpanan untuk membeli ikan setiap hari. Itu artinya, pemerintah telah memutus salah satu ruang hidup masyarakat pada natural asset. Dengan demikian, masyarakat telah dimiskinkan dan telah dirusak kebudayaannya.

Setelah empat hari, KM. Agil Pratama terjadwal akan berlabuh pada hari kamis jam 09.00 wit di pelabuhan Sanana dan akan melanjutkan pelayaran ke Kabupaten Pulau Taliabu. Jam 19.00 kapal ikat pandara di pelabuhan Falabisahaya. Setelah selesai mengisi air dan membongkar muatan, kapal angkat sauh. Saya dan kawan Fajri, begitu juga dengan penumpang yang lain naik ke kapal. Bermalas-malasan lagi di dek dua sembari menikmati suami* yang sejak kemarin belum basi.




Sumber Jf. Upik: peralatan untuk membuat suami.  












Penumpang sudah akrab satu sama lain. Kami saling berbagi informasi sembari menikmati gerimis dan dingin yang datang menyapa. Dari keakraban itu barulah saya tahu, kapal akan berlabuh di pelabuhan Jorjoga, menunggu hingga pagi lalu kembali berlayar. Menurut menurut anak buah kapal (ABK), karena tidak ada pelabuhan di beberapa desa maka akan sangat berbahaya bagi penumpang yang naik dan turun di malam hari. Itu sebabnya kapal harus berlabuh menunggu pagi.

Pertanyaan saya terjawab sudah, lamanya perjalanan dari Sanana ke Taliabu bukan karena jarak tempuh yang jauh melainkan banyaknya tempat berlabuh dan lamanya berlabuh di pelabuhan Jorjoga. Hingga di pelabuhan Wayo kecamatan Taliabu Barat. Total 24 jam saya dan penumpang menikmati penat di kapal. Sepanjang perjalanan, sepanjang itulah harapan dan semangat saya berkenalan dengan pesisir Taliabu namun hampir pupus dihempas gelombang dan bosan.  


Jf. Upik

0 komentar:

Posting Komentar