Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 28 November 2017

Pelacurku yang Perawan





Tiba di Yogyakarta tak ada hal lain dilakukan selain mematung diri di kamar sembari seruput kopi. Karena selain keterbatasan kendaraan, sebenarnya cuaca yang akhir-akhir ini terasa lebih dingin menjadi alasan untuk keluar rumah, dan tujuan saya sebenarnya adalah Salatiga, Jawa Tengah tetapi karena ada satu lain hal saya harus numpang nginap di kontrakan teman di Jogja. Mungkin dua minggu atau bisa lebih. 

Kontrakan tempat saya tinggal beralamat di blok O, perumahan Baturetno, kecamatan Banguntapan, no 13. Ada tiga kamar, dua di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Saya tidur di kamarya Isra. Di kamar atas kamarnya Isnain, adiknya Isra dan satu kamar lagi di bawah ditempati Muhlis. 

Di ruang utama, ada satu buah televise 21 inc yang sering gangguan dan hanya ada tujuh siaran. Sangat susah jika saya harus menonton Real Madrid bertanding. Di dapur, tersedia dua buah kompor. Satunya sudah rusak dan satunya lagi selalu siap saat saya gunakan mendidihkan air untuk menyeduh kopi. Sembari menunggu air matang, saya menyapu ruang utama hingga teras depan. Halaman selalu saya abaikan. 

Di kamarnya Isra, ada beberapa rak dipenuhi buku-buku. Sebahagian besar buku filsafat dan budaya, terutama Nietzsche. Mungkin dia begitu mengaguminya. Katanya, Nietzsche itu pemikir hebat dan bagi saya, dari namanya saja sudah sulit dibaca. 

Di antara tumpukan buku yang bisa buat kepala pening, ada satu novel yang menggoda saya untuk dibaca, judulnya, Para Pelacurku yang Sendu, penulisnya Gabriel Garcia Marquez. 

Novel Para Pelacurku yang Sendu, mengisahkan keinginan seorang wartawan senior yang pada masa mudanya dipenuhi dengan kehidupan seks dengan para pelacur, tetapi untuk kali pertama, ia ingin menghadiahi ulang tahunnya, yang ke Sembilan puluh dengan sebuah malam bersama seorang pelacur  perawan. 

Pada usiaku yang kesembilan puluh, ingin kuhadiahi diriku dengan satu malam yang berluapan cinta liar dengan seorang perawan dewasa. Aku ingat Rosa Cabarcas, pemilik pemilik rumah terlarang yang akan memberi tahu pelanggan-pelanggan setianya setiap kali ia punya gadis baru . tulis Marquez. 

Hidup sebatang kara di rumah warisan orang tua, dia selalu menghabisakan waktunya dengan menuliskan kolom di salah satu Koran. Catatan-catatan yang ditulis adalah pengalamamnya, dan kadang inspirasinya muncul saat sedang bercinta dengan pelacur. Ketika dia mendapatkan bayaran dari tulisannya, dia akan menghabiskan uang itu di rumah pelacuran. Selama hidupnya hingga mendekati ulang tahunnya, yang ke 90, dia telah tidur dengan 514 wanita bayaran. 

Dia jatuh cinta pada usianya ke Sembilan puluh pada pelacurnya yang dia beri nama Degladina. Degladina, jantung hatiku, aku memohon, dipenuhi hasrat (hal. 29). 

Novel ini disajikan oleh Gabo begitu apik dan mengalir. Tiap kalimat yang dipilih merangkai kenikmatan kata-kata, dan akan membawa kita kedalam suasana penuh cinta yang romatik, dan keheningan. 

Gabriel Garcia Marquez adalah salah satu penulis hebat yang dimiliki oleh Kolombia. Selain sebagai penulis fiksi yang dikategorikan sebagai realism Magis, dia juga seorang jurnalis, dan memiliki hubungan baik dengan Fidel Castro. Novelnya yang terkenal, Seratus Tahun Kesunyian. Gabo (nama akrab Gabriel Garcia Marquez) pernah mendapatkan penghargaan novel pada tahun 1982. Dalam novel ini dia menceritakan sebuah desa di Amerika Latin yang terasing. 

Sedangkan novel, Para Palacurku yang Sendu diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol, Memoria de mis putains tristes di tahun 2004, dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Memories of Melancholy Whores  tahun 2005. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dari versi Inggris, dan diterbitkan tahun 2016 oleh penerbit Circa Yogyakarta (lihat laman preliminaries).

Gabo lahir di Meksiko tanggal 6 maret 1927. Ia diagnosis mengidap penyakit kanker kelenjar getah bening. Pada tanggal 17 april 2014 di umur 84 tahun, Gabo menghembuskan nafas terakhir. 

Novel ini menemani saya menikmati kopi setiap pagi di serambi rumah. Ketika matahari terbit di timur saya akan keluar memandikan cahaya pagi. Ini adalah satu cara mengenang “hangat” yang datang dari “timur”. 

Novel itu aku tutup dengan segala puji pada Gabo atas kelihaian merangkai kata. Bagaimana dia melakukannya ? ahh entahlah.
   



JF. Upik 

Selasa, 21 November 2017

Halimah Pulang Sekolah


Ibu dan bapaknya dikandung Halmahera. Ia mewarisi hidung seperti tanjung Bongo dari bapaknya, dan mata yang dalam pemberian danau Duma dari ibunya. Sedangkan, hatinya dari laut Halmahera. Dekat ke daratan, ada karang yang muncul ke permukaan, lebih jauh akan tersembunyi karang-karang itu. Hanya akan memberi tanda jika musim gelombang. Para nelayan lebih akrab dengan hatinya Halimah.

Ia besar tanpa sendal. Selalu penuh daki dari kaki hingga paha. Kuku kaki apalagi. Selain Panjang juga terselip daki yang sedikit lagi mungkin akan membiru. Hidung yang ia warisi dari bapaknya itu mancung, dan ia biarkan ingus meleleh bebas. Tak ia risaukan apalagi ketika sedang asik bermain boi. Ia hanya peduli jika ada teman yang meledek atau ketika bibirnya sudah sedikit berasa asin.

Halima yaaa, ngana pe ingus itu” dengan pergelangan tangan kiri, ia cekatan menghapus dengan cara menarik pergelangan tangganya dari kanan ke kiri. Hilang, tetapi  membekas tipis hingga ujung bibir. 

Ia akan mengadu pada ayahnya jika tidak diajak bermain. Iya manja dan manis seperti ibunya dan disayang oleh ayahnya.

Selepas mandi, ia selalu duduk manis di dipan rumah. Sembari menunggu magrib, dia juga memasang telinga mendengarkan suara ibu Hayati menjajakan sagu gula merah. Itu penganan kesukannya, ia akan merajuk, jika tak dibelikan. Jika dibuatkan sendiri oleh ibunya, ia rela disuruh sana-sini. Asalkan porsinya sedikit lebih banyak.

Tetapi itu dulu, Halimah kini bukan lagi gadis kecil dengan bedak giling. Ia punya pilihan bodi lotion, shampoo, sabun, sumengken dan bedak herocin. Ampas kelapa, dan akar pohon yang waktu dulu jadi andalan untuk keramas sudah tidak lagi. Bedak giling yang dulu ia selalu pakai sebelum ke kebun bersama ayahnya sudah tidak lagi membungkus wajahnya yang manis. Kini, Ia sudah lebih wangi, wangi anak kota. Tetapi ia tetap cantik mirip ibunya.

Tidak ada lagi daki. Kakinya sudah ditutupi pakaian yang lebih panjang. Jika hatinya sedang senang-senangnya, motifnya bola bola atau bunga-bunga. Dan jika sedang bertengkar marah pada Rahul, maka motifnya biru laut, bukan biru awan. Jilbabnya banyak warna, ada merah, biru, kuning, dan juga bunga-bunga, dan bola-bola. Tetapi, ia lebih suka warna merah sejak kenal dengan Rahul.

Enam tahun sudah ia menjalin kasih dengan Rahul. Mereka bertemu ketika masih duduk di bangku kuliah di Semarang. Halimah di Fakultas Psikologi dan Rahul di Jurusan Filsafat. Ketika itu, tidak hujan rintik-rintik, tidak juga ada purnama, tidak juga ada bunga-bunga mekar di sekeliling masjid raya. Tetapi keduanya tiba-tiba berpapasan, dan berkenalan. Seperti malaikat turut campur. Mekarlah hati masing masing.

Masjid tidak ingin jadi saksi, tetapi apa mau dikata. Masjid yang hanya selalu siap menerima Jemaah datang melantunkan doa itu, mereka jadikan saksi bisu dengan dzikir dan doa. Halimah dari hati yang biru, ia hempaskan asah dan Rahul dengan niat tulus, bertemu birunya cinta Halima. Bergandengan hilang melewati kubah hingga di ujung alif mesjid raya. Lalu hujan tiba-tiba rintik-rintik dan angin datang sepoi-sepoi, burung-bururng merpati beterbangan.

Semejak lulus kuliah, mereka jarang bertemu. Halimah di Galela dan Rahul di Tobelo. Namun, ia selalu berasa Rahul ada di sampingnya, baunya bisa tercium, dan hatinya yang biru itu serasa menyentuh tanah yang sedang dipijaki Rahul. Hatinya bergetar. Akan tetapi, bukan itu yang dia inginkan. Bukan pula puisi yang selalu dikirimkan Rahul. Dalam hati, ia ingin segera dipinang.

Magrib itu tidak ada hujan, apalagi rindu, hanya ada kopi hitam yang ia seduh sejak siang. Sudah sejak lama, sejak semester awal kuliah, Halimah sudah gemar ngopi. Tetapi kali ini lebih pahit dari biasanya. Entahlah, mungkin hanya karena perasaannya atau ia salah menakar. Dan mungkin karena janji yang kian belum ditepati Rahul.

Akhirnya, mereka bisa bertemu di suatu sore. Bukan rabu tetapi sabtu. Bukan di padang bunga, bukan pula di masjid raya, tetapi di pantai Luari. Pasirnya putih dan pantainya jernih. Pohon di sepajang pantai itu menyejukkan. Halima duduk memandang hatinya, sedangkan Rahul menatap luas laut yang membiru.

“Ka Ul, setiap kali torang datang baleleyan tu orang dong bilang, Halima jangan talalu baleleyan lagi la orang lain baleleyan di ngana pe acara lagi” kisah Halima.

“yo kai Mangena na kia manyawa ?” tanya Rahul memastikan.

manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela Manyawa” jawab Halimah pelan

“ dorang dua galela-tobelo makanya nikah adat. Jadi banyak yang harus perempuan siapkan”

Halimah mulai munghitung. “banyak. Bahan-bahan dapur, rica, garam, tomat, kuning, goraka, lengkuas, gula, kopi, teh, beras. Ada juga nasi brinji, nasi jaha, wajik, wajik bobootene, beras kue basah, kue kering, ikan mentah, ikan masak, kompor, parang, pisau, wajan, dandang, rak piring, piring, gelas, sendok, garpu, gata-gata sosiru, tikar, kasur, tempat tidur, bantal, seprei, kain, lemari pakaian, lemari maknan” hitung Halimah.

Semua yang dihitung Halimah membuat Rahul sesak napas.

“sebanyak itu untuk apa Halima ?”

“itu semua dibeli dan dibuat oleh keluarga perempuan dan nanti dibawa pengantin perempuan ke rumah laki-laki untuk kebutuhan sehari-hari pengantin dan keluarga”

“jang lupa kasih banyak kopi e” Rahul memecah suasana sore.


Mereka pulang. Tetapi dalam hati Halimah masih tersimpan keinginan harus tetap menikah adat karena ibu dan ayahnya Galela-Tobelo.




                 Jf. Upik












Ket:
Boi=permainan tradisional Maluku Utara, dimainakan menggunakan batok kelapa dan bola
Sagu gula merah=penganan khas Maluku Utara, terbuat dari singkong yang campur gula aren dan dipanggang menggunakan forno
Sumengken=lipstik
Torang/tong = kita
baleleyan = membantu
ngana= kamu
yo kai Mangena na kia manyawa = yang nikah itu orang mana
manau Tobelo manyawa, ngopedaka Galela= laki-laki orang Tobelo, perempuan orang Galela
nasi jaha = makanan khas Maluku Utara, terbuat dari beras ketan yang dimasak menggunakan bambu
 bobootene= sejenis gandum
sosiru=alat tradisional yang dianyam dari bambu, biasanya digunakan untuk membersihkan beras.
Gata-gata=sepit

Sabtu, 11 November 2017

RUMAH GAGASAN

Di sekretariat Posko Peduli Umat (PODIUM), pendiri Perhimpunan Lingkar Arus Studi (PILAS) ,guru Her dan Guru Agus, berdiskusi dan bersepakat membentuk study club yang diberi  nama Lingkar Arus Studi (LAS) yang saat ini sudah bertrasformasi menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat PILAS Institute. Sejak hari itu, tanggal 14 September 2001 sampai tahun ini telah berusia 16 tahun. Ibaratnya manusia, di usia demikian sudah dikatakan dewasa, namun PILAS adalah organisasi, kedewasaan bukan dilihat dari usia melainkan pada kontribusi lembaga terhadap perkembangan pengetahuan dan aplikasinya pada masyarakat.
Dokumentasi PILAS; pendampingan korban erupsi Galamalama Ternate oleh ACT dan PILAS

Sejak 16 tahun berdiri, selama itu pula PILAS harus hidup seperti “nomad”. PILAS laiknya organisasi lain yang membutuhkan tempat untuk bertemunya para kaders agar tetap bertukar gagasan dan menjalankan kegiatan organisasi. Olehnya itu Sekretariat PILAS terus berpindah untuk mencari kontrakan dari Ternate Selatan hingga ke Ternate Pulau kelurahan Jambula. Jika pemilik rumah tidak lagi mau melanjutkan kontrakan atau menaikkan harga kontrakan maka tidak menutup kemungkinan Rumah Gagasan akan pindah.

Tahun 2007 saya berkenalan dengan Rumah Gagasan PILAS yang saat itu sekretarianya di kelurahan kampong pisang. Di sekretaiat itu, suka duka dan penuh luka dijalani sama-sama. Makanan apa yang tidak enak dan kopi apa yang kelebihan gula ? semuanya enak dan setiap kopi yang disajikan tidak pernah kekurangan gula karena takaran akan menyesuaikan pada kondisi. Sedangkan makanan akan tetap terasa nikmat walaupun hanya garam tanpa lauk. Kata Ridho, teman sekamar Ais Bobero bahwa “makan pakai mulut lebih enak ketimbang pakai lauk”.

Waktu itu bulan ramadhan. Kami masih semester 2 di jurusan ilmu administrasi negara, Fisip UMMU. Karena mahasiswa baru maka jadwal kuliah saya pagi, selesai jam 12 siang, saya langsug balik ke Rumah Gagasan untuk tidur. Saya jalan kaki dengan senior Yaku melewati gang sempit depan SD Kenari Tinggi. Dalam perjalanan tiba-tiba handpone saya berdering, ternyata sms dari senior ko Ipul. “pulang jangan lupa beli es batu, supaya buat agar-agar untuk buka puasa” begitu sms singkatnya. Saya bersemangat tetapi semangat sedikit berkurang ketika di Rumah Gagasan, saya lihat sirup, panakuk, panada dan pisang coe.

Malam-malam di sekretariat di Kampung Pisang adalah malam yang tanpa “anggur dalam rembulan”. Hanya ada kopi hitam. Kopi dengan takaran gula yang tidak pernah salah, selalu menemani malam membaca dan diskusi. Malam baca memberikan kesempatan kepada setiap anggota untuk membaca dan kemudian dilanjutkan dengan menulis hasil bacaan dan menceritakan kembali bacaannya pada anggota lain. Kadang disitulah saya merasa sedih karena harus menjawab banyak sekali pertanyaan dan kadang jawaban yang saya berikan adalah “jual kecap”.

Rumah Gagasan PILAS pindah ke kelurahan Ngade Ternate Selatan. Sekretariat yang baru itu ada sepenggal “surga” di halaman belakang. Menghijau pohon pisang, singkong dan pohon-pohon kelapa yang daunnya terus melambai ingin dipetik. Di depan ada pohon rambutan yang tidak pernah berbuah dan satu pohon kepala yang selalu dijaga oleh direktur dengan tulisan “jangan coba-coba petik buah kelapa, kalau tidak mau tangan dipotong. Sedangkan tetangga depan rumah sudah kami anggap sebagai mama. Mama baru orang baik, selalu mau jika kami berhutang rokok. Kami sering bertamu jam 11 siang ketika mama sedang asik menanak nasi dan menggoreng ikan.

Rumah Gagasan PILAS yang di kelurahan Fitu setelah pindah dari kelurahan Gambesi - yang pertama di sisi kanan jalan jika dari arah kampus UMMU. Di sini kami mengenal keluarga baru, om Wae, om Hamid, ketua RT dan om Rais. Selesai masa kontrakan, Rumah Gagasan pindah lagi ke sisi kiri jalan dari kampus UMMU, samping kanan masjid Fitu, belakang pangkalan ojek. Di Rumah Gagasan itu, PILAS berusia 12 tahun dan saat itu kami berkesempatan melakukan syukuran dengan kegiatan ilmiah, lomba menulis essay, dialog dan menerbitkan buku yang diberi judul Bergerak Memberi Makna atas kerja sama UMMU Press dan PILAS Book.
dokumentasi PILAS

Bergerak  Memberi Makna adalah kado hari lahir PILAS yang ke 12 tahun. Kado istimewa dari kader PILAS angkatan pertama sampai angkatan yang paling terakhir serta prolog dari pendiri dan appendix dari Thamrin Husen. Tulisan yang dimuat di buku itu adalah artikel yang pernah diterbitkan di Malut Post dan Posko  Malut. 


Semangat menulis pertama hingga terbitnya buku, sudah dirasakan ketika Rumah Gagasan masih di Kampung Pisang. Hasil pertemuan kala itu, menyepakati setiap anggota PILAS harus wajib menulis dan harus wajib pula diterbitkan di salah satu media cetak.  Jika tidak ada tulisan diterbitkan maka akan dikenai denda Rp. 250.000. Sejak kesepakatan diberlakukan, hari-hari di PILAS hening seperti kuburan. Hampir setiap jam, para senior duduk membaca dan menulis karena hanya itu satu-satunya cara agar tidak meminjam uang pada teman untuk membayar denda. Hasilnya, tulisan para senior mulai terbit setiap minggu. Bahkan ada satu tulisan dengan dua nama penulis. 

Senior yang berperan penting dalam kesepakatan itu adalah Presiden PILAS, ko Iwan, senior ko Ipul, ko Phomat dan senior seangkatan mereka. Mereka selalu sedia membaca dan mengedit tulisan kawan-kawan. Kami para anggota baru tidak diwajibkan menulis tetapi wajib ikut diskusi membahas opini dari salah satu kawan sebelum dikirim ke media cetak. Semacam ujian kelayakan.  

Tak ada manusia sempurnya dan tak ada organisasi yang bejalan tanpa tantangan. Kesalahan atau kekeliruan, saling marah, saling curiga, saling menyalahkan adalah hal wajar dalam berorganisasi. Akan tetapi, intinya kesamaan visi harus diutamakan oleh setiap anggota. Semoga pada usia sekarang, PILAS bisa lebih baik. Tetap Cerdas Berpikir dan Santun Bersikap.
Dokumentasi PILAS; anggota PILAS membuat monografi desa Galo-Galo, Morotai


Akhir catatan ini, ucapan terimakasih yang tak terhingga kepada media cetak di Maluku Utara yang selalu mau mengedit dan menerbitkan artikel dari anak-anak PILAS. Ucapan terimakasi pula kepada Thamrin Husen yang selalu sedia waktu mengisi kajian, (alm) pak Ode, mantan ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara UMMU yang tidak pernah telat dan lupa mengisi kajian, Sahyunan Pora yang selalu memberikan kiat-kiat cinta ketika mengisi kajian filsafat, Darsis Hoemah yang selalu hadir dengan cerita lucu, Murid Tonirio yang selalu bersemangat, Rahmi Husen yang selalu berbagi kopi, Rahim Thalib yang selalu hadir sebagai senior dan semua pembina lain yang sudah meluangkan waktu bersama kami di PILAS. Terimakasih dan salam hormat karena telah berbagi ilmu di Rumah Gagasan. 


Ternate, 11 November 2017

Tim Rumah Gagasan

Jumat, 10 November 2017

Legit Cengkeh di Taliabu

foto Jf. Upik: penulis yang sedang "berjudi" memilih jalan yang benar

Magrib jatuh di barat, KM. Agil Pratama melewati celah antara Pulau Mangoli dan Taliabu. Perahu-perahu motor mulai mendekati badan kapal hendak memuat penumpang yang akan turun. Saya di Haluan menikmati sunset dipadu hijau Taliabu dan Mangoli. “Mungkin ini selat Capalulu” jawab anak seusia SD ketika ditanyai oleh saya.

Baru saja mekar, pisah dari kabupaten Kepulauan Sula (kepsul), Kabupaten Pulau Taliabu seperti seorang bayi yang hendak tumbuh dewasa, tidak boleh membiarkan Kabupaten pulau Taliabu merangak sendiri. Kepsul dan provinsi Maluku Utara harus menemani Taliabu hingga benar-benar bisa “berdiri dan berlari” – menerima hibah dari Kepsul Rp. 20 milyar selama dua tahun dan bantuan untuk pemilihan kepala daerah yang pertama dan dari provinsi sebesar Rp. 5 milyar selama tiga tahun berturut-turut dan Rp. 5 milyar untuk pelaksanaan pemilihan bupati yang pertama kali*. 

lima tahun sudah, sejak pemekarannya pada tahun 2013 - katanya telah melewati masa percobaan sebagai kebupaten baru. Sudah benar-benar lepas dari asuhan Kepsul dan provinsi. Taliabu kini mekar dan seharusnya sudah bisa berlari mengejar ketertinggalan pembangunan. Mekar dan menebarkan “wewangi” kebijakan yang memihak masyarakat bukan kawan apalagi keluarga.


foto Jf. Upik; salah satu nama jalan di kecamatan Taliabu Barat









Kabupaten pulau Taliabu siapa yang tidak kenal. Tanah Salahakan itu subur. Sebatang cengkeh kering akan tumbuh lebat. Di ujung tangkai, di antara daun hijau, tumbuh bunga-bunga cengkeh lalu matang siap dipanen. Aromanya legit, tidak hanya menggoda pengusaha maupun tengkulak kelas teri, tetapi juga mengundang penjajah rakus datang merampas tanah dan pohon-pohon cengkeh di bumi Maluku. Kekayaan rempah-rempah yang menggoda dituangkan dalam puisi Pulau Cockayne dari Irlandia abad ke 13;

Ada pohon di padang rumput, sangatlah indah dipandang.Akarnya berupa jahe  dan akar lengkuas, tunasnya dari temuh putih.Bunga-bunganya berupa tiga helai bunga pala, sedang kulit kayunya
Kayu manis berbau sedap.Buahnya berupa cengkih yang sedap dan lada berekor pun berlimpah**

Jika kita mencari sejarah cengkeh maka akan kita temukan banyak catatan sejarah yang menceritrakan kebutuhan rempah di Eropa dan nafsu serakah kompeni telah membuat pemerintah Hindia-Belanda melakukan pelayaran Hongi atau Hongitochten. Pelayaran itu bertujuan menebang dan membakar cengkeh di pulau-pulau dan mencegah kapal lin selain milik VOC membawa cengkeh ke Eropa. Tercatat pula, pelayaran itu atas persetujuan kesultanan dan orang orang kaya di Ternate, namun persetujuan itu disepakti karena dalam kesepakatannya, pemerintah Hindia-Belanda akan mengganti semua kerugian dari semua cengkeh yang ditebang maupun yang dibakar***. 

foto Jf. Upik; hasil panen pertanian dari petani yang akan dibawa ke Kabupaten Luwuk bukan ke Sanan atau Ternate





Belanda ingkar janji, pelayaran hingga hari ini tidak ada proses ganti rugi, jangankan sepohon, setangkaipun belum diganti. Bagitulah pemerintahan saat itu. Semoga pemerintahan Taliabu saat ini tidak demikian -  Tidak lagi “janji Balanda”.

Tujuan ke Taliabu, Kapal berlayar di sisi barat pulau Taliabu.  kita disuguhi indahnya pasir putih dipadu air laut yang membiru. Pantai indah yang tidak hanya menjanjikan kedamaian, kejujuran serta keterbukaan masyarakat pesisir, tetapi menjadi saksi hidup masyarakat pesisir mengakrabi kehidupan sebagai petani sekaligus nelayan.

“ABK standby muka belakang, Kapal sandar kiri” begitu pengunguman ketika kapal hendak berlabuh di pelabuhan Wayo kecamatan Taliabu Barat, kabupaten Pulau Taliabu. Para anak buah kapal (ABK) sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara di pelabuhan, Sanak saudara menjemput keluarga yang datang atau sekedar menanti kiriman sembako dan ada becak motor (bentor) yang terpakir di depan pelabuhan menunggu jasanya dihargai. 

Ada perahu bermesin 40 dan 25 pk (paar den kraft/daya kuda) tertambat menunggu penumpang yang tinggalnya jauh dan susah dijangkau oleh kendaraan darat. Pemilik perahu yakin tidak akan ada penumpang yang gegabah memilih darat untuk pulang kerumah.

Di Taliabu, bentor dan perahu kecil bermesin adalah transportasi yang paling umum digunakan. Bentor melayani hanya di daerah dataran rendah terutama di desa Wayo dan Bobong, sedangkan perahu mesin akan menjangkau desa-desa yang lebih jauh, dan lebih sulit dijangkau oleh sepeda motor atau mobil, terutama di musim penghujan.


foto Jf. Upik; salah satu akses jalan antar desa di kecamatan Taliabu Barat








Demi menambah kecantikan kota, pemerintah Pulau Taliabu merias diri kota dengan tugu yang dibangun di tengah-tengah kota. Ditopang empat pilar yang di atasnya diletakkan cetakan cengkeh, pala dan coklat. 

Tugu itu seakan menunjukkan kebanggan pemeritah kota akan hasil pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat - bukan pertambangan. Ataukah hanya cara pemerintah menyembunyikan kerusakan akibat pertambangan – menebang tanpa ganti rugi. Memutus penghidupan masyarakat. 

foto Jf. Upik; air yang mengalir melewati badan jalan di Taliabu dimanfaatkan untuk mencuci sepeda motor.
















Jf. Upik
Peneliti di Institut Agraria Kepulauan



Ket:
*(lihat UU No 6 tahun 2013 Tentang Pembentukan kabupaten Pulau Taliabu).
**Juck Turner, 2011:103.
***https://id.wikipedia.org/wiki/Pelayaran_Hongi

Selasa, 07 November 2017

Stasiun Tugu dan Bayang Tak Berwajah


foto: Jf. Upik

Kereta api yang melaju meninggalkan stasiun menjadikan siluet benda-benda seolah bergerak dengan kecepatan tetap di luar jendela, meninggalkan ilusi bahwa sesungguhnya yang bergerak bukanlah keretanya melainkan benda-benda dalam perputaran bumi dengan hanya melipatgandakan kecepatan cahaya. Bangku kereta api kelas ekonomi dari Bandung tak sepenuhnya terisi, sebab ini memang masih awal hari bahkan bayang-bayang benda pada tanah di luar kaca kereta juga belum nampak benar. 

Semburat jingga di ufuk timur baru nampak setengah jam setelah kereta api meninggalkan Bandung, menampakkan mega seumpama bayang manusia yang mengejek setidaknya bagi si lelaki asing. Lelaki dengan wajah garang dan mata merah yang tak terpejam sejak tiga hari lalu, duduk tepat di seberang jendela kereta api. Matanya menerawang, seperti tak ingin mengerjap seperti memiliki penglihatan yang menembus setiap benda berilusi bergerak di luar kaca kereta.

Ia melirik mega pada langit pagi, masih seperti bayang manusia dengan ekspresi mencibir yang menatap dengan cahaya menggoda pada matanya. Seolah menyimpan tanya, duh apa gerangan yang membuatmu lari orang asing?
Seorang petugas berjalan masuk dari pintu gerbong untuk mengecek tiket kereta masing-masing penumpang, seorang lelaki yang lelap bangun dengan tergagap lantas meraih saku bajunya. Sudahkah akan masuk ke stasiun berikutnya? Lalu petugas itu sampai padanya, si lelaki asing melirik sekilas dengan senyum hambar dan melambaikan tiket kereta di depan hidung petugas yang lantas menghilang ke gerbong berikutnya. Betapa ironi, bahwa kendaraan peninggalan Belanda ini masih setia menjadi saksi bisu perlakuan yang sama pada setiap calon penumpang. Dahulu gerbong kelas ekonomi adalah gerbong di mana manusia pribumi bukan priyayi ditempatkan tidak secara terpisah dengan berjenis-jenis hewan, seolah tidak ada lagi tempat yang lebih layak bagi bukan priyayi selain gerbong mirip kandang.

Bayang-bayang masih berlari di luar kereta, dan matahari telah benar-benar bangun dari peraduannya. Lelaki asing yang sendirian itu menarik nafas, pemandangan di luar adalah sawah sepanjang mata memandang, atau sependek kaca kereta. Siluet seorang perempuan, entah muda atau tua, berjalan pada pematang dengan menjinjing seceret air dan menggendong bakul, yang entah pula apa isinya. Perempuan, betapa mahluk pendamping Adam itu mampu menciptakan luka.

Kaca jendela menampakkan bayang tak berwajah sebuah adegan dari kepala si lelaki asing, yang secara refleks langsung mengerjapkan matanya beberapa kali lalu meluruskan duduknya. Kumaha Eta? Ada apa dengan mataku?!  Adegan di kaca jendela berlanjut, seperti film hitam putih yang diproyeksikan pada dinding, ia hanya menampakkan bayang tanpa wajah, bayang yang menancapkan kuasa.

Dua bayang lelaki beradu mulut, bayang lelaki tua menggebrak-gebrak meja dengan tak sabar dan bayang lelaki muda balas menggebrak meja sambil berdiri, diantara keduanya ada bayang seorang perempuan yang terisak-isak. Adegan berganti, menjadi bayang benda langit dengan sayap kokoh yang meninggalkan bayang bertuliskan Bandara Babullah dan menyongsong tulisan Bandara Husein Sastranegara. Aah, dua tahun lalu. Itu dua tahun lalu, bagaimana bisa muncul seperti film pendek pada kaca kereta pula!  Lelaki asing itu berteriak tertahan meski ia paham bahwa selamanya kenangan akan seperti bayangan, mengikuti kemana saja pemiliknya pergi.
***

Perempuan bermata coklat dengan senyum menenangkan itu terisak, ia menghapus air mata dengan ujung lengan daster coklat yang dikenakannya. Tak mudah berdiri di posisinya sekarang, berada tepat di antara kedua lelaki yang dikasihinya, di antara kedua lelaki yang sama-sama menunjukkan taring kemarahan. Kedua lelaki yang tak asing sama sekali bagi hidupnya, lelaki yang menghidupinya dan dihidupinya, yang menghisap sari tubuhnya untuk tetap hidup.

Mata coklatnya kelabu, genangan air mata membentuk tetesan pada dada bajunya lalu menderas hingga basah. Ia menatap kedua lelaki itu dengan harap, hentikan pertikaian ini! Tidak bisakah jika kalian berdua duduk dan berbicara dengan kasih seperti yang selama ini aku lakukan?!  Tapi suara itu hanya ada dalam kepalanya, sebab kedua lelaki nya kembali saling meninggikan suara dan menggebrak meja.

Yang tua berbicara tentang adab dan sopan santun yang tak ditunjukan lelaki muda, dan lelaki muda berbalik menyerang yang tua dengan segelumit masalah yang muncul dari ego tua. Ego tua yang mempertahankan kebenaran bagi diri sendiri, yang mencari alasan untuk membenarkan sikapnya. Ego tua yang ditentang si lelaki muda bukan cuma soal harga diri melainkan juga soal prinsip, tentang mana benar mana salah, tentang ajaran yang sesungguhnya. Perempuan bermata coklat semakin terisak, dihadapannya dua lelaki nya tak ada yang berniat mengalah.

Si lelaki muda meninju meja dengan keras sebelum pergi dan meninggalkan pintu membanting di belakang. Aaah, ternyata ia benar-benar meninju dinding gerbong kereta yang ditumpanginya, di bangku seberang seorang perempuan muda yang entah naik di stasiun mana, menatap heran. Matanya seolah berbicara, anda baik-baik saja?  Dan si lelaki melirik pada proyeksi di kaca kereta yang telah menghilang dengan tak senang.

Pikirannya kembali bercabang, ia melesat dalam kereta yang menuju kedepan sedang ingatannya melesat cepat kebelakang, menuju kota yang ditinggalkannya beberapa jam lalu. Lelaki asing itu bersidekap seperti orang diserang udara dingin padahal di luar kereta matahari sedang terik-teriknya. Bayang si lelaki tua yang marah mengikutinya hingga sudut tergelap hatinya, lantas mengendap dan menjadi tanda, bahwa padanya ada bara yang siap menyala.

Diliriknya sekilas perempuan muda di seberang bangku yang sekarang sibuk dengan gadget nya, setiap orang punya urusan sendiri setiap orang punya kemarahan sendiri setiap orang punya bayang-bayang nya sendiri. Dihembuskan nafasnya dengan keras, lalu kembali beralih pada kaca jendela kereta, saat memasuki terowongan gelap bayang wajahnya pada kaca kereta membuatnya kaget, betapa wajah itu lebih tua dari usia sebenarnya.

Aku dan wajah yang kelam karena tempaan masalah hidup, batin si lelaki asing, semoga saja usiaku dan masalahku adalah berkah hidupku. Gelap menjadi terang dan hijau, sebab kereta telah melewati terowongan dan melaju di antara persawahan pedesaan, bayang wajahnya di kaca kereta menjadi berubah. Aah, ilusi. Ia menutup mata yang tak mau terpejam sejak tiga hari lalu, memaksakan kehendaknya. Sayang sekali, otaknya tidak menuruti keinginan matanya.

Penumpang silih berganti menempati bangku di sebelah dan di seberangnya, seperti proyektor yang menampilkan slide episode hidup yang diputar tiga kali lebih cepat,  sesaat ia seperti mengalami deja vu.

Stasiun Tugu di depannya, ia turun dengan menyandang ransel berat yang tak terasa berat dibanding beban pada pundaknya, pada otaknya pada hatinya. Pada bangku panjang dekat pintu keluar, seorang perempuan muda berjilbab duduk menantinya dengan senyum dikulum. Aah, perempuan ini. Bisakah ia menjadi masa depan yang kelak ku songsong? Bisakah ia menjadi bayang terang yang menggenapi bayang tak berwajah yang selalu mengikutiku?   Si lelaki berjalan menyongsong perempuan muda yang kini berdiri dengan tangan terentang. Bisakah? Sebab bayang itu bernama ayah.


Sofifi, Maluku Utara, 01-02 Februari 2016


Bekerja di PILAS Institute


Jumat, 03 November 2017

Pesiar ke Sanana


KM. Aksar Saputra 09 sedianya akan diberangkatkan pukul 15.00 wit, namun karena “janji sang pelaut” maka kapal tertunda hingga jam 18.00 wit. Selain itu, penjualan tiket yang tidak terkordinasi baik memaksa saya harus bolak-balik empat kali memprotes nomor ranjang penumpang lain yang sama dengan nomor ranjang saya. Tiga kali saya menang gugatan dan tidak harus pindah ranjang, pada gugatan ke empat kali saya harus mengalah pada anak muda keras kepala. 

Pagi itu, 22 Mei 2017, Kapal tiba di pelabuhan Sanana jam 07.00 wit. Setelah semua penumpang turun dan muatan dibongkar oleh buruh pelabuhan, kapal akan berlayar lagi jam 10.00 wit dengan tujuan Falabisahaya dan akan kembali lagi ke Ternate esok harinya.

Muatan yang dibongkar di pelabuhan Sanana separuhnya sembilan bahan pokok dan sayur-sayuran yang didatangkan dari Bitung – Ternate lalu ke Sanana. Sayur-mayur, wortel, kol, sawi dan kentang dijual oleh ibu-ibu di pasar, diletakkan di atas meja atau sekedarnya dengan menggelar terpal atau karung di atas tanah, berpasangan damai dengan sayur daun papaya, daun singkong, jantung pisang dan tentunya sagu tumang yang bentuk seperti bola kasti - sekilas seperti roti.   Bahan pangan lokal ini masih menjadi pilihan sumber penghidupan masyarakat desa.



sumber Jf. Upik: Sagu ini sekilas tampak seperti roti. Sagu diperoleh dari desa-desa yang masih mengelola pohon sagu sebagai bahan pangan utama. Di pasar Sanana, mama-mama menjual sagu 1 tumang (dalam ukuran besar) Rp. 100.000. menjelang puasa, permintaan sagu meningkat karena banyak yang memilih sagu sebagi buka puasa.








Suami adalah salah satu penganan khas Maluku Utara yang dibuat dari sari pati singkong. Sari pati dikukus dan dibentuk kerucut. Ada beberapa pilihan rasa, original tanpa campuran apapun, ada rasa kelapa dan ada juga dicampur gula aren. Original bisa tahan hingga seminggu. Setiap kapal yang bersandar di salah satu desa di Sanana atau Taliabu kita akan ditawari oleh ibu-ibu untuk membeli suami dan ikan bakar. Serasa di surga jika suami dipasangkan dengan kopi juga ikan bakar dan ditemani pacar apalagi isteri. 

Meskipun sudah pukul 16.00 wit, matahari masih terlalu terik bagi kami yang  saat itu memilih berjalan kaki. Pohon-pohon tumbuh damai di sepanjang jalan menjadi perisai kami dari panas matahari. Anak-anak dekil dan bau keringat memberi petunjuk warung kopi “ lurus saja om, nanti di depan tempat cuci motor belok kiri, setelah perempatan rumah ke tiga.” Petunjuk dari anak-anak ini cukup mudah, kami tidak perlu mencari nomor rumah atau  nama jalan, cukup mengingat perempatan dan rumah yang menjadi petanda sudah dekat dengan alamat. Sayang kafe itu buka setelah magrib.

Kafe lain yang kami datangi menghadap pantai, depannya ada reklamasi pantai yang belum usai. Jika kita menengok ke kiri, di kejauhan berlabuh kapal-kapal besar menunggu giliran lepas pandara. Membawa muatan kopra ke kabupaten Luwuk Propinsi Sulawesi Tengah. Ada juga kapal KM. Fungka yang menunggu penumpang dan otoritas pelabuhan memberi izin berlayar ke pulau Taliabu lalu menyisir selatan. Di sana kapal itu akan berhadap-hadapan dengan ombak. Cuaca di selatan menjadi  alasan saya dan kawan urung niat naik kapal fungka dan memilih menunggu jadwal kapal KM. Agil Pratama yang menyisir arah barat pulau Taliabu. Ada juga perahu-perahu kecil dengan mesin berkapasitas 40 pk (Paar den Kraft / daya kuda) menunggu penumpang dan mengantar mereka ke pulau Mangoli atau ke desa-desa yang sulit di akses dengan kendaraan darat.  

Di dekat pelabuhan, kita akan mendapati gencarnya pemerintah Kepulauan Sula melakukan reklamasi pantai guna menambah ruang publik atau hanya sekedar mempercantik wajah kota. Reklamasi itu terbentang di tiga desa, Fogi, Fatcei dan Falahu yang telah  dikerjakan semasa kepemimpinan Ahmad Hidayat Mus sebagai Bupati Kepulauan Sula.

Reklamasi itu mungkin keinginan pemerintah Kepsul untuk menyamai pembangunan di kota-kota besar. Jika demikian, maka sebetulnya relamasi kini bukan lagi sebagai solusi dari sempitnya ruang untuk pembangunan kota melainkan sebagai ekspresi kebuntuan cara berpikir pemerintah.  Hasilnya, reklamasi hanya mempertontonkan penghilangan ruang hidup masyarakat - tidak ada lagi perahu nelayan tertambat.  Entah kemana perahu-perahu nelayan kini ditambatkan, ataukah perahu-perahu itu sudah lapuk, hanya tersisa dayung yang terselip bisu di atap rumbia.

Dahulu sebelum ada reklamasi, para petani  yang sehabis dari kebun langsung pergi melaut, kini sehabis ke kebun ikan harus dibeli. Dahulu tidak butuh banyak uang untuk membeli ikan, kini harus mengeluarkan simpanan untuk membeli ikan setiap hari. Itu artinya, pemerintah telah memutus salah satu ruang hidup masyarakat pada natural asset. Dengan demikian, masyarakat telah dimiskinkan dan telah dirusak kebudayaannya.

Setelah empat hari, KM. Agil Pratama terjadwal akan berlabuh pada hari kamis jam 09.00 wit di pelabuhan Sanana dan akan melanjutkan pelayaran ke Kabupaten Pulau Taliabu. Jam 19.00 kapal ikat pandara di pelabuhan Falabisahaya. Setelah selesai mengisi air dan membongkar muatan, kapal angkat sauh. Saya dan kawan Fajri, begitu juga dengan penumpang yang lain naik ke kapal. Bermalas-malasan lagi di dek dua sembari menikmati suami* yang sejak kemarin belum basi.




Sumber Jf. Upik: peralatan untuk membuat suami.  












Penumpang sudah akrab satu sama lain. Kami saling berbagi informasi sembari menikmati gerimis dan dingin yang datang menyapa. Dari keakraban itu barulah saya tahu, kapal akan berlabuh di pelabuhan Jorjoga, menunggu hingga pagi lalu kembali berlayar. Menurut menurut anak buah kapal (ABK), karena tidak ada pelabuhan di beberapa desa maka akan sangat berbahaya bagi penumpang yang naik dan turun di malam hari. Itu sebabnya kapal harus berlabuh menunggu pagi.

Pertanyaan saya terjawab sudah, lamanya perjalanan dari Sanana ke Taliabu bukan karena jarak tempuh yang jauh melainkan banyaknya tempat berlabuh dan lamanya berlabuh di pelabuhan Jorjoga. Hingga di pelabuhan Wayo kecamatan Taliabu Barat. Total 24 jam saya dan penumpang menikmati penat di kapal. Sepanjang perjalanan, sepanjang itulah harapan dan semangat saya berkenalan dengan pesisir Taliabu namun hampir pupus dihempas gelombang dan bosan.  


Jf. Upik