Tiba di Yogyakarta tak
ada hal lain dilakukan selain mematung diri di kamar sembari seruput kopi. Karena
selain keterbatasan kendaraan, sebenarnya cuaca yang akhir-akhir ini terasa
lebih dingin menjadi alasan untuk keluar rumah, dan tujuan saya sebenarnya
adalah Salatiga, Jawa Tengah tetapi karena ada satu lain hal saya harus numpang
nginap di kontrakan teman di Jogja. Mungkin dua minggu atau bisa lebih.
Kontrakan tempat saya tinggal
beralamat di blok O, perumahan Baturetno, kecamatan Banguntapan, no 13. Ada tiga
kamar, dua di lantai bawah dan satu lagi di lantai atas. Saya tidur di kamarya
Isra. Di kamar atas kamarnya Isnain, adiknya Isra dan satu kamar lagi di bawah
ditempati Muhlis.
Di ruang utama, ada
satu buah televise 21 inc yang sering gangguan dan hanya ada tujuh siaran.
Sangat susah jika saya harus menonton Real Madrid bertanding. Di dapur,
tersedia dua buah kompor. Satunya sudah rusak dan satunya lagi selalu siap saat
saya gunakan mendidihkan air untuk menyeduh kopi. Sembari menunggu air matang,
saya menyapu ruang utama hingga teras depan. Halaman selalu saya abaikan.
Di kamarnya Isra, ada beberapa
rak dipenuhi buku-buku. Sebahagian besar buku filsafat dan budaya, terutama
Nietzsche. Mungkin dia begitu mengaguminya. Katanya, Nietzsche itu pemikir
hebat dan bagi saya, dari namanya saja sudah sulit dibaca.
Di antara tumpukan buku
yang bisa buat kepala pening, ada satu novel yang menggoda saya untuk dibaca,
judulnya, Para Pelacurku yang Sendu, penulisnya Gabriel Garcia Marquez.
Novel Para Pelacurku
yang Sendu, mengisahkan keinginan seorang wartawan senior yang pada masa
mudanya dipenuhi dengan kehidupan seks dengan para pelacur, tetapi untuk kali pertama,
ia ingin menghadiahi ulang tahunnya, yang ke Sembilan puluh dengan sebuah malam
bersama seorang pelacur perawan.
Pada usiaku yang
kesembilan puluh, ingin kuhadiahi diriku dengan satu malam yang berluapan cinta
liar dengan seorang perawan dewasa. Aku ingat Rosa Cabarcas, pemilik pemilik
rumah terlarang yang akan memberi tahu pelanggan-pelanggan setianya setiap kali
ia punya gadis baru . tulis Marquez.
Hidup sebatang kara di
rumah warisan orang tua, dia selalu menghabisakan waktunya dengan menuliskan
kolom di salah satu Koran. Catatan-catatan yang ditulis adalah pengalamamnya, dan
kadang inspirasinya muncul saat sedang bercinta dengan pelacur. Ketika dia
mendapatkan bayaran dari tulisannya, dia akan menghabiskan uang itu di rumah
pelacuran. Selama hidupnya hingga mendekati ulang tahunnya, yang ke 90, dia
telah tidur dengan 514 wanita bayaran.
Dia jatuh cinta pada
usianya ke Sembilan puluh pada pelacurnya yang dia beri nama Degladina.
Degladina, jantung hatiku, aku memohon, dipenuhi hasrat (hal. 29).
Novel ini disajikan
oleh Gabo begitu apik dan mengalir. Tiap kalimat yang dipilih merangkai
kenikmatan kata-kata, dan akan membawa kita kedalam suasana penuh cinta yang
romatik, dan keheningan.
Gabriel Garcia Marquez
adalah salah satu penulis hebat yang dimiliki oleh Kolombia. Selain sebagai
penulis fiksi yang dikategorikan sebagai realism
Magis, dia juga seorang jurnalis, dan memiliki hubungan baik dengan Fidel Castro.
Novelnya yang terkenal, Seratus Tahun Kesunyian. Gabo (nama akrab Gabriel
Garcia Marquez) pernah mendapatkan penghargaan novel pada tahun 1982. Dalam
novel ini dia menceritakan sebuah desa di Amerika Latin yang terasing.
Sedangkan novel, Para
Palacurku yang Sendu diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol, Memoria de mis putains tristes di tahun
2004, dan diterjemahkan kedalam bahasa Inggris, Memories of Melancholy Whores tahun 2005. Sedangkan dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan dari versi Inggris, dan diterbitkan tahun 2016 oleh penerbit
Circa Yogyakarta (lihat laman preliminaries).
Gabo lahir di Meksiko
tanggal 6 maret 1927. Ia diagnosis mengidap penyakit kanker kelenjar getah bening.
Pada tanggal 17 april 2014 di umur 84 tahun, Gabo menghembuskan nafas terakhir.
Novel ini menemani saya
menikmati kopi setiap pagi di serambi rumah. Ketika matahari terbit di timur
saya akan keluar memandikan cahaya pagi. Ini adalah satu cara mengenang
“hangat” yang datang dari “timur”.
Novel itu aku tutup
dengan segala puji pada Gabo atas kelihaian merangkai kata. Bagaimana dia
melakukannya ? ahh entahlah.
JF. Upik