Random Posts

banner image

Jumat, 10 November 2017

Legit Cengkeh di Taliabu

foto Jf. Upik: penulis yang sedang "berjudi" memilih jalan yang benar

Magrib jatuh di barat, KM. Agil Pratama melewati celah antara Pulau Mangoli dan Taliabu. Perahu-perahu motor mulai mendekati badan kapal hendak memuat penumpang yang akan turun. Saya di Haluan menikmati sunset dipadu hijau Taliabu dan Mangoli. “Mungkin ini selat Capalulu” jawab anak seusia SD ketika ditanyai oleh saya.

Baru saja mekar, pisah dari kabupaten Kepulauan Sula (kepsul), Kabupaten Pulau Taliabu seperti seorang bayi yang hendak tumbuh dewasa, tidak boleh membiarkan Kabupaten pulau Taliabu merangak sendiri. Kepsul dan provinsi Maluku Utara harus menemani Taliabu hingga benar-benar bisa “berdiri dan berlari” – menerima hibah dari Kepsul Rp. 20 milyar selama dua tahun dan bantuan untuk pemilihan kepala daerah yang pertama dan dari provinsi sebesar Rp. 5 milyar selama tiga tahun berturut-turut dan Rp. 5 milyar untuk pelaksanaan pemilihan bupati yang pertama kali*. 

lima tahun sudah, sejak pemekarannya pada tahun 2013 - katanya telah melewati masa percobaan sebagai kebupaten baru. Sudah benar-benar lepas dari asuhan Kepsul dan provinsi. Taliabu kini mekar dan seharusnya sudah bisa berlari mengejar ketertinggalan pembangunan. Mekar dan menebarkan “wewangi” kebijakan yang memihak masyarakat bukan kawan apalagi keluarga.


foto Jf. Upik; salah satu nama jalan di kecamatan Taliabu Barat









Kabupaten pulau Taliabu siapa yang tidak kenal. Tanah Salahakan itu subur. Sebatang cengkeh kering akan tumbuh lebat. Di ujung tangkai, di antara daun hijau, tumbuh bunga-bunga cengkeh lalu matang siap dipanen. Aromanya legit, tidak hanya menggoda pengusaha maupun tengkulak kelas teri, tetapi juga mengundang penjajah rakus datang merampas tanah dan pohon-pohon cengkeh di bumi Maluku. Kekayaan rempah-rempah yang menggoda dituangkan dalam puisi Pulau Cockayne dari Irlandia abad ke 13;

Ada pohon di padang rumput, sangatlah indah dipandang.Akarnya berupa jahe  dan akar lengkuas, tunasnya dari temuh putih.Bunga-bunganya berupa tiga helai bunga pala, sedang kulit kayunya
Kayu manis berbau sedap.Buahnya berupa cengkih yang sedap dan lada berekor pun berlimpah**

Jika kita mencari sejarah cengkeh maka akan kita temukan banyak catatan sejarah yang menceritrakan kebutuhan rempah di Eropa dan nafsu serakah kompeni telah membuat pemerintah Hindia-Belanda melakukan pelayaran Hongi atau Hongitochten. Pelayaran itu bertujuan menebang dan membakar cengkeh di pulau-pulau dan mencegah kapal lin selain milik VOC membawa cengkeh ke Eropa. Tercatat pula, pelayaran itu atas persetujuan kesultanan dan orang orang kaya di Ternate, namun persetujuan itu disepakti karena dalam kesepakatannya, pemerintah Hindia-Belanda akan mengganti semua kerugian dari semua cengkeh yang ditebang maupun yang dibakar***. 

foto Jf. Upik; hasil panen pertanian dari petani yang akan dibawa ke Kabupaten Luwuk bukan ke Sanan atau Ternate





Belanda ingkar janji, pelayaran hingga hari ini tidak ada proses ganti rugi, jangankan sepohon, setangkaipun belum diganti. Bagitulah pemerintahan saat itu. Semoga pemerintahan Taliabu saat ini tidak demikian -  Tidak lagi “janji Balanda”.

Tujuan ke Taliabu, Kapal berlayar di sisi barat pulau Taliabu.  kita disuguhi indahnya pasir putih dipadu air laut yang membiru. Pantai indah yang tidak hanya menjanjikan kedamaian, kejujuran serta keterbukaan masyarakat pesisir, tetapi menjadi saksi hidup masyarakat pesisir mengakrabi kehidupan sebagai petani sekaligus nelayan.

“ABK standby muka belakang, Kapal sandar kiri” begitu pengunguman ketika kapal hendak berlabuh di pelabuhan Wayo kecamatan Taliabu Barat, kabupaten Pulau Taliabu. Para anak buah kapal (ABK) sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara di pelabuhan, Sanak saudara menjemput keluarga yang datang atau sekedar menanti kiriman sembako dan ada becak motor (bentor) yang terpakir di depan pelabuhan menunggu jasanya dihargai. 

Ada perahu bermesin 40 dan 25 pk (paar den kraft/daya kuda) tertambat menunggu penumpang yang tinggalnya jauh dan susah dijangkau oleh kendaraan darat. Pemilik perahu yakin tidak akan ada penumpang yang gegabah memilih darat untuk pulang kerumah.

Di Taliabu, bentor dan perahu kecil bermesin adalah transportasi yang paling umum digunakan. Bentor melayani hanya di daerah dataran rendah terutama di desa Wayo dan Bobong, sedangkan perahu mesin akan menjangkau desa-desa yang lebih jauh, dan lebih sulit dijangkau oleh sepeda motor atau mobil, terutama di musim penghujan.


foto Jf. Upik; salah satu akses jalan antar desa di kecamatan Taliabu Barat








Demi menambah kecantikan kota, pemerintah Pulau Taliabu merias diri kota dengan tugu yang dibangun di tengah-tengah kota. Ditopang empat pilar yang di atasnya diletakkan cetakan cengkeh, pala dan coklat. 

Tugu itu seakan menunjukkan kebanggan pemeritah kota akan hasil pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat - bukan pertambangan. Ataukah hanya cara pemerintah menyembunyikan kerusakan akibat pertambangan – menebang tanpa ganti rugi. Memutus penghidupan masyarakat. 

foto Jf. Upik; air yang mengalir melewati badan jalan di Taliabu dimanfaatkan untuk mencuci sepeda motor.
















Jf. Upik
Peneliti di Institut Agraria Kepulauan



Ket:
*(lihat UU No 6 tahun 2013 Tentang Pembentukan kabupaten Pulau Taliabu).
**Juck Turner, 2011:103.
***https://id.wikipedia.org/wiki/Pelayaran_Hongi

1 komentar: