foto Jf. Upik: penulis yang sedang "berjudi" memilih jalan yang benar
Magrib jatuh di barat, KM. Agil Pratama
melewati celah antara Pulau Mangoli dan Taliabu. Perahu-perahu motor mulai
mendekati badan kapal hendak memuat penumpang yang akan turun. Saya di Haluan
menikmati sunset dipadu hijau Taliabu dan Mangoli. “Mungkin ini selat Capalulu”
jawab anak seusia SD ketika ditanyai oleh saya.
Baru saja mekar, pisah dari kabupaten
Kepulauan Sula (kepsul), Kabupaten Pulau Taliabu seperti seorang bayi yang
hendak tumbuh dewasa, tidak boleh membiarkan Kabupaten pulau Taliabu merangak
sendiri. Kepsul dan provinsi Maluku Utara harus menemani Taliabu hingga benar-benar
bisa “berdiri dan berlari” – menerima hibah dari Kepsul Rp. 20 milyar selama
dua tahun dan bantuan untuk pemilihan kepala daerah yang pertama dan dari
provinsi sebesar Rp. 5 milyar selama tiga tahun berturut-turut dan Rp. 5 milyar
untuk pelaksanaan pemilihan bupati yang pertama kali*.
lima tahun sudah, sejak pemekarannya pada
tahun 2013 - katanya telah melewati masa percobaan sebagai kebupaten baru. Sudah
benar-benar lepas dari asuhan Kepsul dan provinsi. Taliabu kini mekar dan
seharusnya sudah bisa berlari mengejar ketertinggalan pembangunan. Mekar dan
menebarkan “wewangi” kebijakan yang memihak masyarakat bukan kawan apalagi
keluarga.
foto Jf. Upik; salah satu nama jalan di kecamatan Taliabu Barat
Kabupaten pulau Taliabu siapa yang tidak kenal.
Tanah Salahakan itu subur. Sebatang cengkeh kering akan tumbuh lebat. Di ujung
tangkai, di antara daun hijau, tumbuh bunga-bunga cengkeh lalu matang siap
dipanen. Aromanya legit, tidak hanya menggoda pengusaha maupun tengkulak kelas
teri, tetapi juga mengundang penjajah rakus datang merampas tanah dan
pohon-pohon cengkeh di bumi Maluku. Kekayaan rempah-rempah yang menggoda dituangkan
dalam puisi Pulau Cockayne dari Irlandia abad ke 13;
Ada pohon di padang rumput, sangatlah indah dipandang.Akarnya berupa jahe dan akar lengkuas, tunasnya dari temuh putih.Bunga-bunganya berupa tiga helai bunga pala, sedang kulit kayunya
Kayu manis berbau sedap.Buahnya berupa cengkih yang sedap dan lada berekor pun berlimpah**
Jika kita mencari sejarah cengkeh maka akan
kita temukan banyak catatan sejarah yang menceritrakan kebutuhan rempah di
Eropa dan nafsu serakah kompeni telah membuat pemerintah Hindia-Belanda
melakukan pelayaran Hongi atau Hongitochten. Pelayaran itu bertujuan menebang
dan membakar cengkeh di pulau-pulau dan mencegah kapal lin selain milik VOC
membawa cengkeh ke Eropa. Tercatat pula, pelayaran itu atas persetujuan kesultanan
dan orang orang kaya di Ternate, namun persetujuan itu disepakti karena dalam kesepakatannya,
pemerintah Hindia-Belanda akan mengganti semua kerugian dari semua cengkeh yang
ditebang maupun yang dibakar***.
foto Jf. Upik; hasil panen pertanian dari petani yang akan dibawa ke Kabupaten Luwuk bukan ke Sanan atau Ternate
Belanda
ingkar janji, pelayaran hingga hari ini tidak ada proses ganti rugi, jangankan
sepohon, setangkaipun belum diganti. Bagitulah pemerintahan saat itu. Semoga
pemerintahan Taliabu saat ini tidak demikian - Tidak lagi “janji Balanda”.
Tujuan ke Taliabu, Kapal berlayar di sisi
barat pulau Taliabu. kita disuguhi
indahnya pasir putih dipadu air laut yang membiru. Pantai indah yang tidak
hanya menjanjikan kedamaian, kejujuran serta keterbukaan masyarakat pesisir,
tetapi menjadi saksi hidup masyarakat pesisir mengakrabi kehidupan sebagai
petani sekaligus nelayan.
“ABK standby
muka belakang, Kapal sandar kiri” begitu pengunguman ketika kapal hendak
berlabuh di pelabuhan Wayo kecamatan Taliabu Barat, kabupaten Pulau Taliabu. Para
anak buah kapal (ABK) sibuk dengan tugas masing-masing. Sementara di pelabuhan,
Sanak saudara menjemput keluarga yang datang atau sekedar menanti kiriman
sembako dan ada becak motor (bentor) yang terpakir di depan pelabuhan menunggu jasanya
dihargai.
Ada perahu bermesin 40 dan 25 pk (paar
den kraft/daya kuda) tertambat menunggu penumpang yang tinggalnya jauh dan
susah dijangkau oleh kendaraan darat. Pemilik perahu yakin tidak akan ada
penumpang yang gegabah memilih darat untuk pulang kerumah.
Di Taliabu, bentor dan perahu kecil bermesin
adalah transportasi yang paling umum digunakan. Bentor melayani hanya di daerah
dataran rendah terutama di desa Wayo dan Bobong, sedangkan perahu mesin akan
menjangkau desa-desa yang lebih jauh, dan lebih sulit dijangkau oleh sepeda
motor atau mobil, terutama di musim penghujan.
foto Jf. Upik; salah satu akses jalan antar desa di kecamatan Taliabu Barat
Demi menambah kecantikan kota, pemerintah Pulau Taliabu merias diri kota dengan tugu yang dibangun di tengah-tengah kota. Ditopang empat pilar yang di atasnya diletakkan cetakan cengkeh, pala dan coklat.
Tugu itu seakan menunjukkan kebanggan pemeritah kota akan hasil pertanian sebagai sumber penghidupan masyarakat - bukan pertambangan. Ataukah hanya cara pemerintah menyembunyikan kerusakan akibat pertambangan – menebang tanpa ganti rugi. Memutus penghidupan masyarakat.
foto Jf. Upik; air yang mengalir melewati badan jalan di Taliabu dimanfaatkan untuk mencuci sepeda motor.
Jf. Upik
Peneliti di Institut Agraria Kepulauan
Ket:
*(lihat UU No 6 tahun 2013 Tentang Pembentukan kabupaten Pulau Taliabu).
**Juck Turner, 2011:103.
***https://id.wikipedia.org/wiki/Pelayaran_Hongi
Tulisan yang luar biasa... salam dari anak taliabu!
BalasHapus