Random Posts

banner image

Kamis, 27 Juli 2017

ASA, CINTA DAN IMAN



















Judul Buku      : Maryam
Penyusun         : Okky Madasari
Penerbit           : Gramedia Pustaka
Cetakan           : Pertama 2012
Tebal               : 275 halaman 
ISSBN            : 978-979-22-8009-8


Dinamika kebudayaan yang ada saat ini terjadi simpang siur tentang ideologi kebangsaan yang ada di Indonesia. Dasar yang dipakai Indonesia yaitu ideologi Pancasila, yang menjadi ciri khas ke-Indonesiaan yang berdasar pada Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi, tetap satu) yang didalamnya terdapat suku, agama, ras dan antar golongan. Olehnya itu, ideologi yang dimaksudkan tentang paham menyangkut dengan asal-usul kebudayaan maupun kepercayaan yang dianut oleh bangsa-bangsa yang menjadi dasar dalam menjalani kehidupan.

Indonesia merupakan penduduk dengan enam keyakinan yang berbeda-beda, namun mayoritas beragama Islam. Dalam Islam berbagai paham lahir, namun paham-paham tersebut butuh dikaji apakah sesuai dengan ajaran Islam. Tugas tersebut dilakukan oleh lembaga agama yang dibentuk dan diakui oleh Negara yaitu Nahdathul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyah sebagai aliran yang diakui oleh negara. Dengan demikian ketika adanya komunitas yang mempunyai paham yang tidak sesuai dan diakui oleh lembaga agama yang diakui Negara maka di labeli sebagai aliran sesat.
***
Okky Madasari telah menerbitkan karyanya dalam bentuk novel yaitu Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan  Kerumunan Terakhir (2016). Diantara novel-novel tersebut yang mendapatkan penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award tahun 2012 yaitu Maryam, dan juga dalam novel tersebut telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Jerman. Kajian-kajian kebudayaan dan sejarah sosial menjadikan novel Maryam sebagai pemicu imajinasi yang kuat tentang perbedaan aliran. 

Novel Mariam ditulis Okky, melalui hasil riset selama enam bulan. Dalam novel Mariam terdapat delapan bab. Bab 1 Yang Terbuang, bab 2 Memungut Serakan, bab 3 Yang Tersatukan, bab 4 Menyusun Serpihan, bab 5 Membingkai Harapan, bab 6 Mencabik Koyakan, bab 7 Mendinginkan Api, dan bab 8 Yang Tak Bertepi. Novel tersebut pernah dipresentasekan Okky bahwa “memang benar Ahmadiyah dianggap aliran sesat tapi, negara terlalu meminggirkan mereka hingga selama tujuh tahun di pengungsian sampai sebagian warga yang melahirkan anaknya ditempat tersebut” tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan” (lihat, https://www.goodreads.com/book/show/13487232-maryam).

 Mirisnya lagi anak-anak mereka tidak dapat sekolah. begitulah kerisauan jebolan Magister Sosiologi Sastra Universitas Indonesia ini yang memicunya untuk menulis kisah tersebut di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menjadi tempat asal komunitas Ahmadiyah terbesar. Aliran Ahmadiyah yang cenderung individualis, dan pilihan-pilihan hidup diatur oleh para orang tua yang dibahas Okky pada bab  satu. Yang menarik dari uraian Okky Madasari yang juga mantan wartawan itu, menganggap bahwa diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan pancasila dalam menjaga keutuhan masyarakatnya.

Pendidikan sebagai bentuk perubahan pada komunitas Ahmadiyah yang dibahas pada bab dua, disusul dengan pesinggungan dengan masyarakat setempat sehingga terjadi konflik. Pada bab tiga, cara beragama komunitas Ahmadiyah yang ada di Gegerung selalu membatasi diri dengan lingkungan sosial mereka, maka terjadi kecemburuan sosial dan berujung maut kemudian mereka diimigrasikan ke desa Gerupuk. Pada bab keempat sosok Maryam yang lahir dari keluarga mapan dan menjadikan pendidikan sebagai dasar perubahan ketika Maryam diajak oleh keluarga untuk harus kuliah ke Jakarta. Pilihan-pilihan hidup dan cinta selalu diatur oleh orang tua Maryam, sehingga Maryam mengambil langkah untuk keluar dari aliran Ahmadiyah ketika menimba ilmu di kampus dan menikah dengan salah seorang yang berbeda iman bernama Alam. Lambat laun, hubungan mereka pupus karena selalu diintervensi oleh orang tua Alam yang mengganggap Maryam mandul. 

Pada bab kelima, Maryam yang telah ditinggalkan oleh suaminya memilih kembali ke Lombok untuk mencari keberadaan orang tuanya yang telah lama tidak berkomunikasi, dengan hati yang penuh risau. Kemudian Maryam menjelajahi Gegerung tapi, penjelajahannya pupus karena mereka telah dipindahkan dari desa dengan pelabelan aliran sesat menjadi pemicu hingga berujung maut. Gegeruk mulai menjadi pemukiman baru bagi orang tua Maryam. Dengan rasa bersalah Maryam pun bertobat dan kembali ke Ahmadiyah yang telah lama ditinggalkannya waktu bersama Alam di Jakarta. Berjalannya waktu, Maryam dijodohkan kembali dengan umar ketika masih di Gegerung. Umar menjadi pilihan hidupnya karena seiman dengannya.

Pada bab enam dan tujuh, keluarga Maryam dan warga Ahmadiyah menjalani hidup seperti biasanya tapi, isu-isu aliran sesat mulai bermunculan kembali hingga bisnis yang telah dijalankan Maryam dan Umar mengalami kebangkrutan. Mereka kemudian mengungsi ke gedung Transito karena konflik kembali terjadi hingga salah satu warga melahirkan anaknya di gedung tempat pengungsian tersebut. Selama di pengungsian anak-anak mereka tidak dapat bersekolah hingga Maryam dan Umar mulai mencari suaka kesana-kemari tetapi usaha tersebut tidak pernah berhasil.

Bab terakhir delapan, Maryam menyurati pemerintah sebagai bentuk pengakuan, dalam surat ketiganya Maryam menulis tentang diskriminasi yang terjadi di Lombok Nusa Tenggara Barat namun tidak di digubris. Sehingga selama enam tahun di gedung Transito ayah Maryam meninggal dunia dan sesuai dengan wasiat yang disampaikan bapak kepada Maryam agar dimakamkan dekat dengan kakek Maryam yang berada di Gegerung.  Namun prosesi pemakaman dilarang masyarakat setempat padahal tanah kuburan di desa Gegerung adalah tanah warisan milik keluarga Maryam yang telah dihibahkan. 

Kisah penuh liku, pilu dan luka tersebut digambarkan Okky melalui tokoh utama Maryam Hayati dalam novel berjudul Maryam ini menjadi pintu masuk memahami konteks masyarakat Indonesia tentang diskriminasi umat minoritas saat ini. Menjadi minoritas sama halnya menjadi orang-orang kalah. Kalah karena ketakberdayaan, kalah karena tidak dianggap, tidak diakui oleh Negara sebagai sebuah aliran dalam Islam. Disini kata sesat menjadi senjata paling ampuh untuk menghukum sebagian masyarakat. Sehingga kemajemukan Indonesia dan keberagaman keyakinan, juga aliran hanya berlaku pada teks-teks undang-undang tentang melindungi segenap rakyat Indonesia. Namun selebihnya kemajemukan masih harus dipikirkan kembali, sebab diskriminasi masih merajalela dalam tiap kehidupan sehari-hari di bangsa ini. []

Pegiat PILAS Institute

0 komentar:

Posting Komentar