Judul Buku : Maryam
Penyusun : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka
Cetakan : Pertama 2012
Tebal : 275 halaman
ISSBN : 978-979-22-8009-8
ISSBN : 978-979-22-8009-8
Dinamika
kebudayaan yang ada saat ini terjadi simpang siur tentang ideologi kebangsaan
yang ada di Indonesia. Dasar yang dipakai Indonesia yaitu ideologi Pancasila, yang
menjadi ciri khas ke-Indonesiaan yang berdasar pada Bhinneka Tunggal Ika
(berbeda-beda tapi, tetap satu) yang didalamnya terdapat suku, agama, ras dan
antar golongan. Olehnya itu, ideologi yang dimaksudkan tentang paham menyangkut
dengan asal-usul kebudayaan maupun kepercayaan yang dianut oleh bangsa-bangsa
yang menjadi dasar dalam menjalani kehidupan.
Indonesia merupakan penduduk dengan enam keyakinan yang berbeda-beda, namun mayoritas beragama Islam. Dalam Islam berbagai paham lahir, namun paham-paham tersebut butuh dikaji apakah sesuai dengan ajaran Islam. Tugas tersebut dilakukan oleh lembaga agama yang dibentuk dan diakui oleh Negara yaitu Nahdathul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyah sebagai aliran yang diakui oleh negara. Dengan demikian ketika adanya komunitas yang mempunyai paham yang tidak sesuai dan diakui oleh lembaga agama yang diakui Negara maka di labeli sebagai aliran sesat.
***
Okky
Madasari telah menerbitkan karyanya dalam bentuk novel yaitu Entrok (2010), 86
(2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan
Kerumunan Terakhir (2016). Diantara novel-novel tersebut yang mendapatkan
penghargaan dari Khatulistiwa Literary
Award tahun 2012 yaitu Maryam, dan juga dalam novel tersebut telah
diterjemahkan dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Jerman. Kajian-kajian
kebudayaan dan sejarah sosial menjadikan novel Maryam sebagai pemicu imajinasi
yang kuat tentang perbedaan aliran.
Mirisnya
lagi anak-anak mereka tidak dapat sekolah. begitulah kerisauan jebolan Magister
Sosiologi Sastra Universitas Indonesia ini yang memicunya untuk menulis kisah
tersebut di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menjadi tempat asal komunitas
Ahmadiyah terbesar. Aliran Ahmadiyah yang cenderung individualis, dan
pilihan-pilihan hidup diatur oleh para orang tua yang dibahas Okky pada
bab satu. Yang menarik dari uraian Okky
Madasari yang juga mantan wartawan itu, menganggap bahwa diskriminasi terhadap
komunitas Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan pancasila dalam menjaga keutuhan
masyarakatnya.
Pendidikan
sebagai bentuk perubahan pada komunitas Ahmadiyah yang dibahas pada bab dua,
disusul dengan pesinggungan dengan masyarakat setempat sehingga terjadi
konflik. Pada bab tiga, cara beragama komunitas Ahmadiyah yang ada di Gegerung
selalu membatasi diri dengan lingkungan sosial mereka, maka terjadi kecemburuan
sosial dan berujung maut kemudian mereka diimigrasikan ke desa Gerupuk. Pada
bab keempat sosok Maryam yang lahir dari keluarga mapan dan menjadikan pendidikan sebagai dasar perubahan ketika Maryam diajak oleh keluarga untuk
harus kuliah ke Jakarta. Pilihan-pilihan hidup dan cinta selalu diatur oleh
orang tua Maryam, sehingga Maryam mengambil langkah untuk keluar dari aliran Ahmadiyah
ketika menimba ilmu di kampus dan menikah dengan salah seorang yang berbeda iman
bernama Alam. Lambat laun, hubungan mereka pupus karena selalu diintervensi
oleh orang tua Alam yang mengganggap Maryam mandul.
Pada
bab kelima, Maryam yang telah ditinggalkan oleh suaminya memilih kembali ke
Lombok untuk mencari keberadaan orang tuanya yang telah lama tidak
berkomunikasi, dengan hati yang penuh risau. Kemudian Maryam menjelajahi
Gegerung tapi, penjelajahannya pupus karena mereka telah dipindahkan dari desa
dengan pelabelan aliran sesat menjadi pemicu hingga berujung maut. Gegeruk
mulai menjadi pemukiman baru bagi orang tua Maryam. Dengan rasa bersalah Maryam
pun bertobat dan kembali ke Ahmadiyah yang telah lama ditinggalkannya waktu
bersama Alam di Jakarta. Berjalannya waktu, Maryam dijodohkan kembali dengan
umar ketika masih di Gegerung. Umar menjadi pilihan hidupnya karena seiman dengannya.
Pada
bab enam dan tujuh, keluarga Maryam dan warga Ahmadiyah menjalani hidup seperti
biasanya tapi, isu-isu aliran sesat mulai bermunculan kembali hingga bisnis
yang telah dijalankan Maryam dan Umar mengalami kebangkrutan. Mereka kemudian
mengungsi ke gedung Transito karena konflik kembali terjadi hingga salah satu
warga melahirkan anaknya di gedung tempat pengungsian tersebut. Selama di pengungsian
anak-anak mereka tidak dapat bersekolah hingga Maryam dan Umar mulai mencari
suaka kesana-kemari tetapi usaha tersebut tidak pernah berhasil.
Bab
terakhir delapan, Maryam menyurati pemerintah sebagai bentuk pengakuan, dalam
surat ketiganya Maryam menulis tentang diskriminasi yang terjadi di Lombok Nusa
Tenggara Barat namun tidak di digubris. Sehingga selama enam tahun di gedung
Transito ayah Maryam meninggal dunia dan sesuai dengan wasiat yang disampaikan
bapak kepada Maryam agar dimakamkan dekat dengan kakek Maryam yang berada di
Gegerung. Namun prosesi pemakaman dilarang
masyarakat setempat padahal tanah kuburan di desa Gegerung adalah tanah warisan
milik keluarga Maryam yang telah dihibahkan.
Kisah
penuh liku, pilu dan luka tersebut digambarkan Okky melalui tokoh utama Maryam
Hayati dalam novel berjudul Maryam ini menjadi pintu masuk memahami konteks masyarakat
Indonesia tentang diskriminasi umat minoritas saat ini. Menjadi minoritas sama
halnya menjadi orang-orang kalah. Kalah karena ketakberdayaan, kalah karena
tidak dianggap, tidak diakui oleh Negara sebagai sebuah aliran dalam Islam. Disini
kata sesat menjadi senjata paling ampuh untuk menghukum sebagian masyarakat. Sehingga
kemajemukan Indonesia dan keberagaman keyakinan, juga aliran hanya berlaku pada
teks-teks undang-undang tentang melindungi segenap rakyat Indonesia. Namun selebihnya
kemajemukan masih harus dipikirkan kembali, sebab diskriminasi masih merajalela
dalam tiap kehidupan sehari-hari di bangsa ini. []
Oleh: Risman Farasdaq
Pegiat PILAS Institute
0 komentar:
Posting Komentar