Berbicara mengenai perempuan, apabila kita mengacu
pada pemahaman masyarakat umum yang memandang perempuan adalah makhluk
lemah-lembut, penyayang dan perhatian.
Pemahaman seperti demikian telah berlangsung mengakar kuat serta menjadi suatu
wacana dan mendominasi kehidupan kaum perempuan. Konstruksi pemahaman akan
feminitas perempuan tersirat akan makna domestikasi.
Arena
di mana perempuan ditempatkan pada tepi marginalitas; terciptanya batas-batas
makin melebar antara arena domestik dan publik. Hal tersebut tentu berdampak
pada semacam terjadi pertarungan tak terindra antara patriarki dan matriarki
berlangsung secara berkesinambungan. Pertarungan dimaksud, di mana perjuangan
perempuan untuk mendapat tempat di publik layaknya laki-laki. Pertarungan
silang antara kedua aliran ini pada konteks kehidupan sehari-hari memberi kesan
akan penaklukkan dan kekalahan memihak pada perempuan. Dapat dikatakan demikian
dikarenakan suatu masyarakat memiliki perangkat nilai, norma, kultur yang dapat
mengatur dan mengontrol laku perbuatan manusia terutama kaum perempuan.
Jika ditinjau dari perspektif kebebasan perangkat
nilai tersebut memberi kelonggaran atau kebebasan pada laki-laki misalnya dalam
sebuah keluarga terdapat dua orang anak; satunya perempuan dan satunya lagi,
laki-laki yang dalam jenjang penempuh pendidikan di perguruan tinggi tentu akan
sangat diutamakan laki-laki. Persoalan ini sangat berhubungan erat dengan stereotype yang melekat pada pemahaman
orang tua bahwa anak perempuan sebelum menyelesaikan studi kerapkali melangsungkan
pernikahan akibat hamil di luar nikah atau dalam istilah keseharian kita
disebut kecelakaan.
Hal seperti inilah kadang-kadang melunturkan
kepercayaan orang tua terhadap anak perempuan. Fenomena tersebut dapat kita
cermati pada kehidupan sehari-hari, dan ini hanyalah salah satu contoh kasus
walaupun telah diakui bahwa begitu banyak wanita karier. Namun stereotype bahwa perempuan tempatnya
adalah ruang domestik masih relatif kuat dipegang oleh masyarakat tertentu
sesuai tradisi yang dianut.
Perempuan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah
perempuan dalam konteks pedesaan dimana kekuatan tradisi dijunjung dan
dilestarikan oleh masyarakat. Artikel ini saya mencoba mengisahkan pengalaman
ketika pulang di kampung halaman dan menyaksikan pertengkaran seorang anak
perempuan dan ibunya. Bagi masyarakat pedesaan yang jarang tersentuh dengan
masalah globalisasi, tradisi sangat dijunjung tinggi oleh mereka.
Sebelum jauh membahas persoalan ini perlu kita
kembali melacak defenisi tradisi. Kata tradition
(tradisi) berasal dari bahasa Latin trader
— menyerahkan, menyampaikan (Denzin & Lincoln, 2009:75). Menurut Oxford English Dictionary, tradition (tradisi) berarti penyerahan
artefak dan praktik gerejawi dari satu pengurus ke pengurus lainnya. Dari
perspektif etimologis, tradisi memiliki tiga unsur: praktisi-penjaga, praktik
dan artefak. Merujuk pada defenisi tersebut maka yang diharapkan masyarakat
ialah penyerahan, artefak dan praktik sakral dari tradisi perlu dipertahankan
atau dilestarikan sepanjang jaman.
Kembali pada kasus pertengkaran seorang anak
perempuan dengan ibunya. Pada suatu sore, Rabu 28 Juni 2017 pukul 16.47 seorang
anak perempuan, Nifa demikian nama sapaannya. Dalam jenjang pendidikan, Nifa
adalah seorang Sarjana Biologi (S1) yang mengajar di salah satu SMP Negeri 1 Negeri
Kabau, dan ia juga menyandang status bendahara pada organisasi kepemudaan.
Organisasi pemuda melaksanakan suatu kegiatan kepemudaan, dan sebagai bendahara
tentu ia juga harus terlibat aktif dalam kegiatan tersebut hingga sore
menjelang malam. Tatkala ia pulang ke rumah tak ada tanda-tanda senyum pada
raut wajah ibunya. Tak melihat tanda senyum, ia pun dapat memahami hal tersebut
bahwa ibunya sedang marah. Sebagai perempuan karier, tentu Nifa selalu menceburkan
diri dalam kegiatan-kegiatan publik di satu sisi, dan di sisi yang lain ia juga
seperti perempuan desa pada umumnya dan harus kembali pada pembiasaan lama
yakni arena domestik. Demikian pemahaman masyarakat pedesaan tentang peran perempuan.
Nifa pun kembali melaksanakan kegiatan rutinnya
seperti perempuan pada umumnya yakni mencuci piring kotor tanpa sepatah katapun.
Tiba-tiba terdengar suara dibalik dinding papan ruang dapur, tempat ibunya
memasak; bunyi suara begitu deras penuh amarah, dan menekankan peran serta
tempat yang seharusnya bagi perempuan. Luapan amarah itu bersumber dari ibunya
dengan ocehan: perempuan satu kong bajalang
sampe malam itu, seng cuci piring kotor, seng mamasa; parampuang itu, bajalang
tapi harus tau waktunya pulang untuk mamasa (perempuan tak boleh keluar
hingga malam, tempat perempuan di rumah dan tugasnya adalah memasak; perempuan
itu bisa keluar, akan tetapi tahu waktunya pulang dan memasak).
Dari jarak berkisar 20 meter bapaknya duduk di
sebuah tempat duduk dan mengamati ocehan istri terhadapnya anaknya, tetapi, ia
hanya tersenyum tak bersuara apapun. Karena ibunya terus mengoceh sehingga ia pun
geram, naik pitam dan penuh amarah dia memarahi ibunya dengan nada cukup deras:
cooeeeee, sudah malam deng apa ini kong
marah-marah dan baribut sampe (Tidak perlu ribut dan marah karena hari
sudah menjelang malam). Ibunya merespon dengan nada suara yang berbunyi: bajalang-bajalang kong seng mati di jalan
itu (mati saja di jalanan, jika hidup cuma di jalanan). Mendengar itu, Nifa
membalas ocehan ibunya penuh nada pasrah: kalo
kamong begini, dan beta disumpah seperti ini lebih baik beta mati dari pada
dapa marah terus hanya karena seng mamasa dan cuci piring kotor (kalau saya disumpah seperti demikian jauh
lebih baik saya mati ketimbang terus-menerus dimarahi hanya karena persoalan
kecil yakni absen di dapur). Nada pesimisnya membuat ibunya kembali terdiam,
tak bersuara, tak saling menyapa dan terhentilah silang ocehan mereka.
Pertengkaran antara ibu dan anak sangat berhubungan
dengan bagaimana persepsi sang ibu terkait peran perempuan sesuai tradisi yang
sudah sekian lama dianut. Sebagaimana defenisi dan beberapa unsur tradisi di
atas, dimana pemahaman sang ibu bahwa ruang domestik adalah tempat bagi
perempuan karena itu merupakan pembiasaan turun-temurun (menyerahkan) serta
perlu dipraktikan oleh anak perempuan. Sebagai wanita karier, pemahaman Nifa
telah bergeser, meluas, melampaui batas-batas tradisi dan lebih mengutamakan
arena publik. Dalam perspektif tradisi, dapur merupakan symbol artefak domestik
bagi perempuan pedesaan. Pada sisi lain, tekanan tradisi memicu perlawanan
keras sebagaimana tergambar pada nada pesimis seorang wanita karier yang
mengutamakan arena publik ketimbang domestik.
Dalam konteks perubahan, pribadi seorang Nifa sesuai
gelar Sarjana yang disandangnya tentu membuat watak, pemahamannya sudah pasti
berubah: ruang domestik adalah suatu hal kecil yang bahkan membuat perempuan
tidak berkembang dan produktif. Menurut Giddens (2003:37), tradisi adalah
sesuatu yang diciptakan dan diciptakan kembali. Artinya bahwa suatu tradisi
akan mengalami perubahan atau diciptakan kembali dalam perkembangan jaman sebagaimana
perlawanan Nifa yang memberi kesan bahwa tradisi perlu memberi ruang dan peran
lebih luas pada perempuan.
Persilangan persepsi antara ibu dan sang anak
memperlihatkan perbedaan praktik pemahaman, di mana sang ibu lebih menekankan
arena mikro (tradisi) dan sang anak lebih utamakan masalah makro (publik). Kontraversi
praktik pemahaman yang tidak saling memisahkan ini diperlukan refleksi
pemahaman konstrukstif dimana kreativitas dan produktivitas laki-laki maupun
perempuan dikembangkan dalam konteks relasional.
Sehingga perempuan tidak
selalu ditempatkan pada ruang domestik, akan tetapi berperan aktif pada arena
publik sebab karakter dingin, cinta dan penyayang yang dimiliki perempuan
adalah potensi yang cukup signifikan. Karena, membangun tanpa cinta adalah
patologi sosial. Erich From, mengatakan bukan sekedar cinta tapi rasa cinta
terhadap hidup itu sendiri, terhadap sesuatu yang tumbuh dan berkembang (2007:
xvi). Keterlibatan aktif perempuan di ruang publik seperti halnya seorang Nifa
mengilustrasikan rasa cinta akan perkembangan dan kemajuan publik. Pada titik
ini, tradisi tidak harus dimaknai secara sempit yang menekan serta memenjarakan
kaum perempuan, akan tetapi diperluas maknanya dan diintegrasikan dengan publik
sehingga keduanya berperan aktif dalam menopang perkembangan kapasitas
perempuan[].
Penulis :
Masyaa Allah, ini benar-benar pencerahan dan tamparan keras buat saya pribadi juga para perempuan lainnya. Terima kasih, tulisannya keren.
BalasHapus