Random Posts

banner image

Kamis, 13 Juli 2017

PEREMPUAN DAN TRADISI

Berbicara mengenai perempuan, apabila kita mengacu pada pemahaman masyarakat umum yang memandang perempuan adalah makhluk lemah-lembut, penyayang  dan perhatian. Pemahaman seperti demikian telah berlangsung mengakar kuat serta menjadi suatu wacana dan mendominasi kehidupan kaum perempuan. Konstruksi pemahaman akan feminitas perempuan tersirat akan makna domestikasi.
          Arena di mana perempuan ditempatkan pada tepi marginalitas; terciptanya batas-batas makin melebar antara arena domestik dan publik. Hal tersebut tentu berdampak pada semacam terjadi pertarungan tak terindra antara patriarki dan matriarki berlangsung secara berkesinambungan. Pertarungan dimaksud, di mana perjuangan perempuan untuk mendapat tempat di publik layaknya laki-laki. Pertarungan silang antara kedua aliran ini pada konteks kehidupan sehari-hari memberi kesan akan penaklukkan dan kekalahan memihak pada perempuan. Dapat dikatakan demikian dikarenakan suatu masyarakat memiliki perangkat nilai, norma, kultur yang dapat mengatur dan mengontrol laku perbuatan manusia terutama kaum perempuan.
Jika ditinjau dari perspektif kebebasan perangkat nilai tersebut memberi kelonggaran atau kebebasan pada laki-laki misalnya dalam sebuah keluarga terdapat dua orang anak; satunya perempuan dan satunya lagi, laki-laki yang dalam jenjang penempuh pendidikan di perguruan tinggi tentu akan sangat diutamakan laki-laki. Persoalan ini sangat berhubungan erat dengan stereotype yang melekat pada pemahaman orang tua bahwa anak perempuan sebelum menyelesaikan studi kerapkali melangsungkan pernikahan akibat hamil di luar nikah atau dalam istilah keseharian kita disebut kecelakaan.
Hal seperti inilah kadang-kadang melunturkan kepercayaan orang tua terhadap anak perempuan. Fenomena tersebut dapat kita cermati pada kehidupan sehari-hari, dan ini hanyalah salah satu contoh kasus walaupun telah diakui bahwa begitu banyak wanita karier. Namun stereotype bahwa perempuan tempatnya adalah ruang domestik masih relatif kuat dipegang oleh masyarakat tertentu sesuai tradisi yang dianut.
Perempuan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah perempuan dalam konteks pedesaan dimana kekuatan tradisi dijunjung dan dilestarikan oleh masyarakat. Artikel ini saya mencoba mengisahkan pengalaman ketika pulang di kampung halaman dan menyaksikan pertengkaran seorang anak perempuan dan ibunya. Bagi masyarakat pedesaan yang jarang tersentuh dengan masalah globalisasi, tradisi sangat dijunjung tinggi oleh mereka.
Sebelum jauh membahas persoalan ini perlu kita kembali melacak defenisi tradisi. Kata tradition (tradisi) berasal dari bahasa Latin trader — menyerahkan, menyampaikan (Denzin & Lincoln, 2009:75). Menurut Oxford English Dictionary, tradition (tradisi) berarti penyerahan artefak dan praktik gerejawi dari satu pengurus ke pengurus lainnya. Dari perspektif etimologis, tradisi memiliki tiga unsur: praktisi-penjaga, praktik dan artefak. Merujuk pada defenisi tersebut maka yang diharapkan masyarakat ialah penyerahan, artefak dan praktik sakral dari tradisi perlu dipertahankan atau dilestarikan sepanjang jaman.
Kembali pada kasus pertengkaran seorang anak perempuan dengan ibunya. Pada suatu sore, Rabu 28 Juni 2017 pukul 16.47 seorang anak perempuan, Nifa demikian nama sapaannya. Dalam jenjang pendidikan, Nifa adalah seorang Sarjana Biologi (S1) yang mengajar di salah satu SMP Negeri 1 Negeri Kabau, dan ia juga menyandang status bendahara pada organisasi kepemudaan. Organisasi pemuda melaksanakan suatu kegiatan kepemudaan, dan sebagai bendahara tentu ia juga harus terlibat aktif dalam kegiatan tersebut hingga sore menjelang malam. Tatkala ia pulang ke rumah tak ada tanda-tanda senyum pada raut wajah ibunya. Tak melihat tanda senyum, ia pun dapat memahami hal tersebut bahwa ibunya sedang marah. Sebagai perempuan karier, tentu Nifa selalu menceburkan diri dalam kegiatan-kegiatan publik di satu sisi, dan di sisi yang lain ia juga seperti perempuan desa pada umumnya dan harus kembali pada pembiasaan lama yakni arena domestik. Demikian pemahaman masyarakat pedesaan tentang peran perempuan.
Nifa pun kembali melaksanakan kegiatan rutinnya seperti perempuan pada umumnya yakni mencuci piring kotor tanpa sepatah katapun. Tiba-tiba terdengar suara dibalik dinding papan ruang dapur, tempat ibunya memasak; bunyi suara begitu deras penuh amarah, dan menekankan peran serta tempat yang seharusnya bagi perempuan. Luapan amarah itu bersumber dari ibunya dengan ocehan: perempuan satu kong bajalang sampe malam itu, seng cuci piring kotor, seng mamasa; parampuang itu, bajalang tapi harus tau waktunya pulang untuk mamasa (perempuan tak boleh keluar hingga malam, tempat perempuan di rumah dan tugasnya adalah memasak; perempuan itu bisa keluar, akan tetapi tahu waktunya pulang dan memasak).
Dari jarak berkisar 20 meter bapaknya duduk di sebuah tempat duduk dan mengamati ocehan istri terhadapnya anaknya, tetapi, ia hanya tersenyum tak bersuara apapun. Karena ibunya terus mengoceh sehingga ia pun geram, naik pitam dan penuh amarah dia memarahi ibunya dengan nada cukup deras: cooeeeee, sudah malam deng apa ini kong marah-marah dan baribut sampe (Tidak perlu ribut dan marah karena hari sudah menjelang malam). Ibunya merespon dengan nada suara yang berbunyi: bajalang-bajalang kong seng mati di jalan itu (mati saja di jalanan, jika hidup cuma di jalanan). Mendengar itu, Nifa membalas ocehan ibunya penuh nada pasrah: kalo kamong begini, dan beta disumpah seperti ini lebih baik beta mati dari pada dapa marah terus hanya karena seng mamasa dan cuci piring kotor  (kalau saya disumpah seperti demikian jauh lebih baik saya mati ketimbang terus-menerus dimarahi hanya karena persoalan kecil yakni absen di dapur). Nada pesimisnya membuat ibunya kembali terdiam, tak bersuara, tak saling menyapa dan terhentilah silang ocehan mereka.
Pertengkaran antara ibu dan anak sangat berhubungan dengan bagaimana persepsi sang ibu terkait peran perempuan sesuai tradisi yang sudah sekian lama dianut. Sebagaimana defenisi dan beberapa unsur tradisi di atas, dimana pemahaman sang ibu bahwa ruang domestik adalah tempat bagi perempuan karena itu merupakan pembiasaan turun-temurun (menyerahkan) serta perlu dipraktikan oleh anak perempuan. Sebagai wanita karier, pemahaman Nifa telah bergeser, meluas, melampaui batas-batas tradisi dan lebih mengutamakan arena publik. Dalam perspektif tradisi, dapur merupakan symbol artefak domestik bagi perempuan pedesaan. Pada sisi lain, tekanan tradisi memicu perlawanan keras sebagaimana tergambar pada nada pesimis seorang wanita karier yang mengutamakan arena publik ketimbang domestik.
Dalam konteks perubahan, pribadi seorang Nifa sesuai gelar Sarjana yang disandangnya tentu membuat watak, pemahamannya sudah pasti berubah: ruang domestik adalah suatu hal kecil yang bahkan membuat perempuan tidak berkembang dan produktif. Menurut Giddens (2003:37), tradisi adalah sesuatu yang diciptakan dan diciptakan kembali. Artinya bahwa suatu tradisi akan mengalami perubahan atau diciptakan kembali dalam perkembangan jaman sebagaimana perlawanan Nifa yang memberi kesan bahwa tradisi perlu memberi ruang dan peran lebih luas pada perempuan.

Persilangan persepsi antara ibu dan sang anak memperlihatkan perbedaan praktik pemahaman, di mana sang ibu lebih menekankan arena mikro (tradisi) dan sang anak lebih utamakan masalah makro (publik). Kontraversi praktik pemahaman yang tidak saling memisahkan ini diperlukan refleksi pemahaman konstrukstif dimana kreativitas dan produktivitas laki-laki maupun perempuan dikembangkan dalam konteks relasional. 
Sehingga perempuan tidak selalu ditempatkan pada ruang domestik, akan tetapi berperan aktif pada arena publik sebab karakter dingin, cinta dan penyayang yang dimiliki perempuan adalah potensi yang cukup signifikan. Karena, membangun tanpa cinta adalah patologi sosial. Erich From, mengatakan bukan sekedar cinta tapi rasa cinta terhadap hidup itu sendiri, terhadap sesuatu yang tumbuh dan berkembang (2007: xvi). Keterlibatan aktif perempuan di ruang publik seperti halnya seorang Nifa mengilustrasikan rasa cinta akan perkembangan dan kemajuan publik. Pada titik ini, tradisi tidak harus dimaknai secara sempit yang menekan serta memenjarakan kaum perempuan, akan tetapi diperluas maknanya dan diintegrasikan dengan publik sehingga keduanya berperan aktif dalam menopang perkembangan kapasitas perempuan[].


Penulis : 


1 komentar:

  1. Masyaa Allah, ini benar-benar pencerahan dan tamparan keras buat saya pribadi juga para perempuan lainnya. Terima kasih, tulisannya keren.

    BalasHapus