Random Posts

banner image

Minggu, 09 Juli 2017

“Dua pembeda, kesamaan dalam berkarya” Romo Mangunwijaya dan Le Corbusier

“Bangunan, biar benda mati, namun tidak berarti tak “berjiwa”. Kata-kata Mangun wijaya ini dikutip dari buku pasal-pasal penghantar fisika bangunan penerbit Gramedia Jakarta 1980.

Ilustrasi wajah perkotaan akan mendidik masyarakatnya secara visual untuk lebih memilih kehidupannya dibandingkan memilih untuk menata lingkungannya. Dilihat sepintas tentang wajah kota yang disinggapi, melahirkan wacana-wacana kritis tentang kota yang majemuk dan kota yang sumuk.

Dua tokoh arsitektur dunia ini menjadi preseden dalam mendesain sebuah kota berbasis mikro. Mereka berdua sudah tidak asing di telinga kalangan para arsitek dan sosiolog. Mereka secara terang-terangan membuat perbedaan cara kerja dan cara berkarya dalam menghadapi era-modernism. Mereka menjadi pembeda antara dua generasi dalam konseptual dengan periodesasi yang tidak jauh berbeda.

Berbeda dengan Mangunwijaya, Le Corbusier menjadi seorang pelaku kesenian yang taat, mengawali karirnya sebagai pelukis dan penulis. Mungkin banyak yang belum mengenalnya. Le Corbusier ialah salah satu tokoh arsitektur yang menggagas konsep pola desain arsitektur modern yang sekarang ini banyak kita nikmati.  Tetapi, jangan disebut sebagai satu-satunya arsitek yang mencetuskan masa jaya arsitektur modern, karena Theo Van Doesberg dan De Stijl di Holland punya andil dalam melahirkan masa jaya arsitektur modern, di samping Constructivism di Rusia dan Bauhaus di Jerman. Tetapi jika dibutuhkan seorang pahlawan untuk masa jaya tersebut maka tidak salah lagi Le Corbu adalah orangnya, karena tulisan-tulisannya dan bangunannya yang telah ada. 

Le Corbu dalam karirnya sebagai arsitek, mula-mula dia mendesain beberapa macam gaya dan pada tahun 20-an muncullah teori yang pertama dengan nama "Purism" dan pada tahun 50-an desainnya berubah kearah pahatan (sculptural form) dengan bahan beton yang tidak dihaluskan permukaannya dan aliran ini dinamakan "Brutalism". Sebenarnya "Purism" adalah nama artikel mengenai filsafat estetika yang ditulis oleh Amedee Ozenfant, seorang penulis mengenai seni, estetika dan arsitektur, pada tahun 1921. Ozenfant juga dikenal sebagai rekan kerja Le Corbusier. Le Corbu dengan desain yang mengesankan dan dikenal dunia ialah “Gedung PBB di New York dan United Habitation di Marsille”.

Sebelum lahirnya "Purism", Le Corbu bereksperimen dengan beberapa gaya masa lalu dan di antaranya menguasai gaya Renaissance Italia. Le Corbusier juga membuat beberapa rencana-rencana yang tidak dibangun dengan idea-idea yang baru dalam arsitektur, misalnya "Dom-Ino System" (1914) yang memperlihatkan sistem fabrikasi dalam bangunan dan idea ini adalah awal mula sistem pembuatan bangunan secara masal.

Dalam bukunya "Towards a New Architecture" dia menekankan segi moral dan kebenaran dalam arsitektur. Dia juga mengatakan tidak ada toleransi bagi kepalsuan dan kita akan hancur dalam ketidakbenaran. Dia juga mengatakan bahwa hubungan antara kita dan alam raya berdasarkan geometri, rasio matematik dan kebenaran yang sejati dan ini berarti bahwa hubungan tersebut terjadi berbau teknologi dan dia memang menuju keindahan dari produksi teknologi.

Walaupun berbeda dengan Le Corbu, Romo Mangunwijaya sangat mengedepankan tentang fungsi manusianya dan budaya berbasis sebuah pengetahuan rasional dalam kehidupan perkotaan. Sehingga dalam pandangan mangunwijaya tentang rasional aristektur nusantara berada pada tataran logika dan perasaan sosio-kultur. Bukan hanya Le Corbu dalam menciptakan desain arsitektur nyata, mangunwijaya dalam periodesasinya membuat 48 karya arsitektur di hampir seluruh daerah di Indonesia yang sangat responsive terhadap filosofi “Walaupun kebanyakan ialah Gereja” termasuk Gereja Katedral di Ambon 1993 (yang tidak jadi dibangun karena alasan politik), banyak penghargaan yang masuk dari nasional dan internasional termasuk yang paling mengesankan ialah desain kali code di Yogyakarta yang memperoleh penghargaan dunia dari Aga Khan Award for Architecture.


Kedua tokoh ini, mengedapankan sebuah karya Arsitektur yang bermoral tanpa ada kebohongan, tetapi di lain sisi, mereka berdua berbeda dalam pandangan fungsionalitas dan cara kerja estetika. Mangunwijaya dengan konsep dasar “Filosofi Guna dan Citra”, sedangkan Le Corbu dengan konseptual dasarnya ialah “Semangat Arsitektur Modern yang efesien dan Terpadu”. (inilah pilihan dalam berasitektur).


Penulis :




0 komentar:

Posting Komentar