Random Posts

banner image

Senin, 03 Juli 2017

BATAS: BISAKAH CINTA BERTAHAN ?



Ada ungkapan semacam hidup adalah sebuah komedi atau bisa jadi hidup merupakan sebuah tragedi. Siapa yang tahu kemana alur hidup jika seseorang menganggap ia lahir dan menentukan eksistensinya sendiri, dan mungkin saja setiap orang lahir dan menghamba bahwa manusia telah ditentukan nasibnya sendiri lalu berdiamlah. Sebab pada akhirnya nasib telah tertulis di langit, di semesta yang tidak kita pahami kapan akan berakhir.

Hujan tak kunjung reda, aku ingin bertanya kekasih, tahukah kau apa itu cinta? Atau setidaknya axios (nilai) dari cinta? Darimana ia berasal? Apa yang menyusun hingga menjadi cinta? Jika kau bertanya padaku apa artinya dan atau berapa nilainya, aku menjamin kau menemukan aku dalam keadaan gagap; tak terkata, tak bersuara, yang ada hanya getaran entah di mana asalnya, dan senyum-senyum sendiri, itu sebuah kepastian kiranya yang bisa kau dapatkan dari jawabanku.

Jika kau pernah membaca Catatan Pinggir milik Goenawan Muhammad di Majalah Tempo, dalam satu tulisannya ia menulis soal tepi, di mana perjumpaan globalisasi bertemu dengan tradisional, ada ucapan selamat datang yang tak tertulis di sana, atau ucapan selamat jalan, tapi bagiku tepi adalah batas. Batas di mana kakimu kau langkahkan menemui dunia baru, dunia dengan pengalaman baru, menemukan segala cinta dalam bentuk lain dari setiap bentuk cinta yang pernah kau temui misalnya, dan kau pada akhirnya memilih melangkah atau tidak sama sekali. Dan ini kuceritakan pada kau tentang batas dan sebuah cinta.

Kekasih, bagiku hal yang diberi nama batas  bukan saja mengandung arti jangan atau larangan, rupanya bagiku adalah seruan, semisal seorang apabila kita katakan jangan lakukan itu, pada akhirnya ia akan mencoba melakukannya, berusaha menggapainya hingga akhirnya ia akan tahu bahwa benar tak bisa dilakukan. Pernah kau dengar cerita Adam, Hawa, dan buah khuldi. Aku mengulangi ceritanya secara singkat walau kau mungkin berulangkali telah mendengarnya, saat Adam dan Hawa di surga, Tuhan melarang mereka mendekati buah khuldi, namun pada akhirnya tak terelakan Adam memakan buah khuldi atas permintaan Hawa, dan terbuang ke dunia. Apakah batas ini kemudian melahirkan cinta, ataukah cinta yang kemudian melahirkan manusia melewati batas.

Kini kuberitahu kau sebuah cerita cinta dan batas di kampungku ini, di tengah membaranya Halut Halbar, kau masih bisa menemukan sebuah rumah tangga dengan istri berpihak ke Halut dan suami ke Halbar, atau ibu ke Halut dan anak ke Halbar, kau mungkin tak percaya, bagaimana bisa sepasang suami istri bisa hidup rukun di antara batas ini, tapi inilah kenyataannya, sebuah realitas yang dihadapi oleh masyarakat, dan itu tak terhindarkan, keunikan ini pula yang mengantarkanku, pada satu kesan, kami adalah anak haram negara.

Bertahun-tahun pula masalah ini larut dalam putaran air di Halut dan Halbar, bertahun-tahun pula cinta di batas ini belum juga usai, mungkin suatu kelak akan usai, atau mungkin juga itu tak pernah usai, ada benarnya kata Soe Hok Gie “kita berbeda dalam segala hal, kita sama dalam cinta”, entah mereka sudah pernah membaca kalimat ini atau belum, tapi setidaknya kalimat itu bukan hanya kata-kata bagi mereka melainkan pengabdian mendalam dari arti cinta.

Mungkin kau bisa membayangkan di tapal batas ini, pada perbedaan yang mencuat, ketika pekerjaan untuk mendapatkan uang teramat sulit, tapal batas hadir sebagai pembeda yang menambah khazanah perbedaan, setelah sekian lama sepasang suami istri bergulat menyatukan persepsi kehidupan, pendapat, dan karakter, belum lagi mengurus anak-anaknya, hal ikhwal rumah tangga yang kelak dipisahkan maut, oh kerumitan hidup. Lantas pertanyaan hadir di kepala bisakah cinta tetap bertahan?


Immamuddin Ayub
Lelaki dari pesisir Halmahera

0 komentar:

Posting Komentar