Ada ungkapan semacam hidup adalah sebuah komedi atau bisa jadi
hidup merupakan sebuah tragedi. Siapa yang tahu kemana alur hidup jika
seseorang menganggap ia lahir dan menentukan eksistensinya sendiri, dan mungkin
saja setiap orang lahir dan menghamba bahwa manusia telah ditentukan nasibnya
sendiri lalu berdiamlah. Sebab pada akhirnya nasib telah tertulis di langit, di
semesta yang tidak kita pahami kapan akan berakhir.
Jika kau pernah membaca Catatan Pinggir milik Goenawan Muhammad di
Majalah Tempo, dalam satu tulisannya ia menulis soal tepi, di mana perjumpaan
globalisasi bertemu dengan tradisional, ada ucapan selamat datang yang tak
tertulis di sana, atau ucapan selamat jalan, tapi bagiku tepi adalah batas. Batas
di mana kakimu kau langkahkan menemui dunia baru, dunia dengan pengalaman baru,
menemukan segala cinta dalam bentuk lain dari setiap bentuk cinta yang pernah
kau temui misalnya, dan kau pada akhirnya memilih melangkah atau tidak sama
sekali. Dan ini kuceritakan pada kau tentang batas dan sebuah cinta.
Kekasih, bagiku hal yang diberi nama batas bukan saja mengandung arti jangan atau
larangan, rupanya bagiku adalah seruan, semisal seorang apabila kita katakan
jangan lakukan itu, pada akhirnya ia akan mencoba melakukannya, berusaha
menggapainya hingga akhirnya ia akan tahu bahwa benar tak bisa dilakukan.
Pernah kau dengar cerita Adam, Hawa, dan buah khuldi. Aku mengulangi ceritanya
secara singkat walau kau mungkin berulangkali telah mendengarnya, saat Adam dan
Hawa di surga, Tuhan melarang mereka mendekati buah khuldi, namun pada akhirnya
tak terelakan Adam memakan buah khuldi atas permintaan Hawa, dan terbuang ke
dunia. Apakah batas ini kemudian melahirkan cinta, ataukah cinta yang kemudian
melahirkan manusia melewati batas.
Kini kuberitahu kau sebuah cerita cinta dan batas di kampungku ini,
di tengah membaranya Halut Halbar, kau masih bisa menemukan sebuah rumah tangga
dengan istri berpihak ke Halut dan suami ke Halbar, atau ibu ke Halut dan anak
ke Halbar, kau mungkin tak percaya, bagaimana bisa sepasang suami istri bisa
hidup rukun di antara batas ini, tapi inilah kenyataannya, sebuah realitas yang
dihadapi oleh masyarakat, dan itu tak terhindarkan, keunikan ini pula yang
mengantarkanku, pada satu kesan, kami adalah anak haram negara.
Bertahun-tahun pula masalah ini larut dalam putaran air di Halut
dan Halbar, bertahun-tahun pula cinta di batas ini belum juga usai, mungkin
suatu kelak akan usai, atau mungkin juga itu tak pernah usai, ada benarnya kata
Soe Hok Gie “kita berbeda dalam segala hal, kita sama dalam cinta”, entah
mereka sudah pernah membaca kalimat ini atau belum, tapi setidaknya kalimat itu
bukan hanya kata-kata bagi mereka melainkan pengabdian mendalam dari arti
cinta.
Mungkin kau bisa membayangkan di tapal batas ini, pada perbedaan
yang mencuat, ketika pekerjaan untuk mendapatkan uang teramat sulit, tapal
batas hadir sebagai pembeda yang menambah khazanah perbedaan, setelah sekian
lama sepasang suami istri bergulat menyatukan persepsi kehidupan, pendapat, dan
karakter, belum lagi mengurus anak-anaknya, hal ikhwal rumah tangga yang kelak
dipisahkan maut, oh kerumitan hidup. Lantas pertanyaan hadir di kepala bisakah
cinta tetap bertahan?
Immamuddin Ayub
Lelaki dari pesisir Halmahera
0 komentar:
Posting Komentar