Random Posts

banner image

Minggu, 16 Juli 2017

TUHAN “LARI DARI TANGGUNG JAWAB”


Judul: Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, Memoar Luka Seorang Muslimah | Penulis: Muhidin M Dahlan | Jumlah Halaman: 261 | Penerbit: ScriptaManent bekerja sama dengan Melibas, Yogyakarta | Tahun Terbit: 2005 | ISBN: 978-979-99461-1-9 


Novel Tuhan Izinkan Aku Menjadi Pelacur karangan Muhidin M Dahlan ini berlatar tempat  di kota Jogjakarta yang merupakan sebuah kota yang terkenal dengan sebutan kota pelajar. Novel ini merupakan kisah nayata - mengungkapkan pengalaman seorang perempuan yang bernama Nidah Kirani (tokoh utama).

Nidah adalah seorang muslimah yang taat. Berhijab dengan jilbab yang besar layaknya santri di pesantren. Hari-harinya dihabiskan dengan shalat, baca Al-Quraan, dan berzikir. Namun di tengah perjalanan ia mulai mengalami badai kekecewaan. Organisasi garis keras yang ia giati dalam imajinya bisa menegakkan sariat Islam di Indonesia dan diyakini bisa mengantarkannya berislam secara kaffah (menyeluruh), ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya

Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertup. Berkali-kali digugatnya kondisi itu, tetapi hanya kehampaan yang hadir. Bahkan Tuhan yang selama ini diagung-agungkan seperti “lari dari tanggung jawab” dan enggan menjawab keluhannya. Dalam keadaan kosong itulah ia terjerambab kedalam dunia “hitam” (Lihat sinopsis).

Novel ini, pertama kali diterbitkan pada tahun 2003. Saat pertama kali terbit, banyak mendapatkan kritikan, karna dianggap melenceng dari ajaran agama, dan merusak moral para remaja. Kritikan ini datang dari mahasiswa, akademisi, tokoh agama, dan para pembaca yang tidak bersepaham dengan Muhidin, bahkan ada yang mengatakan dibalik penerbitan buku ini ada zionis, dan yang menulis buku ini adalah seorang atheis (Hal:257)

Memang dalam beberapa karya Muhidin dianggap kontroversi, seperti bukunya Adam dan Hawa, Kabar Buruk dari Langit, Di Langit Ada Cinta, Terbang Bersama Cinta, dan beberapa cerpen serta eseinya. Setelah novel ini diterbitkan Muhidin melakukan diskusi buku yang intensif di Yogyakarta, Jakarta, Magelang, Malang, Jombang, Makasar, dan Palu. Respon publik sangat antusias, ada yang pro, dan ada yang kontra. Dalam setiap proses diskusi buku, kadang menuai kritikan dari peserta diskusi. Ada yang mengatakan Muhidin berusaha menyudutkan gerakan Islam tertentu, bahkan ada seorang dosen perempuan yang mengajar mata kuliah agama disebuah universitas yang berbasis Islam, mengatakan bahwa penulisnya dengan kecangihannya berusaha merusak akidah islam (Hal: 256-257). Namun  harus dipahami bahwa sebuah karya sastra, orang bebas menafsir sesuai dengan kehendaknya . 

Sejauh saya menalar isi novel ini, secara substantive Dahlan ingin menyampaikan beberapa hal, yakni bagaimana tokoh Nida Kirani diinterpretasikan sebagai seorang aktifis perempuan yang mengalami kekecewaan terhadap organisasinya yang berakhir dengan pemberontakannya terhadap Tuhan, yang kedua seperti mengungkapkan topeng-topeng kemunafikan dari para kaum lelaki yang didalamnya adalah aktifis, akademisi, dan politisi yang streteotipnya, mereka adalah masyarakat yang berwibawa namun tidak luput dari kebiasan-kebiasan hewani, sekaligus merupakan kritik sosialnya terhadap orang-orang yang dalam penampakannya menampilkan sisi-sisi idealis dan religious, tetapi justru menyimpan kebusukan dalam diri. 

Dahlan juga sekaligus mengimplikasikan kritiknya terhadap Jemaah atau pun masyarakat yang hanya sibuk memperhatikan aspek spiritual dan moral tetapi membiarkan diri mereka diatur dan dibelenggu oleh sistem penguasa. Bagi Dahlan, penyembahan kepada Tuhan adalah persoalan yang bersifat individual. Manusia sebagai individu yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang, akan bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan.  dan yang ketiga bagaimana kecangihan seorang Muhidin M Dahlan dalam mengemas cerita ini menjadi parole yang dianggap kontroversi namun memikat. Dahlan merupakan penulis yang dapat dengan bebas mencipta karya sastra sesuai dengan apa yang dikehendakinya dan pembaca pun dapat dengan bebas menafsirkannya.

“Semua lelaki adalah bangsat. Juga semua aturan yang mereka buat dengan membawa-bawa Tuhan dan Agama. Nantikan kutukanku, lelaki!” (Hal: 14).

“Iman yang tak digoncangkan, sepengetahuan saya adalah iman yang rapuh. Iman yang menipu hati. Hati-hati” (Hal: 260)


Oleh : Nurlia Tohe
Pegiat PILAS Institute






0 komentar:

Posting Komentar