Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Senin, 31 Juli 2017

Pengacara dan Sang Komandan

Aku Rarus, dilahirkan di desa Chimera, sebuah desa yang jauh dari mata penguasa. Desa yang tak pernah mendapatkan semprotan cahaya lampu dari perusahan negeri ini, tapi semua warga Chimera dituntut taat bayar pajak dan taat hukum, namun semua perintah itu tak berlaku untukku. Warga desa Chimera selain aku yang masih menginjak tanah dan tubuhnya akan dikebumikan di tanah negeri ini ketika mati kelak, wajib bayar pajak.

Di desa Chimera-lah satu-satunya desa yang aturan negeri ini tak membuatku bersujud untuk menuruti. Di Chimera aku bisa benar-benar bebas, sebab aku memegang kantong kemih para komandan yang bertugas di desa. Bila para komandan memaksaku mematuhi aturan, aku akan memeras kantong mereka, dan mereka akan menjerit kesakitan dibalik jeruji besi.
***
Berawal dari mimpi. Aku pernah bermimpi menjadi penulis agar menginspirasi orang-orang lewat buah tanganku. Sebab itu aku memilih jatuh cinta pada bahasa Indonesia sewaktu di sekolah. Kini mimpiku tak bisa menginjak bumi. Aku tak lagi percaya pada mimpi.

Berharap mimpi jadi nyata di negeri ini terlalu sakit. Bahkan nyawa jadi harga yang harus dibayar agar bisa mewujudkannya. Siapa yang mau memberikan nyawa setelah itu tak menikmati mimpinya?

Tak sama dengan Veronika,  bagi Veronika mimpi bak api yang membakar kayu menjadi arang. Terus bermimpi sebab satu menit dari sekarang jadi misteri. Kita tak pernah tahu tentang misteri. Mimpi bisa jadi nyata bila kita memulainya, juga sebaliknya mimpi akan berhenti bila kita tak memulainya. Ujar Veronika ketika aku bacakan cerita ini padanya.

Aku tak percaya dengan mantra Veronika. Sebab aku korban mimpi. Dulu aku bermimpi jadi mahasiswa di Universitas Ternama untuk melanjutkan mimpi. Untuk menuruti mimpi semua persyaratan yang dituntut universitas telah aku tunaikan. Tapi nasib dan universitas  tak menikahi aku. Aku gagal, sebab gagal menyetor uang mahar pada universitas.  

Namaku dihapus dari sekian banyak calon mahasiswa yang tak memenuhi syarat yang dituntut universitas, tapi  mereka punya mahar yang bisa memenuhi keinginan universitas.

Kejadian ini yang membuatku tak percaya pada mantra Veronika, gadis yang beberapa bulan terakhir ini membuat hatiku bersujud padanya.

Setelah nasib naas menimpa ku untuk tak menikmati kursi putar di Universitas Ternama, aku mulai pulang ke desa dan memutuskan berhenti bermimpi jadi megah di negeri ini. Aku jadi seorang pengacara yang tak berkantor apalagi beracara di pengadilan, sebab aku tak pernah mencicipi pendidikan profesi pengacara. Setelah lamaranku ditolak untuk menikmati kursi putar di universitas, akhirnya aku punya profesi jadi pengacara di desa, walau pada dasarnya aku tak pernah duduk di bangku kuliah.

Bangku kuliah hanya ada dalam mimpi. Profesi sebagai pengacara juga tak sama dengan profesi pengacara benaran. Aku Cuma ”pengganguran banyak acara”, begitu orang-orang desa memanggilku. Mereka menyingkatnya jadi “pengacara.”

Membuat  keributan di lingkungan wajib hukumnya, mencuri, mabuk-mabukan, meniduri janda muda sampai memperkosa anak orang, melindungi para penjahat adalah tugas keseharian yang ku tunaikan dengan baik. Semua orang membenciku, namun mereka tak sekuat rasa benci mereka untuk bisa membunuhku.

Semua upaya warga desa agar membunuhku tak pernah berhasil, mulai dari dukun sampai ke aparat keamanan. Sebab aku tahu caranya membentengi diri dari semua upaya para warga. Menyuruh dukun membunuhku sama saja dengan menyuruh si dukun membunuh dirinya sendiri, sebab aku tahu mantra penjinak mantra dukun.

Melaporkan aku ke aparat penegak keamanan, laporan warga tak pernah membawaku ke  kantor keamanan apalagi jeruji besi.  Aku sangat kuat. Aku punya jurus penjinak aparat keamanan.

Ada seorang  komandan keamanan yang terlibat kasus pengrusakan  hutan di desa Chimera. Pengrusakan hutan dilakukan oleh PT. Omotoi, pemiliknya adalah sang komandan.  PT. Omotoi,  dengan semangat pangkal kaya menjalankan tugas dengan baik menggunduli hutan.  Hutan yang dulu rimba kini bak manusia tak mengenakan pakaian.

Aksi PT. Omotoi, diprotes Lembaga Swadaya Masyarakat, dengan menyurati  pemerintah di Jakarta untuk mematikan hasrat PT. Omotoi,  agar tak lagi menelanjangi hutan, surat itu ditanggapi serius pemerintah di Jakarta. Pemerintah mengutus orang kepercayaan untuk melihat lokasi yang diprotes Lembaga Swadaya Masyarakat. Ketika investigator dari Jakarta tiba ke lokasi ternyata hutan itu tak hanya ditelanjangi PT.Omotoi,  tanahnya pun tak bisa membuai tanaman warga.

Kedatangan investivagor tak  membawa sang komandan  ke Jakarta agar bertanggung jawab atas kerusakan hutan,  hanya Sapri yang berhasil dibawa ke Jakarta untuk diadili.  Sapri adalah salah satu karyawan kepercayaan PT. Omotoi.

Sapri tak melibatkan  sang komandan sebagai  dalang dari pengundulan hutan. Aku dibayar satu miliar untuk meletakan pistol di mulut Sapri agar tak menyebut nama sang komandan. Akhirnya keterlibatan sang komandan tak diketahui penguasa di Jakarta. 

Semakin banyak penjahat berdinas seperti sang komandan menggunakan jasaku, maka aku  bebas melakukan apa saja yang bisa aku lakukan, sebab aku menahan berkas-berkas kejahatan para komandan.

Warga Chimera menyebutku penjahat. Tapi hati kecilku berbisik akulah orang paling suci.  Orang-orang sok suci saja yang bilang aku penjahat. Orang-orang seperti sang komandan adalah klien-klien yang baik. Mereka memberi kehidupan padaku dan keluarga. Bekerja sama denga PT. Omotoi  aku bisa  membeli parfum untuk istri agar tetap wangi agar aku lebih bernafsu ketika making love dan bisa menyekolahkan anak ke luar negeri, dengan harapan anakku  bisa lebih cerdas untuk menipu negeri ini dengan beragam pengalaman dan teori yang ditemui di luar negeri.

Negeri ini penghormatan pada profesi seperti profesiku tak kalah hormatnya dengan penghormtan pada penguasa. Walau di negeri ini secara dejure penguasa begitu dihormati namun secara defakta penguasa begitu menghormati orang-orang seperti aku. Penguasa membutuhkanku untuk melindungi mereka dari beribu macam aturan yang dibuat sendiri dan aku butuh mereka agar tetap bisa mengharumkan tubuh istriku dan mengirim anakku agar tak menahan lapar di negara orang. Apa kata orang luar negeri bila anak aku mati kelaparan sebab terlambat mendapat kiriman, sedangkan orang luar negeri tahu bahwa negeriku berlimpah harta. []



Pegiat PILAS Institute

Kamis, 27 Juli 2017

ASA, CINTA DAN IMAN



















Judul Buku      : Maryam
Penyusun         : Okky Madasari
Penerbit           : Gramedia Pustaka
Cetakan           : Pertama 2012
Tebal               : 275 halaman 
ISSBN            : 978-979-22-8009-8


Dinamika kebudayaan yang ada saat ini terjadi simpang siur tentang ideologi kebangsaan yang ada di Indonesia. Dasar yang dipakai Indonesia yaitu ideologi Pancasila, yang menjadi ciri khas ke-Indonesiaan yang berdasar pada Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi, tetap satu) yang didalamnya terdapat suku, agama, ras dan antar golongan. Olehnya itu, ideologi yang dimaksudkan tentang paham menyangkut dengan asal-usul kebudayaan maupun kepercayaan yang dianut oleh bangsa-bangsa yang menjadi dasar dalam menjalani kehidupan.

Indonesia merupakan penduduk dengan enam keyakinan yang berbeda-beda, namun mayoritas beragama Islam. Dalam Islam berbagai paham lahir, namun paham-paham tersebut butuh dikaji apakah sesuai dengan ajaran Islam. Tugas tersebut dilakukan oleh lembaga agama yang dibentuk dan diakui oleh Negara yaitu Nahdathul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Muhammadiyah sebagai aliran yang diakui oleh negara. Dengan demikian ketika adanya komunitas yang mempunyai paham yang tidak sesuai dan diakui oleh lembaga agama yang diakui Negara maka di labeli sebagai aliran sesat.
***
Okky Madasari telah menerbitkan karyanya dalam bentuk novel yaitu Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa (2013), dan  Kerumunan Terakhir (2016). Diantara novel-novel tersebut yang mendapatkan penghargaan dari Khatulistiwa Literary Award tahun 2012 yaitu Maryam, dan juga dalam novel tersebut telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa seperti Inggris dan Jerman. Kajian-kajian kebudayaan dan sejarah sosial menjadikan novel Maryam sebagai pemicu imajinasi yang kuat tentang perbedaan aliran. 

Novel Mariam ditulis Okky, melalui hasil riset selama enam bulan. Dalam novel Mariam terdapat delapan bab. Bab 1 Yang Terbuang, bab 2 Memungut Serakan, bab 3 Yang Tersatukan, bab 4 Menyusun Serpihan, bab 5 Membingkai Harapan, bab 6 Mencabik Koyakan, bab 7 Mendinginkan Api, dan bab 8 Yang Tak Bertepi. Novel tersebut pernah dipresentasekan Okky bahwa “memang benar Ahmadiyah dianggap aliran sesat tapi, negara terlalu meminggirkan mereka hingga selama tujuh tahun di pengungsian sampai sebagian warga yang melahirkan anaknya ditempat tersebut” tentang mereka yang terusir karena iman di negeri yang penuh keindahan” (lihat, https://www.goodreads.com/book/show/13487232-maryam).

 Mirisnya lagi anak-anak mereka tidak dapat sekolah. begitulah kerisauan jebolan Magister Sosiologi Sastra Universitas Indonesia ini yang memicunya untuk menulis kisah tersebut di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang menjadi tempat asal komunitas Ahmadiyah terbesar. Aliran Ahmadiyah yang cenderung individualis, dan pilihan-pilihan hidup diatur oleh para orang tua yang dibahas Okky pada bab  satu. Yang menarik dari uraian Okky Madasari yang juga mantan wartawan itu, menganggap bahwa diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah yang tidak sesuai dengan pancasila dalam menjaga keutuhan masyarakatnya.

Pendidikan sebagai bentuk perubahan pada komunitas Ahmadiyah yang dibahas pada bab dua, disusul dengan pesinggungan dengan masyarakat setempat sehingga terjadi konflik. Pada bab tiga, cara beragama komunitas Ahmadiyah yang ada di Gegerung selalu membatasi diri dengan lingkungan sosial mereka, maka terjadi kecemburuan sosial dan berujung maut kemudian mereka diimigrasikan ke desa Gerupuk. Pada bab keempat sosok Maryam yang lahir dari keluarga mapan dan menjadikan pendidikan sebagai dasar perubahan ketika Maryam diajak oleh keluarga untuk harus kuliah ke Jakarta. Pilihan-pilihan hidup dan cinta selalu diatur oleh orang tua Maryam, sehingga Maryam mengambil langkah untuk keluar dari aliran Ahmadiyah ketika menimba ilmu di kampus dan menikah dengan salah seorang yang berbeda iman bernama Alam. Lambat laun, hubungan mereka pupus karena selalu diintervensi oleh orang tua Alam yang mengganggap Maryam mandul. 

Pada bab kelima, Maryam yang telah ditinggalkan oleh suaminya memilih kembali ke Lombok untuk mencari keberadaan orang tuanya yang telah lama tidak berkomunikasi, dengan hati yang penuh risau. Kemudian Maryam menjelajahi Gegerung tapi, penjelajahannya pupus karena mereka telah dipindahkan dari desa dengan pelabelan aliran sesat menjadi pemicu hingga berujung maut. Gegeruk mulai menjadi pemukiman baru bagi orang tua Maryam. Dengan rasa bersalah Maryam pun bertobat dan kembali ke Ahmadiyah yang telah lama ditinggalkannya waktu bersama Alam di Jakarta. Berjalannya waktu, Maryam dijodohkan kembali dengan umar ketika masih di Gegerung. Umar menjadi pilihan hidupnya karena seiman dengannya.

Pada bab enam dan tujuh, keluarga Maryam dan warga Ahmadiyah menjalani hidup seperti biasanya tapi, isu-isu aliran sesat mulai bermunculan kembali hingga bisnis yang telah dijalankan Maryam dan Umar mengalami kebangkrutan. Mereka kemudian mengungsi ke gedung Transito karena konflik kembali terjadi hingga salah satu warga melahirkan anaknya di gedung tempat pengungsian tersebut. Selama di pengungsian anak-anak mereka tidak dapat bersekolah hingga Maryam dan Umar mulai mencari suaka kesana-kemari tetapi usaha tersebut tidak pernah berhasil.

Bab terakhir delapan, Maryam menyurati pemerintah sebagai bentuk pengakuan, dalam surat ketiganya Maryam menulis tentang diskriminasi yang terjadi di Lombok Nusa Tenggara Barat namun tidak di digubris. Sehingga selama enam tahun di gedung Transito ayah Maryam meninggal dunia dan sesuai dengan wasiat yang disampaikan bapak kepada Maryam agar dimakamkan dekat dengan kakek Maryam yang berada di Gegerung.  Namun prosesi pemakaman dilarang masyarakat setempat padahal tanah kuburan di desa Gegerung adalah tanah warisan milik keluarga Maryam yang telah dihibahkan. 

Kisah penuh liku, pilu dan luka tersebut digambarkan Okky melalui tokoh utama Maryam Hayati dalam novel berjudul Maryam ini menjadi pintu masuk memahami konteks masyarakat Indonesia tentang diskriminasi umat minoritas saat ini. Menjadi minoritas sama halnya menjadi orang-orang kalah. Kalah karena ketakberdayaan, kalah karena tidak dianggap, tidak diakui oleh Negara sebagai sebuah aliran dalam Islam. Disini kata sesat menjadi senjata paling ampuh untuk menghukum sebagian masyarakat. Sehingga kemajemukan Indonesia dan keberagaman keyakinan, juga aliran hanya berlaku pada teks-teks undang-undang tentang melindungi segenap rakyat Indonesia. Namun selebihnya kemajemukan masih harus dipikirkan kembali, sebab diskriminasi masih merajalela dalam tiap kehidupan sehari-hari di bangsa ini. []

Pegiat PILAS Institute

Minggu, 23 Juli 2017

Berlayar ke Morotai

















Pukul 09:00 wit, KM. Bandeng tujuan Morotai dari pelabuhan Ferry di desa Gorua Tengah kecamatan Tobelo Utara akan diberangkatkan. Penumpang yang sudah membeli tiket dan juga bekal makan selama perjalanan sudah mulai naik ke kapal. Penumpang yang tinggal jauh, seperti Galela pesisir dan Kao sudah sedari subuh datang. Ada yang menginap di sanak saudara, ada yang menggelar tikar di dek dua kapal. Kendaraan roda dua menggunakan separuh dek satu, dan hanya dua kijang dan dua truck.

Pelabuhan penyebrangan kapal ferry di desa Gorua adalah satu-satunya pelabuhan penyebrangan kapal ferry dari Halmahera Utara,Tobelo ke Morotai dan ke Bitung. karena aman dan murah, warga memilih menggunakan kapal ferry dibandingkan dengan speedboat. Setiap penumpang dewasa dikenai Rp. 35.000/orang. Selain penumpang, bahan pokok juga diangkut ke Morotai dari pelabuhan ini. Begitu juga hasil pertanian, kopra dari petani atau penadah dibawa ke Tobelo untuk dijual.















foto; jembatan penyebrangan kapal ferry di Gorua, Tobelo.

Kapal lepas pandara. Penumpang akan menghabiskan waktu kurang lebih 3-4 jam perjalanan. Selama perjalanan akan dihibur oleh lagu-lagu daerah pilihan dari Halmahera. Lagu yang dipilih menyertai suasana sehingga tidak membosankan. Begini lirik lagunya;

Balayar jauh, balayar jauh
Kase tinggal kampong jauh di sana. Sio mama
Adede pe lama, adede pe lama
Apa tempo kita bale ulang kasana
Tobelo selalu tabayang.
Ta barindu-rindu Tobelo so jauh di mata. Sio mama
Ado do kasing, Ta rindu pa ngoni samua.

Sesekali kepala dan bahu saya bergoyang mengikuti irama lagu. Ternyata benar, lagu bukan hanya soal selera tetapi juga tergantung suasana. 

Sejam perjalanan. KM. Bandeng sudah membelakangi Tobelo jauh di belakang. Semakin jauh semakin hati ini dikekang rindu, serasa sesak. Tidak mempan walau dihibur oleh pulau-pulau kecil dengan hamparan laut biru dan pasir putih memanjakan mata.  Di sebelah kiri, di mana jika Sore Hari akan terbentang senja, dan berdiri kokoh gunung Mamuya yang hijau dari kejauhan. Lebih kedalam lagi, Dokuno tidak pernah lelah bergemuruh lalu disertai debu dan pasir.

Banyak sekali penumpang, saya kesulitan menemukan tempat yang nyaman untuk duduk. Karena waktu tempuh lama maka ada penumpang yang memanfaatkan kursi untuk tidur, ada juga yang menyewa tikar dari penjaga kantin kapal seharga Rp.10.000 untuk digelar di lantai. Sedikit usaha saya menemukan sedikit ruang di bangku panjang dekat kantin di dek 2. Saya dan keponakan saya, Azam, duduk di situ. Seraya mendengarkan lagu-lagu saya diajak untuk bermain game bergantian. 

Mungkin karena sudah tua, KM. Bandeng seperti merayap di laut. Tidak hanya mesin, ombak dan arus juga harus diandalkan. Suasana di dek 2 begitu familiar, saya dipaksa suasana untuk menelusuri memori masa lalu, masa kanak-kanak. Dari cerita Firjal barulah saya ingat bahwa KM. Bandeng adalah yang pertama kali dan sebagai kapal penghubung Ternate dan Halmahera di Jailolo. 

KM. Bandeng adalah kenangan saya semasa kecil. Ketika diajak oleh bapak dan ibu ke Ternate dari Malifut, kami akan menyebrang mengunakan kapal Ferry ini dari Jailolo ke Ternate. Seingat saya, jika bus kami dari Malifut tiba jam 9 pagi di pelabuhan, maka KM. Bandeng akan tiba dua jam setelahnya. Sembari menunggu ferry saya akan bermain di jembatan, memberi makan ikan dari sisa bekal. Tetapi jika sudah bosan dan kesal saya akan melempar ikan-ikan itu dengan kerikil. Dan jika tiba waktu penagihan tiket saya sudah lebih dulu lolos tanpa tiket – selanjutnya di dalam ferry saya akan bermain petak umpet dengan penagih tiket. Jika penagih tiket mengecek ke belakang maka saya akan pergi kedepan dari sisi sebaliknya. 

Tahun 1999 konflik agama pecah di Halmahera. Kami harus mengungsi  ke Ternate. Kami tiba di Sidangoli sore hari. Semua orang sedih. Senja yang terbentang di timur ikut meratapi kesedihan dan penyesalan. Lautan manusia memenuhi lokasi pelabuhan Ferry di Jailolo menunggu KM. Bandeng berlabuh dan membawa kami ke Ternate dengan selamat. Kenangan itu masih jelas. Kala itu Bandeng adalah salah satu kapal ferry yang terlihat begitu gagah. 
foto: km. Bandeng yang siap diberangkatkan dari Morotai ke Tobelo. 

***
Tiga jam lebih sudah berlayar, KM. Bandeng sandar di pelabuhan ferry Morotai jam 13:30 wit. Lapar menyergap.Terbayang ikan bakar.

Sebelum dimekarkan pada tahun 2008, Morotai adalah wilayah administrasi kabupaten Halmahera Utara. Dan Sejak dimekarkan, Morotai mulai membenah diri untuk terus mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan sumber daya manusia. Selain mengembangkan sector pertanian, katanya pemerintah juga menggarap sector pariwisata pantai dan pulau di Morotai. Tahun 2012 pemerintah menggelar Sail Morotai untuk mengkampanyekan potensi wisata di Morotai. Kegiatan akbar itu menghabiskan dana cukup besar. Banyak infrastruktur pendukung dibangun, namun entah kenapa gedung-gedung itu kini hanya tegak membisu. 














foto; Salah satu lokasi pelaksanaan Sail Morotai yang kini diabaikan oleh Pemerintah Provinsi dan pemda Morotai. Lokasi ini jika dirawat, bisa digunakan oleh masyarakat sebagai ruang publik untuk olahraga maupun pegelaran seni budaya.

Morotai selain wisata sejarah kita juga bisa menikmati keindahan pantai dan pulau-pulau kecil. Ada beberapa tempat yang direkomendasikan oleh kawan-kawan di Ternate dan Tobelo, pantai Nunuhu, Tanjung Gorango, Tanjung Dehegila, Pulau Dodola, dan Pulau Galo-Galo Kecil. Ada juga air terjun Raja dan air terjun Mira. Karena Pantai Gorango dan Nunuhu sudah pernah saya kunjungi maka kami berniat ke Kolorai, Dodola dan Galo-galo. Tetapi apa mau dikata, “ingin memeluk gunung apa daya tangan tak sampai”.  Tidak ada transportasi regular dari pelabuhan Daruba ke pulau Dodola dan Kolorai. Hanya ada speedboat yang bisa dirental tetapi lumayan mahal, sejuta untuk pergi dan balik.  Bagaimana mengambangkan sector pariwisata jika aksesnya sudah sulit mahal pula. 

keputusannya, kami pergi ke Daloha Resort di tanjung Dehegila. Kurang dari 20 menit perjalanan menggunakan sepeda motor. Daloha Resort dibangun untuk tempat menginap dengan nuasa alam. Pohon-pohon kelapa di sana tumbuh tinggi menggenggam langit. Garis  pasir putih membentang sepanjang pantai. Sabar menunggu sebentar kami disuguhkan sunset yang luar biasa indah. 















Foto: Senja di Morotai. Diambil dari lokasi Daloha Resort. 

Senja di Morotai menutup perjalanan kami hari itu. Walaupun tidak semua tempat dapat kami sapa namun akan selalu ada kisah yang tertinggal manis seperti pamitnya matahari yang menyisahkan senja. Sesaat, akan tetapi membentang kenangan yang luas bagi siapa saja.

Semoga kedepannya pemerintah Kabupaten Morotai sudah bisa berpikir lebih jernih, lebih baik lagi untuk mengembangkan pariwisata. Nih aku kasih tahu, sektor pariwisata akan berkembang jika aksesnya mudah dan murah dan harus melibatkan masyarakat untuk mengelola agar ada rasa tanggungjawab bersama.  Sekian[]. 

Oleh: JF. Upik









Jumat, 21 Juli 2017

Hiri Itu Ternate


Pulau kecil itu  berada di seberang Pulau Ternate. Jika kalian pergi ke salah satu tempat wisata yang ada di pantai Sulamadaha, Kota Ternate Utara, maka kalian akan melihat pulau itu dengan jelas dari kejauhan. Yaahh di situlah tempatku dilahirkan. Tempat kuhabiskan masa kanak-kanakku, tempat yang  jauh dari hiruk pikuk keramaian kota, tempat yang merupakan  Negerinya para kolano, para kapita, dan negerinya para  momole. Tempat yang menyimpan rahasia dengan keindahannya. Orang-orang menyebutnya dengan nama Pulau Hiri. Namun, Pulau Hiri  menjadi bahan ledekan dari teman-teman sekolahku  yang masih kuingat sampai sekarang.

Kisah itu berawal ketika aku mulai menginjakkan kaki di sekolah menengah pertama. Aku dan beberapa temanku  datang dari Hiri untuk bersekolah di salah satu sekolah menengah pertama yang ada di Kota Ternate. Kami datang dengan segudang harapan dan impian untuk mencapai kesuksesan. Dan Aku  tidak menduga bahwa kedatanganku ke Kota Ternate yang dikenal dengan Kota budaya itu adalah awalku untuk harus menetap di sana. Akhirnya orang tuaku juga ikut pindah ke Ternate untuk mencari uang agar bisa membiayai sekolah anak-anaknya.

Hari pertama sekolah seperti membuatku  berada di tepian tebing  yang begitu tinggi. Bayangkan jika kamu berada di salah satu tepi tebing yang tinggi, Nah bagaimana rasanya? Pasti kamu takut, begitu juga denganku saat pertama kali masuk sekolah menengah pertama.

Pagi itu aku bersama saudara kembarku Nasra, dan  tiga teman laki-lakiku yang bernama Ramond, Ardiyan dan Mato pergi sekolah bersama-sama, kami  tidak pernah berpisah sejak awal mendaftar masuk sekolah. Namun, kami berpisah pada saat pembagian kelas. Aku mendapatkan kelas yang paling terakhir, tapi itu bukanlah masalah buatku.

lonceng yang dibunyikan oleh guru piket, suaranya yang nyaring hingga di lorong-lorong sekolah. Semua murid tahu itu tandanya masuk ke kelas. Berlarian  masuk ke kelas masing-masing sesuai dengan pembagian yang sudah diumumkan. Sementara aku hanya berjalan perlahan-lahan sembari mata menelusuri setiap kelas. berharap ada yang aku kenal. Setibanya di kelas, aku melihat suasana kelas begitu ramai dan menyenangkan, di sana aku bertemu dengan teman-teman dan pengalaman-pengalaman. 

Hari pertama adalah hari perkenalan kami. diminta oleh walikelas untuk maju satu-persatu di depan kelas memperkenalkan diri. setelah yang lain selesai kini tiba giliranku. 

Assalamualaikumwarahmatullahiwabarakatu..!! Ucapku dengan  gugup pada guru dan teman-temanku saat berdiri di depan.

Waalaikumsalam......! Balas mereka dengan keras.

"Perkenalkan namaku Fasra udin", kataku dengan memberi senyum tipis.

"Hallo Fasra" sapa mereka sambil membalas senyumku.

"Teman-teman !! Aku berasal dari sekolah SDN Faudu, Hiri. Aku lahir di Hiri pada tanggal 20 agustus tahun 1997, umurku sekarang 12 tahun, hobiku adalah bermain bulu tangkis, terima kasih,"  kataku melesat cepat dan singkat  seraya menutup perkenalanku  dengan tersenyum gembira. Sorak tepuk tanganpun terdengar di dalam kelas dan menambah suasana kelas yang sangat ramai dan menyenangkan. Akupun diminta duduk kembali oleh walikelas. Perkenalan dilanjutkan.  

Tidak terasa lonceng istrahat telah berbunyi. Wali kelaspun menutup perjumpaan kami dan segera meninggalkan kelas. Beberapa murid lainnya juga ikut meninggalkan kelas dan membeli jajanan untuk dimakan. Aku masih duduk di bangku menatap teman-temanku, ada yang sedang  bercakap-cakap sambil memperkenalkan dirinya lagi, ada yang kerjar-kejaran di dalam kelas dan sebagian lagi sibuk menulis. 

Hiri yaa..." terdengar ucapan seseorang dari telingaku. Aku lalu mencari arah suara itu, tiba-tiba mataku tertuju pada seorang murid laki-laki yang tak berada jauh dariku. Yaahh Fandi, dia orangnya yang memanggilku dengan sebutan "Hiri".

"Hiri yaaa"  kata itu terucap lagi dari mulutnya.

"Hiri kong bikiapa??" Balasku dengan nada  datar.

"Orang Hiri baru, orang Hiri tu bicara logat" kembali dia meledekku. 

Aku diam mengabaikan ledekkannya itu, lalu bergumam dalam hati, "kenapa kalau aku orang Hiri, toh orang Hiri tidak  membebani hidupnya kan". Orang Hiri itu kental dengan langgam bahasanya. Itu sudah menjadi salah satu ciri khas dari orang-orang Hiri. Setiap daerah pasti memiliki ciri khasnya masing-masing, begitu juga dengan orang Hiri.

Ketika aku sedang sibuk dengan pekerjaanku sendiri, Fandi masih sibuk meledekku seakan tidak ada pekerjaan yang lebih penting saja selain meledek orang. 

"Hiri yaa, orang Hiri pandoti" ledeknya lagi sambil menertawaiku. 

Aku tersinggung ketika dia mengatakan hal itu. Sudah cukup, akupun balik membalasnya. 

"Tobololo yaa Tobololo" ledekku sambil tertawa terbahak-bahak. 

"Tinggal belakang gunung baru" aku kembali meledeknya. Aku tidak berniat meledeknya tapi aku terpaksa karena tak bisa menahan ledekkannya itu.

Fandi lalu membalas ledekanku lagi, "Hiri yaa, Hiri logat ya," ucapnya seakan tidak mau kalah denganku. Tapi aku tidak lagi membalas ledekannya, karena aku berpikir tidak penting meladeni orang seperti itu. Dan Semenjak hari itu Fandi sering meledekku dengan menyebut kata "Hiri yaa".

Bukan hanya Fandi saja yang meledekku sebagai orang Hiri, beberapa teman-temanku yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Mereka beranggapan bahwa orang Hiri bukanlah orang Ternate karena tinggal di pulau berbeda. Tapi, aku tidak  membalas ledekan mereka, karena  apa yang dikatakan mereka itu memang sebuah kenyataan, bahwa aku adalah orang Hiri.Tapi bukan berarti orang Hiri adalah orang doti-doti (guna-guna). Diamku bukan  membenarkan jika orang Hiri adalah Orang doti-doti tetapi karena sesaat terlintas pesan-pesan Al-Quran yang saya dapat dari Pangaji di Faudu;

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan"(Q.S Al-Furqan, ayat 63).

Nafasku dalam dan emosiku yang sedari tadi tinggi  kini mulai mendingin.  

***

Keesokan harinya,  Pada waktu istrahat,  aku menyempatkan duduk di halaman sekolah tepat di bawah rindang pohon ketapang . Ada seopotong kayu papan menempel di pohon ketapang, tertulis "Terminalia Catappa". Karena rindang dan angin selalu datang sepoi-sepoi, tempat ini jadi andalan. Itu sebabnya sekolahku menanam dan membiarkannya tumbuh membentuk seperti tajuk yang indah dan bertingkat-tingkat.

Aku duduk sembari menikmati sepotong kue yang ada di tanganku. Sesekali mengingat kemarin lalu kadang-kadang kesal datang jika mengingat si tukang ledek. Entah kenapa, seperti kesal adalah doa. Tiba-tiba saja ada seorang anak laki-laki menghampiriku dan duduk bersamaku. 

Dia lalu bertanya padaku, "Di Hiri tu ada pasar ?? Aku tersenyum dan berkata, " di Hiri tarada pasar. Dia bertanya lagi,  " Hiri tu ada mall ohh??"  Aku menengok padanya dan tersenyum seraya berkata, "Di hiri tra ada mall,"  dia semakin penasaran dan mengajukan pertanyaan lagi, "Di Hiri tu ada oto??". Aku kembali menengok padanya dan menjawab, "Di Hiri tra ada oto, ada cuma motor atau ojek saja".

Aku menahan tawa, merasa lucu dengan pertanyaanya. Dengan wajah penasarannya dia lalu menatapku heran dan bertanya lagi,  "di Hiri tu bagus??", aku menjawab dengan nada yang lembut dan wajah yang penuh senyuman lebar, "iyoo, di Hiri tu bagus, dia pe pante indah, di pante itu ada pulau kacil tiga, tong orang Hiri biasa bilang pante Dola". Setelah menjawab pertanyaannya, senyumku makin melebar dan mengekspresikan wajah sombong karena bangga bisa terlahir di Pulau Hiri. Dia pun menganguk tersenyum padaku dan perbincangan kami terus dilanjutkan. 

Hari-hari berlalu tanpa pamit, mengikuti waktu yang terus berputar. Tidak terasa aku sudah bangku kelas tiga SMP dan siap menjalani ujian Akhir. Saat itu kami siswa kelas tiga SMP mengikuti ujian, ketika ujian sedang berlangsung, kami para siswa serius mengerjakan soal, tiba-tiba terdengar  seseorang memberi salam.

"Assalamualaikum....!!

"Ohh kepala sekolah" ujarku dalam hati,,

"Waalaikumsalamm...pak !! Balas kami.

"Disini siapa yang berasal dari luar Kota Ternate?? Tanya kepala sekolah kepada kami. Semua  peserta ujian terdiam.

"Saya pak!" Aku mengangkat tangan. Semua mata tertuju padaku termasuk pengawas dan kepala sekolah. 

"Kamu dari mana??, tanya kepala sekolah dari pintu.

"Saya dari Hiri pak" jawabku dengan suara pelan.

"ohh dari Hiri kamari di Ternate itu nae pesawat??" Kata kepala sekolah dengan nada meledekku. Ruangan yang tadinya  tenang berubah riuh karena suara tawa. Aku menunduk malu. 

"Hiri itu termasuk bagian dari Ternate, jadi kamu tak perlu mengangkat tangan dan merasa terasing di kelas ini," kata kepala sekolah sambil menatapku yang masih tertunduk malu.  "Saya pak " jawabku setelah beberapa saat kemudian. Kepala sekolahpun pergi meninggalkan ruang ujian dan kami para peserta melanjutkan mengerjakan soal ujian.

Setelah hari itu, dan sampai ujian nasional aku tidak pernah diledek lagi oleh Fandi dan teman-temanku yang lainnya, karena pernyataan dari kepala sekolah sudah membalas dan menjawab ledekan mereka selama ini. Perkataan kepala sekolah telah membuat mereka mengerti bahwa Hiri adalah Ternate. 

Hiri, di darat ada sejuta pohon  kelapa yang tumbuh menghijau. Pantainya yang berpasir diapit oleh batu-batu selalu memanjakan mata. Jika sore hari anak-anak mandi dan ayah mereka sibuk menjahit jala atau menarik perahu, kadang memperbaiki alat pancing. Keindahan, ketenangan dan keramahan selalu menghadirkan rindu untuk pulang dan selalu ada rindu untuk kembali berwisata.

ket:
  1. Kolano = Raja
  2. Kapita = orang yang memimpin beberapa kampung
  3. Momole = moyang
  4. doti = guna-guna
  5. Pandoti = dukun/orang yang melakukan guna-guna
  6. tong=kami
  7. Belakang gunung=istilah bagi mereka yang menetap tinggal di luar wilayah pusat kota Ternate
  8. Tobololo=nama kelurahan di Ternate


Penulis : Fasra Udin
Pegiat PILAS Institute