Random Posts

banner image

Sabtu, 01 Juli 2017

SENANDUNG FATIMAH






Hari mulai sore dan hujan belum lama tumpah membasahi tanah. Namun, kau tampak terlihat cantik serta menawan tatkala mendung menghijabi alam.

Ibrahim memandang tak lepas, dari paras perempuan cantik nan rupawan itu. Perempuan yang kerap kali mengenakan hijab itu  rupanya bernama Fatimah, ia bergegas meneduhkan diri dikala hujan mulai merinai.
***
Setibanya di perpustakaan kampus, Ibrahim terus membayangkan kembali wajah Fatimah. “ia cantik dan muslimah” ucap lelaki itu dalam hati sembari meletakkan buku di atas rak. Ia memang bukan Fatimah yang dikisahkan Syari’ati, bukan pula putri Rasulullah, melainkan perempuan muslimah itu ialah Fatimah yang pernah ku temui tadi sore di pelataran kampus.

Usai kuliah, Ibrahim bergegas menuju halaman kampus berharap kembali bertemu dengan perempuan bernama lengkap Fatimah Ishak itu. Sebab dari keterangan seorang karibnya, Fatimah sering menenangkan pikirannya di taman kampus.

Tampaknya Ibrahim agak kecewa, ketika tak menemui sesiapa di sana, kecuali penjual makanan di sekitar taman.

“Permisi Ibu, lihat perempuan cantik berhijab?” Tanya Ibrahim.

“Yang mana mas?” jawab si Ibu

“Ciri-cirinya hidung mancung, akh pokoknya istimewa lah.”

“Oh maaf mas, saya belum melihat seorang pun di sekitar sini, di 
taman ini.”

”Oh iya terima kasih ibu” sahut Ibrahim dengan nada sedikit kecewa.

“Hmm, kalau memang kau hadir cuman sesaat, itu tidak mengapa, asalkan kau adalah perempuan yang setia dan konsisten mengenakan hijab.”
***

Wajah penuh kekecewaan terus menghiasi raut Ibrahim, sampai-sampai ia hampir lupa kalau ada agenda diskusi bertajuk pluralisme di gedung Aula kampus. Ia seolah tak menyangka, lalu senyum-senyum sendiri, kala melihat Fatimah yang beberapa hari lalu ia cari ada di hadapannya. Fatimah hadir bukan sebagai peserta diskusi melainkan ia datang sebagai narasumber dalam diskusi itu.

“Haa!!” Ibrahim menghela nafas yang dalam berulang-ulang. Ia berdecak kagum, pula menggeleng-geleng kepala, ia tertegun kala menyimak presentasi perempuan yang ia kagumi ketika memetakan soal makna pluralisme dengan gayanya yang feminim.

“Aku semakin tertarik padanya, bahkan tergoda.” ujar Ibrahim pada seseorang di sampingnya. Sesaat setelah acara diskusi selesai, Ibrahim hendak menemui perempuan itu.

“Luar biasa, jujur aku tersihir melihat kamu.”

“Semester berapa?” Sambung Ibrahim

Perempuan itu berbalik sembari berkata, temui aku di taman kampus minggu depan.
***

“Sejujurnya aku tak menyangka, kalau kamu dosen di jurusan Sejarah?!” pekik ibrahim

“Kata siapa kalau aku dosen.”

“Oh, aku pikir dosen! Terus kalau bukan dosen berarti kamu mahasiswa dong?”

“Iya, aku mahasiswa di kampus ini. Tapi, bukan jurusan Sejarah.”

“Lalu? tapi hebat sekali prespektif mu tentang tentang pluralisme sewaktu diskusi minggu lalu.”

“Akh, Jurusan Sosiologi. Biasa saja, kau jangan berlebihan begitu. Pasti ada yang lebih hebat dari aku kok.

“Ekh.. rupanya kita belum saling kenal nama, aku Fatimah. Dan kamu?’

“Aku Ibrahim. Tapi panggil saja Ibra.”

Mulai momen itu, aku dan Fatimah menjadi teman dekat. Hampir setiap hari kami selalu berdua ketika berada di kampus. Kebersamaan kami tidak sekedar di kampus tapi juga berada di luar. Pernah di suatu sore aku di ajak Fatimah mengikuti dzikir akbar yang diselenggarakan oleh sala-satu organisasi Islam.

Sebenarnya waktu itu aku agak keberatan, tapi karena yang diajak adalah perempuan secantik Fatimah maka aku pun menyanggupinya dengan segala keterpaksaan. Berharap perempuan berhijab itu melihat aku seolah lelaki yang begitu taat beragaama.

Seusai dzikir, Fatimah menunaikan kewajibannya dengan sholat magrib. Salah satu kegiatan yang ia senangi. Sementara, aku diam-diam merebahkan raga di pojok masjid saat para jama’ah masjid sedang khusuk mendirikan sholat.

Sementara aku sengaja memperhatikan Fatimah di sudut kiri masjid, ia sangat tenang berdialektika dengan sang Pelimpah Rahmat (Allah SWT). “Memang perempuan yang luar biasa, bukan saja cantik tapi ia begitu muslimah.” ucap Ibra dalam hati.

Fatimah seolah meniupkan ‘ruh’ kehidupan padaku, semacam ia memercikan cahaya keabadian saat ia berbicara di hadapan orang lain, ia adalah keteduhan bagiku. Aku melihat cahaya surga bersinar cerah di wajahmu ,sungguh aku melihatnya.

Sesungguhnya Fatima telah menapasi aku dengan kerudungnya yang melingkari wajah cantiknya. Ia tidak sekedar seorang mahasiswi sosiologi, dan juga bukan seorang teman dekat yang pernah aku kenal. Namun, Fatimah adalah guru spritualku.

Meskipun ia tak pernah mengajarkan aku tentang syari’at, tentang tarekat, bahkan tentang makhrif’at. Sejujurnya Fatimah telah mengajarkan aku tentang sesuatu yang surgawi, ia banyak mengajarkan aku dengan segalah sikapnya yang begitu religius.  Aku yakin, ia perempuan idaman lelaki muslim sejati.

“Apa yang membuatmu begitu mengagumiku, Ibra?”

“Kalau boleh jujur, sebenarnya sangat jamak diantara sikapmu Fatimah. Sikap mu yang begitu keibuan, semuanya tak sanggup kututurkan dengan kata-kata.”

“Fatimah, jika saja kau berkenaan izinkanlah aku mencintai mu. Sekali pun dalam diam yang hening. Jangan kau biarkan rasa ini terus membeku dalam ruang rasa. Sejak malam ini kau adalah sepotong rembulan berhijab yang mestinya ku gapai sebelum fajar tiba.”

Perempuan berdarah campuran arab itu menghela nafas panjang, Lalu perlahan mendekatiku. Ia rupanya terdiam dengan keseriusanku yang mengalir laksana darah nan fitrah bermuara dalam hati.

“Sejujurnya aku tak bisa! Bahkan aku tak sudi jika menolak atau bahkan tidak menerima mu, Ibrahim. Sebab kau adalah seorang lelaki kiriman Tuhan untukku.” sahut Fatimah, seraya berusaha menyembunyikan tangisnya yang mulai pecah.

Dan baru aku tahu, ternyata Fatimah juga tak pandai menahan air mata. (*)


Cerpen: 




2 komentar: