Hari
mulai sore dan hujan belum lama tumpah membasahi tanah. Namun, kau tampak
terlihat cantik serta menawan tatkala mendung menghijabi alam.
Ibrahim
memandang tak lepas, dari paras perempuan cantik nan rupawan itu. Perempuan
yang kerap kali mengenakan hijab itu
rupanya bernama Fatimah, ia bergegas meneduhkan diri dikala hujan mulai
merinai.
***
Setibanya
di perpustakaan kampus, Ibrahim terus membayangkan kembali wajah Fatimah. “ia
cantik dan muslimah” ucap lelaki itu dalam hati sembari meletakkan buku di atas
rak. Ia memang bukan Fatimah yang dikisahkan Syari’ati, bukan pula putri
Rasulullah, melainkan perempuan muslimah itu ialah Fatimah yang pernah ku temui
tadi sore di pelataran kampus.
Usai
kuliah, Ibrahim bergegas menuju halaman kampus berharap kembali bertemu dengan
perempuan bernama lengkap Fatimah Ishak itu. Sebab dari keterangan seorang karibnya,
Fatimah sering menenangkan pikirannya di taman kampus.
Tampaknya Ibrahim agak
kecewa, ketika tak menemui sesiapa di sana, kecuali penjual makanan di sekitar
taman.
“Permisi Ibu, lihat
perempuan cantik berhijab?” Tanya Ibrahim.
“Yang mana mas?” jawab
si Ibu
“Ciri-cirinya hidung
mancung, akh pokoknya istimewa lah.”
“Oh maaf mas, saya
belum melihat seorang pun di sekitar sini, di
taman ini.”
”Oh iya terima kasih
ibu” sahut Ibrahim dengan nada sedikit kecewa.
“Hmm,
kalau memang kau hadir cuman sesaat, itu tidak mengapa, asalkan kau adalah
perempuan yang setia dan konsisten mengenakan hijab.”
***
Wajah
penuh kekecewaan terus menghiasi raut Ibrahim, sampai-sampai ia hampir lupa
kalau ada agenda diskusi bertajuk pluralisme di gedung Aula kampus. Ia seolah
tak menyangka, lalu senyum-senyum sendiri, kala melihat Fatimah yang beberapa
hari lalu ia cari ada di hadapannya. Fatimah hadir bukan sebagai peserta
diskusi melainkan ia datang sebagai narasumber dalam diskusi itu.
“Haa!!”
Ibrahim menghela nafas yang dalam berulang-ulang. Ia berdecak kagum, pula
menggeleng-geleng kepala, ia tertegun kala menyimak presentasi perempuan yang
ia kagumi ketika memetakan soal makna pluralisme dengan gayanya yang feminim.
“Aku
semakin tertarik padanya, bahkan tergoda.” ujar Ibrahim pada seseorang di
sampingnya. Sesaat setelah acara diskusi selesai, Ibrahim hendak menemui perempuan
itu.
“Luar
biasa, jujur aku tersihir melihat kamu.”
“Semester
berapa?” Sambung Ibrahim
Perempuan
itu berbalik sembari berkata, temui aku di taman kampus minggu depan.
***
“Sejujurnya
aku tak menyangka, kalau kamu dosen di jurusan Sejarah?!” pekik ibrahim
“Kata
siapa kalau aku dosen.”
“Oh,
aku pikir dosen! Terus kalau bukan dosen berarti kamu mahasiswa dong?”
“Iya,
aku mahasiswa di kampus ini. Tapi, bukan jurusan Sejarah.”
“Lalu?
tapi hebat sekali prespektif mu tentang tentang pluralisme sewaktu diskusi
minggu lalu.”
“Akh,
Jurusan Sosiologi. Biasa saja, kau jangan berlebihan begitu. Pasti ada yang
lebih hebat dari aku kok.
“Ekh..
rupanya kita belum saling kenal nama, aku Fatimah. Dan kamu?’
“Aku
Ibrahim. Tapi panggil saja Ibra.”
Mulai
momen itu, aku dan Fatimah menjadi teman dekat. Hampir setiap hari kami selalu
berdua ketika berada di kampus. Kebersamaan kami tidak sekedar di kampus tapi
juga berada di luar. Pernah di suatu sore aku di ajak Fatimah mengikuti dzikir akbar
yang diselenggarakan oleh sala-satu organisasi Islam.
Sebenarnya
waktu itu aku agak keberatan, tapi karena yang diajak adalah perempuan secantik
Fatimah maka aku pun menyanggupinya dengan segala keterpaksaan. Berharap
perempuan berhijab itu melihat aku seolah lelaki yang begitu taat beragaama.
Seusai
dzikir, Fatimah menunaikan kewajibannya dengan sholat magrib. Salah satu
kegiatan yang ia senangi. Sementara, aku diam-diam merebahkan raga di pojok
masjid saat para jama’ah masjid sedang khusuk mendirikan sholat.
Sementara
aku sengaja memperhatikan Fatimah di sudut kiri masjid, ia sangat tenang
berdialektika dengan sang Pelimpah Rahmat (Allah SWT). “Memang perempuan yang
luar biasa, bukan saja cantik tapi ia begitu muslimah.” ucap Ibra dalam hati.
Fatimah seolah meniupkan ‘ruh’ kehidupan
padaku, semacam ia memercikan cahaya keabadian saat ia berbicara di hadapan
orang lain, ia adalah keteduhan bagiku. Aku melihat cahaya surga bersinar cerah
di wajahmu ,sungguh aku melihatnya.
Sesungguhnya
Fatima telah menapasi aku dengan kerudungnya yang melingkari wajah cantiknya.
Ia tidak sekedar seorang mahasiswi sosiologi, dan juga bukan seorang teman
dekat yang pernah aku kenal. Namun, Fatimah adalah guru spritualku.
Meskipun
ia tak pernah mengajarkan aku tentang syari’at, tentang tarekat, bahkan tentang
makhrif’at. Sejujurnya Fatimah telah mengajarkan aku tentang sesuatu yang
surgawi, ia banyak mengajarkan aku dengan segalah sikapnya yang begitu
religius. Aku yakin, ia perempuan idaman
lelaki muslim sejati.
“Apa
yang membuatmu begitu mengagumiku, Ibra?”
“Kalau
boleh jujur, sebenarnya sangat jamak diantara sikapmu Fatimah. Sikap mu yang
begitu keibuan, semuanya tak sanggup kututurkan dengan kata-kata.”
“Fatimah,
jika saja kau berkenaan izinkanlah aku mencintai mu. Sekali pun dalam diam yang
hening. Jangan kau biarkan rasa ini terus membeku dalam ruang rasa. Sejak malam
ini kau adalah sepotong rembulan berhijab yang mestinya ku gapai sebelum fajar
tiba.”
Perempuan
berdarah campuran arab itu menghela nafas panjang, Lalu perlahan mendekatiku.
Ia rupanya terdiam dengan keseriusanku yang mengalir laksana darah nan fitrah
bermuara dalam hati.
“Sejujurnya
aku tak bisa! Bahkan aku tak sudi jika menolak atau bahkan tidak menerima mu,
Ibrahim. Sebab kau adalah seorang lelaki kiriman Tuhan untukku.” sahut Fatimah,
seraya berusaha menyembunyikan tangisnya yang mulai pecah.
Dan
baru aku tahu, ternyata Fatimah juga tak pandai menahan air mata. (*)
Cerpen:
Ma syaa Allah 😍
BalasHapusFatimah, perempuan idaman lelaki muslim sejati. Menarik...
BalasHapus