Random Posts

banner image

Rabu, 06 September 2017

Dialog Dua Sahabat Tentang Socrates

"Ah...Dasar !"


"ANDAI Socrates masih hidup, barangkali ia akan merubah semua kerangka berpikirnya yang telah menghasilkan "kesimpang-siuran" di mana-mana, terutama bidang pemikiran politiknya," gurau temanku suatu sore, dalam ruang kerja kami.
         
Aku tak meladeni. Kucoba terus memainkan jari-jari di atas tuts keyboard laptopku dan memerhatikan rangkaian kata-kata yang tersusun dalam layar monitor laptopku. Sekalipun begitu, diam-diam aku masih menunggu, kemana arah celotehan temanku tadi.
         
Dengan ekor mata, aku mencuri pandang untuk mengetahui apa yang ia lakukan ketika celotehnya tak kusahuti. Sambil mengamati apa yang ia lakukan, aku pun berpura-pura serius mengetik dengan pikiran yang tak sepenuhnya terkonsentrasi pada apa yang sedang kukerjakan.
         
"Memang sangat kontras daerah ini, di tengah keberlimpahan potensi yang demikian besarnya, kita jadi menderita seperti ini. Apa yang salah, ya?" ungkap temanku melanjutkan celotehnya.

"Kita semua yang salah," kataku sambil memandangnya.

"Kok kita?" sambungnya.

"Karena kita tak punya kebijaksanaan dan kebajikan dalam mengelola kebijakan. Kita punya begitu banyak peraturan, namun kita justru makin tidak bisa diatur. Kau tahu," lanjutku, "sekalipun Socrates hidup pada era kini, ia akan tetap memertahankan pikiran dan gagasannya tentang apa yang telah menjadi keyakinan ilmunya," kuperhatikan temanku memperbaiki duduknya, rupanya temanku mulai sedikit serius.

"Bagi Socrates,"tambahku, "lebih baik mati daripada berhenti dari usaha memperjuangkan filsafat atau kebijaksanaan hidup.  Kebijaksanaan hidup akan berimplikasi pada keadilan. Karena itu, menurut Socrates, keadilan merupakan tujuan politik yang layak. Hal ini karena keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan alamiah manusia. Menempatkan keadilan sebagai patokan politik tertinggi sama dengan memandang tujuan kehidupan politik sebagai aktualisasi bakat-bakat manusia," kembali aku tatap layar laptopku.

"Tapi, mengapa dimensi keadilan itu tidak berjalan berimbang?" tanyanya.

"Keadilan itu tidak berjalan berimbang karena terlalu banyak yang ikut campur akan fungsi atau pekerjaan orang lain," jawabku. "Padahal, keadilan bagi Socrates," lanjutku, "adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi atau pekerjaan sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi atau pekerjaan orang lain. Mengenai daerah kita yang kaya, yang hasilnya tak berimbang dengan kenyataan masyarakat, hal itu karena kita salah urus, tidak bijak dan bajik. Lebih dari itu, kita terlalu rakus, danata," timpaku, dan terus mengetik tanpa menoleh temanku di samping yang mulai kelihatan gelisah.

"Aku setuju kalimat terakhirmu tadi, rakus, danata," tambah temanku.

"Begini,"kuajak temanku keluar ruangan sembari membawa kursi. "Dalam diri manusia terdapat tiga tipe yang meliputi jiwa maupun cara hidupnya manusia. Yakni : akal budi, semangat, dan nafsu. Ketiga-tiganya dapat berjalan dan bekerja aktif apabila akal budi memegang kendali. Di sinilah keadilan bakal terwujud, karena masing-masing orang akan bekerja dengan harmonis. Keharmonisan ini muncul disebabkan pengendalian yang bijaksana. Dalam pandangan Socrates, filsafat merupakan perjuangan kemartiran dan dialog adalah jalan untuk mencapai kebijaksanaan hidup. Kita kurang menghidupkan dialog untuk menyelami dan mengkhidmati apa yang kita hadapi atas apa yang kita lakukan," ujarku sedikit berfilsafat.

"Yah, aku mulai memahami arah penjelasanmu," kata temanku, tatapannya menerawang menembus langit yang mulai tertutupi awan kehitam-hitaman.

"Lalu, selanjutnya?" tanyanya dengan penuh penasaran sambil menyandarkan kepalanya pada tembok samping ruangan kami.

"Tiga tipe manusia yang disampaikan di atas tadi, oleh Socrates dibagilah ke dalam masyarakat menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah kalangan pedagang, atau pengusaha yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya, kelas pedagang ini merupakan tipe pertama yang merupakan personifikasi dari nafsu dari tipe manusia yang ada. Tipe kedua adalah kelompok yang bekerja memelihara tata masyarakat yang dipersonifikasikan dengan semangat, sedangkan tipe ketiga adalah filosof/filsuf yang berfungsi sebagai penguasa merupakan personifikasi akal budi. Apa yang terjadi kemudian? Ketiga tipe masyarakat ini saling tumpah tindih bekerja, bahkan tak jarang berebutan dan saling cakar, turut campur sana, campur sini. Di mana pada akhirnya, apa yang diperebutkan itu entah kemana."

"Pandangan Socrates ini sejalan dengan pemikiran muridnya Plato (427-347 SM) yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang kebaikan memungkinkan filsuf (pemimpin) melihat dunia forma, yaitu dunia pencerahan. Pemimpin yang mengalami pencerahan memahami apa yang baik pada diri setiap orang dan memahami sungguh-sungguh bagaimana memimpin mereka," jelasku mengakhiri.

Diam-diam aku menoleh ke arah temanku. Bukan main jengkelnya ketika kutahu temanku telah tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada tembok itu. Berarti sejak tadi aku bicara sendirian. Aku pun tertawa geli, sembari membangunkannya, dan berlalu memasuki ruangan. Ah...dasar![]

(Tulisan ini dibuat tahun 2004, dan pernah diterbitkan pada buku :
Negeri Nita Malili, Sketsa-Sketsa Maluku Utara, 2006, diperbaharui kembali,
Juli 2017)


           Herman Oesman
       Pegiat PILAS INstitute







0 komentar:

Posting Komentar