"Ah...Dasar
!"
"ANDAI
Socrates masih hidup, barangkali ia akan merubah semua kerangka berpikirnya
yang telah menghasilkan "kesimpang-siuran" di mana-mana, terutama
bidang pemikiran politiknya," gurau temanku suatu sore, dalam ruang kerja
kami.
Aku tak
meladeni. Kucoba terus memainkan jari-jari di atas tuts keyboard laptopku dan memerhatikan rangkaian kata-kata yang
tersusun dalam layar monitor laptopku. Sekalipun begitu, diam-diam aku masih
menunggu, kemana arah celotehan temanku tadi.
Dengan ekor
mata, aku mencuri pandang untuk mengetahui apa yang ia lakukan ketika
celotehnya tak kusahuti. Sambil mengamati apa yang ia lakukan, aku pun
berpura-pura serius mengetik dengan pikiran yang tak sepenuhnya terkonsentrasi
pada apa yang sedang kukerjakan.
"Memang
sangat kontras daerah ini, di tengah keberlimpahan potensi yang demikian
besarnya, kita jadi menderita seperti ini. Apa yang salah, ya?" ungkap
temanku melanjutkan celotehnya.
"Kita
semua yang salah," kataku sambil memandangnya.
"Kok
kita?" sambungnya.
"Karena
kita tak punya kebijaksanaan dan kebajikan dalam mengelola kebijakan. Kita
punya begitu banyak peraturan, namun kita justru makin tidak bisa diatur. Kau
tahu," lanjutku, "sekalipun Socrates hidup pada era kini, ia akan
tetap memertahankan pikiran dan gagasannya tentang apa yang telah menjadi
keyakinan ilmunya," kuperhatikan temanku memperbaiki duduknya, rupanya
temanku mulai sedikit serius.
"Bagi
Socrates,"tambahku, "lebih baik mati daripada berhenti dari usaha
memperjuangkan filsafat atau kebijaksanaan hidup. Kebijaksanaan hidup akan berimplikasi pada keadilan.
Karena itu, menurut Socrates, keadilan merupakan tujuan politik yang layak. Hal
ini karena keadilan merupakan hal yang esensial bagi pemenuhan kecenderungan
alamiah manusia. Menempatkan keadilan sebagai patokan politik tertinggi sama
dengan memandang tujuan kehidupan politik sebagai aktualisasi bakat-bakat
manusia," kembali aku tatap layar laptopku.
"Tapi,
mengapa dimensi keadilan itu tidak berjalan berimbang?" tanyanya.
"Keadilan
itu tidak berjalan berimbang karena terlalu banyak yang ikut campur akan fungsi
atau pekerjaan orang lain," jawabku. "Padahal, keadilan bagi
Socrates," lanjutku, "adalah melaksanakan apa yang menjadi fungsi
atau pekerjaan sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa mencampuri fungsi atau
pekerjaan orang lain. Mengenai daerah kita yang kaya, yang hasilnya tak
berimbang dengan kenyataan masyarakat, hal itu karena kita salah urus, tidak
bijak dan bajik. Lebih dari itu, kita terlalu rakus, danata," timpaku, dan terus mengetik tanpa menoleh temanku di
samping yang mulai kelihatan gelisah.
"Aku
setuju kalimat terakhirmu tadi, rakus, danata,"
tambah temanku.
"Begini,"kuajak
temanku keluar ruangan sembari membawa kursi. "Dalam diri manusia terdapat
tiga tipe yang meliputi jiwa maupun cara hidupnya manusia. Yakni : akal budi, semangat, dan nafsu. Ketiga-tiganya dapat berjalan dan
bekerja aktif apabila akal budi memegang kendali. Di sinilah keadilan bakal
terwujud, karena masing-masing orang akan bekerja dengan harmonis. Keharmonisan
ini muncul disebabkan pengendalian yang bijaksana. Dalam pandangan Socrates,
filsafat merupakan perjuangan kemartiran dan dialog adalah jalan untuk mencapai
kebijaksanaan hidup. Kita kurang menghidupkan dialog untuk menyelami dan
mengkhidmati apa yang kita hadapi atas apa yang kita lakukan," ujarku
sedikit berfilsafat.
"Yah,
aku mulai memahami arah penjelasanmu," kata temanku, tatapannya menerawang
menembus langit yang mulai tertutupi awan kehitam-hitaman.
"Lalu,
selanjutnya?" tanyanya dengan penuh penasaran sambil menyandarkan
kepalanya pada tembok samping ruangan kami.
"Tiga
tipe manusia yang disampaikan di atas tadi, oleh Socrates dibagilah ke dalam
masyarakat menjadi tiga kelas. Kelas pertama adalah kalangan pedagang, atau
pengusaha yang bekerja mencari uang sebanyak-banyaknya, kelas pedagang ini
merupakan tipe pertama yang merupakan personifikasi dari nafsu dari tipe manusia yang ada. Tipe kedua adalah kelompok yang
bekerja memelihara tata masyarakat yang dipersonifikasikan dengan semangat, sedangkan tipe ketiga adalah
filosof/filsuf yang berfungsi sebagai penguasa merupakan personifikasi akal budi. Apa yang terjadi kemudian?
Ketiga tipe masyarakat ini saling tumpah tindih bekerja, bahkan tak jarang
berebutan dan saling cakar, turut campur sana, campur sini. Di mana pada
akhirnya, apa yang diperebutkan itu entah kemana."
"Pandangan
Socrates ini sejalan dengan pemikiran muridnya Plato (427-347 SM) yang
menyatakan bahwa pengetahuan tentang kebaikan memungkinkan filsuf (pemimpin)
melihat dunia forma, yaitu dunia pencerahan. Pemimpin yang mengalami pencerahan
memahami apa yang baik pada diri setiap orang dan memahami sungguh-sungguh
bagaimana memimpin mereka," jelasku mengakhiri.
Diam-diam
aku menoleh ke arah temanku. Bukan main jengkelnya ketika kutahu temanku telah
tertidur sambil menyandarkan kepalanya pada tembok itu. Berarti sejak tadi aku
bicara sendirian. Aku pun tertawa geli, sembari membangunkannya, dan berlalu
memasuki ruangan. Ah...dasar![]
(Tulisan
ini dibuat tahun 2004, dan pernah diterbitkan pada buku :
Negeri Nita Malili, Sketsa-Sketsa
Maluku Utara, 2006, diperbaharui kembali,
Juli
2017)
Pegiat PILAS INstitute
0 komentar:
Posting Komentar