Kokok ayam, satu demi satu suara itu memecah kesunyian
di seperempat malam yang tak berbintang. Kokok
ayam bertanda bahwa pagi sudah tiba namun
hingga pagi ini masih ada beberapa laki-laki yang
masih tenggelam dalam pekerjaan mereka. Para
lelaki itu
sedang mengamati dua benda di hadapan mereka, benda yang dikenal dengan
Seismometer dan Tiltmeter. Alat itu terus menerus dilihat seakan bahwa alat
pemantau gunung api itu adalah benda paling menarik hingga tak ada alasan untuk
pergi meningalkan alat itu. Mereka
adalah para Insinyur ahli Gunung api.
Ada di antaranya seorang
Insinyur yang belum menikah, dia
ternyata berasal dari Pulau Jawa dan sedang
ditugaskan di pos pemantauan gunung api Ampera. Gunung Ampera merupakan salah
satu gunung api di Indonesia yang
meletus pada akhir Tahun 2016 dan masih aktif hingga awal Agustus ini, olehnya beberapa lelaki
masih terus bekerja hingga pagi Ini. Laki-laki
Jawa itu awalnya ditugaskan hanya untuk 3 bulan namun dia memperpanjang masa
kerja menjadi 5 tahun dan sudah 7 bulan tinggal
di bawah kaki gunung Ampera, di sebuah perkampungan yang ada di Maluku
Utara.
“Insinyur Chandra, 10
menit lagi waktu subuh mari kita shalat dulu, Insinyur
Lukman juga sudah menunggu kita di Mushola, biar nanti Insinyur Nico sementara yang jaga.” ajak Insinyur
Rohim yang merupakan kepala Kantor.
Laki-laki Jawa itu bernama Chandra adalah seorang pegawai tamu dikantor
itu. Awalnya kantor itu hanya memilki tiga pegawai tetap dimana hanya ada kepala
kantor yang bernama Insinyur Rohim dan dua pegawai lainnya yang bernama insinyur Lukman dan
Insyinyur Nico. Insinyur Nico adalah pegawai yang beragama Kristen, sehingga
ketika teman-teman kantor yang beragama Islam sedang beribadah Nico-lah yang
akan menggantikan, begitupun
ketika hari minggu pagi insinyur Nico belum datang ke kantor
sampai dia selesai ibadah
para pegawai muslim yang menggantikan pos-nya.
Tidak ada hari libur sehari penuh atau 24
jam di kantor
tempat mereka bekerja. Mereka hanya diperbolehkan libur selama 12 jam yang hanya
berlaku pada Hari
Raya Natal dan
kedua Hari
Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi jika status Gunung Ampera sekarang masih aktif maka pegawainya
juga tetap aktif dan
bersiaga dikantor.
“Oh iya pak insyinyur,
terimakasih sudah mengingatkan, insyinyur Nico maaf yah kami tinggal sebentar.”
ucap Insinyur Chandra seraya berdiri
dari tempatnya.
“Iya-iya silahkan. Jangan lupa berdoa untuk Gunung Ampera juga ya.” kata insinyur Nico yang tersenyum sambil merokok dan di atas meja kerjanya ada muk berisi kopi hitam yang sudah dingin.
30 menit kemudin, ketiganya selesai shalat subuh lalu kembali
keruangan kerja mereka. Beberaapa
menit setelah itu mereka akhirnya sepakat melakukan kontak dengan kantor pusat untuk
memohon agar status gunung itu bisa dicabut, setelah melihat perkembangan Gunung Ampera dalam seminggu terakhir yang sudah bisa dibilang aman, tidak
perlu menunggu lama akhirnya kantor
pusat menyetujui.
“Pak Insinyur, bolehkah saya pulang dulu?” kata Insinyur
Nico. Hari ini minggu dan dia harus ke gereja.
“Ooh tentu saja boleh,
silahkan!” ujar Pemimpin kantor itu sambil melihat jam ditangannya sudah jam setengah
7.
Insinyur Nico mengambil pakaian kotor di ruangan yang difungsikan sebagai kamar
tidur, sedang
Insinyur Chandra
dan Insinyur Lukman sedang menuju dapur kantor, di ruangan itu memang ada banyak makanan
siap saji. Mereka mencari apa yang bisa dimakan, Insinyur Lukman sedang membuat
teh dan mengambil satu biskuat yang ada dilemari pendingin, sedang Insinyur
Chandra, tidak berselera
dengan apapun disitu.
“Kamu yakin gak mau ini?” Tanya Insyinyur Lukman,
mencoba Menawari Insyinyur Chandra namun yang ditawari hanya hanya menggeleng.
“Perasaan dulu kamu
paling suka sarapan yang begini deh!” kata Insinyur lukman lagi.
“Iya sih, tapi memang gak
selera kali ini, aku
mau main kerumah dulu yah. Oh
iya pinjam motornya ya pak, kuncinya ditempat biasa-kan ?” kata Insinyur Chandra dan kemudian pergi meninggalkan dapur.
Insinyur Chandra menuju kamar kantornya, dia tak
perlu lagi mendengar jawaban Insinyur Lukman. Insinyur Chandra sangat tahu bahwa
laki-laki itu akan dengan senang hati meminjamkan motornya, lelaki yang sangat
baik itu memilih tinggal di kantor
karena berasal dari kabupaten. Insinyur
Chandra mengambil pakaian yang sudah kotor lalu berjalan keluar kamar menuju halaman kantor, sampai di depan kantor dia masih mendapati Insinyur Nico diparkiran dengan motor
vespa-nya,sepertinya motor
itu sedang mogok.
“Ya ampuun, Insinyur
Nico. Saya kira kamu udah sampai dirumah, kenapa motornya?” Tanya insinyur Chandra.
“Eh iya, ini gak
jadi-jadi dari tadi hehehe” jawab Insinyur Nico agak kaget karena baru sadar
ada Insinyur Chandra.
“Ooh vespa-nya lagi
merajuk kali hehehe. Yaudah mari saya antar ya, kalau gak nanti insinyur Nico
bisa telat ibadah kalau gini, tuh liat lagi 10 menit jam 7.” Ujar Insinyur
Chandra dengan senyum yang mengembang.
Kedua Insinyur itu
meninggalkan halaman Kantor dan memasuki perkampungan yang mulai ramai dengan
warga yang tumpah ke jalan
raya untuk bekerja bakti, sedang suara kasidah dari spiker Masjid Ar-Rahim mengisi setiap sudut kampung
bernama Kanyima itu. Warga yang tumpah ke jalan
tersenyum ketika melihat kedua insinyur melewati mereka, ada juga anak-anak kecil
yang menyapa keduanya
dengan
cara berteriak dengan lantang dan penuh semangat. Kedua insinyur itu hanya bisa membalas dengan cara
mengangkat tangan dan terus membunyikan klakson dengan
tidak lupa tersenyum lebar sepanjang jalan hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rumah ber-cat putih itu bertulisan
rumah pendeta Noah Andreson, Insinyur
Nico lalu turun dan masuk kedalam rumah. Rumah
pendeta yang tak lain adalah rumah ayah Insinyur
Nico,
insinyur Chandra pun memutar balik motornya dan kemudian menuju rumah keluarga
angkatnya yang tak jauh dari situ.
“Assalamualaikum.”
salam Insyinyur Chandra ketika memasuki sebuah rumah yang tepat di bibir pantai.
Setelah menaruh pakaian
di kamar dia menuju dapur, di sana
dia tak menemukan siapapun namun di meja makan ada sepiring pisang
goreeng yang dalam bahasa lokal disebut gogodo
dan segelas kopi yang masih hangat dan penuh. Gelas kopi itu
ditutupi menggunakan
piring plastik kecil, kopi itu
spertinya belum diminum. Insinyur Chandra berjalan menuju pantai,
ada senyum yang mulai mengembang ketika mendapati pemandangan yang kerap membuat hatinya damai. Tak jauh dari posisinya berdiri, ada potret satu keluarga yang sedang
berbahagia sang istri berdiri dengan tenang di bibir
pantai dan anaknya yang usianya baru memasuki 20 tahun sedang membantu ayahnya melabuhkan
perahu, mereka adalah keluarga angkatnya. Dari dalam perahu yang tertambat tercium aroma amis khas ikan segar cakalang dan galalar yang masih setengah sadar.
Insinyur Chandra sangat
bersyukur bisa bertemu mereka di 6 bulan lalu, ketika itu Gunung Ampera sedang memuntahkan lahar
dan seluruh warga yang tinggal tepat di bawah
kaki gunung harus mengungsi. Namun ada
kabar yang mengejutkan dari seorang
reporter TvNegara salah satu -Tv
Nasional di Indonesia-, reporter itu mendatangi kantor mereka
dan meberitahukan bahwa ada satu
keluarga yang tidak mau mengungsi, kabar itu jelas
membuat dirinya harus turun langsung karena penasaran. Insinyur Chandra yang ditemani reporter itu
menuju sebuah rumah di dekat
pantai, rumah yang kemudian membuatnya jatuh cinta kepada keluarga itu. Keluarga yang sangat luar biasa dan
belum pernah dia temui dimanapun.
Di hari itu Insinyur
Chandra dan sang repoter memasuki rumah itu, mereka lalu kaget karena mendapati satu keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, mereka hanya 3 orang. Tak ada rona
ketakutan sama sekali dari wajah-wajah mereka dan lebih tepatnya mereka seperti
orang tuli dan buta yang seakan tak mengerti dan tak terpancing dengan apapun
yang ada diluar sana. Padahal
diluar sana, kampung itu telah sepi dengan suara manusia namun dipenuhi suara
ledakan seperti meriam yang terus menggema dari perut Gunung Ampera yang tidak hanya menghasilkan
bau belerang,
juga titik-titik hujan abu dan
kabut hitam pekat yang menjulang
tinggi, hingga seolah kabutnya dapat
terlihat oleh seluruh dunia.
Dalam hitungan menit, Insinyur Chandra dan Reporter itu juga ikut diam karena mereka
sedang dalam kebingungan yang sama dan sama-sama terjebak dalam pertanyaan yang
membingungkan. Mereka akhirnya mencoba untuk bisa bersuara namun satu-satunya perempuan dalam ruangan itu
lebih dulu berbicara,
membuat mereka semakin terlihat seperti
patung hidup.
“Tolong jangan suruh kami pergi dari sini dan jangan lagi paksa kami untuk pergi
meninggalkan rumah ini, kampung
ini, semuanya yang ada disini. Kami lebih nyaman di sini, kami merasa lebih baik mati di sini menjadi abu sekalipun itu lebih
baik bagi kami, karena kami tidak membuat kalian dan semuanya ikut berdosa-kan?”
ucap perempuan itu kepada Insyinyur Chandra dan sang Repoter. Keduanya
hanya bisa terdiam dan sesekali melihat sorot mata perempuan itu baik-baik dan
melihat anak laki-lakinya sedang menggosok-gosok balsem di kaki bapaknya, dari mulut dan hidung bapaknya keluar
asap rokok.
“Kami tidak mau ikut
dengan mereka lagi,
sudah
cukup kami kelaparan selama dipengungsian. Sudah
cukup selama hampir 3 bulan yang lalu kami terus berebutan makanan dengan
pengungsi miskin
lainya, sudah cukup kami berebutan hak-hak kami yang katanya itu adalah bantuan
untuk kami dan kami tidak mau ditertawakan ketika beradu mulut, kalian tahu? Orang-orang kaya juga mengungsi namun karena mereka punya kenalan dengan
petugas-petugas itu, istilahnya mereka
punya orang dalam sehingga mereka tak tinggal dipengungsian seperti kami. Mereka tinggal di rumah-rumah orang kaya dan orang-orang dalam
mereka terus memberi bantuan lengkap dari makanan sampai pakaian, makanya
mereka tak perlu capek-capek harus mengantri di bawah
terik matahari. Mereka mendapatkan
semuanya, segalanya dengan
sangat instan. Sedangkan
kami orang miskin? Kami
ditinggalkan di lapangan
yang tendanya hanya beralaskan
tikar, kami disuruh
mengantri panjang padahal apa yang mereka berikan?” ucap perempuan itu dengan
terus melangkah maju tepat dihadapan
Insinyur Chandra dan Sang repoter,
memaksa keduanya
terus mundur sampai pada daun pintu. Mereka Hanya menggeleng tidak tahu
menjawab apa ketika ditanya
seperti itu, ibu itu lalu mundur dan duduk bersama anak dan suaminya lalu
melanjutkan ocehannya.
“Kalian tahu, mereka hanya
memberi kami peralatan mandi yang lengkap. Padahal
kalian tahu? Ditempat
pengungsian air bersih harus dibeli pakai uang sendiri dan dengan harga yang
sangat mahal, kami mana sanggup. Jadi jangan tanya peralatan mandi itu apakah
kami pakai atau tidak karena air untuk minum saja sangat jarang apalagi untuk mandi,” lanjutnya lagi dan mereka berdua bagai
tersihir setiap kata yang keluar dari mulut perempuan itu, mencoba memahami setiap perkataannya yang membuat
hati mereka berdesir-desir.
“Kalian pikir kami
mengada-ngada yaa? Coba saja jadi pengungsi miskin dalam sehari
dan rasakan sendiri, semenit saja kalian mana sanggup. Coba bayangkan saja makan
di sana hanya ada mi instan yang sudah membengkak seperti jari
kelingking dan itupun harus berebutan, lucukan? Dan jangan
pikir setiap saat dapat makanan
karena setiap hari hidup dipengungsian
itu juga tergantung nasib. Kadang-kadang
nasib akan membawa kami dan memberanikan kami menjadi seorang pencuri karena
tidak sanggup kelaparan. Kalian tahu apa yang bisa dicuri? hanya mi instan yang
masih mentah. Mi mentah itu kami
makan dengan penuh penghayatan dan ketakutan, jangan sampai ketahuan oleh para
petugas yang katanya peduli dan mengurusi semua urusan kita. Padahal tidak, iyakan pak?” perempuan itu berbicara
dengan tersenyum kepada suami dan anaknya, lalu mereka mengangguk dan tersnyum
bersama, namun bisa dipahami itu bukan senyum orang yang sedang bahagia akan
tetapi itu adalah senyuman mereka yang
terluka dan dihianati.
“Setiap saat ada
bantuan dari lembaga kemanusian yang terus mengalir, namun jangan kira itu
milik kita pengungsi miskin. Para lembaga kemanusiaan itu menyuarakan kata
setara alias semua pengungsi harus mendapatkan bantuan sama rata, tapi itu omong kosong. Mereka para
petugas itu, membagi sama rata kepada para petugas, para penguasa dan para keluarganya
yang mengungsi di rumah
orang-orang kaya, dan bantuan mereka itu belum habis sampai hari ini.” kata
perempuan itu mengahiri ocehannya, perempuan yang diketahui bernama Sania menatap pak
Amal dan
Beni, suami dan anaknya.
Mendengar itu semua, tak kuasa kedua mata Insinyur Chandra dan
reporter berkaca-kaca. Terlebih
lagi Insinyur Chandra
yang selama ini tak pernah kenal dengan masyarakat sekitar membuat dirinya merasa sedikit bersalah, karena hanya fokus pada pekerjaannya,
sehingga tak pernah membayangkan ada masalah
serumit itu di tengah
masyarakat. Insinyur Chandra tahu keluarga
itu pasti tidak mengenalnya apalagi mengenal
sang reporter, dia ingin memperkenalkan dirinya juga sang repoter kepada
mereka. Setelah itu dia akan mengajak mereka meninggalkan rumah itu dengan cara
apapun karena diluar sana alam sedang bergejolak.
“Maaf sebelumnya,
perkenalkan nama saya Chandra saya bekerja di...” Belum selesai Insinyur
Chandra memperkenalkan dirinya sudah dipotong oleh Istri pak Amal
“Kantor gunung api dan
temanmu itu namanya Arya repoter TvNegara.” Sambung Ibu Sania
Keduanya saling
memandang dengan mata melotot dan mulut menganga, tak ada suara yang bisa keluar dari mereka
bedua.
“Mana mungkin kami tak
mengenalmu dek Chandra,
kamu sudah bekerja hampir 1 bulan disini dan kamu sudah beberapa kali Shalat Jumat disini, mana mungkin kami tak
megenalmu. Begitupun temanmu dek Arya itu yang juga jadi idola anakku karena
sering terlihat
di TV itu.” ucap Pak
Amal yang berbicara untuk pertama kali sambil menunjuk Tv mereka di sudut ruang dan anak mereka menunduk
malu.
Keduanya lagi-lagi
hanya berdiri terpaku, mereka tak percaya apa yang sedang mereka dengar dan
mereka terus berdiri hingga akhirnya dipersilahkan duduk. Mereka tak bisa berbicara untuk waktu
yang lama hingga akhirnya Insinyur Chandra memohon mereka untuk pergi dari
rumah untuk sementara watu dengan alasan demi keselamatan, namun ajakan-ajakan
itu tak sedikitpun membuat
mereka mau.
“Begini, kalian lebih
kasihan mana? Kami
meninggal di sini dengan
bahagia atau kami selamat namun membuat
para penguasa itu buncit sedang kami tinggal tulang lalu kemudian mati
kelaparan dalam dendam yang menyatu?!”kata
pak Amal, sedang istri dan anaknya hanya diam.
“Ya sudah kalian ikut
kami ke kantor saja, biar nanti kita semua bisa
meninggal dalam keadaan berbahagia, tolong jangan menolak lagi.”Ajak Insinyur
Chandra sambil berdiri.
“Kalian anak muda pergi
saja, kami bahagia disini.” kata istri pak Amal dengan tersenyum.
“Yasudah, kalau begitu
izinkan saya tinggal di sini
sampai masa tugas selesai.”Kata Insinyur Chandra karena tidak ada lagi yang
bisa dilakukan dan dia siap mengambil resiko apapun jika keputusannya tak sesuai
dengan aturan yang berlaku di instansi
tempat dia mengabdi.
“Saya juga mau tinggal
disini.” kata reporter yang bernama Arya itu yang
tidak percaya apa yang sedang terjadi.
Pada hari itu, mereka bersepakat menjadi satu keluarga baru. Mereka berdua tinggal
di rumah seorang guru honor yang sudah 20 tahun lebih mengabdi, guru honor itu
adalah istri pak Amal sedang pak Amal sendiri adalah seorang nelayan.
Rumah itu sangat menyenangkan, sampai mereka lupa di luar sana ada ancaman terus datang, satu
minggu kemudian Bayu pulang ke Jakarta dan 2 minggu kemudian masyarakat mulai
pulang dari pengungsian dan rumah itu tetap baik-baik saja. Di rumah
itulah Insinyur Chandra tidak mau pulang lagi ke Jawa dan ingin tinggal selamanya
di sana,
apalagi setelah pengungsi-pengungsi itu pulang dengan selamat.
Dia jatuh cinta kepada
seorang perempuan bernama Meira yang merupakan seorang sarjana Strata satu Psikologi. Meira yang mengisi
hari-harinya di tepi
pantai dengan mendampingi para ibu rumah tangga, memberikan dukungan dan
motivasi kepada mereka untuk bisa memproduksi anyaman-anyaman tradisional khas daerah. Anyaman-anyaman itu berbahan
bambu seperti tolung (sejenis topi dari bambu yang biasa dipakai petani), saloi (alat yang digunakan untuk mengangkut hasil kebun), tatapa
(benda untuk memilah
beras dari kotoran).
“Hui, Kaka Chan melamun apa-kah?” teriak beni, adik angkatnya yang sedang membawa ikan
dan Insyinyur Chandra kaget bukan main.
“Mama bilang katanya, kaka dari tadi di sini. Kaka bakiapa
disini? Pasti
kaka malu kasana karena ada Kaka Mei yang beli ikan di papa to ? Cieee”
kata Beni sambil
tertawa karena melihat reaksi wajah kakak angkatnya itu tiba-tiba memerah.
“hih, sembarang saja ngana!” ucap Insyinyur Chandra yang
sangat malu.
“Kaka mari torang babakar ikan, mama so
suru!” Ajak beni sambil
menunjukan ikan yang dibawanya.
Mereka
menuju sebuah pohon yang rindang yang tak jauh dari sana, mereka membuat api dan mulai membakar.
“Beni, ko lulus SMA sudah
tiga tahun to?”Tanya Insinyur Chandra dan Beni
hanya mengangguk
sambil membolak-balikan
ikan itu. “Beni, kenapa
kau tidak kuliah saja?” Tanya Insinyur Chandra
lagi dan kali ini mereka tidak berbicara dalam bahasa Maluku lagi.
“Kaka Chan tau sendiri,
sekolah sekarang itu
mahal.” jawab beni masih acuh.
“Sekarang banyak
beasiswa, kakak saja kuliah karena beasiswa.” kata Insinyur Chandra.
“Kakak jangan kira papa
sama mama itu tinggal diam melihat saya seperti ini, dulu ada orang datang
nawarin siapa saja boleh kuliah gratis nanti orang itu yang mengurus semuanya, padahal apa? kami tidak memilki apa-apa
makanya gak diurus-urus. Kakak Chan, saya sudah 2 kali ikut tes kepolisian,
lihat rambutku masih rapi belum terlalu panjang. Aku
selalu lulus tapi apa? mereka menggagalkan aku karena kami tak bisa membayar mereka. Jaman sekarang itu istilahnya semua harus
ada orang dalam. Paham, kan
kak ?” kata Beni panjang lebar dengan sesekali membalik ikan bakar.
Insinyur Candra sangat kaget, dia tidak pernah
tahu sedkitpun tentang hal itu. Dia mengamati Beni, tak mengira anak itu bisa berbicara
begitu, apa yang dimaksud orang
dalam itu benar adanya. Dia membayangkan jika om nya bukan seorang kepala biro
di ITB dia tidak akan pernah kuliah dan tidak pernah bisa jadi seorang pegawai yang memiliki
gaji perbulan di atas
10 juta.
“Beni, berarti kalau Kak Chandra mau lamar Mei harus lewat
orang dalam juga kali ee, berarti
kakak lewat Beni saja to? Beni sama Mei
kan sepupu sekali, iya kan?” kata Insinyur seoalah mencairkan suasana yang tadi
sempat tegang, tapi itu adalah kejujuran dari hati terdalamnya.
Mendengar
kata-kata itu Beni tertawa dan memeluk Insinyur Chandra dengan sangat erat, sedang dari balik pohon besar yang
sangat rindang itu berdiri
seorang wanita yang tiba-tiba menitikan air mata karena
merasakan sebuah kejujuran dan ketulusan.
Lebih mengalir yang Dua Istana, menurut ku.
BalasHapus