Random Posts

banner image

Senin, 11 September 2017

Orang Dalam

Kokok ayam, satu demi satu suara itu memecah kesunyian di seperempat malam yang tak berbintang. Kokok ayam bertanda bahwa pagi sudah tiba namun hingga pagi ini masih ada beberapa laki-laki yang masih tenggelam dalam pekerjaan mereka. Para lelaki itu sedang mengamati dua benda di hadapan mereka, benda yang dikenal dengan Seismometer dan Tiltmeter. Alat itu terus menerus dilihat seakan bahwa alat pemantau gunung api itu adalah benda paling menarik hingga tak ada alasan untuk pergi meningalkan alat itu.  Mereka adalah para Insinyur ahli Gunung api.

Ada di antaranya seorang Insinyur yang belum menikah, dia ternyata berasal dari Pulau Jawa dan sedang ditugaskan di pos pemantauan gunung api Ampera. Gunung Ampera merupakan salah satu gunung api di Indonesia yang meletus pada  akhir Tahun 2016 dan masih aktif hingga awal Agustus ini, olehnya beberapa lelaki masih terus bekerja hingga pagi Ini. Laki-laki Jawa itu  awalnya ditugaskan hanya untuk 3 bulan namun dia memperpanjang masa kerja menjadi 5 tahun dan sudah 7 bulan tinggal di bawah kaki gunung Ampera, di sebuah perkampungan yang ada di Maluku Utara.

“Insinyur Chandra, 10 menit lagi waktu subuh mari kita shalat dulu, Insinyur Lukman juga sudah menunggu kita di Mushola, biar nanti Insinyur Nico sementara yang jaga.” ajak Insinyur Rohim yang merupakan  kepala Kantor.

Laki-laki Jawa itu bernama Chandra adalah seorang pegawai tamu dikantor itu. Awalnya kantor itu hanya memilki tiga pegawai tetap dimana hanya ada kepala kantor yang bernama Insinyur Rohim dan dua pegawai lainnya yang bernama insinyur Lukman dan Insyinyur Nico. Insinyur Nico adalah pegawai yang beragama Kristen, sehingga ketika teman-teman kantor yang beragama Islam sedang beribadah Nico-lah yang akan menggantikan, begitupun ketika hari minggu pagi insinyur Nico belum datang ke kantor sampai dia selesai ibadah para pegawai muslim yang menggantikan pos-nya. Tidak ada hari libur sehari penuh atau 24 jam di kantor tempat mereka bekerja.  Mereka hanya diperbolehkan libur selama 12 jam yang hanya berlaku pada Hari Raya Natal dan  kedua Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi jika status Gunung Ampera sekarang masih aktif maka pegawainya juga tetap aktif dan bersiaga dikantor.

“Oh iya pak insyinyur, terimakasih sudah mengingatkan, insyinyur Nico maaf yah kami tinggal sebentar.” ucap Insinyur Chandra seraya berdiri dari tempatnya.

“Iya-iya silahkan. Jangan lupa berdoa untuk Gunung Ampera juga ya.” kata insinyur Nico yang tersenyum sambil merokok dan di atas meja kerjanya  ada muk berisi kopi hitam yang sudah dingin.

30 menit kemudin, ketiganya selesai shalat subuh lalu kembali keruangan kerja mereka. Beberaapa menit setelah itu mereka akhirnya sepakat melakukan kontak dengan kantor pusat untuk memohon agar status gunung itu bisa dicabut, setelah melihat perkembangan Gunung Ampera dalam seminggu terakhir yang sudah bisa dibilang aman, tidak perlu menunggu lama akhirnya  kantor pusat  menyetujui.

“Pak Insinyur, bolehkah saya pulang dulu?” kata Insinyur Nico. Hari ini minggu dan dia harus ke gereja.

“Ooh tentu saja boleh, silahkan!” ujar Pemimpin kantor itu sambil melihat jam ditangannya sudah jam setengah 7.

Insinyur Nico mengambil pakaian kotor di ruangan yang difungsikan sebagai kamar tidur, sedang Insinyur Chandra dan Insinyur Lukman sedang menuju dapur kantor, di ruangan itu memang ada banyak makanan siap saji. Mereka mencari apa yang bisa dimakan, Insinyur Lukman sedang membuat teh dan mengambil satu biskuat yang ada dilemari pendingin, sedang Insinyur Chandra, tidak berselera dengan apapun disitu.

“Kamu yakin gak mau ini?Tanya Insyinyur  Lukman, mencoba Menawari Insyinyur Chandra namun yang ditawari hanya hanya menggeleng.

“Perasaan dulu kamu paling suka sarapan yang begini deh!” kata Insinyur lukman lagi.
“Iya sih, tapi memang gak selera kali ini, aku mau main kerumah dulu yah. Oh iya pinjam motornya ya pak, kuncinya ditempat biasa-kan ?” kata Insinyur  Chandra dan kemudian pergi meninggalkan dapur.

Insinyur Chandra menuju kamar kantornya, dia tak perlu lagi mendengar jawaban Insinyur Lukman. Insinyur Chandra sangat tahu bahwa laki-laki itu akan dengan senang hati meminjamkan motornya, lelaki yang sangat baik itu memilih tinggal di kantor karena berasal dari kabupaten. Insinyur Chandra mengambil pakaian yang sudah kotor lalu berjalan keluar kamar menuju halaman kantor, sampai di depan kantor dia masih mendapati Insinyur Nico diparkiran dengan motor vespa-nya,sepertinya motor itu sedang mogok.

“Ya ampuun, Insinyur Nico. Saya kira kamu udah sampai dirumah, kenapa motornya?” Tanya insinyur Chandra.

“Eh iya, ini gak jadi-jadi dari tadi hehehe” jawab Insinyur Nico agak kaget karena baru sadar ada Insinyur Chandra.

“Ooh vespa-nya lagi merajuk kali hehehe. Yaudah mari saya antar ya, kalau gak nanti insinyur Nico bisa telat ibadah kalau gini, tuh liat lagi 10 menit jam 7.” Ujar Insinyur Chandra dengan senyum yang mengembang.

Kedua Insinyur itu meninggalkan halaman Kantor dan memasuki perkampungan yang mulai ramai dengan warga yang tumpah ke jalan raya untuk bekerja bakti, sedang suara kasidah dari spiker Masjid Ar-Rahim mengisi setiap sudut kampung bernama Kanyima itu. Warga yang tumpah ke jalan tersenyum ketika melihat kedua insinyur melewati mereka, ada juga anak-anak kecil yang menyapa keduanya dengan cara berteriak dengan lantang dan penuh semangat. Kedua insinyur itu hanya bisa membalas dengan cara mengangkat tangan dan terus membunyikan klakson dengan tidak lupa tersenyum lebar sepanjang jalan hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rumah ber-cat putih itu bertulisan rumah pendeta Noah Andreson, Insinyur Nico lalu turun dan masuk kedalam rumah. Rumah pendeta yang tak lain adalah rumah ayah Insinyur Nico, insinyur Chandra pun memutar balik motornya dan kemudian menuju rumah keluarga angkatnya yang tak jauh dari situ.

“Assalamualaikum.” salam Insyinyur Chandra ketika memasuki sebuah rumah yang tepat di bibir pantai.

Setelah menaruh pakaian di kamar dia menuju dapur, di sana dia tak menemukan siapapun namun di meja makan ada sepiring pisang goreeng yang dalam bahasa lokal disebut gogodo dan  segelas kopi yang masih hangat dan penuh. Gelas kopi itu ditutupi menggunakan piring plastik kecil, kopi itu spertinya belum diminum.  Insinyur Chandra berjalan menuju pantai, ada senyum yang mulai mengembang ketika mendapati pemandangan yang kerap membuat hatinya damai. Tak jauh dari posisinya berdiri, ada potret satu keluarga yang sedang berbahagia sang istri berdiri dengan tenang di bibir pantai dan anaknya yang usianya baru memasuki 20 tahun sedang membantu ayahnya melabuhkan perahu, mereka adalah keluarga angkatnya. Dari dalam perahu yang tertambat tercium aroma amis khas ikan segar cakalang dan galalar yang masih setengah sadar.

Insinyur Chandra sangat bersyukur bisa bertemu mereka di 6 bulan lalu, ketika itu Gunung Ampera sedang memuntahkan lahar dan seluruh warga yang tinggal tepat di bawah kaki gunung harus mengungsi. Namun ada kabar yang mengejutkan dari seorang  reporter TvNegara salah satu -Tv Nasional  di Indonesia-, reporter itu mendatangi kantor mereka dan meberitahukan bahwa ada satu keluarga yang tidak mau mengungsi, kabar itu jelas membuat dirinya harus turun langsung karena penasaran. Insinyur Chandra yang ditemani reporter itu menuju sebuah rumah di dekat pantai, rumah yang kemudian membuatnya jatuh cinta kepada keluarga itu. Keluarga yang sangat luar biasa dan belum pernah dia temui dimanapun.

Di hari itu Insinyur Chandra dan sang repoter memasuki rumah itu, mereka lalu kaget karena mendapati satu keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, mereka hanya 3 orang. Tak ada rona ketakutan sama sekali dari wajah-wajah mereka dan lebih tepatnya mereka seperti orang tuli dan buta yang seakan tak mengerti dan tak terpancing dengan apapun yang ada diluar sana. Padahal  diluar sana, kampung itu telah sepi dengan suara manusia namun dipenuhi suara ledakan seperti meriam yang terus menggema dari perut Gunung Ampera yang tidak hanya menghasilkan bau belerang, juga titik-titik hujan abu dan kabut hitam pekat yang menjulang tinggi, hingga seolah kabutnya dapat terlihat oleh seluruh dunia.

Dalam hitungan menit, Insinyur Chandra dan Reporter itu juga ikut diam karena mereka sedang dalam kebingungan yang sama dan sama-sama terjebak dalam pertanyaan yang membingungkan. Mereka akhirnya mencoba untuk bisa bersuara namun satu-satunya perempuan dalam ruangan itu lebih dulu berbicara, membuat mereka semakin terlihat seperti patung hidup.

“Tolong jangan suruh kami pergi dari sini dan jangan lagi paksa kami untuk pergi meninggalkan rumah ini, kampung ini, semuanya yang ada disini. Kami lebih nyaman di sini, kami merasa lebih baik mati di sini menjadi abu sekalipun itu lebih baik bagi kami, karena kami tidak membuat kalian dan semuanya  ikut berdosa-kan?”  ucap perempuan itu kepada  Insyinyur Chandra dan sang Repoter. Keduanya hanya bisa terdiam dan sesekali melihat sorot mata perempuan itu baik-baik dan melihat anak laki-lakinya sedang menggosok-gosok balsem di kaki bapaknya, dari mulut dan hidung bapaknya keluar asap rokok.

“Kami tidak mau ikut dengan mereka lagi, sudah cukup kami kelaparan selama dipengungsian. Sudah cukup selama hampir 3 bulan yang lalu kami terus berebutan makanan dengan pengungsi miskin lainya, sudah cukup kami berebutan hak-hak kami yang katanya itu adalah bantuan untuk kami dan kami tidak mau ditertawakan ketika beradu mulut, kalian tahu? Orang-orang kaya juga mengungsi namun karena mereka punya kenalan dengan petugas-petugas itu, istilahnya  mereka punya orang dalam sehingga mereka tak tinggal dipengungsian  seperti kami. Mereka tinggal di rumah-rumah orang kaya dan orang-orang dalam mereka terus memberi bantuan lengkap dari makanan sampai pakaian, makanya mereka tak perlu capek-capek harus  mengantri di bawah terik matahari. Mereka mendapatkan semuanya, segalanya dengan sangat instan. Sedangkan kami orang miskin? Kami ditinggalkan di lapangan yang tendanya hanya beralaskan tikar, kami disuruh mengantri panjang padahal apa yang mereka berikan?” ucap perempuan itu dengan terus melangkah maju tepat dihadapan Insinyur Chandra dan Sang repoter, memaksa keduanya terus mundur sampai pada daun pintu. Mereka Hanya menggeleng tidak tahu menjawab apa ketika ditanya seperti itu, ibu itu lalu mundur dan duduk bersama anak dan suaminya lalu melanjutkan ocehannya.

“Kalian tahu, mereka hanya memberi kami peralatan mandi yang lengkap. Padahal kalian tahu? Ditempat pengungsian air bersih harus dibeli pakai uang sendiri dan dengan harga yang sangat mahal, kami mana sanggup. Jadi jangan tanya peralatan mandi itu apakah kami pakai atau tidak karena air untuk minum saja sangat jarang apalagi untuk mandi,” lanjutnya lagi dan mereka berdua bagai tersihir setiap kata yang keluar dari mulut perempuan itu, mencoba memahami setiap perkataannya yang membuat hati mereka berdesir-desir.

“Kalian pikir kami mengada-ngada yaa? Coba saja jadi pengungsi miskin dalam sehari dan rasakan sendiri, semenit saja kalian mana sanggup. Coba bayangkan saja makan di sana hanya ada mi instan yang sudah membengkak seperti jari kelingking dan itupun harus berebutan, lucukan? Dan jangan pikir setiap saat dapat makanan karena setiap hari hidup dipengungsian itu juga tergantung nasib. Kadang-kadang nasib akan membawa kami dan memberanikan kami menjadi seorang pencuri karena tidak sanggup kelaparan. Kalian tahu apa yang bisa dicuri? hanya mi instan yang masih mentah. Mi mentah itu kami makan dengan penuh penghayatan dan ketakutan, jangan sampai ketahuan oleh para petugas yang katanya peduli dan mengurusi semua urusan kita. Padahal tidak, iyakan pak?” perempuan itu berbicara dengan tersenyum kepada suami dan anaknya, lalu mereka mengangguk dan tersnyum bersama, namun bisa dipahami itu bukan senyum orang yang sedang bahagia akan tetapi itu adalah senyuman mereka yang terluka dan dihianati.

“Setiap saat ada bantuan dari lembaga kemanusian yang terus mengalir, namun jangan kira itu milik kita pengungsi miskin. Para lembaga kemanusiaan itu menyuarakan kata setara alias semua pengungsi harus mendapatkan bantuan sama rata, tapi itu omong kosong. Mereka para petugas itu, membagi sama rata kepada para petugas, para penguasa dan para keluarganya yang mengungsi di rumah orang-orang kaya, dan bantuan mereka itu belum habis sampai hari ini.” kata perempuan itu mengahiri ocehannya, perempuan yang diketahui bernama Sania menatap pak Amal dan Beni, suami dan anaknya.

Mendengar itu semua, tak kuasa kedua mata Insinyur Chandra dan reporter berkaca-kaca. Terlebih lagi Insinyur Chandra yang selama ini tak pernah kenal dengan masyarakat sekitar membuat dirinya merasa sedikit bersalah, karena hanya fokus pada pekerjaannya, sehingga tak pernah membayangkan ada masalah serumit itu di tengah masyarakat. Insinyur Chandra tahu keluarga itu pasti tidak mengenalnya apalagi mengenal sang reporter, dia ingin memperkenalkan dirinya juga sang repoter kepada mereka. Setelah itu dia akan mengajak mereka meninggalkan rumah itu dengan cara apapun karena diluar sana alam sedang bergejolak.

“Maaf sebelumnya, perkenalkan nama saya Chandra saya bekerja di...” Belum selesai Insinyur Chandra memperkenalkan dirinya sudah dipotong oleh Istri pak Amal
“Kantor gunung api dan temanmu itu namanya Arya repoter TvNegara.” Sambung Ibu Sania

Keduanya saling memandang dengan mata melotot dan mulut menganga, tak ada suara yang bisa keluar dari mereka bedua.

“Mana mungkin kami tak mengenalmu dek Chandra, kamu sudah bekerja hampir 1 bulan disini dan kamu sudah beberapa kali Shalat Jumat disini, mana mungkin kami tak megenalmu. Begitupun temanmu dek Arya itu yang juga jadi idola anakku karena sering terlihat di TV itu.” ucap Pak Amal yang berbicara untuk pertama kali sambil menunjuk Tv mereka di sudut ruang dan anak mereka menunduk malu.

Keduanya lagi-lagi hanya berdiri terpaku, mereka tak percaya apa yang sedang mereka dengar dan mereka terus berdiri hingga akhirnya dipersilahkan duduk. Mereka tak bisa berbicara untuk waktu yang lama hingga akhirnya Insinyur Chandra memohon mereka untuk pergi dari rumah untuk sementara watu dengan alasan demi keselamatan, namun ajakan-ajakan itu tak sedikitpun membuat mereka mau.

“Begini, kalian lebih kasihan mana? Kami meninggal di sini dengan bahagia atau kami selamat namun membuat  para penguasa itu buncit sedang kami tinggal tulang lalu kemudian mati kelaparan dalam dendam yang menyatu?!”kata pak Amal, sedang istri dan anaknya hanya diam.

“Ya sudah kalian ikut kami ke kantor saja, biar nanti kita semua bisa meninggal dalam keadaan berbahagia, tolong jangan menolak lagi.”Ajak Insinyur Chandra sambil berdiri.

“Kalian anak muda pergi saja, kami bahagia disini.” kata istri pak Amal dengan tersenyum.

“Yasudah, kalau begitu izinkan saya tinggal di sini sampai masa tugas selesai.”Kata Insinyur Chandra karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan dan dia siap mengambil resiko apapun jika keputusannya tak sesuai dengan aturan yang berlaku di instansi tempat dia mengabdi.

“Saya juga mau tinggal disini.” kata reporter yang bernama Arya itu yang tidak percaya apa yang sedang terjadi.

Pada hari itu, mereka bersepakat menjadi satu keluarga baru. Mereka berdua tinggal di rumah seorang guru honor yang sudah 20 tahun lebih mengabdi, guru honor itu adalah istri pak Amal sedang pak Amal sendiri adalah seorang nelayan.

Rumah itu sangat  menyenangkan, sampai mereka lupa di luar sana ada ancaman terus datang, satu minggu kemudian Bayu pulang ke Jakarta dan 2 minggu kemudian masyarakat mulai pulang dari pengungsian dan rumah itu tetap baik-baik saja. Di rumah itulah Insinyur Chandra tidak mau pulang lagi ke Jawa dan ingin tinggal selamanya di sana, apalagi setelah pengungsi-pengungsi itu pulang dengan selamat.

Dia jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Meira yang merupakan seorang sarjana Strata satu Psikologi. Meira yang mengisi hari-harinya di tepi pantai dengan mendampingi para ibu rumah tangga, memberikan dukungan dan motivasi kepada mereka untuk bisa memproduksi anyaman-anyaman tradisional khas daerah. Anyaman-anyaman itu berbahan bambu seperti tolung (sejenis topi  dari bambu yang biasa dipakai petani), saloi (alat yang digunakan untuk mengangkut hasil kebun), tatapa (benda untuk memilah beras dari kotoran).

Hui, Kaka Chan melamun apa-kah?teriak beni, adik angkatnya yang sedang membawa ikan dan Insyinyur Chandra kaget bukan main.

Mama bilang katanya, kaka dari tadi di sini. Kaka bakiapa disini? Pasti kaka malu kasana karena ada Kaka Mei yang beli ikan di papa to ? Cieee” kata Beni sambil tertawa karena melihat reaksi wajah kakak angkatnya itu tiba-tiba memerah.

“hih, sembarang saja ngana!” ucap Insyinyur Chandra yang sangat malu.

Kaka mari torang babakar ikan, mama so suru!” Ajak beni sambil menunjukan ikan yang dibawanya. Mereka menuju sebuah pohon yang rindang yang tak jauh dari sana, mereka membuat api dan mulai membakar.

“Beni, ko lulus SMA sudah tiga tahun to?”Tanya Insinyur Chandra dan Beni hanya mengangguk sambil membolak-balikan ikan itu. “Beni, kenapa kau tidak kuliah saja?” Tanya Insinyur Chandra  lagi dan kali ini mereka tidak berbicara dalam bahasa Maluku lagi.

“Kaka Chan tau sendiri, sekolah sekarang itu mahal.” jawab beni masih acuh.

“Sekarang banyak beasiswa, kakak saja kuliah karena beasiswa.” kata Insinyur Chandra.

“Kakak jangan kira papa sama mama itu tinggal diam melihat saya seperti ini, dulu ada orang datang nawarin siapa saja boleh kuliah gratis nanti orang itu yang mengurus semuanya, padahal apa? kami tidak memilki apa-apa makanya gak diurus-urus. Kakak Chan, saya sudah 2 kali ikut tes kepolisian, lihat rambutku masih rapi belum terlalu panjang. Aku selalu lulus tapi apa? mereka menggagalkan aku karena kami tak bisa membayar mereka. Jaman sekarang itu istilahnya semua harus ada orang dalam. Paham, kan kak ?” kata Beni panjang lebar dengan sesekali membalik ikan bakar.

Insinyur Candra sangat kaget, dia tidak pernah tahu sedkitpun tentang hal itu. Dia mengamati Beni, tak mengira anak itu bisa berbicara begitu, apa yang dimaksud orang dalam itu benar adanya. Dia membayangkan jika om nya bukan seorang kepala biro di ITB dia tidak akan pernah kuliah dan tidak pernah bisa jadi seorang pegawai yang memiliki gaji perbulan di atas 10 juta.

“Beni, berarti kalau Kak Chandra mau lamar Mei harus lewat orang dalam juga kali ee, berarti kakak lewat Beni saja to? Beni sama Mei kan sepupu sekali, iya kan?” kata Insinyur seoalah mencairkan suasana yang tadi sempat tegang, tapi itu adalah kejujuran dari hati terdalamnya.

Mendengar kata-kata itu Beni tertawa dan memeluk Insinyur Chandra dengan sangat erat, sedang dari balik pohon besar yang sangat rindang itu berdiri seorang wanita yang tiba-tiba menitikan air mata karena merasakan sebuah kejujuran dan ketulusan.


Dialah Mei.


         Asriyan Barham

1 komentar: