Sejak
pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, orang yang paling saya takuti adalah
tukang parkir, karena sebagian besar tukang parkir yang saya temui wajahnya sangar, tanpa lesung pipi dan senyum manis. Tangan mereka penuh tato. Tetapi
semua itu tenyata hanya tampilan luar. hati mereka sebenarnya berselimut warna
pink.
Ketakutan
dan bahkan kekesalan saya pada tukang parkir mulai berubah ketika saya kontrak
kamar di Jawa. Kosan saya di sini, selain dihimpit oleh dua warung makan juga
ada parkiran sepeda motor yang setiap harinya selalu penuh. Motor akan diparkir
hingga depan kamar saya, tetapi tidak pernah menutup jalan keluar masuk kamar.
Selalu ada jalan yang disisakan.
Setiap
pagi mahasiswa dan para pekerja kantor menitipkan motornya di parkiran ini.
Parkiran yang luasnya kurang lebih 50 meter persegi ini dikelola oleh empat
orang sejak. Parkiran ini tanpa nama, hanya dikenal parkiran belakang kampus,
samping kanan penjual jus.
Setiap
hari, ke empat tukang parkir ini memarkir motor yang datang dan
mengeluarkannnya jika pemiliknya pulang. Jika satu orang pemilik datang maka
hanya satu orang yang akan mengeluarkan dan satu lagi akan merapikan motor yang
lain dengan cara mengisi ruang kosng yang ditinggalkan motor sebelumnya, begitu
seterusnya.
Selain
parkiran, ada tempat helm yang
disediakan di parkiran utama. Saya
menyebutnya parkiran utama karena di parkiran tersebut dibuatkan atap
dan penyanggahnya dari empat potong bamboo. Helm biasanya ditinggal begitu saja
oleh pemilik dan akan dirapikan oleh tukang parkir sekalian dengan motornya.
Jika musim panas maka helm hanya dikaitkan di setir atau sepion motor, tetapi
jika musim penghujan, tukang parkir langsung menaruh helm di tempatnya. Helm dan
motor yang dititipkan adalah tanggung jawab tukang parkir. Mereka benar-benar
menjaga kenyamanan pemilik motor. Satu motor, sekali parkir bayarnya Rp. 2000.
foto parkiran motor
Semua
tukang parkir sudah berkeluarga, salah satunya Johan*. Johan ngontrak
kamar di samping kamar saya. Dia mempunyai seorang putra dan seorang putri,
keduanya masih duduk di sekolah dasar. Setiap hari sabtu dan minggu keduanya
datang bermain dengan ayahnya. Pada hari itu ayahnya punya waktu untuk bermain
dengan mereka karena hari sabtu dan hari minggu parkiran sepi karena mahasiswa
dan pekerja kantor libur. Selain bermain dengan mereka, Johan juga membuat
makan siang atau sarapan pagi untuk mereka bertiga, biasanya indomie dengan
telur. Jika makan siang, Johan membeli makan siang di warung.
Satu
lagi namanya Sobari*. Dia selain memarkir sepeda motor juga
memanfaatkan ruang kosong di tempat mereka biasa ngopi untuk menyemai bibit
sayur sawi, cabe dan pare. Sobari menyemai bibit sawi karena ada lahan sebelah
parkiran yang tidak tepakai ditawarkan pemiliknya untuk ditanami sayur. Lahan
itu dipinjamkan cuma-cuma. Saat ini Sobari sudah menyemai 1000 bibit sawi.
“ada lahan kosong di sebelah yang
ditawarkan pemilik untuk aku Tanami sayur. Hasil tanam untuk aku semua.
Dipinjamkan gratis. Sudah 1000 bibit sawi yang sudah saya semai” cerita Sobari ketika saya diajak ngopi di tempat
istirahat mereka.
Bibit
yang disemai Sobari diletakkan dari atas rak-rak yang dibuatnya dari bambu.
Untuk menghemat ruang, Sobari mengantunya karena di lantai dan di dinding sudah
dipenuhi bibit. Kantong untuk bibit dia gunakan dari kantong-kantong bekas dan
ada beberapa baki bekas yang juga dia gunakan untuk menaruh bibit.
foto; Sobari sedang menggantung tempat semai
Sobari
memilih menyemai bulan ini karena menurutnya jika bulan ini sudah disemai maka
pada bulan november nanti sudah bisa dipanen. Saya lalu bertanya pada Sobari,
di mana nanti hasil panen akan dijual ? “hasil panen bisa dijual ke warung
makan yang ada di sekitar ini. Terpenting, jangan ditanam sekaligus dan juga
jangan dipanen sekaligus supaya gampang dijual. Kalau panennya banyak nanti
harganya murah” jawab Sobari sembari berdiri mengeluarkan motor dari parkiran.
Memang
benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Baru beberapa jam saja duduk
dan berbagi cerita mengenai bibit semai, saya seperti sudah mengenal mereka
lama. Dari catatan ini saya berkesimpulan, “kalu sudah kenal mari baku sayang,
apalagi sudah berteman harus lebih bakusayang, dan kalau sudah baku sayang harus
ke pelaminan”.
Ket: *Nama tukang parkir di atas bukan nama sebenarnya
0 komentar:
Posting Komentar