Random Posts

banner image

Selasa, 26 September 2017

Tak Kenal Maka Tak Sayang


Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, orang yang paling saya takuti adalah tukang parkir, karena sebagian besar tukang parkir yang saya temui wajahnya sangar, tanpa lesung pipi dan senyum manis. Tangan mereka penuh tato. Tetapi semua itu tenyata hanya tampilan luar. hati mereka sebenarnya berselimut warna pink.

Ketakutan dan bahkan kekesalan saya pada tukang parkir mulai berubah ketika saya kontrak kamar di Jawa. Kosan saya di sini, selain dihimpit oleh dua warung makan juga ada parkiran sepeda motor yang setiap harinya selalu penuh. Motor akan diparkir hingga depan kamar saya, tetapi tidak pernah menutup jalan keluar masuk kamar. Selalu ada jalan yang disisakan.

Setiap pagi mahasiswa dan para pekerja kantor menitipkan motornya di parkiran ini. Parkiran yang luasnya kurang lebih 50 meter persegi ini dikelola oleh empat orang sejak. Parkiran ini tanpa nama, hanya dikenal parkiran belakang kampus, samping kanan penjual jus.

Setiap hari, ke empat tukang parkir ini memarkir motor yang datang dan mengeluarkannnya jika pemiliknya pulang. Jika satu orang pemilik datang maka hanya satu orang yang akan mengeluarkan dan satu lagi akan merapikan motor yang lain dengan cara mengisi ruang kosng yang ditinggalkan motor sebelumnya, begitu seterusnya.

Selain parkiran, ada tempat helm yang disediakan di parkiran utama. Saya  menyebutnya parkiran utama karena di parkiran tersebut dibuatkan atap dan penyanggahnya dari empat potong bamboo. Helm biasanya ditinggal begitu saja oleh pemilik dan akan dirapikan oleh tukang parkir sekalian dengan motornya. Jika musim panas maka helm hanya dikaitkan di setir atau sepion motor, tetapi jika musim penghujan, tukang parkir langsung menaruh helm di tempatnya. Helm dan motor yang dititipkan adalah tanggung jawab tukang parkir. Mereka benar-benar menjaga kenyamanan pemilik motor. Satu motor, sekali parkir bayarnya Rp. 2000.
foto parkiran motor

Semua tukang parkir sudah berkeluarga, salah satunya Johan*. Johan ngontrak kamar di samping kamar saya. Dia mempunyai seorang putra dan seorang putri, keduanya masih duduk di sekolah dasar. Setiap hari sabtu dan minggu keduanya datang bermain dengan ayahnya. Pada hari itu ayahnya punya waktu untuk bermain dengan mereka karena hari sabtu dan hari minggu parkiran sepi karena mahasiswa dan pekerja kantor libur. Selain bermain dengan mereka, Johan juga membuat makan siang atau sarapan pagi untuk mereka bertiga, biasanya indomie dengan telur. Jika makan siang, Johan membeli makan siang di warung.

Satu lagi namanya Sobari*. Dia selain memarkir sepeda motor juga memanfaatkan ruang kosong di tempat mereka biasa ngopi untuk menyemai bibit sayur sawi, cabe dan pare. Sobari menyemai bibit sawi karena ada lahan sebelah parkiran yang tidak tepakai ditawarkan pemiliknya untuk ditanami sayur. Lahan itu dipinjamkan cuma-cuma. Saat ini Sobari sudah menyemai 1000 bibit sawi.

“ada lahan kosong di sebelah yang ditawarkan pemilik untuk aku Tanami sayur. Hasil tanam untuk aku semua. Dipinjamkan gratis. Sudah 1000 bibit sawi yang sudah saya semai” cerita Sobari ketika saya diajak ngopi di tempat istirahat mereka.

Bibit yang disemai Sobari diletakkan dari atas rak-rak yang dibuatnya dari bambu. Untuk menghemat ruang, Sobari mengantunya karena di lantai dan di dinding sudah dipenuhi bibit. Kantong untuk bibit dia gunakan dari kantong-kantong bekas dan ada beberapa baki bekas yang juga dia gunakan untuk menaruh bibit.
foto; Sobari sedang menggantung tempat semai

Sobari memilih menyemai bulan ini karena menurutnya jika bulan ini sudah disemai maka pada bulan november nanti sudah bisa dipanen. Saya lalu bertanya pada Sobari, di mana nanti hasil panen akan dijual ? “hasil panen bisa dijual ke warung makan yang ada di sekitar ini. Terpenting, jangan ditanam sekaligus dan juga jangan dipanen sekaligus supaya gampang dijual. Kalau panennya banyak nanti harganya murah” jawab Sobari sembari berdiri mengeluarkan motor dari parkiran.

Memang benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Baru beberapa jam saja duduk dan berbagi cerita mengenai bibit semai, saya seperti sudah mengenal mereka lama. Dari catatan ini saya berkesimpulan, “kalu sudah kenal mari baku sayang, apalagi sudah berteman harus lebih bakusayang, dan kalau sudah baku sayang harus ke pelaminan”.  



Ket: *Nama tukang parkir di atas bukan nama sebenarnya


               Jf. Upik







0 komentar:

Posting Komentar