Judul
Buku : HENING
Penulis : Shusaku Endo
Tahun
Terbit : 2017
Penerbit : Kompas Gramedia
ISBN : 978-602-03-3717-3
Halaman : 304 Hal; 20 cm
Ramainya
perdagangan kain sutra di Timur menjadi pintu masuk misionaris
untuk menyebarkan paham Kristus kepada orang Jepang, yang oleh Francis Xavier,
Kristianitas dibawa masuk ke Jepang pada tahun 1549. Walapun baru setahun menginjakkan
kaki di Jepang, misionaris ini sudah jatuh cinta pada penduduk Jepang. Dia
menyebut penduduk jepang sebagai “pembawa suka cita di hatinya”. Dia menyurati gereja
di Portugal bahwa “ orang yang kami jumpai sejauh ini adalah yang terbaik yang
telah kami temukan, dan rasanya tidak pernah ada… bangsa lain yang menandingi
bangsa Jepang” (hal.8).
Sikap
ramah dan terbuka dari orang Jepang membuat dia berhasil mengkristenkan ratusan
orang dan membuka semangat baru bagi para misonaris untuk berlayar masuk ke
Jepang dengan niat menunaikan misi kerasulan. Namun misi kerasulan oleh misionaris setelah
Xavier dinodai oleh Christavao Ferreira yang kabarnya murtad dari Kristen
karena dihukum oleh pemerintah Jepang.
Berita
tersebut telah sampai kepada Gereja di Roma. Christovao Ferreira, yang dikirim
ke Jepang oleh Serikat Yesus di Portugal, akhirnya menyerah dan menjadi murtad
setelah mengalami hukuman penyiksaan di dalam “lubang” di Nagasaki. Ferreira
selama ini merupakan sumber inspirasi bagi para imam serta ummat yang setia
(hal.25).
Penangkapan
terhadap misionaris di Jepang membuat pihak Gereja Roma enggan mengirim lagi
misionaris ke Negara Matahari terbit itu. Namun di tengah ketakutan yang
melanda Gereja, ada dua orang misionaris muda yang keras kepala ingin pergi ke Jepang
untuk menunaikan niat kerasulan. Keinginan itu tentunya ditentang, namun mereka
mengambil jalan pintas, pergi secara diam-diam.
Setelah
melakukan perjalanan panjang, Sebastian Rodrigues dan Garpe tiba di desa
Tomogi. Warga desa yang sudah Kristen menampung mereka di salah satu gudang
yang ada di perbukitan. Gudang itu akan dijadikan tempat persebunyian dan
sekaligus tempat untuk melakukan tugas misionaris.
Di
desa Tomogi ini warga telah bersepakat untuk melaksanakan sakramen secara
diam-diam karena jika diketahui oleh kerajaan maka nasib mereka berakhir buruk.
Tidak hanya rumah, bahkan diri mereka akan dibakar jika tidak mau menyangkal
iman. Agar bisa terus melakukan sakramen dengan aman maka dipilihlah beberapa
orang yang bertanggung jawab. Di desa Tomogi dipilihlah seseorang yang sudah
berumur untuk menjalanakan fungsi sebagai imam. “Jisama” adalah imam dalam
bahasa Jepang. Seorang Jisama mempunyai
kekuasaan atau hak yang tinggi di desa mengenai agama terutama dalam tugas
membaptis anak-anak kecil. Seorang Jisama dipilih karena dianggap sebagai orang
yang bertanggungjawab dan dalam kehidupannya kesehariannya tanpa tindakan
tercela (hal.61).
Ada
juga “Tosama” yang berisi sekelompok anak muda yang dipercayakan untuk mengajar
warga tentang Kristen dan memimpin warga dalam memanjatkan doa. Dan “Mideshi”
yang dikenal sebagai penolong. Ketiganya memiliki tugas masing-masing untuk
tetap menjaga iman warga dan menjaga agar warga tetap aman dalam menjalankan
keimanan mereka tanpa diketahui oleh kerajaan (hal.62)
Desa
Tomogi hanyalah desa kecil, terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan di
Nagasaki. Penduduk desa Tomogi memanfaatkan lahan pertanian untuk memenuhi
kebutuhan hari-hari. Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan dengan
menanam kentang dan gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Mereka tidak
punya sawah. Kalau kalian melihat mereka menanami tanah di sini, sampai ke
tengah-tengah gunung yang menghadap ke laut, kalian akan terperangah, bukan
saja kerja keras mereka yang tidak kenal lelah, terutama oleh kejamnya
kehidupan yang mereka warisi. Akan tetapi Nagasaki memungut pajak sangat tinggi
dari mereka.
Aku mengatakan yang sebenarnya – sudah sejak lama para petani ini bekerja seperti kuda dan ternak; dan mereka mati seperti kuda dan ternak pula. Agama kita bisa menembus wilayah ini seperti air mengalir kedalam tanah yang kering, karena agama kita memberikan kepada orang ini kehangatan manusiawi yang sebelumnya tidak mereka kenal. Untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan orang yang memperlakuan mereka sebagai manusia. Kebaikan dan kemurahan para pastorlah yang menyentuh hati mereka (hal.66).
Aku mengatakan yang sebenarnya – sudah sejak lama para petani ini bekerja seperti kuda dan ternak; dan mereka mati seperti kuda dan ternak pula. Agama kita bisa menembus wilayah ini seperti air mengalir kedalam tanah yang kering, karena agama kita memberikan kepada orang ini kehangatan manusiawi yang sebelumnya tidak mereka kenal. Untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan orang yang memperlakuan mereka sebagai manusia. Kebaikan dan kemurahan para pastorlah yang menyentuh hati mereka (hal.66).
Fereira lalu keluar dari desa
Tomogi untuk pergi ke desa-desa lain yang sudah Kristen. Perjalananya bersama
Kicjhiro tentu saja dilakukan secara diam-diam. Hal yang sama dia temukan
seperti di Tomogi. Warga menjaga iman mereka secara diam-diam.
Namun aksi yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi itu tidak cukup. Fereira akhirnya ditangkap oleh pejabat
Nagasaki. Kicjhiro adalah penyebabnya. Sudah lama dia mencurigai Kichiro dari
cerita penduduk desa – dia pernah ditangkap dan dilepaskan karena diminta
menyangkal keyakinan sebagai Kristen. Diminta menginjak gambar Maria dan
meludahi patung Kristus. Dia melakukannya.
Ditangkap dan dipenjara, Rodrigues
justeru diperlakukan seperti tamu bukan tawanan. Perlakukan itu terlalu
istimewa, tidak seperti seorang tawanan pada umumnya. Dia menaruh curiga bahwa ada upaya dari
pejabat membiasakan tubuhnya menikmati kesenangan, dengan bagitu dia tidak akan
tahan pada hukuman gantung dan akan menyangkal keyakinan. Kecurigaannya keliru.
Hukuman gantung terbalik di goa yang membuat gurunya menyangkal iman tidak
pernah dia terima, tetapi dia justeru dipertemuakan dengan gurunya.
Keinginannnya selama perjalanan ke Jepang selain misi misionaris adalah bertemu
sang guru. Pejabat Nagasaki seperti tahu apa keinginannya.
Terjadi dialog antara guru dan
murid, di penjara dan bahkan ketika penduduk yang tertangkap di hukum gantung.
Fereira meminta Rodrigues segara menyangkal imannya untuk melelamatkan penduduk
desa, dia menolak dengan penuh kekecewaan dan terus mememnuhi kepalanya dengan pertanyaan tentang Fereira.
“Baik. Berdoalah! Sementara itu,
orang-orang Kristen di luar sana menanggung penderitaan maha hebat yang tidak
bakal bisa kau mengerti. Sejak kemarin – untuk selanjutnya – dan pada saat ini.
Mengapa mereka harus menderita seperti itu ? dan sementara semua ini
berlangsung, kau tidak berbuat apa-apa untuk mereka, dan Tuhan juga tidak
berbuat apa-apa” (hal.264).
Setelah murtad seperti gurunya,
Rodrigues menetap di Jepang. Dia tinggal di salah satu rumah pemberian pejabat
Nagasaki. Setiap hari dia hanya
bersandar di jendala sembari merenungkan kembali peristiwa lalu. Dia percaya
bahwa pejabat Gereja di Roma dan Portugis sudah tahu bahwa dia telah mengikari
imannya. Itu artinya dia telah dikeluarkan dari misi kepastoran. “Apa pentingnya
semua itu. Bukan mereka yang bisa menilai hatiku, melainkan hanya Tuhan,” demikian
dia suka bergumam, menggeleng-gelengkan kepala dan menggit bibirnya (hal. 271).
***
Shusaku Endo adalah novelis katolik
pertama dari Jepang yang mengemukakan proses kristenitas di Jepang dengan
begitu dahsyat. Dia berkesimpulan bahwa Kristen harus beradaptasi secara
radikal kalau ingin menumbuhkan akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang (hal. 7).
Bangsa-bangsa Eropa yang datang ke
Jepang bersaing satu sama lain untuk bisa mengusai pasar dagang di jalur
Sultra. agar bisa mengguasai pasar, Belanda memprovokasi pemerintah Nagasaki, bahwa Portugis selain misi perdangan juga sedang
menyebarkan paham kristus. Jika masyarakat Nagasaki sudah mengikuti paham
Kristus maka dengan mudah Portugis memonopoli perdagangan.
***
“Hening” bagi saya adalah upaya
penulis untuk menunjukkan bahwa terjadi pemberontakan secara diam-diam dari
penduduk Jepang. Pemberontakan yang dimaksud ialah penerimaan penduduk Nagasaki
pada paham Kristus. Warga Menerima paham kristus karena paham Kristus hadir
ditengah-tengah keterpurukan kemiskinan tanpa melihat status sosial dan selalu
mengutamakan keadilan sesama. Selain itu
“hening” juga dapat dipahami sebagai pilihan “diam” oleh misionaris walaupun melihat
banyak warga Nagasaki disiksa karena menerima paham kristus. Dengan demikian arti
yang kedua adalah kritik terhadap penyebar agama yang selalu berkhotbah lantang
tetapi diam ketika ada korupsi, penindasan and perampasan tanah.
0 komentar:
Posting Komentar