Random Posts

banner image

Jumat, 08 September 2017

Vincent Van Gogh, Jalan Sunyi Seorang Pelukis





















Judul: Lust For Life
Penulis: Irving Stone
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Rahmani Astuti


Setiap manusia yang mecipta, dan pernah mengubah dunia adalah orang-orang yang sangat langka, mereka adalah orang-orang yang hidupnya penuh luka, penderitaan, kelaparan, juga tak luput dari pemberontakan yang riuh untuk mengada pada sebuah keyakinan yang menjadi pilihan jalan hidup mereka dan ditempuh bertahun-tahun lamanya.

Tragis dan mengerikan memang, tetapi apa yang lebih puitis, dan romantis selain hasrat untuk memberontak, mencipta, dan mengada di dalam keabadian itu. Barangkali inilah cerita kisah nyata suka duka tentang perjalanan hidup Vincet Van Gogh.

Van Gogh seorang pelukis cemerlang yang mati sebagai anak terbuang. Sebagai pelukis cemerlang, kini karya-karyanya menjadi lukisan termahal di dunia, tetapi semasa hidupnya senantiasa didera nasib malang, kemiskinan, dan kegagalan cinta.

Novel ini mengungkap perjuangan hidup Vincent Van Gogh sejak ia masih seorang pemuda tanggung hingga wafat sebelum menyaksikan karya-karyanya dihargai orang, menjadi abadi, dan memecahkan rekor lukisan termahal di dunia - menembus harga lebih dari satu triliun rupiah, yang belum ada yang bisa melampauinya.

Van Gogh, dengan gagah berani, dengan api amarah yang berlanjut sampai tubuhnya tenggelam. Ia tak mati-mati. Ia adalah seniman yang tak terlupakan sepanjang hidup, diantara deretan seniman dunia. Alasan inilah, Irving Stone, penulis biografi orisinil, mengkombinasikan dengan sangat luar biasa, degan gaya puitis, dan sangat menyentuh.

Van Gogh lahir di Zundert, Belanda, 30 Maret 1853, dan meninggal di Perancis pada tahun 1890 akibat bunuh diri yang dipicu penyakit mental yang dideritanya. Van gogh muda didik dengan tradisi religius, dengan harapan orang tua dan keluarganya untuk menjadi anak yang soleh, sebagai penyebar al-kitab, dan penceramah.

Saat diusianya 16 tahun ia memutuskan mengikuti jejak pamanya sebagai penjaga galeri, dan penjualan karya-karya seni lukisan. Ia sering berpergian di Prancis dan Inggris. Namun suatu kali ia memilih untuk menjadi pedagang karya seni di London. Di sana ia bertemu dengan salah satu gadis yang sangat dicintainya. Namun cinta pertamanya berujung paradoks, penuh penolakan dan hinaan. Ketika wanita itu menikah dengan orang lain Van Gogh merasa sesuatu terasa menyayat didalam hatinya. Menyayat dengan rapi dan bersih. Lalu ia berjalan pulang dibawah hujan yang lebat. Mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kota itu untuk selama-selamanya. Ia sangat depresi, dan melankolitas lalu kembali ke kota kelahirannya, dan memalingkan pikirannya untuk mempelajari teologi, sebagai pelayan Tuhan.

Di Belgia ia ditempatkan untuk memberikan ceramah yang baik bagi mesyarakat setempat. Bertahun-tahun Van Gogh melakukan kegiatannya sebagai seorang penceramah, namun semangatnya itu runtuh seketika - kemiskinan, dan kematian yang didera masyarakat setempat yang bekerja sebagai penambang batu bara membuat Van Gogh merasa tidak mampu menolong mereka.

Dulu ia datang ke Borniage untuk menanamkan firman Tuhan kedalam hati mereka, tetapi apa yang bisa dikatakan ketika menghadapi kenyataan bahwa musuh abadi dari para penambang adalah pemilik perusahan, yang membuat masyrakat setempat bekerja selama tiga belas jam sehari di lubang-lubang sempit itu, demi mendapatkan makanan yang hanya cukup untuk menghindari kelaparan sehari, dengan kematian mendadak yang mengintai setengah dari mereka, dan juga kematian akbiat batuk-batuk dan lainnya.

Dia telah gagal menolong mereka dengan cara apa pun, bahkan Tuhan pun tidak bisa menolong mereka, katanya. Sebuah penilaian yang ganjil bagi seorang pelukis ekspresionis yang paling tersohor ini.

Dia mengalami kebangrutan yang paling mendalam. Praksisnya dia tidak mempunyai persediaan. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang, tidak ada kesehatan, tidak ada kekuatan, tidak ada semangat, tidak ada hasrat, tidak ada hambisi, tidak ada cita-cita, terburuk dari semuanya, dia tidak ada pegangan untuk hidup.

Lima kali mengalami kegagalan, dan tidak ada keberanian untuk memulai sesuatu yang baru, saat berumur 27 tahun. Di musim panas itu berganti menjadi musim gugur. Sejalan dengan kematian dan tumbuh-tumbuhan yang melayu, sesuatu berkembang di dalam diri Van Gogh. Dia tidak bisa menghadapi kehidupannya sendiri. Dia berpaling kepada kehidupan orang lain. Dia kembali kepada buku-bukunya. Membaca sudah menjadi kegiatan yang paling menyenangkan dan yang paling stabil. Dalam cerita-cerita orang lain yang berhasil dan gagal, yang menderita dan bahagia, dia menemukan perlindungan dari bayangan yang menghantuinya akibat kegegalanya sendiri.

Dengan berlalunya minggu demi minggu dia menyerap cerita-cerita kehidupan dan ratusan kehidupan orang-orang biasa seperti dirinya, yang terus berjuang, terkadang berhasil, tetapi lebih sering gagal; dan melalui semua itu secara perlahan-lahan dia mendapatkan perspektif yang tepat mengenai dirinya:”Aku adalah orang yang gagal.” Diganti dengan”Apa yang akan dia coba sekarang? Apa yang paling sesuai untuk diriku? Di manakah tempat di dunia ini yang pantas untukku?” di setiap buku yang dibacanya, dia mencari cita-cita yang mungkin bisa memberinya arah hidup lagi.

Dia memutuskan menjadi pelukis pada 1881 di saat berumur 27 tahun. Namun menjadi pelukis tidak diterima oleh keluarganya, terutama ayahnya yang sangat membencinya, dan telah membuangnya. Salah satu orang yang setia menemani dan memberikan sokongan keuangan, dan dukungan yang penuh untuk menjadi pelukis adalah Theo Van Gogh, adiknya. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih, meninggalkan jejak yang abadi. Sudah lama Vincent suka melukis, dan Theo, adik yang paling dekat dengannya, selalu mendorong sang kakak untuk melukis. Theo yang juga berkarier sebagai pedagang barang seni bahkan rela membiayai kehidupan Vincent sampai akhir hidupnya.Ia melukis dengan sangat produktif. Setiap hari ia menghasilkan lukisan-lukisannya dengan kualitas begitu tinggi.

Vincent telah terbiasa memasukkan warna cerah dan goresan yang unik pada karya-karyanya. Lukisan vincent menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dia membuat sketsa anak-anak yang bermain di lantai. Para istri yang membungkuk di atas tungku lonjong. Ladang- ladang hitam. Para petani yang sedang membajak tanah. Setiap hari ia menyalin cetakan-cetakan yang ditempelkan di dinding, dan draf yang masih kasar yang telah dibuatnya, dengan perut lapar yang hanya beralas roti kering.

Selesai melukis, dia merasa masih ada yang kurang didalam karirnya, dia membutuhkan sebuah penilaian kepada sesama seniman. Dia berangkat ke Brussels, dia tahu ada banyak seniman di sana.

Dia tidak memiliki uang yang cukup untuk naik kereta maka satu-satunya cara untuk sampai kesana adalah berjalan kaki sejauh 80 km. Sepajang hari dia menapaki jalan hingga sepatunya yang tipis itu, hancur dan terpaksa membiarkan jemari kakinya mencuat keluar. Mantel yang ia gunakan sepanjang tahun diselimuti debu, dan karena dia tidak membawa baju ganti. Dia memasukkan kardus ke dalam sol sepatunya dan memulai berjalan terus menerus. Kulit sepatu itu telah memggores jemarinya yang mencuat keluar menumpakhan darah. Dia lapar. Haus dan letih, tetapi dia gembira luar biasa.

Terlepas dari jalan tragis yang dibimbing oleh hasrat seninya, jalan hidup Vicent adalah sebuah ajaran keyakinan dalam seni agung, betapa seni sesungguhnya meminta sang seniman hampir seluruh hidupnya ditumpahkan untuk bekerja keras, pengorbanan dan penderitaannya. Hanya cinta yang bisa menjadi kekuatan paling luar biasa untuk melewati kehidupan dalam seni dengan empati kemanusiaan yang tinggi.

Sering dalam kehidupan seseorang selalu mengalami kegagalan, tetapi pada akhirnya seseorang akan mengekspresikan diri dan ekspresi itu akan membenarkan pilihannya. Seperti kata Mandes, salah satu teman Van Gogh,”Apa pun yang kau lakukan, kau akan melakukannya dengan baik. Pada akhirnya kau akan mengekspresikan dirimu dan ekspresi itu akan membenarkan kehidupanmu. Suatu hari kau akan mengekspresikan dirimu secara total, tidak masalah sarana apa pun yang kau lakukan.”


Hidup dari kehidupan Van Gogh adalah sebuah keyakinan barang siapa yang hidup menurut keyakinan yang membakar semangat jalan hidup mereka, bukan menuruti tradisi paksaan lingkungan masyarakat disekitarnya. Ia bagaikan ‘aku’ Chairil Anwar yang menyepak menerjang membawa luka, serta mau hidup seribu tahun lagi. 







0 komentar:

Posting Komentar