Judul: Lust For Life
Penulis: Irving Stone
Penerbit: Serambi
Penerjemah: Rahmani
Astuti
Setiap
manusia yang mecipta, dan pernah mengubah dunia adalah orang-orang yang sangat
langka, mereka adalah orang-orang yang hidupnya penuh luka, penderitaan,
kelaparan, juga tak luput dari pemberontakan yang riuh
untuk mengada pada sebuah keyakinan yang menjadi pilihan jalan hidup mereka dan ditempuh bertahun-tahun lamanya.
Tragis
dan mengerikan memang, tetapi apa yang lebih puitis, dan romantis selain hasrat
untuk memberontak, mencipta, dan mengada di dalam keabadian itu. Barangkali inilah cerita kisah nyata
suka duka tentang perjalanan hidup Vincet Van Gogh.
Van
Gogh seorang pelukis cemerlang yang mati sebagai anak terbuang. Sebagai pelukis cemerlang, kini karya-karyanya
menjadi lukisan termahal di dunia, tetapi semasa hidupnya senantiasa didera
nasib malang, kemiskinan, dan kegagalan cinta.
Novel
ini mengungkap perjuangan hidup Vincent Van Gogh sejak ia masih seorang pemuda
tanggung hingga wafat sebelum menyaksikan karya-karyanya dihargai orang,
menjadi abadi, dan memecahkan rekor lukisan termahal di dunia - menembus
harga lebih dari satu triliun rupiah, yang belum ada yang bisa melampauinya.
Van
Gogh, dengan gagah berani, dengan api amarah yang berlanjut sampai tubuhnya
tenggelam. Ia tak mati-mati. Ia adalah seniman yang tak terlupakan sepanjang
hidup, diantara deretan seniman dunia. Alasan
inilah, Irving Stone, penulis biografi orisinil,
mengkombinasikan dengan sangat luar biasa, degan gaya puitis, dan sangat
menyentuh.
Van
Gogh lahir di Zundert, Belanda, 30 Maret 1853, dan meninggal di Perancis pada
tahun 1890 akibat bunuh diri yang dipicu penyakit mental yang dideritanya. Van
gogh muda didik dengan tradisi religius, dengan harapan orang tua dan
keluarganya untuk menjadi anak yang soleh, sebagai penyebar al-kitab, dan
penceramah.
Saat
diusianya 16 tahun ia memutuskan mengikuti jejak pamanya sebagai penjaga
galeri, dan penjualan karya-karya seni lukisan. Ia sering berpergian di Prancis
dan Inggris. Namun suatu kali ia memilih
untuk menjadi pedagang karya seni di London.
Di sana ia bertemu dengan salah satu gadis yang
sangat dicintainya. Namun cinta pertamanya
berujung paradoks, penuh penolakan dan hinaan. Ketika wanita itu menikah dengan
orang lain Van Gogh merasa sesuatu terasa menyayat didalam hatinya. Menyayat
dengan rapi dan bersih. Lalu ia berjalan pulang dibawah hujan yang lebat.
Mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan kota itu untuk selama-selamanya. Ia
sangat depresi, dan melankolitas lalu kembali ke kota kelahirannya, dan
memalingkan pikirannya untuk mempelajari teologi, sebagai pelayan Tuhan.
Di Belgia ia ditempatkan
untuk memberikan ceramah yang baik bagi mesyarakat setempat. Bertahun-tahun Van
Gogh melakukan kegiatannya sebagai seorang penceramah, namun semangatnya itu
runtuh seketika
- kemiskinan, dan kematian
yang didera masyarakat setempat yang bekerja sebagai penambang batu bara
membuat Van Gogh merasa tidak mampu menolong mereka.
Dulu
ia datang ke Borniage untuk menanamkan
firman Tuhan kedalam hati mereka, tetapi apa yang bisa dikatakan ketika
menghadapi kenyataan bahwa musuh abadi dari para penambang adalah pemilik
perusahan, yang membuat masyrakat setempat bekerja selama tiga belas jam sehari
di
lubang-lubang sempit
itu, demi mendapatkan makanan yang hanya cukup untuk menghindari kelaparan
sehari, dengan kematian mendadak yang mengintai setengah dari mereka, dan juga
kematian akbiat batuk-batuk dan lainnya.
Dia
telah gagal menolong mereka dengan cara apa pun, bahkan Tuhan pun tidak bisa
menolong mereka, katanya. Sebuah penilaian yang ganjil bagi seorang pelukis
ekspresionis yang paling tersohor ini.
Dia
mengalami kebangrutan yang paling mendalam. Praksisnya dia tidak mempunyai
persediaan. Tidak ada pekerjaan, tidak ada uang, tidak ada kesehatan, tidak ada
kekuatan, tidak ada semangat, tidak ada hasrat, tidak ada hambisi, tidak ada
cita-cita, terburuk dari semuanya, dia tidak ada pegangan untuk hidup.
Lima
kali mengalami kegagalan, dan tidak ada keberanian untuk memulai sesuatu yang
baru, saat berumur 27 tahun. Di musim
panas itu berganti menjadi musim gugur. Sejalan dengan kematian dan
tumbuh-tumbuhan yang melayu, sesuatu berkembang di dalam diri Van Gogh. Dia tidak bisa menghadapi
kehidupannya sendiri. Dia berpaling kepada kehidupan orang lain. Dia kembali
kepada buku-bukunya. Membaca sudah menjadi kegiatan yang paling menyenangkan
dan yang paling stabil. Dalam cerita-cerita orang lain yang berhasil dan gagal,
yang menderita dan bahagia, dia menemukan perlindungan dari bayangan yang
menghantuinya akibat kegegalanya sendiri.
Dengan
berlalunya minggu demi minggu dia menyerap cerita-cerita kehidupan dan ratusan
kehidupan orang-orang biasa seperti dirinya, yang terus berjuang, terkadang
berhasil, tetapi lebih sering gagal; dan melalui semua itu secara
perlahan-lahan dia mendapatkan perspektif yang tepat mengenai dirinya:”Aku
adalah orang yang gagal.” Diganti dengan”Apa yang akan dia coba sekarang? Apa yang
paling sesuai untuk diriku? Di manakah
tempat di
dunia ini yang pantas
untukku?” di setiap buku yang
dibacanya, dia mencari cita-cita yang mungkin bisa memberinya arah hidup lagi.
Dia
memutuskan menjadi pelukis pada 1881 di saat
berumur 27 tahun. Namun menjadi pelukis
tidak diterima oleh keluarganya, terutama ayahnya yang sangat membencinya, dan telah
membuangnya. Salah satu orang yang setia menemani dan memberikan sokongan
keuangan, dan dukungan yang penuh untuk menjadi pelukis adalah Theo Van Gogh,
adiknya.
Ia ingin melakukan
sesuatu yang lebih, meninggalkan jejak yang abadi. Sudah lama Vincent suka melukis,
dan Theo, adik yang paling dekat dengannya, selalu mendorong sang kakak untuk
melukis. Theo yang juga berkarier sebagai pedagang barang seni bahkan rela membiayai
kehidupan Vincent sampai akhir hidupnya.Ia melukis dengan sangat
produktif. Setiap hari ia menghasilkan lukisan-lukisannya dengan kualitas
begitu tinggi.
Vincent
telah terbiasa memasukkan warna cerah dan goresan yang unik pada karya-karyanya.
Lukisan vincent menggambarkan kehidupan sehari-hari. Dia membuat sketsa anak-anak yang bermain di lantai. Para istri yang membungkuk di atas tungku lonjong. Ladang- ladang
hitam. Para petani yang sedang membajak tanah. Setiap hari ia menyalin
cetakan-cetakan yang ditempelkan di dinding, dan draf
yang masih kasar yang telah dibuatnya, dengan
perut lapar yang hanya beralas roti kering.
Selesai
melukis, dia merasa masih ada yang kurang didalam karirnya, dia membutuhkan
sebuah penilaian kepada sesama seniman. Dia berangkat ke Brussels, dia tahu ada
banyak seniman di sana.
Dia
tidak memiliki uang yang cukup untuk naik kereta maka satu-satunya cara untuk sampai kesana adalah
berjalan kaki sejauh 80 km. Sepajang hari dia menapaki jalan hingga sepatunya yang tipis itu, hancur
dan terpaksa membiarkan jemari kakinya mencuat keluar. Mantel yang ia gunakan sepanjang tahun diselimuti debu, dan karena
dia tidak membawa baju ganti. Dia memasukkan kardus ke dalam sol sepatunya dan
memulai berjalan terus menerus. Kulit sepatu itu telah memggores jemarinya yang
mencuat keluar menumpakhan darah. Dia lapar. Haus dan letih, tetapi dia gembira
luar biasa.
Terlepas
dari jalan tragis yang dibimbing oleh hasrat seninya, jalan hidup Vicent adalah sebuah ajaran keyakinan dalam seni agung,
betapa seni sesungguhnya meminta sang seniman hampir seluruh hidupnya
ditumpahkan untuk bekerja keras, pengorbanan dan penderitaannya. Hanya cinta
yang bisa menjadi kekuatan paling luar biasa untuk melewati kehidupan dalam
seni dengan empati kemanusiaan yang tinggi.
Sering
dalam kehidupan seseorang selalu mengalami kegagalan, tetapi pada akhirnya
seseorang akan mengekspresikan diri dan ekspresi itu akan membenarkan
pilihannya. Seperti kata Mandes, salah satu teman
Van Gogh,”Apa pun yang kau lakukan, kau akan melakukannya dengan baik. Pada
akhirnya kau akan mengekspresikan dirimu dan ekspresi itu akan membenarkan
kehidupanmu. Suatu hari kau akan mengekspresikan dirimu secara total, tidak
masalah sarana apa pun yang kau lakukan.”
Hidup
dari kehidupan Van Gogh adalah sebuah keyakinan barang siapa yang hidup menurut
keyakinan yang membakar semangat jalan hidup mereka, bukan menuruti tradisi
paksaan lingkungan masyarakat disekitarnya. Ia bagaikan ‘aku’ Chairil Anwar
yang menyepak menerjang membawa luka, serta mau hidup seribu tahun lagi.
Oleh Emgi Kubaez
0 komentar:
Posting Komentar