Tentang Suatu Kota
ENTAH bagaimana, roda waktu
itu telah menghempasku pada suatu tempat dan waktu. Tatkala angin semilir tengah
membelai perut bumi, dalam suatu kesempatan, aku telah duduk bersama seorang
tua tepat di depan lanskap sebuah kota
di Afrika Utara, tepatnya Tunisia. Tak tahu siapa yang memulai, kami akhirnya berbincang-bincang
segala hal. Dari raut wajahnya, menunjukkan kesalehan pribadinya dan kedalaman
ilmu yang dimilikinya. Tutur katanya lembut penuh makna, menghunjam tepat pada
labirin kesadaranku. Tatap matanya teduh mengisyaratkan keluasan pengalaman hidupnya. “Orang
ini bukan orang biasa,” gumamku.
“Anak
muda, sampai di mana pembicaraan kita tadi?” hening seketika hadir. Dari
tangannya sebuah buku tebal tengah digamit, satu jari memberi tanda halaman
yang dibacanya. Aku mencoba merangkai ingatan, kemana arah pembicaraan kami
sejauh ini. Ups, memang yang belum
terungkap adalah siapa orang tua ini. Sesuatu yang belum dia utarakan sejak
tadi. Pikiranku bermain-main, mencoba mengguratkan garis-garis wajah secara
imajiner. “Seperti aku mengenal orang tua ini,” pikirku.
“Oh
ya, kepada Anda sapaan apa yang pantas saya berikan, karena di antara kita
belum saling mengenal.” Segudang keberanian dengan terpaksa kulontarkan untuk
membenarkan imajinasi guratan wajah dalam pikiranku.
“Haha,
aku sudah menerka dari airmuka mu anak muda. Baiklah. Namaku Abdul Rahman Ibnu
Khaldun. Aku dilahirkan di wilayah ini, Tunisia, tepat tanggal 27 Mei 1333.
Bagaimana sudah cukup?” Senyum bijaknya tertuju padaku.
Seketika
aku pun hampir merasa terjatuh dari tempat duduk, karena kaget ketika orang tua
itu menyebut namanya.
“Kalau tidak salah nama itu lebih dikenal dengan nama Ibnu
Khaldun.” Jawabku sedikit kaget.
“Tidak salah anak muda. Nama
itu yang lebih dikenal orang,” ucapnya merendah.
“Saya sudah membaca buku
maha karya Anda, Muqaddimah,
yang di Eropa diterjemahkan ke dalam bahasa latin sebagai Prolegomena.
Suatu buku, yang tidak saja mengupas tuntas tentang al-ashabiyah,
tentang solidaritas sosial para kaum kabilah, tetapi juga Anda banyak menyinggung
soal dasar-dasar filsafat sejarah, kepemimpinan, perebutan kekuasaan, peradaban
manusia yang muncul dan hancur, organisasi, kota sebagai institusi sosial,
kedaulatan negara, pembagian kerja dan dinamika perekonomian, kewibawaan, dan
segala macam, dan bahkan peradaban yang bangkit dan hancur secara siklikal.
Dan, kukira karya Anda itu sampai sekarang masih sangat terasa aktualitasnya.
Bahkan di kalangan ilmuwan sosial dunia, menempatkan pemikiran dan diri Anda
sebagai avant garde bagi ilmu-ilmu sosial.”
“Anak muda, kamu terlalu melambungkan anganmu
pada titik yang demikian tinggi. Padahal buku Muqaddimah, hanyalah
“pendahuluan” dari buku lain yang nanti akan
kujelaskan lebih luas,” jawabnya dengan tenang.
“Bisakah Anda menjelaskan padaku,
bagaimana pandangan Anda tentang suatu kota, sebagaimana yang Anda tulis dalam Muqaddimah. Di mana Anda mengutip para filosof (al-Hukama) dengan menyatakan
bahwa manusia bersifat politis
menurut tabiatnya, sehingga itulah organisasi
kemasyarakatan merupakan suatu keharusan, yang dalam konsep Anda disebut
dengan “Kota” (al-Madinah).
Itulah yang menurut Anda dengan peradaban,” tanyaku.
Sambil batuk-batuk kecil
orangtua itu menjelaskan. “Kota harus menjadi tempat tinggal yang aman dan
nyaman bagi penduduknya. Untuk keamanan diperlukan benteng dan jembatan yang
memisahkan kota dengan wilayah di sekitarnya. Dari sisi kesehatan, perlu
dipastikan sirkulasi udara dan ketersediaan sumber air bersih. Sedangkan dari
sisi ekonomi, rumah tangga para penduduk kota perlu didorong untuk beternak dan
bercocok tanam, di samping perlu juga menjalin hubungan dagang antar-wilayah. Kota
dengan segala kompleksitasnya, merupakan representasi perkembangan ilmu pengetahuan
serta pola pikir dan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Sebagai cerminan
kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Kota juga mengalami dinamika sesuai
dengan dinamika penduduknya,”urainya.
“Di tahap awal,” lanjutnya,
“ketika jumlah penduduk suatu kota masih terbatas, wujud fisik kota biasanya
sangat sederhana. Jumlah, kualitas dan kompleksitas bangunan yang ada terus
meningkat sejalan dengan bertambahnya penduduk, tenaga ahli, dan materi yang
tersedia. Sebaliknya, jika suatu hari karena suatu sebab tertentu, terjadi
penurunan tingkat peradaban dan/atau jumlah penduduk, wujud fisik kota juga
mengalami kemunduran. Begitulah suatu kota,” sembari menerawang jauh ke
angkasa.
“Bila suatu kota yang mulai
merangkak maju dengan pertumbuhan ekonominya, tentu akan timbul implikasi
sosial budaya. Bagaimana Anda melihat ini?” tanyaku.
“Setiap masyarakat mengalami
dinamikanya sendiri. Kehidupan kota ditandai pembagian kerja yang kian lama
kian terspesialisasi, sehingga setiap pekerja semakin produktif. Produktifitas
masyarakat secara keseluruhan semakin meningkat, dan rakyat-pun makin
sejahtera. Namun lambat-laun kesejahteraan tersebut menyebabkan perubahan pada
gaya hidup masyarakat yang semakin materialis dan hedonis. Tuntutan kebutuhan
pengeluaran yang meningkat, seiring harga-harga yang kian tinggi, menyebabkan
sebagian penduduk mengalami kekurangan keuangan, sehingga mengalami kesulitan
dalam mempertahankan gaya hidupnya,” jelasnya penuh santun dan bermakna.
Sambil menarik nafas,
orangtua itu kembali mengurai pikirannya. “Tekanan sosial ekonomi yang kian
massif itu mendorong orang untuk melakukan korupsi, penipuan, perjudian,
transaksi ribawi, bahkan tindakan asusila dan amoral di mana-mana. Degradasi
moral tersebut meluas ke berbagai kalangan, tak terkecuali penguasa dan
orang-orang dekatnya. Para pejabat pemerintah tidak lagi memusatkan perhatian
untuk mengurus kota, negara dan rakyatnya, melainkan berfikir bagaimana
memperkaya dan memuaskan diri dan keluarga mereka saja. Dampaknya, dalam waktu
singkat, kota, negara dan masyarakatnya terjerumus ke dalam kehancuran.” Ia
menghentikan sejenak penjelasannya. Mengambil air putih disampingnya dan
meneguk beberapa kali.
Semburat
senja mulai merayap turun perlahan di ufuk barat, pertanda maghrib akan segera
menyapa. Orang tua itu mulai mengemasi beberapa buku yang dibawanya dan
dimasukkan ke dalam tas kulit yang lusuh.
”Insya
Allah, kapan-kapan kita lanjutkan lagi dialog ini, ya anak muda? Maghrib hampir
tiba,” sambil berdiri dengan sedikit berat.
”Dengan
senang hati dan selalu berharap dapat berdialog dengan Anda, semoga Anda tidak
bosan denganku,” aku cepat berdiri dan menyambar tangannya, kujabat erat,
mencium punggung tangannya yang gurat keriput begitu terlihat sembari menatap
matanya yang teduh.
Orang tua itu tersenyum penuh ketulusan. Kami mulai berjalan perlahan ke arah matahari yang mulai terbenam. Sayup-sayup, terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an dari kejauhan. Tak terasa, buku Muqaddimah yang aku pegang terjatuh. Aku pun sadar. Ternyata aku baru saja bermimpi dan berdialog dengan Ibnu Khaldun.[]
Orang tua itu tersenyum penuh ketulusan. Kami mulai berjalan perlahan ke arah matahari yang mulai terbenam. Sayup-sayup, terdengar lantunan ayat suci al-Qur’an dari kejauhan. Tak terasa, buku Muqaddimah yang aku pegang terjatuh. Aku pun sadar. Ternyata aku baru saja bermimpi dan berdialog dengan Ibnu Khaldun.[]
Dosen Sosiologi FISIP UMMU
Casinos Near Bryson City Casino & Racetrack
BalasHapusFind the best casinos near 춘천 출장안마 Bryson 의정부 출장안마 City Casino & 김천 출장마사지 Racetrack in Bryson City, NJ. Mapyro offers accurate 전라남도 출장마사지 and unbiased 경상남도 출장안마 reviews.