Random Posts

banner image

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 28 September 2017

Memugar Ruang Psycho-Education pada Generasi Gawai

Saat ini banyak para guru merasa gamang bersikap antara membiarkan atau melarang siswa memakai gawai (gadget) ketika sedang mengikuti pelajarannya. Bagi yang melarang, berargumen bahwa sepenuhnya siswa harus fokus pada pembelajaran di kelas. Bagi yang membiarkan, berargumen bahwa hal itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi generasi sekarang dan lebih baik momen tersebut digunakan untuk menunjang pembelajarannya.

Kegamangan ini diperparah oleh fenomena media sosial yang memprovokasi ujaran-ujaran kebencian, saling bully,  saling hujat-menghujat di arena media sosial. Bahkan, tidak sedikit yang memegang teguh hoax yang disebarkan tanpa menyikapinya dengan sikap kritis. Singkatnya, kedangkalan dan banalitas dalam ber-media sosial turut menular dan menghinggapi kepala dan meresap secara diam-diam pada anak didik kita.

Kedangkalan ini seperti tidak teratasi di ruang pendidikan kita. Apalagi, generasi ini membawa ambiguitas dan kompleksitasnya sendiri, diantaranya salah satu problem alot pembelajaran yaitu kesenjangan keyakinan/pandangan dan budaya antara guru dan siswa. Bahkan, jika dulu hanya pada kesenjangan dalam satu dunia (dunia nyata), namun sekarang bertambah kompleks yakni kesenjangan pandangan dan terjadi pula dalam dua dunia (nyata dan maya).

Eksistensi Generasi Gawai
Senarai problem yang diudar di atas menoktahkan kembali pentingnya pemikiran Sherry Turkle -profesor MIT University. Ia menyebut eksistensi yang tumbuh dan berkembang bersama gawai ini dengan second self. Eksistensi generasi gawai ini disebutnya sebagai digi-sein (ada/being bersama dengan mesin). Relasi manusia dengan teknologi tidak hanya “sekedar perkakas” (just a tool), namun “mengada-bersama-perkakas” (being-within-tool). Turkle hendak menjelaskan bahwa generasi gawai berpikir, bersikap, dan berperilaku menyerupai mesin dan secara tidak sadar dibentuk oleh mesin-mesin pintar yang menemaninya setiap hari. Kehidupannya diprogram dari mesin tersebut. Sampai-sampai, keberadaan dan kepribadiannya pun seperti cerminan pola kerja logika mesin-mesin cerdas yang imut-imut itu.

Lalu, apa implikasi problematisnya? Analisis menarik diwedarkan oleh Turkle dengan memanah sampai kepada jantung eksistensi manusia. Turkle tidak mengabaikan kebermanfaatan teknologi bagi kehidupan umat manusia, tetapi problem yang lebih besar adalah kesia-siaan manusia karena teknologi (the useless man because technology). Orang-orang merasa "aman" dengan bantuan smartphone, namun justru takut untuk intim kepada sesama, takut untuk melakukan percakapan langsung, alone together.

Gawai menghidangkan “ilusi kebersamaan, tanpa tuntutan persahabatan". Relasi dengan liyan (the other) tanpa tuntutan tanggungjawab. Manusia digi-sein adalah merana dalam keramaian, tinggal bersama namun untuk keterpisahan. Percakapan (conversation) direduksi menjadi virtual connection, yang pada akhirnya kita bukan apa-apa tanpa mesin itu. Makanya, jangan heran jika melihat generasi ini seolah-olah bersama dalam kantin, namun saling terpisah secara sosio-emosional satu sama lain karena tenggelam dengan gawai.

Rekonstruksi Ruang Psiko-Education
Lantas, Bagaimana solusi dalam bidang pendidikan, terutama proses pembelajaran? Memutuskan sama sekali hubungan dengan gawai atau membiarkannya larut mengandung banyak resiko dan konsekuensi. Terlebih, e-learning pun belumlah sepenuhnya meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini tidak mengherankan karena kehadiran siswa di kelas kadang hanyalah kehadiran fisik. Perhatian dan fokus, kehadiran jiwanya melayang-layang di dunia maya tersebut.

Namun, kita dapat memberikan tawaran dan setapak-setapak menghadirkan kembali apa yang hilang dalam kelas, yaitu rekonstruksi pada ruang sibernetika. Ruang sibernetika pada dasarnya menuntut negosiasi kehidupan fisik, nyata kita dengan realitas maya yang mengubah cara kita memahami identitas, komunitas, dan relasi sosial.

Ruang sibernetika ini merupakan ruang kehadiran pada peselancar maya yang tak terbatas, karena ruang fisik telah ditembus oleh jaringan-jaringan yang saling terhubung. Siswa generasi gawai ini menemukan kenyamanan pada ruang sibernetika ini. Tidak ada tanggungjawab, tidak ada perhatian khusus, mudah dilakukan. Dalam dunia realitas, pragmatisme dan apatisme dalam ruang-ruang pendidikan pun tak terhindarkan. Seolah-olah mereka merindukan kehidupan yang lebih nyaman, bebas dari kungkungan fisik dan lokasi seperti dunia maya.

Maka, tawaran konseptual adalah memandang sama penting ruang realitas dan ruang sibernetika tersebut. Guru hendaknya menceburkan diri ke dalam ruang virtual mereka, rebut perhatian, dan jalin relasi. Makna dijalin dan dirajut dari ruang fisik dan ruang sibernetika. Wacana-wacana mengenai optimisme, motivasi dalam belajar harus dihadirkan di ruang maya tersebut. Singkatnya, membuat ruang maya sebagai pantulan otentitas dirinya. Bukan sebaliknya, mereka merasa otentik (mengada) ketika di ruang maya. Warnailah ruang-ruang virtual mereka sebagaimana kita melakukannya pada ruang nyata.

Tantangannya, pendidikan yang ditawarkan dalam dunia maya harus lebih menarik konten dan kemasannya, pola relasinya. Buat mereka dihargai baik di dunia nyata ataupun di dunia maya. Ajak mereka terlibat dalam relasi sosial -kegiatan-kegiatan yang berciri filantropis misalnya- dengan mengandalkan jaringan-jaringan virtual mereka. Dengan kata lain, pendidikan yang mampu menarik perhatian mereka dan mengalahkan konten lainnya, adalah pendidikan yang memberikan kenyamanan, pengakuan identitas pribadi, serta penghargaan komunitas mereka.

Pola relasi psikologis dalam dunia nyata -misalnya ruang kelas- pun harus berdasarkan friendship, twit-twit mereka di kelas mesti dihargai, group-group sosial dibangun, keserasian download dan upload pengetahuan dan nilai-nilai. Mereka didorong untuk berani mem-posting sesuatu di ruang kelas, comment-comment di kelas dibuat sehangat di ruang facebook. Kemudahan buku seperti kemudahan mereka saat browsing. Buatlah ruang kelas menjadi milik bersama, senyaman, seindah, semeriah, semenarik pada ruang virtual.

Saya cermati -tentunya dengan keterbatasan saya-, adanya kecenderungan kemiskinan kajian pendidikan yang memprioritaskan ruang-ruang seperti ini. Kita akan lebih mudah menemukan kajian pendidikan terkait ruang maya yang lebih bersifat naïve judgment, membatasi gerak siswa, mengontrol, bahkan mensabotase ruang sibernetika ini. Padahal, pola pikir dan perilaku mereka meniru dan dibentuk secara kompleks bersama-sama dengan mesin-mesin pintar itu.


Dengan kata lain, problema kegagapan pendidikan hari ini masih berasumsi bahwa identitas generasi gawai masih dianggap sama dengan identitas generasi sebelumnya. Kajian-kajian lebih cenderung memutuskan hubungan dengan ruang sibernetika, menstrerilkan ruang nyata. Memenjarakan siswa dalam garis-garis primordialnya, sedangkan pola hidup saat ini networking worldwide. Oleh karenanya, banyak tugas-tugas intelektual hari ini yang harus merehabilitasi miscontext konsep-konsep steril dengan kenyataan global networking. Tugas ini adalah tugas kita semua. Pada titik ini, pendidikan Indonesia mendapatkan tambahan “ruang kerja” baru[].


Mahasiswa Pascasarjana Psikologi UAD Yogyakarta




Selasa, 26 September 2017

Tak Kenal Maka Tak Sayang


Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Jawa, orang yang paling saya takuti adalah tukang parkir, karena sebagian besar tukang parkir yang saya temui wajahnya sangar, tanpa lesung pipi dan senyum manis. Tangan mereka penuh tato. Tetapi semua itu tenyata hanya tampilan luar. hati mereka sebenarnya berselimut warna pink.

Ketakutan dan bahkan kekesalan saya pada tukang parkir mulai berubah ketika saya kontrak kamar di Jawa. Kosan saya di sini, selain dihimpit oleh dua warung makan juga ada parkiran sepeda motor yang setiap harinya selalu penuh. Motor akan diparkir hingga depan kamar saya, tetapi tidak pernah menutup jalan keluar masuk kamar. Selalu ada jalan yang disisakan.

Setiap pagi mahasiswa dan para pekerja kantor menitipkan motornya di parkiran ini. Parkiran yang luasnya kurang lebih 50 meter persegi ini dikelola oleh empat orang sejak. Parkiran ini tanpa nama, hanya dikenal parkiran belakang kampus, samping kanan penjual jus.

Setiap hari, ke empat tukang parkir ini memarkir motor yang datang dan mengeluarkannnya jika pemiliknya pulang. Jika satu orang pemilik datang maka hanya satu orang yang akan mengeluarkan dan satu lagi akan merapikan motor yang lain dengan cara mengisi ruang kosng yang ditinggalkan motor sebelumnya, begitu seterusnya.

Selain parkiran, ada tempat helm yang disediakan di parkiran utama. Saya  menyebutnya parkiran utama karena di parkiran tersebut dibuatkan atap dan penyanggahnya dari empat potong bamboo. Helm biasanya ditinggal begitu saja oleh pemilik dan akan dirapikan oleh tukang parkir sekalian dengan motornya. Jika musim panas maka helm hanya dikaitkan di setir atau sepion motor, tetapi jika musim penghujan, tukang parkir langsung menaruh helm di tempatnya. Helm dan motor yang dititipkan adalah tanggung jawab tukang parkir. Mereka benar-benar menjaga kenyamanan pemilik motor. Satu motor, sekali parkir bayarnya Rp. 2000.
foto parkiran motor

Semua tukang parkir sudah berkeluarga, salah satunya Johan*. Johan ngontrak kamar di samping kamar saya. Dia mempunyai seorang putra dan seorang putri, keduanya masih duduk di sekolah dasar. Setiap hari sabtu dan minggu keduanya datang bermain dengan ayahnya. Pada hari itu ayahnya punya waktu untuk bermain dengan mereka karena hari sabtu dan hari minggu parkiran sepi karena mahasiswa dan pekerja kantor libur. Selain bermain dengan mereka, Johan juga membuat makan siang atau sarapan pagi untuk mereka bertiga, biasanya indomie dengan telur. Jika makan siang, Johan membeli makan siang di warung.

Satu lagi namanya Sobari*. Dia selain memarkir sepeda motor juga memanfaatkan ruang kosong di tempat mereka biasa ngopi untuk menyemai bibit sayur sawi, cabe dan pare. Sobari menyemai bibit sawi karena ada lahan sebelah parkiran yang tidak tepakai ditawarkan pemiliknya untuk ditanami sayur. Lahan itu dipinjamkan cuma-cuma. Saat ini Sobari sudah menyemai 1000 bibit sawi.

“ada lahan kosong di sebelah yang ditawarkan pemilik untuk aku Tanami sayur. Hasil tanam untuk aku semua. Dipinjamkan gratis. Sudah 1000 bibit sawi yang sudah saya semai” cerita Sobari ketika saya diajak ngopi di tempat istirahat mereka.

Bibit yang disemai Sobari diletakkan dari atas rak-rak yang dibuatnya dari bambu. Untuk menghemat ruang, Sobari mengantunya karena di lantai dan di dinding sudah dipenuhi bibit. Kantong untuk bibit dia gunakan dari kantong-kantong bekas dan ada beberapa baki bekas yang juga dia gunakan untuk menaruh bibit.
foto; Sobari sedang menggantung tempat semai

Sobari memilih menyemai bulan ini karena menurutnya jika bulan ini sudah disemai maka pada bulan november nanti sudah bisa dipanen. Saya lalu bertanya pada Sobari, di mana nanti hasil panen akan dijual ? “hasil panen bisa dijual ke warung makan yang ada di sekitar ini. Terpenting, jangan ditanam sekaligus dan juga jangan dipanen sekaligus supaya gampang dijual. Kalau panennya banyak nanti harganya murah” jawab Sobari sembari berdiri mengeluarkan motor dari parkiran.

Memang benar kata pepatah, “tak kenal maka tak sayang”. Baru beberapa jam saja duduk dan berbagi cerita mengenai bibit semai, saya seperti sudah mengenal mereka lama. Dari catatan ini saya berkesimpulan, “kalu sudah kenal mari baku sayang, apalagi sudah berteman harus lebih bakusayang, dan kalau sudah baku sayang harus ke pelaminan”.  



Ket: *Nama tukang parkir di atas bukan nama sebenarnya


               Jf. Upik







Kamis, 21 September 2017

Tuhan "Berpangku Tangan"


Judul Buku     : HENING
Penulis            : Shusaku Endo
Tahun Terbit : 2017
Penerbit         : Kompas Gramedia
ISBN                : 978-602-03-3717-3
Halaman         : 304 Hal; 20 cm



Ramainya perdagangan kain sutra di Timur menjadi pintu masuk misionaris untuk menyebarkan paham Kristus kepada orang Jepang, yang oleh Francis Xavier, Kristianitas dibawa masuk ke Jepang pada tahun 1549. Walapun baru setahun menginjakkan kaki di Jepang, misionaris ini sudah jatuh cinta pada penduduk Jepang. Dia menyebut penduduk jepang sebagai “pembawa suka cita di hatinya”. Dia menyurati gereja di Portugal bahwa “ orang yang kami jumpai sejauh ini adalah yang terbaik yang telah kami temukan, dan rasanya tidak pernah ada… bangsa lain yang menandingi bangsa Jepang” (hal.8).

Sikap ramah dan terbuka dari orang Jepang membuat dia berhasil mengkristenkan ratusan orang dan membuka semangat baru bagi para misonaris untuk berlayar masuk ke Jepang dengan niat menunaikan misi kerasulan.  Namun misi kerasulan oleh misionaris setelah Xavier dinodai oleh Christavao Ferreira yang kabarnya murtad dari Kristen karena dihukum oleh pemerintah Jepang.

Berita tersebut telah sampai kepada Gereja di Roma. Christovao Ferreira, yang dikirim ke Jepang oleh Serikat Yesus di Portugal, akhirnya menyerah dan menjadi murtad setelah mengalami hukuman penyiksaan di dalam “lubang” di Nagasaki. Ferreira selama ini merupakan sumber inspirasi bagi para imam serta ummat yang setia (hal.25).

Penangkapan terhadap misionaris di Jepang membuat pihak Gereja Roma enggan mengirim lagi misionaris ke Negara Matahari terbit itu. Namun di tengah ketakutan yang melanda Gereja, ada dua orang misionaris muda yang keras kepala ingin pergi ke Jepang untuk menunaikan niat kerasulan. Keinginan itu tentunya ditentang, namun mereka mengambil jalan pintas, pergi secara diam-diam.

Setelah melakukan perjalanan panjang, Sebastian Rodrigues dan Garpe tiba di desa Tomogi. Warga desa yang sudah Kristen menampung mereka di salah satu gudang yang ada di perbukitan. Gudang itu akan dijadikan tempat persebunyian dan sekaligus tempat untuk melakukan tugas misionaris.

Di desa Tomogi ini warga telah bersepakat untuk melaksanakan sakramen secara diam-diam karena jika diketahui oleh kerajaan maka nasib mereka berakhir buruk. Tidak hanya rumah, bahkan diri mereka akan dibakar jika tidak mau menyangkal iman. Agar bisa terus melakukan sakramen dengan aman maka dipilihlah beberapa orang yang bertanggung jawab. Di desa Tomogi dipilihlah seseorang yang sudah berumur untuk menjalanakan fungsi sebagai imam. “Jisama” adalah imam dalam bahasa  Jepang. Seorang Jisama mempunyai kekuasaan atau hak yang tinggi di desa mengenai agama terutama dalam tugas membaptis anak-anak kecil. Seorang Jisama dipilih karena dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab dan dalam kehidupannya kesehariannya tanpa tindakan tercela (hal.61).

Ada juga “Tosama” yang berisi sekelompok anak muda yang dipercayakan untuk mengajar warga tentang Kristen dan memimpin warga dalam memanjatkan doa. Dan “Mideshi” yang dikenal sebagai penolong. Ketiganya memiliki tugas masing-masing untuk tetap menjaga iman warga dan menjaga agar warga tetap aman dalam menjalankan keimanan mereka tanpa diketahui oleh kerajaan (hal.62)

Desa Tomogi hanyalah desa kecil, terletak tidak jauh dari pusat pemerintahan di Nagasaki. Penduduk desa Tomogi memanfaatkan lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan hari-hari. Mereka petani miskin yang mengais-ngais kehidupan dengan menanam kentang dan gandum di ladang-ladang yang hanya sepetak. Mereka tidak punya sawah. Kalau kalian melihat mereka menanami tanah di sini, sampai ke tengah-tengah gunung yang menghadap ke laut, kalian akan terperangah, bukan saja kerja keras mereka yang tidak kenal lelah, terutama oleh kejamnya kehidupan yang mereka warisi. Akan tetapi Nagasaki memungut pajak sangat tinggi dari mereka.

Aku mengatakan yang sebenarnya – sudah sejak lama para petani ini bekerja seperti kuda dan ternak; dan mereka mati seperti kuda dan ternak pula. Agama kita bisa menembus wilayah ini seperti air mengalir kedalam tanah yang kering, karena agama kita memberikan kepada orang ini kehangatan manusiawi yang sebelumnya tidak mereka kenal. Untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan orang yang memperlakuan mereka sebagai manusia. Kebaikan dan kemurahan para pastorlah yang menyentuh hati mereka (hal.66).

Fereira lalu keluar dari desa Tomogi untuk pergi ke desa-desa lain yang sudah Kristen. Perjalananya bersama Kicjhiro tentu saja dilakukan secara diam-diam. Hal yang sama dia temukan seperti di Tomogi. Warga menjaga iman mereka secara diam-diam.

Namun aksi yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi itu tidak cukup. Fereira akhirnya ditangkap oleh pejabat Nagasaki. Kicjhiro adalah penyebabnya. Sudah lama dia mencurigai Kichiro dari cerita penduduk desa – dia pernah ditangkap dan dilepaskan karena diminta menyangkal keyakinan sebagai Kristen. Diminta menginjak gambar Maria dan meludahi patung Kristus. Dia melakukannya.

Ditangkap dan dipenjara, Rodrigues justeru diperlakukan seperti tamu bukan tawanan. Perlakukan itu terlalu istimewa, tidak seperti seorang tawanan pada umumnya.  Dia menaruh curiga bahwa ada upaya dari pejabat membiasakan tubuhnya menikmati kesenangan, dengan bagitu dia tidak akan tahan pada hukuman gantung dan akan menyangkal keyakinan. Kecurigaannya keliru. Hukuman gantung terbalik di goa yang membuat gurunya menyangkal iman tidak pernah dia terima, tetapi dia justeru dipertemuakan dengan gurunya. Keinginannnya selama perjalanan ke Jepang selain misi misionaris adalah bertemu sang guru. Pejabat Nagasaki seperti tahu apa keinginannya.

Terjadi dialog antara guru dan murid, di penjara dan bahkan ketika penduduk yang tertangkap di hukum gantung. Fereira meminta Rodrigues segara menyangkal imannya untuk melelamatkan penduduk desa, dia menolak dengan penuh kekecewaan dan terus mememnuhi kepalanya dengan pertanyaan tentang Fereira. 

“Baik. Berdoalah! Sementara itu, orang-orang Kristen di luar sana menanggung penderitaan maha hebat yang tidak bakal bisa kau mengerti. Sejak kemarin – untuk selanjutnya – dan pada saat ini. Mengapa mereka harus menderita seperti itu ? dan sementara semua ini berlangsung, kau tidak berbuat apa-apa untuk mereka, dan Tuhan juga tidak berbuat apa-apa” (hal.264).

Setelah murtad seperti gurunya, Rodrigues menetap di Jepang. Dia tinggal di salah satu rumah pemberian pejabat Nagasaki.  Setiap hari dia hanya bersandar di jendala sembari merenungkan kembali peristiwa lalu. Dia percaya bahwa pejabat Gereja di Roma dan Portugis sudah tahu bahwa dia telah mengikari imannya. Itu artinya dia telah dikeluarkan dari misi kepastoran. “Apa pentingnya semua itu. Bukan mereka yang bisa menilai hatiku, melainkan hanya Tuhan,” demikian dia suka bergumam, menggeleng-gelengkan kepala dan menggit bibirnya (hal. 271).

***
Shusaku Endo adalah novelis katolik pertama dari Jepang yang mengemukakan proses kristenitas di Jepang dengan begitu dahsyat. Dia berkesimpulan bahwa Kristen harus beradaptasi secara radikal kalau ingin menumbuhkan akar di “rawa-rawa” lumpur Jepang (hal. 7).

Bangsa-bangsa Eropa yang datang ke Jepang bersaing satu sama lain untuk bisa mengusai pasar dagang di jalur Sultra. agar bisa mengguasai pasar, Belanda memprovokasi  pemerintah Nagasaki, bahwa Portugis selain misi perdangan juga  sedang menyebarkan paham kristus. Jika masyarakat Nagasaki sudah mengikuti paham Kristus maka dengan mudah Portugis memonopoli perdagangan.

*** 
“Hening” bagi saya adalah upaya penulis untuk menunjukkan bahwa terjadi pemberontakan secara diam-diam dari penduduk Jepang. Pemberontakan yang dimaksud ialah penerimaan penduduk Nagasaki pada paham Kristus. Warga Menerima paham kristus karena paham Kristus hadir ditengah-tengah keterpurukan kemiskinan tanpa melihat status sosial dan selalu mengutamakan keadilan sesama.  Selain itu “hening” juga dapat dipahami sebagai pilihan “diam” oleh misionaris walaupun melihat banyak warga Nagasaki disiksa karena menerima paham kristus. Dengan demikian arti yang kedua adalah kritik terhadap penyebar agama yang selalu berkhotbah lantang tetapi diam ketika ada korupsi, penindasan and perampasan tanah. 


Selasa, 19 September 2017

Mendulang Berlian di Dalam Karung

Di Maluku Utara, ahir-akhir ini tiada hari tanpa pembicaraan politik. Tanpa tema politik ibarat sayur garu* tanpa garam. Bahkan jauh-jauh hari, tema politik bisa kita dengar di berbagai tempat, pojokan warkop, kampus, masjid dan bahkan di pangkalan ojek. Setiap orang sepertinya akan dianggap ketinggalan zaman jika tidak update informasi terkait dengan pemilihan umum. Media tahu itu dan menyajikan secara hangat pemberitaan politik. Catatan ini pun saya tulis agar tidak kelihatan ketinggal jaman.  

Dari informasi yang beredar melalui surat kabar dan baliho, masyarakat Maluku Utara akan memilih lagi Gubernur pada tahun 2018. Karena kurang dari dua tahun lagi maka para kandidat sudah "kembangkan layar" untuk memperkenalkan dirinya kepada pemilih. Banyak cara yang dilakukan, dengan baliho atau mendatangi langsung pemilih.  Dari keseluruhan kandidat, apakah masyarakat Maluku Utara akan "memilih kucing di dalam karung" ataukah kita sedang "mendulang berlian di dalam karung". Dari desas-desus ada beberapa kandidat yang mungkin akan maju sebagai  calon gubernur.

KH. Abd. Gani Kasuba
Politik di Indonesia selain pencitraan program, nama bakal calon juga disingkat sedemikian rupa agar mudah diingat oleh pemilih. Abd. Gani Kasuba yang saat ini menjabat sebagai gubernur Maluku Utara meringkas namanya menjadi tiga huruf saja, AGK. Nama itu sudah dipakai pada pemilihan pada periode pertama. Namun ada sebahagian yang memanggil akrab dengan Haji Gani.

Sejak menjadi Gubernur Maluku Utara saya hanya bisa ingat beberapa kebijakan yang telah dilahirkan. Transportasi kapal ferry gratis untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) provinsi adalah kebijakan yang memudahkan para pegawai berkantor, kebijakan ini diambil karena hampir sebahagian besar PNS menetap di Ternate. Namun ferry gratis itu sudah dihentikan, mungkin karena kekurangan anggaran. Entahlah.  

Terkait anggaran, gubernur AGK juga pernah memutuskan untuk berhutang karena pada saat itu keuangan propinsi katanya devisit. Kurang lebih yang saya ingat adalah Rp. 400 milyar (jika informasi ini salah mohon diluruskan). Di masa kepemimpinan AGK juga aksi mogok kerja pegawai Rumah Sakit Umum Daerah, dan paling terbaru adalah kasus 27 Izin Usaha Pertambangan yang diketahui bermasalah. Kasus IUP ini menuai kritik dari berbagai kalangan.  

Muhamad Kasuba
Karena Muhamad Kasuba adalah saudaranya AGK maka saya anggap akan menarik jika dalam catatan ini saya menaruhnya setelah saudaranya AGK. Lebih menarik lagi karena kedua saudara ini bersaing mendapatkan rekomendasi dari PKS agar bisa maju sebagai calon Gubernur. 

kabarnya Muhamad Kasuba tidak mendapatkan rekomendasi dan saudaranya AGK yang berhasil meyakinkan pengurus PKS agar dia kembali dicalonkan sebagai gubernur Maluku Utara. Apakah Muhammad Kasuba benar-benar ingin mencalonkan diri ataukah hanya strategi menarik minat pemilih untuk memilih saudaranya AGK.

Muhammad Kasuba adalah mantan bupati Halmahera Selatan dua periode. Dia juga diberi nama cantik MK yang diambil dari huruf depan dari nama depan dan belakang. Hanya dua huruf dan sangat mudah diingat. MK selalu BERKHIDMAT dan saudaranya ingin (me)LANJUTKAN.

Seingat saya ada beberapa kebijakan selama MK memimpin kabupaten Halmahera Selatan dua periode, pendidikan gratis dan kapal Hasel Ekspres.

Ahmad Hidayat Mus
AHM adalah Ahmad Hidayat Mus. Dia adalah mantan bupati kabupaten Kepulauan Sula (Kepsul). Dia juga adalah bupati yang pernah menjadi tersangka kasus mesjid raya Sanana namun sudah terbebas dari tuduhan. Pengadilan Negeri Ternate menganggap AHM tidak bersalah dalam kasus tersebut. Dia terbebas dan pengikutnya bersorak ria.

Bukan kali ini AHM mencalonkan diri sebagai gubernur Maluku Utara. Pada pemilihan sebelumnya dia kalah bersaing dengan AGK, dan kembali lagi mencalonkan diri dengan penuh semangat dan keyakinan menang.

Semasa menjadi bupati Kepsul dia juga punya program yang diwariskan hinga kini. Ketika saya jalan-jalan ke Kepsul beberapa bulan lalu, saya sempat melihat sendiri kebijakan reklamasi di desa Fatcei, Fogi dan Falahu. Reklamasi itu ditentang oleh beberapa kawan dari kepsul. Selain itu ada juga listerik yang menjadi sorotan di Kepsul karena di beberapa desa selama beberapa tahun lampu bohlam rancangan Thomas Alva Edison itu tidak berguna karena tidak dialiri listerik. Sebelumnya ketika AHM maju sebagai calon gubernur, saat itu dia mengusung program listerik gratis dan kali ini dia juga rencananya mengratiskan Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang dikritik oleh banyak kalangan karena dianggap sebagai pembodohan.

Burhan Abdurahman
Kalau bakal calon yang satu ini masih menjabat sebagai walikota Ternate. Jabatannya pada periode yang kedua. Pada periode kemarin Burhan Abrurahman berpasangan dengan Arifin Jafar sehingga disingkat BUR-AJA. Saat ini berpasangan dengan Abdullah, jadi disingkat BUR-ADA. Walikota Ternate ini juga sering disapa Hj. Bur yang diambil dari nama depannya. Pemilihan kemarin dia mengalahkan pesainganya Sidik Siokona.

Dua periode memimpin Kota Ternate tentunya ada beberapa program yang sudah dijalankan. Landmark baru saja diresmikan beberapa minggu kemarin. Proyek ini adalah salah satu upaya walikota Bur memoles kota agar terlihat lebih indah. Setelah selesai dengan Landmark, Hj. Bur langsung bergerak ke Utara, di depan Kedaton Kesultanan Ternate untuk memperbaiki tampilan dikawasan pelabuhan bersejarah Dodoku Ali. Kabijakan ini mendapat kritik keras dari akademisi dan aktivis. Katanya penataan kawasan kawasan Dodoku Ali mengaibakan nilai sejarah, dengan merubahnya secara total akan mengilangkan nilai sejarah pelabuhan Dodoku Ali. Fort Orange juga mengalami pembugaran, sialnya pembugaran itu justeru merobohkan tembok Fort Orange. Walikota Bur pun dikritik dan ada yang membela.

Ada pulau Hiri yang sampai saat ini masih diabaikan dan dijadikan anak tiri oleh pemerintah kota karena sampai saat ini, pada periode kedua, kepemimpinan Bur, aspirasi warga Hiri agar dibuatkan dermaga pelabuhan tidak terpenuhi. Semoga diakhir kepemimpinannya, aspirasi masyarakat Hiri bisa terpenuhi. Apalagi saat ini sedang diadakan festival Ayo ke Hiri. Kegiatan ini semoga saja bisa memenuhi aspirasi warga Hiri.
***
Ketiga nama bakal calon Gubernur di atas adalah yang saya ketahui tetapi katanya masih ada beberapa mantan kepala daerah dan kepala daerah aktif yang dikabarkan maju. Namun yang perlu kita ketahui ialah ketiga calon di atas dan yang lain yang sudah pernah menjadi Gubernur, bupati dan walikota, atau sementara menjabat tentunya berpengalaman. Mereka bagi saya seharusnya tidak lagi memamerkan program-program yang akan dilakukan nanti jika terpilih sebagai gubernur, melainkan mereka harusnya memperlihatkan pada pemilih bahwa mereka layak dipilih karena prestasi bukan peristiwa.


Pemilih Maluku Utara, termasuk saya sendiri tidak akan lagi melihat program apa yang akan dikerjakan melainkan melihat apa yang telah dibuat, dengan begitu kita akan mendapatkan “berlian” bukan lagi “memilih kucing didalam karung” tetapi Semoga saja masih ada “berlian” yang terselip di dalam karung”. Selain kekurangan, tentu saja ada prestasi yang sudah ditorehkan masing masing kandidat. 

ket:
*sayur garu adalah sayur khas Maluku Utara yang dibuat dari daun bunga papaya, dan        jantung pisang

            
           JF. upik
   Pegiat PILAS Institute

Senin, 11 September 2017

Orang Dalam

Kokok ayam, satu demi satu suara itu memecah kesunyian di seperempat malam yang tak berbintang. Kokok ayam bertanda bahwa pagi sudah tiba namun hingga pagi ini masih ada beberapa laki-laki yang masih tenggelam dalam pekerjaan mereka. Para lelaki itu sedang mengamati dua benda di hadapan mereka, benda yang dikenal dengan Seismometer dan Tiltmeter. Alat itu terus menerus dilihat seakan bahwa alat pemantau gunung api itu adalah benda paling menarik hingga tak ada alasan untuk pergi meningalkan alat itu.  Mereka adalah para Insinyur ahli Gunung api.

Ada di antaranya seorang Insinyur yang belum menikah, dia ternyata berasal dari Pulau Jawa dan sedang ditugaskan di pos pemantauan gunung api Ampera. Gunung Ampera merupakan salah satu gunung api di Indonesia yang meletus pada  akhir Tahun 2016 dan masih aktif hingga awal Agustus ini, olehnya beberapa lelaki masih terus bekerja hingga pagi Ini. Laki-laki Jawa itu  awalnya ditugaskan hanya untuk 3 bulan namun dia memperpanjang masa kerja menjadi 5 tahun dan sudah 7 bulan tinggal di bawah kaki gunung Ampera, di sebuah perkampungan yang ada di Maluku Utara.

“Insinyur Chandra, 10 menit lagi waktu subuh mari kita shalat dulu, Insinyur Lukman juga sudah menunggu kita di Mushola, biar nanti Insinyur Nico sementara yang jaga.” ajak Insinyur Rohim yang merupakan  kepala Kantor.

Laki-laki Jawa itu bernama Chandra adalah seorang pegawai tamu dikantor itu. Awalnya kantor itu hanya memilki tiga pegawai tetap dimana hanya ada kepala kantor yang bernama Insinyur Rohim dan dua pegawai lainnya yang bernama insinyur Lukman dan Insyinyur Nico. Insinyur Nico adalah pegawai yang beragama Kristen, sehingga ketika teman-teman kantor yang beragama Islam sedang beribadah Nico-lah yang akan menggantikan, begitupun ketika hari minggu pagi insinyur Nico belum datang ke kantor sampai dia selesai ibadah para pegawai muslim yang menggantikan pos-nya. Tidak ada hari libur sehari penuh atau 24 jam di kantor tempat mereka bekerja.  Mereka hanya diperbolehkan libur selama 12 jam yang hanya berlaku pada Hari Raya Natal dan  kedua Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi jika status Gunung Ampera sekarang masih aktif maka pegawainya juga tetap aktif dan bersiaga dikantor.

“Oh iya pak insyinyur, terimakasih sudah mengingatkan, insyinyur Nico maaf yah kami tinggal sebentar.” ucap Insinyur Chandra seraya berdiri dari tempatnya.

“Iya-iya silahkan. Jangan lupa berdoa untuk Gunung Ampera juga ya.” kata insinyur Nico yang tersenyum sambil merokok dan di atas meja kerjanya  ada muk berisi kopi hitam yang sudah dingin.

30 menit kemudin, ketiganya selesai shalat subuh lalu kembali keruangan kerja mereka. Beberaapa menit setelah itu mereka akhirnya sepakat melakukan kontak dengan kantor pusat untuk memohon agar status gunung itu bisa dicabut, setelah melihat perkembangan Gunung Ampera dalam seminggu terakhir yang sudah bisa dibilang aman, tidak perlu menunggu lama akhirnya  kantor pusat  menyetujui.

“Pak Insinyur, bolehkah saya pulang dulu?” kata Insinyur Nico. Hari ini minggu dan dia harus ke gereja.

“Ooh tentu saja boleh, silahkan!” ujar Pemimpin kantor itu sambil melihat jam ditangannya sudah jam setengah 7.

Insinyur Nico mengambil pakaian kotor di ruangan yang difungsikan sebagai kamar tidur, sedang Insinyur Chandra dan Insinyur Lukman sedang menuju dapur kantor, di ruangan itu memang ada banyak makanan siap saji. Mereka mencari apa yang bisa dimakan, Insinyur Lukman sedang membuat teh dan mengambil satu biskuat yang ada dilemari pendingin, sedang Insinyur Chandra, tidak berselera dengan apapun disitu.

“Kamu yakin gak mau ini?Tanya Insyinyur  Lukman, mencoba Menawari Insyinyur Chandra namun yang ditawari hanya hanya menggeleng.

“Perasaan dulu kamu paling suka sarapan yang begini deh!” kata Insinyur lukman lagi.
“Iya sih, tapi memang gak selera kali ini, aku mau main kerumah dulu yah. Oh iya pinjam motornya ya pak, kuncinya ditempat biasa-kan ?” kata Insinyur  Chandra dan kemudian pergi meninggalkan dapur.

Insinyur Chandra menuju kamar kantornya, dia tak perlu lagi mendengar jawaban Insinyur Lukman. Insinyur Chandra sangat tahu bahwa laki-laki itu akan dengan senang hati meminjamkan motornya, lelaki yang sangat baik itu memilih tinggal di kantor karena berasal dari kabupaten. Insinyur Chandra mengambil pakaian yang sudah kotor lalu berjalan keluar kamar menuju halaman kantor, sampai di depan kantor dia masih mendapati Insinyur Nico diparkiran dengan motor vespa-nya,sepertinya motor itu sedang mogok.

“Ya ampuun, Insinyur Nico. Saya kira kamu udah sampai dirumah, kenapa motornya?” Tanya insinyur Chandra.

“Eh iya, ini gak jadi-jadi dari tadi hehehe” jawab Insinyur Nico agak kaget karena baru sadar ada Insinyur Chandra.

“Ooh vespa-nya lagi merajuk kali hehehe. Yaudah mari saya antar ya, kalau gak nanti insinyur Nico bisa telat ibadah kalau gini, tuh liat lagi 10 menit jam 7.” Ujar Insinyur Chandra dengan senyum yang mengembang.

Kedua Insinyur itu meninggalkan halaman Kantor dan memasuki perkampungan yang mulai ramai dengan warga yang tumpah ke jalan raya untuk bekerja bakti, sedang suara kasidah dari spiker Masjid Ar-Rahim mengisi setiap sudut kampung bernama Kanyima itu. Warga yang tumpah ke jalan tersenyum ketika melihat kedua insinyur melewati mereka, ada juga anak-anak kecil yang menyapa keduanya dengan cara berteriak dengan lantang dan penuh semangat. Kedua insinyur itu hanya bisa membalas dengan cara mengangkat tangan dan terus membunyikan klakson dengan tidak lupa tersenyum lebar sepanjang jalan hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah rumah. Rumah ber-cat putih itu bertulisan rumah pendeta Noah Andreson, Insinyur Nico lalu turun dan masuk kedalam rumah. Rumah pendeta yang tak lain adalah rumah ayah Insinyur Nico, insinyur Chandra pun memutar balik motornya dan kemudian menuju rumah keluarga angkatnya yang tak jauh dari situ.

“Assalamualaikum.” salam Insyinyur Chandra ketika memasuki sebuah rumah yang tepat di bibir pantai.

Setelah menaruh pakaian di kamar dia menuju dapur, di sana dia tak menemukan siapapun namun di meja makan ada sepiring pisang goreeng yang dalam bahasa lokal disebut gogodo dan  segelas kopi yang masih hangat dan penuh. Gelas kopi itu ditutupi menggunakan piring plastik kecil, kopi itu spertinya belum diminum.  Insinyur Chandra berjalan menuju pantai, ada senyum yang mulai mengembang ketika mendapati pemandangan yang kerap membuat hatinya damai. Tak jauh dari posisinya berdiri, ada potret satu keluarga yang sedang berbahagia sang istri berdiri dengan tenang di bibir pantai dan anaknya yang usianya baru memasuki 20 tahun sedang membantu ayahnya melabuhkan perahu, mereka adalah keluarga angkatnya. Dari dalam perahu yang tertambat tercium aroma amis khas ikan segar cakalang dan galalar yang masih setengah sadar.

Insinyur Chandra sangat bersyukur bisa bertemu mereka di 6 bulan lalu, ketika itu Gunung Ampera sedang memuntahkan lahar dan seluruh warga yang tinggal tepat di bawah kaki gunung harus mengungsi. Namun ada kabar yang mengejutkan dari seorang  reporter TvNegara salah satu -Tv Nasional  di Indonesia-, reporter itu mendatangi kantor mereka dan meberitahukan bahwa ada satu keluarga yang tidak mau mengungsi, kabar itu jelas membuat dirinya harus turun langsung karena penasaran. Insinyur Chandra yang ditemani reporter itu menuju sebuah rumah di dekat pantai, rumah yang kemudian membuatnya jatuh cinta kepada keluarga itu. Keluarga yang sangat luar biasa dan belum pernah dia temui dimanapun.

Di hari itu Insinyur Chandra dan sang repoter memasuki rumah itu, mereka lalu kaget karena mendapati satu keluarga sedang berkumpul di ruang tamu, mereka hanya 3 orang. Tak ada rona ketakutan sama sekali dari wajah-wajah mereka dan lebih tepatnya mereka seperti orang tuli dan buta yang seakan tak mengerti dan tak terpancing dengan apapun yang ada diluar sana. Padahal  diluar sana, kampung itu telah sepi dengan suara manusia namun dipenuhi suara ledakan seperti meriam yang terus menggema dari perut Gunung Ampera yang tidak hanya menghasilkan bau belerang, juga titik-titik hujan abu dan kabut hitam pekat yang menjulang tinggi, hingga seolah kabutnya dapat terlihat oleh seluruh dunia.

Dalam hitungan menit, Insinyur Chandra dan Reporter itu juga ikut diam karena mereka sedang dalam kebingungan yang sama dan sama-sama terjebak dalam pertanyaan yang membingungkan. Mereka akhirnya mencoba untuk bisa bersuara namun satu-satunya perempuan dalam ruangan itu lebih dulu berbicara, membuat mereka semakin terlihat seperti patung hidup.

“Tolong jangan suruh kami pergi dari sini dan jangan lagi paksa kami untuk pergi meninggalkan rumah ini, kampung ini, semuanya yang ada disini. Kami lebih nyaman di sini, kami merasa lebih baik mati di sini menjadi abu sekalipun itu lebih baik bagi kami, karena kami tidak membuat kalian dan semuanya  ikut berdosa-kan?”  ucap perempuan itu kepada  Insyinyur Chandra dan sang Repoter. Keduanya hanya bisa terdiam dan sesekali melihat sorot mata perempuan itu baik-baik dan melihat anak laki-lakinya sedang menggosok-gosok balsem di kaki bapaknya, dari mulut dan hidung bapaknya keluar asap rokok.

“Kami tidak mau ikut dengan mereka lagi, sudah cukup kami kelaparan selama dipengungsian. Sudah cukup selama hampir 3 bulan yang lalu kami terus berebutan makanan dengan pengungsi miskin lainya, sudah cukup kami berebutan hak-hak kami yang katanya itu adalah bantuan untuk kami dan kami tidak mau ditertawakan ketika beradu mulut, kalian tahu? Orang-orang kaya juga mengungsi namun karena mereka punya kenalan dengan petugas-petugas itu, istilahnya  mereka punya orang dalam sehingga mereka tak tinggal dipengungsian  seperti kami. Mereka tinggal di rumah-rumah orang kaya dan orang-orang dalam mereka terus memberi bantuan lengkap dari makanan sampai pakaian, makanya mereka tak perlu capek-capek harus  mengantri di bawah terik matahari. Mereka mendapatkan semuanya, segalanya dengan sangat instan. Sedangkan kami orang miskin? Kami ditinggalkan di lapangan yang tendanya hanya beralaskan tikar, kami disuruh mengantri panjang padahal apa yang mereka berikan?” ucap perempuan itu dengan terus melangkah maju tepat dihadapan Insinyur Chandra dan Sang repoter, memaksa keduanya terus mundur sampai pada daun pintu. Mereka Hanya menggeleng tidak tahu menjawab apa ketika ditanya seperti itu, ibu itu lalu mundur dan duduk bersama anak dan suaminya lalu melanjutkan ocehannya.

“Kalian tahu, mereka hanya memberi kami peralatan mandi yang lengkap. Padahal kalian tahu? Ditempat pengungsian air bersih harus dibeli pakai uang sendiri dan dengan harga yang sangat mahal, kami mana sanggup. Jadi jangan tanya peralatan mandi itu apakah kami pakai atau tidak karena air untuk minum saja sangat jarang apalagi untuk mandi,” lanjutnya lagi dan mereka berdua bagai tersihir setiap kata yang keluar dari mulut perempuan itu, mencoba memahami setiap perkataannya yang membuat hati mereka berdesir-desir.

“Kalian pikir kami mengada-ngada yaa? Coba saja jadi pengungsi miskin dalam sehari dan rasakan sendiri, semenit saja kalian mana sanggup. Coba bayangkan saja makan di sana hanya ada mi instan yang sudah membengkak seperti jari kelingking dan itupun harus berebutan, lucukan? Dan jangan pikir setiap saat dapat makanan karena setiap hari hidup dipengungsian itu juga tergantung nasib. Kadang-kadang nasib akan membawa kami dan memberanikan kami menjadi seorang pencuri karena tidak sanggup kelaparan. Kalian tahu apa yang bisa dicuri? hanya mi instan yang masih mentah. Mi mentah itu kami makan dengan penuh penghayatan dan ketakutan, jangan sampai ketahuan oleh para petugas yang katanya peduli dan mengurusi semua urusan kita. Padahal tidak, iyakan pak?” perempuan itu berbicara dengan tersenyum kepada suami dan anaknya, lalu mereka mengangguk dan tersnyum bersama, namun bisa dipahami itu bukan senyum orang yang sedang bahagia akan tetapi itu adalah senyuman mereka yang terluka dan dihianati.

“Setiap saat ada bantuan dari lembaga kemanusian yang terus mengalir, namun jangan kira itu milik kita pengungsi miskin. Para lembaga kemanusiaan itu menyuarakan kata setara alias semua pengungsi harus mendapatkan bantuan sama rata, tapi itu omong kosong. Mereka para petugas itu, membagi sama rata kepada para petugas, para penguasa dan para keluarganya yang mengungsi di rumah orang-orang kaya, dan bantuan mereka itu belum habis sampai hari ini.” kata perempuan itu mengahiri ocehannya, perempuan yang diketahui bernama Sania menatap pak Amal dan Beni, suami dan anaknya.

Mendengar itu semua, tak kuasa kedua mata Insinyur Chandra dan reporter berkaca-kaca. Terlebih lagi Insinyur Chandra yang selama ini tak pernah kenal dengan masyarakat sekitar membuat dirinya merasa sedikit bersalah, karena hanya fokus pada pekerjaannya, sehingga tak pernah membayangkan ada masalah serumit itu di tengah masyarakat. Insinyur Chandra tahu keluarga itu pasti tidak mengenalnya apalagi mengenal sang reporter, dia ingin memperkenalkan dirinya juga sang repoter kepada mereka. Setelah itu dia akan mengajak mereka meninggalkan rumah itu dengan cara apapun karena diluar sana alam sedang bergejolak.

“Maaf sebelumnya, perkenalkan nama saya Chandra saya bekerja di...” Belum selesai Insinyur Chandra memperkenalkan dirinya sudah dipotong oleh Istri pak Amal
“Kantor gunung api dan temanmu itu namanya Arya repoter TvNegara.” Sambung Ibu Sania

Keduanya saling memandang dengan mata melotot dan mulut menganga, tak ada suara yang bisa keluar dari mereka bedua.

“Mana mungkin kami tak mengenalmu dek Chandra, kamu sudah bekerja hampir 1 bulan disini dan kamu sudah beberapa kali Shalat Jumat disini, mana mungkin kami tak megenalmu. Begitupun temanmu dek Arya itu yang juga jadi idola anakku karena sering terlihat di TV itu.” ucap Pak Amal yang berbicara untuk pertama kali sambil menunjuk Tv mereka di sudut ruang dan anak mereka menunduk malu.

Keduanya lagi-lagi hanya berdiri terpaku, mereka tak percaya apa yang sedang mereka dengar dan mereka terus berdiri hingga akhirnya dipersilahkan duduk. Mereka tak bisa berbicara untuk waktu yang lama hingga akhirnya Insinyur Chandra memohon mereka untuk pergi dari rumah untuk sementara watu dengan alasan demi keselamatan, namun ajakan-ajakan itu tak sedikitpun membuat mereka mau.

“Begini, kalian lebih kasihan mana? Kami meninggal di sini dengan bahagia atau kami selamat namun membuat  para penguasa itu buncit sedang kami tinggal tulang lalu kemudian mati kelaparan dalam dendam yang menyatu?!”kata pak Amal, sedang istri dan anaknya hanya diam.

“Ya sudah kalian ikut kami ke kantor saja, biar nanti kita semua bisa meninggal dalam keadaan berbahagia, tolong jangan menolak lagi.”Ajak Insinyur Chandra sambil berdiri.

“Kalian anak muda pergi saja, kami bahagia disini.” kata istri pak Amal dengan tersenyum.

“Yasudah, kalau begitu izinkan saya tinggal di sini sampai masa tugas selesai.”Kata Insinyur Chandra karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan dan dia siap mengambil resiko apapun jika keputusannya tak sesuai dengan aturan yang berlaku di instansi tempat dia mengabdi.

“Saya juga mau tinggal disini.” kata reporter yang bernama Arya itu yang tidak percaya apa yang sedang terjadi.

Pada hari itu, mereka bersepakat menjadi satu keluarga baru. Mereka berdua tinggal di rumah seorang guru honor yang sudah 20 tahun lebih mengabdi, guru honor itu adalah istri pak Amal sedang pak Amal sendiri adalah seorang nelayan.

Rumah itu sangat  menyenangkan, sampai mereka lupa di luar sana ada ancaman terus datang, satu minggu kemudian Bayu pulang ke Jakarta dan 2 minggu kemudian masyarakat mulai pulang dari pengungsian dan rumah itu tetap baik-baik saja. Di rumah itulah Insinyur Chandra tidak mau pulang lagi ke Jawa dan ingin tinggal selamanya di sana, apalagi setelah pengungsi-pengungsi itu pulang dengan selamat.

Dia jatuh cinta kepada seorang perempuan bernama Meira yang merupakan seorang sarjana Strata satu Psikologi. Meira yang mengisi hari-harinya di tepi pantai dengan mendampingi para ibu rumah tangga, memberikan dukungan dan motivasi kepada mereka untuk bisa memproduksi anyaman-anyaman tradisional khas daerah. Anyaman-anyaman itu berbahan bambu seperti tolung (sejenis topi  dari bambu yang biasa dipakai petani), saloi (alat yang digunakan untuk mengangkut hasil kebun), tatapa (benda untuk memilah beras dari kotoran).

Hui, Kaka Chan melamun apa-kah?teriak beni, adik angkatnya yang sedang membawa ikan dan Insyinyur Chandra kaget bukan main.

Mama bilang katanya, kaka dari tadi di sini. Kaka bakiapa disini? Pasti kaka malu kasana karena ada Kaka Mei yang beli ikan di papa to ? Cieee” kata Beni sambil tertawa karena melihat reaksi wajah kakak angkatnya itu tiba-tiba memerah.

“hih, sembarang saja ngana!” ucap Insyinyur Chandra yang sangat malu.

Kaka mari torang babakar ikan, mama so suru!” Ajak beni sambil menunjukan ikan yang dibawanya. Mereka menuju sebuah pohon yang rindang yang tak jauh dari sana, mereka membuat api dan mulai membakar.

“Beni, ko lulus SMA sudah tiga tahun to?”Tanya Insinyur Chandra dan Beni hanya mengangguk sambil membolak-balikan ikan itu. “Beni, kenapa kau tidak kuliah saja?” Tanya Insinyur Chandra  lagi dan kali ini mereka tidak berbicara dalam bahasa Maluku lagi.

“Kaka Chan tau sendiri, sekolah sekarang itu mahal.” jawab beni masih acuh.

“Sekarang banyak beasiswa, kakak saja kuliah karena beasiswa.” kata Insinyur Chandra.

“Kakak jangan kira papa sama mama itu tinggal diam melihat saya seperti ini, dulu ada orang datang nawarin siapa saja boleh kuliah gratis nanti orang itu yang mengurus semuanya, padahal apa? kami tidak memilki apa-apa makanya gak diurus-urus. Kakak Chan, saya sudah 2 kali ikut tes kepolisian, lihat rambutku masih rapi belum terlalu panjang. Aku selalu lulus tapi apa? mereka menggagalkan aku karena kami tak bisa membayar mereka. Jaman sekarang itu istilahnya semua harus ada orang dalam. Paham, kan kak ?” kata Beni panjang lebar dengan sesekali membalik ikan bakar.

Insinyur Candra sangat kaget, dia tidak pernah tahu sedkitpun tentang hal itu. Dia mengamati Beni, tak mengira anak itu bisa berbicara begitu, apa yang dimaksud orang dalam itu benar adanya. Dia membayangkan jika om nya bukan seorang kepala biro di ITB dia tidak akan pernah kuliah dan tidak pernah bisa jadi seorang pegawai yang memiliki gaji perbulan di atas 10 juta.

“Beni, berarti kalau Kak Chandra mau lamar Mei harus lewat orang dalam juga kali ee, berarti kakak lewat Beni saja to? Beni sama Mei kan sepupu sekali, iya kan?” kata Insinyur seoalah mencairkan suasana yang tadi sempat tegang, tapi itu adalah kejujuran dari hati terdalamnya.

Mendengar kata-kata itu Beni tertawa dan memeluk Insinyur Chandra dengan sangat erat, sedang dari balik pohon besar yang sangat rindang itu berdiri seorang wanita yang tiba-tiba menitikan air mata karena merasakan sebuah kejujuran dan ketulusan.


Dialah Mei.


         Asriyan Barham